-->

Siapa Sesungguhnya Orang Phoenicia?


Berbicara tentang bangsa Maritim di masa lalu, rasanya tidak akan lengkap jika tidak membahas bangsa Phoenicia. Phoenicia adalah bangsa maritim ulung, yang menurut catatan adalah bangsa yang membantu Nabi Sulaiman membuat armada laut, sehingga memungkin bangsa Ibrani mengarungi lautan. 

Hal ini sebagaimana yang diungkap Jawwad Ali dalam bukunya “Sejarah Arab sebelum Islam, Vol. I — Geografi, Iklim, Karakteristik, dan Silsilah (2018: 607),  Merupakan terjemahan dari judul asli: Al-Mufashshal fi Tarikh al-‘Arab Qabla al-Islam — Jawwad Ali (1968) – Yang nampaknya, disadur Jawwad Ali dari Kitab Raja-raja Pertama, Pasal 9 ayat 26:

“Sulaiman pergi ke laut untuk berdagang dengan negeri yang berada di pesisir-pesisir dan untuk mendatangkan barang-barang yang dibutuhkan bangsa Ibrani. Lalu, ia membangun armada dagang di Ashiyum Jabir (Ezion Geber) Teluk Aqabah, di sebelah Ailah (Ailut, Eloth Ilat, Elath) yang termasuk wilayah Adum. 

Teluk Aqabah dikenal dengan nama Laut mati, atau Yam-Soph dalam bahasa Ibrani. Sebelum bangsa Ibrani mengenal laut, Sulaiman meminta bantuan pada Hiram Raja Shur untuk menjalankan armada dan melatih bangsa Ibrani mengarungi lautan. Lalu, ia memenuhinya dengan para ahli dari Shur dan dibantu orang Sulaiman. Kemudian mereka mengarungi lautan hingga ke Ufir. Mereka mengambil emas dari sana sebanyak 420 timbangan dan diberikan kepada Sulaiman.

Hiram yang membantu Sulaiman membuat armada laut, adalah Raja Phoenicia dari Tirus (nama lain dari Sour atau Shur) menurut Kitab Ibrani. 

Hiram (huram atau horam) sebelum menjadi aliansi Sulaiman, juga merupakan sekutu Nabi Daud. Hiram banyak membantu Daud dalam pembangunan Istananya dengan mengirimkannya pekerja-pekerja yang terampil. 

Setelah kematian Daud, Hiram masuk ke dalam aliansi Sulaiman, yang sangat membantunya dalam membangun bait suci. Mengenai hal ini. berikut beberapa kutipan dari Kitab Ibrani:

  • 1 Raja-raja 5:1 — Ketika Hiram, raja Tirus mendengar bahwa Salomo telah menjadi raja yang diurapi untuk menggantikan ayahnya, Daud, ia mengirim utusannya kepada Salomo, karena ia selalu bersahabat dengan Daud.
  • 1 Raja-raja 9:11 — Raja Salomo memberi dua puluh kota di Galilea kepada Hiram, raja Tirus, karena Hiram telah memberinya semua kayu aras dan juniper dan emas yang diinginkannya.
  • 1 Raja-raja 9:27 — Dan Hiram mengirim orang-orangnya – pelaut yang tahu laut — untuk melayani dalam armada dengan orang-orang Salomo.
  • 1 Raja-raja 10:11 — (Kapal-kapal Hiram membawa emas dari Ofir, dan dari situ mereka membawa muatan besar dari kayu gaharu dan batu-batu berharga.
  • 1 Raja-raja 7: 13-14 — (13) Kemudian raja Salomo menyuruh orang menjemput Hiram dari Tirus. (14) Dia adalah anak seorang janda dari suku Naftali, sedang ayahnya orang Tirus, tukang tembaga; ia penuh dengan keahlian, pengertian dan pengetahuan untuk melakukan segala pekerjaan tembaga; ia datang kepada raja Salomo, lalu melakukan segala pekerjaan itu bagi raja.

Dari kutipan dari Kitab Ibrani di atas, terlihat bahwa orang-orang Fenesia (Phoenicia) bukan saja ahli dalam hal kelautan, tapi ahli dalam pertukangan kayu dan pandai besi.

