Dalam budaya Hellenistik pada masa kerajaan Ptolemeus di Mesir kuno, ‘Cella’ merujuk pada apa yang tersembunyi, dirahasiakan, dan merupakan tempat paling suci pada sebuah kuil.
Kondisinya berada dalam kegelapan total, yang dimaksudkan sebagai representasi keadaan alam semesta sebelum penciptaan. Hanya para imam yang memiliki akses ke bagian dalam cella yang tetap tidak terlihat oleh publik.
Kuil-kuil di Yunani ataupun Romawi kuno juga menyebut ‘Cella’ untuk ruangan kecil, yang dianggap paling suci tempat ibadah para pertapa atau pun biarawan. Umumnya letaknya berada di tengah bangunan, dan biasanya dihiasi gambar atau patung dewa tertentu yang dikultuskan di kuil tersebut, serta juga ditempatkan meja altar tempat meletakkan persembahan.
Pada Arsitektur kristen di masa Bizantium awal, Cella atau naos di tempatkan di area pusat gereja yang disediakan untuk melakukan liturgi. Dalam periode selanjutnya, sebuah kapel kecil atau sel biarawan juga disebut cella.
Dalam bahasa Latin di awal abad ke-12, kata cella berarti “biara kecil”, lalu kemudian dimaknai “ruangan kecil untuk seorang biarawan atau biarawati” atau “tempat tinggal seorang pertapa” di sekitar tahun 1300-an.
Para ahli bahasa menganggap kata ‘cella’ bertalian dengan kata ‘celare’ yang berarti ‘menyembunyikan’ atau ‘merahasiakan’, juga terkait dengan kata Proto-Indo-Eropa “kel” yang artinya “untuk menutupi; menyembunyikan; menyelamatkan.” (sumber di sini)
Dari waktu-waktu pemaknaan kata cella terus mengalami perkembangan, hingga pada masa sekarang menjadi kata ‘sel’ dalam studi biologi, sel untuk ruangan penjara, dan banyak lagi.
Lalu dari manakah sesungguhnya kata ‘cella’ ini berasal?
Mengapa dari sejak masa Mesir kuno, Yunani kuno, hingga Romawi kuno, ‘Cella’ digunakan untuk menyebut tempat paling sakral dan suci dalam sebuah kuil?
Anehnya, untuk hal yang sangat penting karena menyangkut sesuatu yang sangat sakral, literatur yang memberi penjelasan tentang asal usul kata ‘cella’ sejauh ini tidak saya temukan.
Awalnya saya berpikir bahwa karena kata ‘cella’ bisa dikatakan terkait langsung dengan bagian inti ritual keagamaan, maka mestinya ia terjaga dalam hal riwayat asal-usulnya, maknanya, dan eksistensinya.
Sayangnya, tampaknya hanya eksistensinya saja yang masih terjaga, dalam artian masih tetap terus digunakan. Di sisi lain, maknanya terus mengalami perkembangan, sementara asal-usulnya tampaknya telah terlupakan.
Fenomena ini seperti mengisyaratkan dengan nyata makna dari kata ‘cella’ yaitu: yang ditutupi, disembunyikan, dan dirahasiakan. Bahwa ia memang sungguh-sungguh berhasil ditutupi, disembunyikan, dan dirahasiakan.
Namun demikian, peluang untuk mendapatkan jawaban mengenai asal usul kata ‘cella’ tidaklah berarti telah tertutup sepenuhnya. Peluang untuk itu masih ada namun saya akui bernilai spekulatif. Berikut ini bentuk hipotesisnya..
Dalam tulisan saya yang berjudul “Lombok Merah (Cella Passe), Nama Kuno Pulau Sulawesi” dan “Sulawesi: Disebut K’u-lun dalam Kronik Cina dan Gurun dalam Kitab Nagara Kretagama” telah saya jelaskan jika Lombok merah atau Gurun yang disebutkan dalam pupuh 14 Kakawin Nagara Kretagama, merujuk pada nama pulau Sulawesi di masa kuno.
