“Hal yang penting dalam sains bukanlah menemukan fakta sebanyak-banyaknya, tetapi menemukan cara pandang baru terhadap fakta-fakta tersebut” – Sir William Bragg (1862-1942)
Rumpun bahasa Austronesia adalah rumpun bahasa terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar 1.200 bahasa, mewakili seperlima dari total bahasa di dunia. Diperkirakan ada sekitar 386 juta orang (4,9% dari populasi dunia ) penuturnya saat ini.
Bahasa Austronesia tersebar di wilayah yang sangat luas mulai dari Madagaskar di barat hingga Pulau Timur di timur, dan dari Hawaii di utara hingga Selandia Baru di selatan, termasuk semenanjung malaya, kepulauan Asia Tenggara, sebagian besar pulau di bagian tengah dan Pasifik Selatan, serta Taiwan.
Istilah Austronesia sendiri dimunculkan oleh Wilhelm Schmidt . Kata ini berasal dari bahasa Jerman austronesisch , yang didasarkan dari kata Latin “austro” (selatan), dan kata Yunani “nisos” (pulau).
Sejak abad ke 17 hingga hari ini, telah banyak ahli bahasa dunia yang terjun dalam penelitian rumpun bahasa Austronesia.
Pada 1706, sarjana Belanda Adriaan Reland pertama kali mengamati kesamaan antara bahasa yang digunakan di Kepulauan Melayu dan oleh orang-orang di pulau-pulau di Samudra Pasifik. Pengamatan tersebut menggunakan daftar kata yang dikumpulkan pada awal 1616 oleh rekan-rekan Reland, penjelajah Jacob Le Maire dan Willem Schouten. (Asya Pereltsvaig. 2012: 143)
William Marsden (1754-1836), seorang orientalis Inggris, ahli bahasa, numismatist, dan pelopor dalam studi ilmiah Indonesia, dalam bukunya On the Polynesian or East Insular Languages mengemukakan keserumpunan antara bahasa Melayu dan bahasa Polinesia.
John Crawfurd (1783-1868) seorang dokter Skotlandia, administrator, diplomat kolonial, dan penulis, terkenal karena karyanya pada bahasa Asia, Sejarah Kepulauan India, dan perannya dalam mendirikan Singapura sebagai Residen Inggris terakhir di Singapura.
Pada tahun 1808 Crawfurd dikirim ke Penang, di mana ia menerapkan dirinya untuk mempelajari bahasa dan budaya Melayu. Di Penang ia bertemu Stamford Raffles untuk pertama kalinya.
Pada November 1811, Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Letnan Jawa, sementara Crawfurd diangkat menjabat Residen Gubernur di Pengadilan Yogyakarta. Sebagai Residen, Crawfurd juga mengejar studi tentang bahasa Jawa, dan membina hubungan pribadi dengan bangsawan Jawa dan sastrawan. Dia terkesan dengan musik Jawa. (Bennett Zon. 2007: 31)
Pada tahun 1848 dalam bukunya On the Malayan and Polynesian Languages and Races, John Crawfurd membantah pendapat Marsden yang mengemukakan keserumpunan antara bahasa Melayu dan bahasa Polinesia – John Crawfurd menyatakan bahwa bahasa-bahasa itu tidak menunjukkan kesamaan.
Crawfurd meneliti kata-kata yang termuat dalam berbagai kamus bahasa Austronesia untuk dibanding satu sama lain. Hasilnya, dari 8.000 kata Malagasi hanya didapati 140 kata yang dapat dipulangkan kepada kata Jawa dan Melayu. Dari 4.560 kata Selandia Baru hanya kedapatan 103 kata yang cocok dengan kata Jawa dan Melayu. Dari 3.000 kata Marquesas kedapatan 70 kata yang sama dengan kata Jawa dan Melayu. Dari 9.000 kata Tagalog hanya kedapatan 300 kata yang cocok dengan kata Jawa dan Melayu.
