Ketika Wilhelm von Humboldt mengatakan, “…Suara-suara tidak menjadi kata-kata sampai sebuah makna dimasukkan ke dalamnya, dan makna ini mewujudkan pemikiran suatu komunitas…” [The Encyclopaedia Britannica, 1881 hlm. 346] ia mungkin terlupa untuk menambahkan kalimat bahwa, kebiasaan mengutarakan sesuatu secara metafora pada manusia (pada masa kuno) adalah penyebab lebih lanjut terjadinya perkembangan secara pesat kata-kata dalam perbendaharaan bahasa manusia. Hal ini misalnya dapat kita cermati terjadi pada sebutan “cella” (ruangan kecil dalam sebuah kuil yang merupakan tempat paling disakralkan) yang dalam bahasa Yunani kuno disebut ‘naos’, yang secara harafiah berarti “kapal”. Di sisi lain, kata sinonim lainnya untuk cella dan naos adalah: shrine (kuil).
Agar lebih mudah memahaminya, ada baiknya jika saya perjelas saja bahwa kata ‘cella‘, ‘naos‘, dan ‘shrine‘ merujuk pada satu makna yang sama, yaitu: kuil. Tapi, ketiga kata ini juga mengandung makna: “kapal” dan “pulau”.
Naos yang dapat berarti “kapal” dan “pulau”
Informasi dari wikipedia di bawah ini menunjukkan jika kata ‘naos’ dalam bahasa Yunani memiliki makna “kapal”…
Di sisi lain, dapat diduga jika kata ‘naos’ merupakan derivasi dari kata Yunani ‘nesos’, ‘nisos’, atau ‘nisi’ yang berarti “pulau”. Dan terkait pula dengan kata ‘nusa’ yang dalam bahasa Indonesia juga berarti pulau.
Adanya ungkapan “tanah terbawa angin” pun pada dasarnya menunjukkan makna bahwa di masa lalu ada kemungkinan sebuah kapal dilihat sebagai tanah atau pulau yang terbawa angin.
Di sisi lain, tinjauan perubahan fonetis antara kata ‘pulau’ dan ‘prahu’ (di mana antara fonetis r dan l kita ketahui seringkali bertukar satu sama lain) juga pada dasarnya menunjukkan keterkaitan.
‘Cella’ dan ‘Shrine’ merupakan nama sebuah pulau
Dalam tulisan sebelumnya (Asal Usul Sebutan “Cella” untuk Ruang Paling Sakral di Dalam Kuil) telah saya ulas bahwa kata ‘cella’ yang merupakan bagian tersakral pada sebuah kuil pada dasarnya berasal dari nama kuno pulau pulau Sulawesi yaitu “cella pesse” yang berarti lombok merah (dalam bahasa tae’ cella=merah; pesse=lombok).
Sementara itu dalam tulisan lainnya (Pulau “Serendip Asli”, Letak Gua Adam Sesungguhnya) telah saya bahas pula jika sebutan pulau serendip atau ceylon besar kemungkinan merujuk pada pulau Sulawesi pula.
Hal yang paling menguatkan untuk hipotesis bahwa sebutan ceylon ataupun serendip sesungguhnya merujuk pada pulau Sulawesi terdapat pada makna kata ‘cella‘ yang berari “merah” dalam bahasa Tae’.
Merujuk pada Pendapat M. Ramachandran dalam bukunya “The spring of the Indus civilisation” ((1991 :34) yang mengatakan bahwa Pada masa lalu Srilanka dikenal sebagai “Cerantivu” (bentuk awal dari serendip) yang artinya “pulau Cera“. [kata “tivu” artinya “pulau” dalam bahasa Tamil].
Kata ‘Cera‘ sendiri dianggap M. Ramachandran merujuk Dinasti Chera yang berkuasa di India Selatan pada masa kuno. Tapi, yang menarik karena dalam bahasa lokal di sulawesi selatan, ‘cera’ dapat berarti “darah” dan lebih jauh dapat pula dimaknai “warna merah”. Jadi, Cerantivu atau pulau Cera dapat dikatakan bermakna sebagai “pulau merah”.
Dari penjelasan di atas, dapat kita lihat jika kata ‘cella’ merujuk pada nama sebuah pulau, sementara kata ‘shrine’ dapat diduga merupakan bentuk derivasi dari kata seren-dip, yang juga merupakan nama pulau, yaitu nama pulau Sulawesi di masa kuno.
