-->

Mengapa "Karma" Jadi Inti Ajaran di Awal Peradaban Manusia?


Di awal saya menyelami tema ini, salah satu pertanyaan yang timbul dalam benak saya adalah: apa urgensinya karma menjadi tema utama kampanye orang-orang suci di masa kuno?

Untuk pertanyaan tersebut, saya mendapat gambaran jika kehidupan dan alam pikiran orang-orang di masa lalu yang akrab dengan hal-hal luar biasa yang datang dari figur “dewa-dewa”, yang tampaknya menjadi dasar dari kampanye tersebut.

Karena itu, penjabaran konsep karma tersebut menitik beratkan pemahaman bahwa: siapa pun dia… dewa, manusia setengah dewa, raja, atau pun manusia biasa, nasibnya dalam kehidupan sepenuhnya bergantung pada usahanya atau perjuangannya. Tidak ada yang dibeda-bedakan diantara kesemuanya.

Dengan kata lain, kesenjangan kualitas yang ada di antara entitas ini (“dewa”, “manusia setengah dewa”, manusia biasa) yang berusaha dijernihkan, sehingga tidak ada sikap arogansi pada individu yang memiliki kualitas unggul atau superioritas, dan tidak ada rasa pesimis pada individu yang memiliki kualitas biasa-biasa saja.

Jadi, apa yang kita lakukan atau perjuangkan hari ini, menentukan apa yang kita dapatkan di masa depan. Untuk lebih mudah memahami ini, saya beri contoh…

Jika hari ini kita pasrah hidup di daerah yang polusi udaranya tinggi, maka di masa mendatang, efek yang akan kita alami seperti memiliki kesehatan yang buruk. Hal sebaliknya akan kita temukan di masa mendatang jika pada hari ini kita berupaya atau berjuang untuk menghindari polusi udara tersebut.

Memahami makna “Kelahiran kembali” (Reinkarnasi)

Di dalam film “the rise of genghis khan”, ada adegan ketika Temujin (Genghis khan) berdialog dengan cenayangnya, yang menegaskan bahwa dalam mata batinnya ia melihat Temujin yang dihadapannya adalah temujin yang terlahir di tengah padang rumput dalam pelariannya setelah sempat tertawan cukup lama oleh musuhnya. Pernyataan cenayang itu mengilustrasikan bahwa momen di padang rumput, adalah momen di mana temujin memulai tekad barunya untuk bangkit menjadi sosok yang akan disegani di masa depan.

Saya melihat bahwa tampaknya seperti inilah sesungguhnya konsep “kelahiran kembali” dalam konsep karma. Yaitu sebuah bentuk metafora.

Illustrasi sejenis sebagai metafora untuk kematian dapat kita temukan pula di dalam dialog-dialog film. Misalnya dengan ungkapan… “Dia sesungguhnya telah mati beberapa tahun lalu, itu sejak anak istrinya pergi meninggalkannya…” Dengan metafora seperti ini, dalam kehidupan nyata, kita bisa mengalami “mati” dan “terlahir kembali” berkali-kali.

Dalam Konsep ajaran-ajaran di India “kelahiran kembali” menyertai doktrin karma. Umumnya dikatakan bahwa karma atau tindakan yang kita lakukan dalam “kehidupan” di masa ini, akan mempengaruhi kehidupan kita di “kelahiran” berikutnya. “Kelahiran kembali” ini yang akrab disebut “samsara” atau “roda samsara”. 

Simpelnya, dapat dikatakan Samsara adalah rangkaian karma (tindakan, perjuangan) yang tidak putus dalam kehidupan.

Roda Samsara (yang saya duga merupakan asal dari kata sengsara dalam bahasa Indonesia) dalam bahasa Sanskrit bermakna: “mengembara” dan/ atau “dunia.” Dari definisi ini dapat kita lihat jika “kematian” dan “kelahiran kembali” yang ada dalam konsep karma pada dasarnya terjadi di dalam kehidupan dunia.