Untuk kesimpulan Crawfurd tersebut, Dr. Kuntjaraningrat dalam bukunya Beberapa Metode Antropologi berkomentar bahwa bantahan Crawfurd terhadap pendapat Marsden, lebih karena Crawfurd pada saat itu belum mengetahui bahwa persamaan kata-kata yang termasuk dalam basic vocabulary di antara dua bahasa, cukup untuk membuktikan kekeluargaannya.
Wilhelm von Humboldt (hidup antara tahun 1767-1835), adalah seorang filsuf, pejabat negara dan diplomat Jerman, dan pendiri Humboldt University. Dikenal terutama sebagai linguis yang banyak menyumbang pemikirannya terkait filsafat bahasa, teori dan praktik pendidikan. Dia khususnya diakui sebagai penyusun sistem pendidikan Prussia, yang kemudian menjadi contoh bagi sistem pendidikan sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Jepang.
Tahun 1834, Humboldt, dalam buku yang sedang ditulisnya, Uber die Kawi-Sprache auf der Insel Java (“Mengenai bahasa Kawi di pulau Jawa”), muncul nama “Melayu-Polinesia” untuk menyebut rumpun bahasa yang bertebar dari pulau Madagaskar di barat sampai pulau Paskah di timur. Pada abad ke-19, para peneliti bahasa seperti Wilhelm von Humboldt mulai menerapkan metode komparatif pada bahasa Austronesia.
Pada tahun 1836, Wilheim von Humboldt mulai terkenal karena bukunya Ueber die Kawi-Sprache auf der Insel Java. Von Humboldt mulai dengan kritiknya terhadap Raffles dan Crawfurd mengenai kedudukan bahasa Jawa Kuno yang pada waktu itu disebut bahasa Kawi. Von Humboldt tahu bahwa bahasa Kawi itu tidak lain daripada bahasa Jawa Kuno yang banyak menerima kata-kata Sansekerta.
Dalam Malaischer Sprachstann von Humboldt menentang pendapat Crawfurd yang mengatakan bahasa Melayu dan bahasa Polinesia tidak serumpun. Dengan data yang dihasilkan dari mengkomparasi daftar kata bahasa Austronesia, Von Humboldt membuktikan keserumpunan bahasa Melayu-Polinesia. (Slamet Muljana. 1964; 2017)
James Richardson Logan, hidup antara tahun 1819-1869, adalah seorang Pengacara handal yang dihormati, disenangi dan disegani. Ia pembela hak asasi warga lokal yang berasal dari berbagai etnis: Melayu, India, Cina, Eropa yang tinggal di Penang. J. R. Logan adalah orang yang pertama kali mempopulerkan nama Indonesia, dengan istilah “Indu-nesians” untuk menggambarkan orang-orang di wilayah nusantara.
Disebutkan oleh Slamet Muljana, bahwa Pada tahun 1848, J.R. Logan dalam karangannya Customs Common to the Bill Tribes Bordering on Assam and Those of the Indian Archipelago yang termuat dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, mengemukakan saran bahwa bangsa Indonesia itu berasal dari Assam di Asia Tenggara.
Pendapat tersebut didasarkan atas kesamaan kebiasaan antara beberapa suku di Sumatra dan Kalimantan dengan suku Naga di Assam. Adat seperti memotong kepala dan membuat tatto pada orang Naga sama dengan adat orang Dayak di Kalimantan. Namun demikian, J.R. Logan masih ada keraguan mengenai pendapatnya tersebut dan masih membuka kemungkinan lain. “Mungkin teori-teori yang lain juga benar”, katanya.
Ernest-Theodore Hamy (hidup antara tahun 1842-1908) adalah seorang antropolog dan etnolog Perancis. Ia belajar kedokteran di Paris, dan mendapatkan gelar doktor pada tahun 1868. Setelah itu, ia melayani sebagai preparateur di bawah Paul Broca di laboratorium antropologi di Ecole pratique des hautes etudes. Pada 1872 ia menjadi asisten naturalis di Musum enational d’histoire naturelle, di mana ia bekerja sama dengan Armand de Quatrefages.
Pada tahun 1877 Dr. Ernest-Theodore Hamy menyampaikan bantahannya dalam majalah La Nature, terkait pendapat John Crawfurd yang beranggapan bahwa bahasa Campa berasal dari bahasa Melayu akibat persebarannya.