Berbagai temuan arkeologi membuktikan bahwa orang Fenesia (Phoenicia) tidak hanya menavigasi kawasan Timur Tengah hingga Mediterania, tetapi juga hingga ke wilayah Britania. Hal ini, sebagaimana yang diungkap oleh L. A. Waddell (1925), dalam bukunya The Phoenician Origin of Britons, Scots & Anglo-Saxons:

…sekarang ditemukan bahwa agama agung dari Aryan Phoenicians, yang disebut “penyembahan-matahari,” dengan etika dan keyakinannya yang luhur pada adanya kehidupan di masa depan (tentang kebangkitan setelah kematian), secara luas lazim di awal Inggris hingga era Kristen. [L. A. Waddell. The Phoenician Origin of Britons, Scots & Anglo-Saxons (London: Williams and Norgate, 1924) hlm. xi]

 Marsha E. Ackermann, dkk. dalam buku Encyclopedia Of World History mengatakan: 

“…bangsa yang sangat mempengaruhi peradaban lain melalui perjalanan mereka adalah orang-orang Fenisia, orang-orang pelaut dan petualang dari Lebanon modern yang menetap hingga sejauh Inggris dan bahkan menjelajahi sekitar Tanduk Afrika.” [Marsha E. Ackermann, dkk. Encyclopedia Of World History (2008: hlm. xxxv)]

Tapi sejauh apa pun Bangsa Fenesia (Phoenicia) berlayar, pertanyaan “dari mana asal usul mereka yang sesungguhnya” akan selalu menjadi yang utama. Untuk jawaban pertanyaan ini — terdapat beberapa pendapat;  Yang tertua, datang dari sejarawan Yunani kuno Herodotus, yang menyarankan Fenisia datang dari Laut Merah: 

The learned among the Persians assert that the Phoenicians were the original authors of the quarrel ; for that they having migrated from that which is called the Red Sea to the Mediterranean, and having settled in the country which they now inhabit” [The histories of Herodotus. Translate by Herodotus Henry Cary, New York: D. Appleton and company (1899: hlm. 1)]

Wilayah orang Phoenicia, sejauh ini diidentifikasi berada di ujung timur Laut Mediterania,di sepanjang pantai yang sekarang adalah Lebanon, Suriah dan Israel. 

Orang Yunani dan Romawi menyebut mereka sebagai “Phoenicia”, dalam bahasa Indonesia kita menyebut mereka “Fenisia”, sementara dalam bahasa Arab “Finiqiyah”. Oleh para sejarawan, orang-orang Fenisia diperkirakan hidup sekitar antara 2500 hingga 3000 tahun yang lalu. 

Menurut Jawwad Ali (1968) dalam buku “Sejarah Arab Sebelum Islam,” kaum Finiqiyah berasal dari Bahrain.  Ia menyandarkan pada pendapat Strabo yang menyatakan: …di dua pulau Tylus (Tyrus) dan Aradus terdapat situs kuburan yang menyerupai kuburan kaum Finiqiyah. Penduduk pulau mengetahui bahwa nama pulau dan kota mereka merupakan nama-nama Finiqiyah.

Terkait hal ini, suatu tim ekspedisi purbakala dari Denmark telah melakukan penelitian terhadap situs-situs purbakala di Bahrain. Mereka menggali di tiga tempat untuk dapat mengetahui dan menentukan tahunnya. Mereka meyakini, tempat-tempat yang telah digali merujuk pada masa perunggu, pada sekitar 3000 SM.

Para peneliti sejarah berpendapat, asal kaum Finiqiyah yang mendiami Lebanon adalah berasal daerah tersebut, yakni dari Bahrain dan pantai-pantai di seberangnya. Menurut Herodotus, mereka berasal dari pesisir Laut Merah. Namun, Ilmuwan lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Teluk Arab (Sinus Persicus), bukan Laut Merah.

Sejarawan Yunani lainnya, Strabo percaya bahwa Fenisia berasal dari Bahrain. Herodotus juga percaya bahwa tanah air Fenisia adalah Bahrain. Satu dekade setelah penelitian Durand, Theodore Bent (1890) membuka lebih banyak makam di Aali (Bahrain), yang membuatnya menyimpulkan bahwa: … “In conclusion, I may add that our researches in every way confirmed the statements of Herodotus, Strabo, and Pliny, that the original home of the Puni was the group of the Bahrein (…) (Bent 1890: 17).”