Jejak pesan esensi tentang karma dalam warisan budaya kuno

Dalam tulisan sebelumnya “Pesan Sakral di Balik Aksara Lontara“, telah saya bahas mengenai pesan sakral tentang karma yang terdapat dalam susunan aksara Lontara.

Pesan dalam aksara Lontara tersebut identik konsep penyajiannya dengan pesan yang terdapat dalam susunan aksara Hanacaraka (yang juga tersusun sebagai sebuah pesan atau cerita).

berikut ini pesan sakral tersebut…

(dokpri)
aksara Lontara dan penafsiran makna yang dikandung (dokpri)

KA – GA – NGA – NGKA
“Takdir” dan perjuangan kita di dalamnya,  yang membuktikan bahwa “kita ada”.

PA – BA – MA – MPA
Perjuangan itu menentukan, kita mendapat tiket apa untuk memasuki gerbang yang mana…

TA – DA – NA – NRA
Dia yang “besar”, adalah yang berjuang untuk orang banyak.

CA – JA – NYA – NCA
Setelah berjaya… tidak “meninggalkan jejak”, ia dikenang menurut nama panggilan atau gelar saja.

YA – RA – LA – WA
Inilah tatanan prinsip dasar yang anggun…

SA – A – HA
Menyebarlah / sebarlah seluas-luasnya…

Sejujurnya untuk mengungkap pesan dalam susunan aksara lontara ini butuh pendalaman atau bisa dikatakan butuh intuisi… ๐Ÿ™‚ dikarenakan, pesan sakral tersebut tidak tersusun secara gamblang, tapi hanya merupakan jejeran bentuk kata inti yang butuh penafsiran lebih lanjut sehingga dapat tersaji menjadi kalimat naratif yang mudah dipahami.

Misalnya pada susunan aksara KA – GA – NGA – NGKA…

 KA dalam aksara Cina artinya “kartu”, dimaknai sebagai metafora “takdir”.

GA dalam aksara Cina artinya “karma”, dimaknai sebagai metafora “tindakan atau perjuangan”

NGA dan NGKA jika dicermati dalam bentuk bahasa Bugis, dapat dipahami sebagai bentuk “na-ngka” artinya: “sehingga ada” (na=sehingga; ngka=ada).

Jadi, jika disusun dalam bentuk kalimat yang mudah dipahami, pesan tersebut berbunyi: “Takdir” dan Perjuangan yang kita lakukan di dalamnya, yang membuktikan bahwa kita ada.

Dikenal sebagai “Karma” di tradisi Hindu-Buddha, “Gรก” di tradisi Cina dan “Ga” di tradisi Bugis. Semua ini artinya sama: tindakan atau perbuatan. Pada masa sekarang, orang Bugis tidak lagi tahu jika huruf GA dalam Lontara sebenarnya mengandung makna: “Karma / Perbuatan”. Tetapi untungnya, jejaknya masih dapat ditemukan dalam bahasa Bugis dan bahasa Tae’, yaitu pada kata ‘GAU’ yang artinya “Perbuatan”. Wajar terlupakan karena memang ini pemahaman yg sudah sangat kuno. Kata ‘GAU’ ini yang sangat mgkn terserap menjadi kata ‘KAU’ dalam bhs. Indo. Jadi, dalam kata ‘KAU’ terkandung makna filosofis: “KAU ADALAH APA YANG KAU LAKUKAN” ( YOU ARE WHAT YOU DO)

Pembahasan tentang “perjuangan” dalam pesan aksara Lontara silahkan anda baca di tulisan sebelumnya “Pesan Sakral di Balik Aksara Lontara” – Saya sungguh sangat menyarankan ada juga membaca tulisan ini, penting soalnya.. ๐Ÿ™‚

Sekian uraian ini. Semoga bermanfaat. Salam.

LihatTutupKomentar