Interpretasi filosofis yang dapat dibangun dalam mencermati fenomena sebutan “kuil” terlahir dari makna “pulau” atau pun “kapal” pada masa kuno, adalah bahwa, bisa jadi orang di masa kuno melihat kehidupan di dunia ini analoginya seperti berada dalam sebuah lautan samudera yang luas.
Kehidupan yang ada di luar kuil (di luar “pulau atau kapal”) adalah kehidupan yang liar layaknya gelombang laut yang ganas. Sementara kehidupan di dalam kuil terutama di dalam ‘cella’ adalah simbolisasi inti kesadaran yang merupakan sumber ketenangan hidup.
Makna “merah” yang diserap untuk makna “pulau”, “negeri”, ataupun “kapal” dalam beberapa tradisi suku bangsa di dunia.
Hal menarik lainnya, yaitu, sebutan kata pulau dalam bahasa Icelandic yaitu “eyja” pada dasarnya bermakna “merah” pula dalam bahasa lokal di Sulawesi Selatan. Kata ‘eja’ yang berarti “merah” dapat kita temukan digunakan PSM dalam julukannya yaitu “Juku Eja” yang berarti: Ikan Merah.
Dalam bahasa Lydia (bahasa yang digunakan antara tahun 700-200 SM di Anatolia barat atau Turki pada hari ini) kata ‘Bira’ berarti: Rumah, yang kemungkinannya dapat pula bermakna ‘negeri’. Kata ‘Bira’ dapat diduga terkait dengan kata ‘Mira’ yang berarti “merah”.
Dalam bahasa Sanskerta/ India, khususnya di wilayah timur Uttar Pradesh, kata Beera berarti “berani”, yang kita ketahui merupakan perlambangan sifat dari warna merah.
Dalam tradisi orang Indian “Wyandot” yang menghuni kawasan Amerika Utara, kata ‘Myeerah’ memiliki hubungan erat dengan makna bahari.
Dalam tradisi mereka Myeerah berarti “Berjalan di Air.” Karena itu nama ini biasa digunakan sebagai nama kapal. (sumber di sini) Dalam tradisi suku Wyandot ini, dapat diduga jika sifat “merah berarti berani” mendasari makna ‘Myeerah’ dalam tradisi mereka yang menunjukkan sifat berani dalam tradisi bahari mereka, yaitu berani mengarungi lautan.
***
Demikianlah, ulasan di atas menunjukkan fakta bahwa, dengan cara yang luar biasa bahasa berkembang dalam peradaban manusia. “Cella” sebagai nama sebuah pulau, dan di sisi lain sebagai sebuah kata yang bermakna “merah” (dengan beberapa kata turunannya: mira, bira, cella, cera, eja) telah bermorfologi melahirkan kata-kata baru dalam tradisi bahasa pada berbagai suku bangsa di dunia.
Di sisi lain, fakta ini menunjukkan fenomena unik yang terjadi dalam morfologi bahasa, di mana kata “kapal dan pulau” serta kata “kuil” yang mendasari konsep filosofisnya dari kehidupan maritim, berasal dari makna “merah” yang berarti berani.
Jadi kita mungkin dapat menafsirkan pula bahwa, makna “merah” yang berarti berani, terkait erat dengan filosofi kehidupan maritim di masa kuno, selain itu, nampaknya telah menginspirasi pula filosofi kehidupan keagamaan di masa tersebut.
Atau mungkin, bisa jadi inilah penjelasan lebih jauh untuk hipotesis yang diajukan para ahli yang menekuni studi sejarah bangsa phoenicia (bangsa maritim terbesar di masa kuno), yang mengatakan bahwa bangsa Phoenicia telah menyebarkan peradaban dan aspek kehidupan keagamaan di wilayah-wilayah taklukannya.
Karena hanya bangsa yang berjiwa bahari saja yang akan membenamkan filosofi kehidupan maritimnya hingga ke aspek keagamaan.
Selain itu, persebaran konsep tersebut yang mencapai wilayah orang nordic di ujung utara bumi, yang berlangsung pada masa kuno, hanya bangsa laut sebesar bangsa Phonecia sajalah yang sejauh ini membuktikan kemampuan dapat melakukan hal tersebut.
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.