Teori lainnya yang muncul menyarankan bahwa bangsa Fenisia telah muncul dari kelompok orang yang lebih luas yang dikenal sebagai orang Kanaan, yang bertahun-tahun sebelumnya telah mengisi petak luas tanah antara Anatolia (Turki modern) dan Mesir. Maurice Dunand, yang melakukan penggalian arkeologi di Byblos, adalah di antara orang-orang yang datanya mendukung kesimpulan ini.

Teori lain menegaskan bahwa kota-kota yang ada di Byblos, Sidon, Tyre, dan kota-kota di sekitar mereka ditaklukkan oleh Sea Peoples (Bangsa laut)sekitar 1200 SM — dan bahwa penggabungan Sea Peoples dengan penduduk lokal ini menciptakan Fenisia. Gerhard Herm dan yang lainnya telah mendukung pandangan ini.

Bangsa Fenesia menurut sumber Alkitab

Bangsa Tirus yang disebut dalam Alkitab Yehezkiel 27, oleh para ahli, diidentifikasi sebagai bangsa Fenisia.

Dalam Yehezkiel 27 ayat 12 dan 25 terungkap bahwa Tarsis selain berdagang dengan bangsa Fenisia, kapal-kapal mereka juga melayani ekspedisi barang-barang dagangan bangsa Fenisia.

Secara intuitif sama melihat bahwa hubungan Tarsis dan Fenisia ini mirip dengan hubungan Bugis dan Bajou yang diungkap Thomas Stamford Raffles dalam buku “The History of Java“: 

Meskipun orang Bugis, pada umumnya, dianggap sebagai pedagang besar, perdagangan luar negeri tampaknya hampir secara eksklusif terbatas pada orang-orang Waju[Bajou]. Orang-orang ini menetap dalam jumlah yang cukup besar di semua pelabuhan perdagangan, dari Acheen ke Manilla, dan merekalah yang membentuk kru hampir semua perahu-perahu orang Bugis yang menavigasi Laut Timur.

Tarsis atau Tarshish, terdapat dalam Alkitab Ibrani dengan beberapa makna yang tidak pasti. Tarshish dikatakan memasok sejumlah besar logam penting ke Israel dan Fenesia (Phoenicia). Nama tempat yang sama terdapat dalam prasasti Akkadia Esarhaddon ( raja Asyur , d. 669 SM) dan juga pada prasasti Fenisia di Nora Stone; lokasinya yang tepat tidak pernah dikenal secara umum, dan akhirnya hilang di zaman kuno. 

Legenda tumbuh di sekitarnya dari waktu ke waktu sehingga identitasnya telah menjadi subjek penelitian ilmiah dan komentar selama lebih dari dua ribu tahun. Hal terpenting darinya adalah fakta bahwa bagian Alkitab Ibrani cenderung memahami Tarshish sebagai sumber kekayaan besar Raja Salomo dalam bidang logam – terutama perak, emas, timah, dan juga besi (Yehezkiel 27). Logam-logam itu dilaporkan diperoleh dalam kemitraan dengan Raja Hiram dari Bangsa Fenisia (Yesaya 23), dan armada kapal Tarsis.

Ada beragam pendapat mengenai letak Tarsis. ada yang menganggap Tarsis sebagai Carthage, Tartessos di Hispania kuno (Semenanjung Iberia), dekat Huelva dan Sevilla hari ini. Sarjana Yahudi-Portugis, Isaac Abarbanel (1447-1508) menggambarkan Tarsis sebagai “kota yang dikenal pada masa awal seperti Kartago dan hari ini disebut Tunis.” 

Sarjana Prancis Bochart (1667) sepakat dengan sejarawan Romawi Flavius Josephus (100 AD) yang menentukan pilihannya pada kota Pedalaman Tarsus di Kilikia (Turki selatan-tengah).  William F. Albright (1891-1971) dan Frank Moore Cross (1921-2012) mengemukakan Tarshish adalah Sardinia karena penemuan Batu Nora (…) [sumber di sini]

Saya melihat bahwa kejanggalan dari kesemua pendapat mengenai lokasi Tarsis tersebut adalah karena tidak mempertimbangkan jarak tempuh pelayaran yang diungkap dalam Alkitab Ibrani, 1 Raja-raja 10:22 “Sebab di laut raja mempunyai kapal-kapal Tarsis bergabung dengan kapal-kapal Hiram; dan sekali tiga tahun kapal-kapal Tarsis itu datang membawa emas dan perak serta gading; juga kera dan burung merak.” 