Berikut ini Pupuh 14 Kakawin Nagara Kretagamaa saya kutip kembali :”Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantalayan di wilayah Bantayan beserta Kota Luwuk, Sampai Udamaktraya dan pulau lain-lainnya tunduk…”
Salah satu pertimbangan yang mendasari klaim ini, adalah setelah menganalisa bunyi “sumpah palapa” dari Pati Gajah Mada : “Lamun huwus kalah nusantara insu amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
Dalam sumpah palapa, wilayah Gurun juga disebutkan oleh Pati Gajah Mada sebagai salah satu wilayah yang ingin ia persatukan.
Pada hari ini, sembilan wilayah lainnya (Haru, Pahang, Tumasik, Palembang, Tanjung Pura, Sunda, Bali, Dompu, dan Seram) telah teridentifikasi dengan baik, tersisa wilayah Gurun saja yag pada hari ini masih diperdebatkan banyak kalangan.
Ada pendapat yang mengatakan Gurun berada di wilayah Nusa Tenggara, bahkan ada yang mengklaimnya berada di dekat pulau Seram.
Sementara itu, jika mengamati nama-nama wilayah yang disebutkan Pati Gajah Mada, terlihat jelas jika nama-nama wilayah tersebut mewakili secara keseluruhan pulau-pulau yang ada di Nusantara, dan terlihat jelas niatnya untuk mempersatukan seluruh wilayah di Nusantara.
Karena itu, logikanya, jika wilayah Gurun bukanlah pulau Sulawesi, maka pertanyaannya, mengapa Pati Gajah Mada tidak menargetkan Pulau Sulawesi?
Demikianlah, tentu akan menjadi suatu hal janggal jika Pati Gajah Mada tidak menyebutkan pulau Sulawesi sebagai salah targetnya untuk menyatukan wilayah nusantara.
Dengan mengidentifikasi bentuk Ku Lun sebagai Gu Lun maka didapatkan makna harafiahnya sebagai “manusia pedagang” hal ini terkait dengan terjemahan Pelliot atas kata ‘sa-po’ Sebagai “orang Sabaen”, sementara itu dalam uraian Fa Hsien tentang Sri Lanka, ia menyatakan, sa-po berarti sarthavaha atau “kepala saudagar”.
Di sisi lain, orang Bajo atau Bajao atau Bajoe sendiri menyebut diri mereka “Orang Sama,” yang dalam hal ini, dapat diduga bahwa “Sama” merupakan bentuk lain dari “Saba” yang telah mengalami perubahan fonetik b menjadi m yang umum terjadi pada kelompok fonetik labial.
Jadi, ‘sa-po, sabaean, atau pun bajou, adalah sebutan untuk orang yang sama yang menghuni pulau Sulawesi di masa kuno. (untuk penjelasan lebih detail silahkan baca di sini)
Tinjauan lainnya bahwa Gurun atau Lombok Merah adalah sebutan Pulau Sulawesi di masa kuno, dapat kita temukan pada sebutan “Lombok Merah” dalam bentuk bahasa Tae yakni: ‘Cella Passe’ (cella / cili = merah, passe / pesse =lombok).
Pada hari ini, orang-orang di Sulawesi Selatan sangat akrab dengan slogan “Siri na Pesse” yang dianggap mewakili prinsip-prinsip ideal yang dijunjung tinggi. Namun, saya pribadi melihat jika pada dasarnya kalimat itu merupakan bentuk morfologi fonetis dari “Cili Pesse” atau “cella pesse”.
Dalam tinjauan yang lebih jauh, ‘Cili Pesse’, atau ‘Siri Pesse’, bentuk transliterasinya dapat kita temukan dalam naskah kronik Cina sebagai “Shili Foshi”, yang selama ini diklaim sebagai bentuk transliterasi untuk nama Sriwijaya oleh para sejarawan. ‘Shili’ memang dapat diterima dekat dengan bentuk ‘Sri’, tetapi bentuk ‘Foshi’ jelas tidak memiliki keterkaitan fonetis dengan ‘wijaya’.
