Dalam tulisan berjudul “Tahukah Kamu dari Mana Asal Kata ‘Air’?” saya telah membahas usulan hipotesis bahwa kata ‘Air’ berasal dari nama Hajar, Istri nabi Ibrahim. Dugaan ini berkesesuaian bentuk kuno (arkais) kata air: ayar atau ajar (lihat KBBI).
Bentuk ‘ayar’ yang berasal dari nama Hajar (istri Nabi Ibrahim) di sisi lain juga terkonfirmasi melalui tinjauan linguistik historis kata ma’an (kata dalam bahasa Arab yang berarti air) – yang merupakan nama kota di Yordania selatan yang menurut sejarahnya didirikan oleh orang-orang Minae. Nama orang Minae ini kuat dugaan saya berasal dari nama wilayah Mina dekat Makkah, dekat bukit Safa dan Marwah tempat Hajar mencari air untuk anaknya.
Demikianlah, dengan fakta bahwa kata ma’an dalam bahasa Arab pada dasarnya merujuk pada ‘mina’, tempat di mana kisah yang melegenda antara Hajar dan Air Zam-Zam terjadi, maka, asumsi kata air ataupun ayar sebagai kata yang merujuk pada nama Hajar, mestinya dapat pula dilihat sebagai hal yang mendasar dan masuk akal. Dengan kata lain sebutan “air/ ayar” yang digunakan dalam beberapa bahasa di Asia Tenggara dan sebutan ma’an yang digunakan dalam bahasa di Jazirah Arab, linguistik historisnya sama-sama merujuk pada legenda Hajar.
Tapi rupanya, masalah kesejarahan asal usul kata air tidak selesai sampai di sini. Karena rupa-rupanya, ada kemungkinan jika “pendukung” ibu sarah pun tidak ingin ketinggalan untuk merekam nama ‘sarah’ dalam catatan sejarah bahasa sebagai nama yang juga merujuk pada makna: air.
Bagi anda yang belum mengetahui riwayat keluarga Nabi Ibrahim, izinkan saya berikan flashback ringkas.
Hajar adalah istri kedua nabi Ibrahim. Sarah adalah istri pertama. Ketika Hajar melahirkan Ismail, Sarah merasa cemburu karena pada saat itu ia belum memberikan anak kepada nabi Ibrahim. menurut riwayat, dilandasi rasa cemburu itu, Sarah kemudian meminta Ibrahim membawa pergi Hajar dan putranya yang masih bayi ke suatu tempat di tengah padang pasir yang terpencil dan meninggalkan mereka di sana. Inilah kurang lebih kisah perseteruan antara keduanya yang tiba kepada kita generasi hari ini.
Awalnya, saya pribadi melihat kisah ini sebagai hal yang tidak perlu saya cermati. Saya pikir ini urusan nabi Ibrahim dan keluarganya-lah ngapain mesti cari tahu, lagian, sekalipun itu alasannya untuk menjadikan hikmah pembelajaran dalam kehidupan berumahtangga, kenyataannya, kan banyak kejadian serupa yang terjadi di masa sekarang.
Tapi rupanya, dalam konteks penelusuran linguistik historis asal usul kata air, prinsip itu mesti saya kesampingkan – agar dapat mencermati secara lebih jauh korelasi antara data sejarah, pelaku dan emosi yang melatarbelakanginya.
Hal ini mendesak, terutama setelah saya menemukan fakta bahwa dalam naskah Rigveda (RigVeda: 6.61; 7.95; dan 7.96) Sarasvathi adalah nama sungai surgawi, dan bahwa Kata Sarasvathi berasal dari akar kata ‘ Sarah ‘, yang berarti air. Dalam bahasa Sansekerta pun ‘saras’ (सरस्) diartikan “sebuah danau atau genangan air”.
Dalam Nighantu 1.12 (Nighaṇṭu adalah istilah bahasa Sanskerta untuk kumpulan kata-kata tradisional, dikelompokkan ke dalam kategori tematik) Sarah adalah salah satu sinonim untuk air.
Sarasvathi juga dipuja sebagai Sindhu-mata, dijelaskan oleh Sri Sayana sebagai ‘apam matrubhuta‘ prinsip induk dari semua air; dan juga sebagai ‘ Sindhunam Jalam va mata‘ – Ibu sungai, sumber abadi dari sejumlah sungai lainnya.
Dalam Buku 2 Rig veda, Saraswati digambarkan sebagai ibu terbaik dari sungai. Rgveda 2.41.16: Yang terbaik dari para ibu, yang terbaik dari sungai, yang terbaik dari dewi, Sarasvati.
Demikianlah, fakta yang tersaji dalam literatur Hindu yang sedemikian rupa membangun dan mengaitkan nama ‘sarah‘ mengarah kepada makna ‘air’, dalam pandangan saya secara kritis, bisa jadi, saya katakan sekali lagi “bisa jadi”, adalah upaya dari kubu pendukung sarah “yang tidak ingin kalah” dengan memori kolektif manusia yang telah lebih dahulu merekam kisah Hajar dan Air zam-zam dengan cara menyegel nama Hajar sebagai asal usul kata air/ ayar.
Dugaan saya ini setidaknya dikuatkan oleh fakta bahwa dalam beberapa bahasa yang digunakan di benua India tidak ada satupun di antaranya yang menggunakan kata sara atau saras sebagai sebutan untuk air. Dalam bahasa India air disebut paanee (पानी), dalam bahasa Punjabi disebut Paṇi (ਪਾਣੀ), dalam bahasa Telugu disebut Niṭi (నీటి ). Dengan demikian, terlihat bahwa upaya melekatkan nama sara/saras kepada makna “air” atau “sungai” hanya berhasil di tataran literatur saja, tidak berhasil merambah rana bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika dugaan ini benar maka, dapat dibayangkan selama ribuan tahun berlalu setelah kehidupan nabi Ibrahim dan keluarganya, persaingan antara kubu pendukung Sarah ataupun Hajar masih terus mewarnai generasi demi generasi setelahnya. Bahkan bisa dikatakan hingga hari ini, kisah Sarah dan Hajar masih menjadi polemik.
Demikianlah. Dari mencermati asal usul suatu kata, jika peka, kita dapat menangkap denyaran emosi dari orang-orang terdahulu yang mungkin akan terus menggema hingga akhir zaman nanti.
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.