Saya pikir, jika letak Tarsis benar terdapat di salah satu lokasi yang disebutkan di atas, rasanya tidak akan mungkin mereka datang sekali dalam tiga tahun. Itu jangka waktu yang sangat lama untuk suatu kegiatan perdagangan. Jelas sangat tidak menguntungkan. Jelas ini waktu tempuh untuk jarak yang sangat jauh. Tidak berada di Timur dekat ataupun Timur tengah.

Untuk mengetahui jarak tempuh per-hari kapal-kapal kuno, saya mencermati jarak waktu pelayaran yang diberitakan Fa Hsien (biksu Cina yang melawat ke Asia Tenggara dan India pada abad ke-5) dalam catatannya, bahwa pelayaran dari Yeh-p’o-t’I (suatu tempat di Nusantara, para ahli biasa mengidentifikasinya dengan Jawadwipa) ke Kanton biasanya memerlukan waktu sekitar 50 hari pelayaran. 

Yang mana, dapat disamakan dengan laporan pelayaran Tome Pires dari Malaka ke Kanton pada Juni sampai Agustus 1517, selama kurang lebih 45 hari. [O.W. Wolters. Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya hlm. 22]  Dan juga bahwa pada tahun 992 M para utusan dari Jawa sampai di Ningpo dalam 60 hari.  [Ibid. hlm. 37 pada catatan kaki no 24]

Hasilnya adalah; Jika dari Malaka menuju Kanton Tome Pires melalui laut Cina Selatan dan mampir di beberapa tempat untuk pengisian air minum dan perbekalan lainnya maka hitungan kasar untuk jarak yang ia tempuh adalah sekitar 3260 Km (perhitungan menggunakan Ruler pada Google Earth). Jika ia menempuh jarak ini selama 45 hari maka jarak tempuh kapalnya adalah sekitar 72 Km/hari. 

Sementara itu, untuk perjalanan utusan Jawa yang menuju ke Ningpo — jika diasumsikan mereka berangkat dari pelabuhan kuno batang di Jawa tengah kemudian menyusuri selat Makassar — melintasi laut Sulu — mampir di pelabuhan Manila — untuk kemudian memotong laut Cina Selatan ke arah timur laut hingga tiba di Ningpo, maka hitungan kasar jarak tempuh tersebut adalah 4280 Km — sehingga jika waktu tempuh mereka untuk itu adalah 60 hari, maka jarak tempuh perharinya sekitar 71 Km/hari. 

Dari kedua pelayaran ini, dapat kita lihat bahwa rata-rata jarak tempuh kapal di masa itu adalah sekitar 70-an km/hari. Bisa dikatakan bahwa kapal yang digunakan utusan Jawa di tahun 992 M tidak jauh berbeda dengan kapal yang digunakan Tome Pires pada tahun 1517, sama-sama mengandalkan Angin dan tenaga dayung manusia.

Setelah mendapatkan jarak tempuh perhari pelayaran kapal di masa kuno, selanjutnya saya menghitung jarak tempuh pelayaran dari satu titik di pulau Sulawesi (sebagaimana dugaan saya bahwa orang Tarsis maupun orang Phoenicia adalah orang dari Sulawesi) ke levant (mediterania) — yang mana pelayaran ini saya asumsikan adalah pelayaran perdagangan yang tentunya lebih memilih menyisir pantai kontinen untuk mampir di berbagai pelabuhan melakukan barter barang dari pada melakukan pelayaran memotong/ melintasi tengah lautan lepas. 

Jadi, pelayaran tersebut saya asumsikan akan mampir di beberapa pelabuhan. Seperti pelabuhan kuno Batang di Jawa tengah, pelabuhan Malaka, pelabuhan Kedah, beberapa Pelabuhan kuno di pesisir teluk benggala, juga tentunya mampir di Colombo, Srilanka, pelabuhan kuno Goa di pesisir pantai Malabar, pelabuhan kuno Karachi, pelabuhan kuno di teluk Chabahar, hingga kemudian memasuki teluk Persia, menuju pulau Bahrain.

Dari pulau Bahrainm, lalu keluar kembali, mengambil arah selatan, menuju Pelabuhan kuno Bi’r `Ali dan pelabuhan kuno Aden di yaman, selanjutnya menyusuri pantai timur Afrika, mampir di Zanzibar lalu Kota Pelabuhan kuno di pulau  Ilha de Mocambique, Kota Pelabuhan kuno Cape Town di Afrika Selatan, Pelabuhan kuno Calabar di Nigeria, Kota Pelabuhan kuno Anfa (Casablanca) di Maroko, melintasi atau mampir di pelabuhan teluk Valencia, untuk kemudian menuju Pelabuhan kuno Hercules di Kota Pelabuhan Monaco.