Dr. Ernest-Theodore Hamy menyebut Bahasa Campa, Piak, Jarai dan beberapa bahasa lagi di Pegunungan Kocing Cina sebagai bahasa Melayu Kontinental. Ia lebih lanjut menyarankan bahwa baik bahasa Melayu maupun bahasa Melayu Kontinental mempunyai persamaan asal.
Dalam Bijdrage tot de kennis der Verhouding van Cam tot de Talen van Indonesie Prof. G.K. Niemann berpendapat bahwa berbagai penelitian yang dilakukan sarjana seperti Keane, Yule dan lain-lainnya, yang menunjukkan adanya kesamaan bahasa dan kebiasaan antara berbagai bangsa di daratan Asia Selatan (India Belakang) dan Indonesia, menguatkan dugaan bahwa daratan Asia Selatan adalah tanah asal nenek moyang bangsa Melayu-Polinesia yang menetap di Indonesia.
Pada tahun 1932 Robert von Heine Geldern, sarjana ilmu purbakala dari kebangsaan Austria, mengumumkan pendapat tentang tanah asal bangsa Austronesia dalam majalah Anthropos 27, hal. 543-619 dengan judul Urheimat und frucheste Wanderungen der Austronesier. Robert von Heine Geldern berteori bahwa nenek moyang bangsa Austronesia selama-lamanya tinggal di daratan Asia Tenggara. Mereka berasal dari Tiongkok kira-kira 2000 tahun Sebelum Masehi.
CHM Heeren-Palm dalam bukunya Polynesische Migratie (1955) mengemukakan bukti kesamaan antara kebudayaan Polinesia dan daratan Asia. Bukti-bukti kesamaan itu didasari pengamatan antropologi budaya (bahan-bahan kebudayaan).
Demikianlah, hingga memasuki abad ke 20, hasil penelitian bahasa Austronesia cenderung menjadi landasan argumentasi para ahli untuk mengarahkan nenek moyang Indonesia berasal dari daratan Asia.
Pada dasarnya, Saya lebih setuju dengan pendapat Prof. Santos yang mengritik tindakan pengelompokan rumpun bahasa yang dilakukan ahli bahasa. Ia menyatakan: Ide yang meluas tentang “keterpisahan linguistik” – sebuah istilah yang tidak cocok (…) [yang sebenarnya adalah] bahwa pertalian di antara bahasa-bahasa yang berbeda ini belum ditemukan, bukannya tidak ada.
Lebih lanjut santos mengatakan bahwa… “ini hanya merupakan konsekuensi dari fakta bahwa bahasa-bahasa atau rumpun-rumpun bahasa ini tidak pernah diteliti sebagaimana mestinya oleh para ahli yang ikut serta menemukan pertalian-pertalian ini. Jadi, ketimbang ditempatkan dalam kamar-kamar berbeda yang saling tidak berhubungan, dan dianggap sebagai “keterpisahan lingustik”, bahasa-bahasa ini lebih pantas dianggap “belum diteliti”. Sehingga, perlu dikaji lebih jauh.” (Prof. Arysio Santos. Atlantis, The Lost Continental Finally Found, 2010 Hlm. 166)
Manfaat Kecanggihan Teknologi dalam Penelitian Bahasa
Hari ini, dengan fasilitas penerjemahan google yang mendukung lebih dari 100 bahasa, yang semakin hari semakin mendekati tingkat penerjemahan bahasa dengan tata bahasa yang tepat, faktanya memang bisa sangat membantu dalam upaya penelitian bahasa, terutama dalam upaya mengkomparasi berbagai bahasa di dunia.
Bisa dikatakan, fasilitas penerjemahan bahasa tersebut membuka jalan menuju berakhirnya berbagai kebingungan dan kesalahpahaman yang telah berkembang dalam kurun waktu ribuan tahun dalam peradaban manusia.