Demikianlah, uraian di atas rasanya telah cukup memberi argumentasi bahwa di masa lalu Sulawesi pernah disebut sebagai ‘Cella Passe’.
Pada beberapa abad kemudian, kata ‘Cella’ kemudian beralih makna menjadi sebutan untuk laut atau perairan yang mengantarai dua daratan atau pulau, yang hari ini kita kenal dengan sebutan ‘selat’.
Dalam catatan orang-orang Portugis yang mengunjungi Nusantara sebelum masa kolonial, orang laut atau orang Bajou disebut ‘orang cellates’. Sebutan Cellates ini pun pada dasarnya pernah pula digunakan oleh orang-orang di timur tengah untuk menyebut pelaut-pelaut dari Nusantara.
Lalu bagaimana sehingga fakta-fakta yang diurai di atas dapat dikaitkan dengan ‘cella’ yang merupakan tempat paling suci dalam kuil-kuil bangsa Mesir, Yunani hingga Romawi?
Bangunan hipotesis untuk hal ini dapat kita temukan pada riwayat dalam tradisi Mesir Kuno yang percaya bahwa negeri leluhur mereka berada di suatu tempat di timur, yang mereka sebut tanah punt, dan biasa juga disebut Ta netjer yang artinya “Tanah Dewa”.
Punt dengan bentuk bacaan Egyptological ‘Pwene‘ bisa jadi merujuk pada kata ‘buana‘ atau ‘banua‘, tapi ada juga kemungkinan merujuk pada sebutan ‘poni‘ sebuah kerajaan kuno di Nusantara yang ada disebut dalam kronik Cina. Sementara ‘Ta netjer‘ mungkin dapat dipertimbangkan terkait dengan kata ‘tanete’ (yaitu kata kuno dalam bahasa di Sulawesi Selatan untuk menyebut tanah datar di atas ketinggian, atau di atas gunung).
Satu hal lagi yang menarik untuk dicermati adalah bahwa gelar-gelar bangsawan di Sulawesi Selatan umumnya merupakan nama-nama dewa tertinggi di bangsa-bangsa kuno.
Misalnya, gelar pettah dalam masyarakat Bugis identik dengan ‘Ptah‘ yaitu dewa tertinggi di Mesir kuno.
Nama Tenri atau Tanri (seperti pada Tanri Abeng) sebagai nama yang hanya khusus digunakan keluarga bangsawan di Sulawesi selatan pada masa kuno, identik bahkan bisa dikatakan sama dengan ‘Tanri‘ atau ‘Tengri‘ yang merupakan nama Dewa tertinggi bangsa Turk maupun Mongolia.
Demikianlah, dengan gambaran yang telah disampaikan dalam uraian di atas, saya menduga jika sebutan ‘cella’ untuk nama tempat paling sakral dalam kuil-kuil bangsa Mesir, Yunani ataupun Romawi, berasal dari nama Pulau Sulawesi. Mereka menggunakan nama tersebut sebagai suatu wujud simbolis keberadaan ‘tanah suci” (tempat di mana dewa mereka bersemayam) dalam bangunan kuil mereka.
Hipotesis saya bahwa ‘Pulau Sulawesi’ merupakan asal dari sebutan CELLA, bisa dikatakan terkonfirmasi pada padanan kata Cella, yakni ‘NAOS’. Kata ‘naos’ merupakan derivasi dari kata Yunani ‘nesos’, ‘nisos’, atau ‘nisi’ yang berarti “pulau”. Dan terkait pula dengan kata ‘nusa’ yang dalam bahasa Indonesia juga berarti pulau. (baca ulasannya dalam artikel ini: Bentuk Morfologi Kata “Kapal, Pulau, dan Kuil” Buktikan Beberapa Bahasa Dunia Memiliki Asal-usul DNA yang Sama)
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.