Dalam buku Hermeneutika Sastra Barat dan Timur (2014: 168), Prof. Abdul Hadi W.M. mengungkap dominannya simbol kebaharian (laut, kapal atau perahu) digunakan dalam puisi sufi Melayu untuk menggambarkan perjalanan ruhani atau pengalaman mistik.
Vladimir Braginsky,seorang Profesor bahasa dan budaya Asia Tenggara, dalam tulisannya Some remarks on the structure of the “Sya’ir Perahu” by Hamzah Fansuri, mengatakan: “kami menemukan sufi Sumatera yang paling awal menggunakan “simbolisme perahu” dalam beberapa karya Hamzah Fansuri, seorang mistikus dan penyair Sumatera di paruh kedua abad 16 hingga awal abad ke 17. Gambaran yang kurang lebih eksplisit tentang pelayaran mistik dengan perahu atau kapal ditemukan dalam banyak puisinya.” [In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 131 (1975), no: 4, Leiden, 407-426]
Menurut Prof. Abdul Hadi (ibid hlm. 169), Penggunaan simbol laut dan kapal (kebaharian) terutama untuk menggambarkan kekuasaan Tuhan, tatanan wujud dalam metafisika sufi, atau pokok ajaran sufi. Badan perahu diumpamakan sebagai syari’at, peralatan perahu sebagai tariqat, muatannya sebagai haqiqat, dan laba yang diperoleh sebagai ma’rifat.
Contoh terbaik dominannya penggunaan simbol kebaharian, tampak dalam syair-syair Hamzah Fansuri dan para pengikut tarekatnya di Sumatera pada abad ke-17 dan 18 M. Judul-judul syair Hamzah Fansuri berkenaan dengan simbol laut dan pelayaran, di antaranya, Syair bahr al-‘Ulya (Lautan Yang Mahatinggi), Syair Ikan Tongkol, Syair Bahr al-Butun (Lautan Batin), Syair al-Haqq, Syair Ikan Gajahmina, dan lain-lain.
Tamsil laut dan dunia pelayaran dalam syair-syair Melayu, dengan melihat konteks penggunaannya, Menurut Prof. Abdul Hadi, digali dari tiga sumber utama, yaitu (1) Al-Quran; (2) Tradisi sastra sufi Arab dan Persia; (3) sejarah datang dan berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara yang melibatkan para pedagang, dan pelayaran yang mereka lakukan ke Asia Tenggara secara beramai-ramai.
Melalui tamsil-tamsil laut dan pelayaran, para penyair Melayu mengungkapkan alam keruhanian, termasuk pandangan dunia (weltanschauung), sistem nilai, wawasan estetik, dan pandangan hidup mereka yang diresapi oleh ajaran Islam atau ajaran Islam sebagaimana ditafsirkan oleh ahli-ahli tasawuf.
Penggunaan simbol kebaharian telah dimulai jauh sejak masa kuno.
Membaca pemaparan Prof. Vladimir Braginsky dan Prof. Abdul Hadi tentang tema ini, tergambar bagi saya jika beliau-beliau ini sepertinya meyakini jika baru setelah munculnya peradaban Islam di dunia Melayu, simbol-simbol tentang laut dan pelayaran menjadi dominan dalam ekspresi keagamaan.
Memang ada dalam pemaparannya, Prof. Abdul Hadi mengatakan bahwa, penggunaan simbol laut dan pelayaran tersebut, tidak muncul serta merta tanpa proses sejarah tertentu… Sebelum datangnya agama Islam, penggunaan simbol-simbol ini dijumpai dalam banyak folklor, misalnya untuk menggambarkan perjalanan atau pelayarann ruh orang yang mati menuju alam lain.
Tetapi, pandangan ini saya pikir terlalu sederhana untuk menggambarkan seperti apa penggunaan simbol kebaharian dalam dunia keagamaan di masa kuno.
Tema ini sebenarnya telah saya bahasa dalam beberapa tulisan saya sebelumnya. Dalam artikel Cella dan Naos, Kata Kuno yang Bisa Berarti: Kuil, kapal dan Pulau misalnya, saya telah menunjukkan bahwa sebutan cella, naos, atau pun shrine, yakni kosakata yang merujuk pada makna “kuil” dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, di sisi lain, secara etimologi, juga menyandang makna “pulau” dan “kapal”.
Karena makna “pulau” dan “kapal” untuk kata cella, naos, atau pun shrine, hanya dapat kita temukan jika meninjaunya secara etimologi, maka, dapat diduga jika dalam hal ini, kita berurusan dengan sesuatu yang berasal dari masa yang telah benar-benar lampau.
Tentunya, terkait fenomena ini, mesti timbul pertanyaan: mengapa dimensi keagamaan menggunakan fitur kebaharian? – yang nampaknya, telah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, karena kata cella misalnya, telah digunakan di zaman kuno klasik (abad 8 SM – abad 6 M) untuk menyebut ruang kecil di tengah kuil Yunani atau Romawi kuno.
Ruang ‘cella’ dianggap paling sakral sehingga sangat terbatas orang dapat mengakses. Dalam budaya Helenistik Kerajaan Ptolemeus di Mesir kuno, ‘cella’ mengacu pada apa yang tersembunyi dan tidak diketahui di bagian dalam sebuah kuil Mesir dan merupakan bagian yang paling suci.