Pemanfaatan fasilitas penerjemahan secara online setidaknya telah saya lakukan, dan telah banyak menghasilkan hal yang selama ini luput dari pengamatan ahli bahasa. Seperti kesamaan leksikon antara bahasa tae’ dan bahasa sanskerta berikut ini…
- lambe (hindi) = Lambe (tae’) = panjang (Indonesia)
- bahuta (sanskrit) = buda (tae’) = Banyak (Indonesia)
- mUla (sanskrit) = mula (tae’) = asal (Indonesia)
- beej (sanskrit) = biji (tae’) = biji, benih (Indonesia)
- kunth (sanskrit) = Kundu (tae’) = tumpul (Indonesia)
- ghutana (sanskrit) = guntu (tae’) = lutut (Indonesia)
- reSa (sanskrit) = ressa (tae’) = sakit, cedera (Indonesia)
- ghaTTanA (sanskrit) = Akattana (tae’) = maksud, tujuan (Indonesia)
- samAna (sanskrit) = samanna (tae’) = sama (Indonesia)
- TaGkA (sanskrit) = taka (tae’) = kaki yang membuka (Indonesia)
- kapAla (sanskrit) = kapala (tae’) = kepala (Indonesia)
- vijJa (sanskrit) = bija’ (tae’) = bijak (Indonesia)
- manana(sanskrit) = mananna’ (tae’) = berpikir keras (Indonesia)
- paNa (sanskrit) = banua (tae’) = rumah (Indonesia)
- vadate(sanskrit) = padate (tae’) = mengatakan seperti ini (Indonesia)
- kiM nu(sanskrit) = kumua (tae’) = setidaknya… (Indonesia)
- balaja(sanskrit) = balajang (tae’) = tali dari tanaman menjalar (Indonesia)
- rIrI (sanskrit) = riri (tae’) = kuning (Indonesia)
- duHkha (sanskrit) = duka (tae’) = duka (Indonesia)
- pUra (sanskrit) = ki bura (tae’) = banjir, meluap (Indonesia)
- malla (sanskrit) = melo (tae’) = bagus (Indonesia)
- kaTuka (sanskrit) = kadake (tae’) = buruk, jelek (Indonesia)
- kApatha (sanskrit) = kapetthok (tae’) = usulan yang buruk (Indonesia)
- katthana (sanskrit) = akattana (tae’) = tindakan membual (Indonesia)
- galaka (sanskrit) = galagga (tae’) = lendir di tenggorokan (Indonesia)
- galla (sanskrit) = galla (tae’) = bicara atau perilaku yang dianggap merugikan orang lain. (Indonesia)
- golikA (sanskrit) = goli’ (tae’) = bola kecil, kelereng (Indonesia)
- randha (sanskrit) = ma-randa (tae’) = Hancur, tertindas (Indonesia)
- lamba (sanskrit) = lamba’ (tae’) melepas (Indonesia)
- lampha (sanskrit) = lampa (tae’) = langkah, lompat (Indonesia)
- tAraNa (sanskrit) = tarana (tae’) = menjaga, melindungi menyelamatkan (Indonesia)
- sodara (sanskrit) = sodara (tae’) = saudara (Indonesia)
- lepa (sanskrit) = lepa’ (tae’) = mengolesi, melumuri dengan air liur (Indonesia)
Sebenarnya saya telah mengumpul lebih dari 100 kosakata yang identik antara sanskerta dan bahasa tae’. Namun saya pikir yang saya sampaikan di atas dapatlah dianggap mewakili.
Dalam pencermatan saya tentang keterkaitan bahasa tae dan bahasa sanskerta, terlihat bahwa susunan bentuk “kata dasar + imbuhan” yang berasal dari bahasa tae’, ketika terserap ke dalam bahasa sanskerta, mewujud menjadi satu kata baru yang selanjutnya akan melahirkan bentuk kata turunan, yang mana, maknanya tidak berbeda jauh dari makna kata dasar yang terdapat dalam bahasa Tae’. Hal ini tentu saja dapat dimaknai bahwa bisa jadi atau ada kemungkinan jika bahasa sanskerta sesungguhnya berasal dari bahasa tae’.
Di sisi lain, saya juga telah menemukan beberapa kesamaan leksikon antara bahasa tae’ dan bahasa Yunani kuno, seperti berikut ini…
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4