Interpretasi filosofis yang dapat dibangun dalam mencermati fenomena sebutan “kuil” terlahir dari makna “pulau” atau pun “kapal” pada masa kuno adalah bahwa, bisa jadi orang di masa itu melihat kehidupan di dunia ini analoginya seperti berada dalam sebuah lautan samudera yang luas.
Kehidupan yang ada di luar kuil (di luar “pulau atau kapal”) adalah kehidupan yang liar seperti gelombang laut yang ganas. Sementara kehidupan di dalam kuil terutama di dalam ‘cella‘ adalah simbolisasi inti kesadaran yang merupakan sumber ketenangan hidup.
Saya pikir ada kemungkinan bahwa, di tahap paling awal di mana konsep tersebut dilahirkan, yang merintis adalah bangsa Fenesia, sebuah bangsa berjiwa bahari yang dalam sejarah tercatat memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan terbukti memberi sumbangsih ilmu pengetahuan dan ajaran kehidupan keagamaan yang signifikan dalam perkembangan peradaban manusia.
Ini setidaknya sejalan dengan apa yang diungkap oleh L. A. Waddell (1925), dalam bukunya The Phoenician Origin of Britons, Scots & Anglo-Saxons : …sekarang ditemukan bahwa agama agung dari Aryan Phoenicians, yang disebut “penyembahan-matahari,” dengan etika dan keyakinannya yang luhur untuk kehidupan di masa depan tentang adanya kebangkitan setelah kematian, secara luas lazim di awal Inggris hingga era Kristen. [L. A. Waddell. The Phoenician Origin of Britons, Scots & Anglo-Saxons (London: Williams and Norgate, 1924) hlm. xi]
Juga yang diungkap Sandro Filippo Bondi: “Sejarah yang bisa disebut Fenisia dimulai pada abad ke-12 SM (…) sejak periode ini dan seterusnya [mereka] menunjukkan perbedaan yang mencolok (…) konsistensi batin yang kuat dalam hal bahasa, keyakinan agama, ekspresi artistik, serta organisasi politik dan administrasi” – The Course of History, Sandro Filippo Bondi. [Sabatino Moscati. The Phoenicians (London & New York: I. B. Tauris, 2001) hlm. 30]
Demikianlah, bisa dikatakan, memang hanya bangsa yang berjiwa bahari saja yang dapat membenamkan filosofi kehidupan maritimnya hingga ke aspek keagamaan. Hal inilah yang kemudian dapat kita lihat dilakukan oleh para sufi Melayu dalam mengekspresikan perjalanan ruhani atau pun pengalaman mistikalnya.
Setidaknya, ini tergambar dari perbedaan perangkat simbol yang digunakan sufi Timur Tengah klasik dengan sufi Melayu. Menurut Vladimir Braginsky, Simbol yang paling umum digunakan untuk merepresentasikan konsep jalan spiritual dalam tradisi Sufi Timur Tengah klasik adalah tema erotis (erotic) dan mabuk (vinous).
***
Hal yang menarik untuk menjadi renungan terkait interpretasi filosofis bahwa kehidupan yang ada di luar kuil (di luar “kapal”) adalah kehidupan yang liar layaknya gelombang laut yang ganas, sementara kehidupan di dalam kuil terutama di dalam ‘cella‘ adalah simbolisasi inti kesadaran yang merupakan sumber ketenangan hidup, akan menghadapi tantangan yang signifikan ketika dihadapkan pada situasi yang digambarkan dalam film Life of Pi.
Di mana dalam film tersebut, Pi Patel (tokoh utama film) harus berbagi tempat dengan seekor harimau benggala bernama Richard Parker di dalam sebuah sekoci, setelah kapal barang yang mereka tumpangi dalam pelayaran menuju Kanada karam diterjang badai.
Dalam waktu yang cukup lama, terjadi “pergulatan” perebutan tempat di dalam sekoci antara Pi dan Richard Parker. Karena takut dimangsa, Pi akhirnya memutuskan membuat rakit darurat untuk dirinya yang ia kaitkan pada sekoci dengan seutas tali. Ada kesempatan di mana Pi dapat membunuh Richard Parker, yaitu ketika harimau itu terjatuh kelaut, tapi Pi tidak membunuhnya, bahkan menolongnya naik kembali ke atas sekoci.
Ketegangan antar keduanya terus berlangsung, hingga suatu ketika, sebuah badai besar memaksa Pi menyelamatkan diri dengan naik ke sekoci, sementara rakit daruratnya hanyut terbawa ombak.
Setelah Badai besar itu berlalu, Pi dan Richard Parker berada dalam kondisi tubuh lemah tak berdaya. Tenaga mereka terkuras habis setelah dalam waktu yang cukup lama berupaya bertahan dalam guncangan hebat yang ditimbulkan badai tersebut. Sejak hari itu keduanya berdamai, hidup berdampingan dalam sekoci yang sama.
Demikianlah, saya pribadi melihat film ini mengusung pesan spiritual yang sangat tinggi, bahwa, tempat tenang sejati itu hanya akan hadir ketika kita mau berdamai. Menghindar dari kerasnya kehidupan dunia dengan menjadi seorang pertapa di tempat sepi sekalipun, kenyataannya, tetap akan menemukan “pertempuran” dalam diri sendiri. Sekian.