Selepas dari pelabuhan kuno di Monaco, perhentian selanjutnya adalah di kota pelabuhan Pompeii di teluk Napoli, lalu mampir di pulau Sardinia (Italy), lalu memutari pulau Sisilia menuju Kota Pelabuhan kuno Patras di Yunani, untuk kemudian lanjut menuju pelabuhan kuno Piraeus yang terhubung langsung ke pusat kota Athena. Selanjutnya menuju kota pelabuhan kuno Antalya/ Anatolia Turki, untuk kemudian berakhir di Kota Pelabuhan kuno Byblos di Lebanon (Levant). 

Total jarak pelayaran ini hitungan kasarnya (menggunakan Ruler pada Google Earth) adalah sekitar 36,500 Km. sementara jika pelayaran berupaya mempersingkat jarak dengan tidak mendatangi semua pelabuhan, maka jarak yang terpangkas sulit dibawah 27,000 Km. dengan kata lain, pelayaran dari pulau Sulawesi ke Mediterania adalah pelayaran berkisar 27,000 Km hingga 36,500 Km.

Jika diandaikan jarak pelayaran yang digunakan adalah 27,000 Km — Dengan kecepatan jarak tempuh pelayaran 70 Km/hari, maka untuk menyelesaikan keseluruhan jarak pelayaran tersebut membutuhkan waktu sekitar 385 hari atau sekitar 1 tahun lebih 20 hari. 

Hasil perhitungan ini saya pikir cukup sesuai dengan yang diungkap dalam Alkitab Ibrani (1 Raja-raja 10:22) bahwa kedatangan kapal Tarsis adalah sekali dalam 3 tahun. 

Jadi, ketika kapal Tarsis meninggalkan wilayah Levant menuju pulau Sulawesi (pulang ke asal mereka) mereka akan tiba setelah melakukan pelayaran di laut sekitar 1 tahun dan tambahan sekitar 6 bulanan untuk nginap di beberapa pelabuhan yang disinggahi dalam rangka mengumpulkan bekal sekaligus melakukan perdagangan. Kembali kesana pun membutuhkan sekitar waktu yang sama, sehingga hitungannya tepat yakni sekitar 3 tahun.

Demikianlah, hitungan-hitungan di atas membuat hipotesis nusantara sebagai titik asal kedatangan kapal-kapal Tarsis menjadi lebih masuk akal jika dihadapkan pada Informasi dari Alkitab bahwa kedatangan kapal-kapal Tarsis adalah sekali dalam tiga tahun.

Selain itu, ungkapan bahwa Tarsis juga dikatakan memasok sejumlah besar logam penting ke Israel dan Phoenicia juga sejalan dengan kekayaan mineral logam seperti Emas dan Besi di pulau Sulawesi (dan Nusantara secara umum).

Hal ini juga dikuatkan oleh catatan Cornelis Speelman (1670) “Notitie dienende voor korten tijd en tot nader last van de Hoge Regering op Batavia voor ondercoopman jan van Oppijnen” tentang adanya kegiatan penambangan biji besi secara tradisional di daerah Seko dan Rongkong Toradja (Sulawesi Selatan bagian utara) dan di wilayah Malili yang pada waktu itu milik kekaisaran Luwu, serta adanya kegiatan ekspor besi dari Luwu.

Hipotesis Phoenicia berasal dari Sulawesi (Nusantara) menurut tinjauan linguistik

Bentuk dasar dari nama ‘Phoenicia’ yakni ‘poni’ ( bentuk Latin PoenÄ« / pÅ«nicus, Yunani PhoiníkÄ“, Romawi Punic) sangat ada kemungkinan terkait dengan nama teluk Boni di pulau Sulawesi.

Kerajaan kuno bernama Bo li, Po Ni, Fo Ni atau Bo ni yang disebut dalam kronik Cina, saya pikir sangat mungkin terkait dengan nama teluk Boni ini, walaupun para sejarawan umumnya lebih mengidentifikasi letak kerajaan ini di wilayah barat Nusantara. 

Saya melihat nama Bo Li, Po Ni, Fo Ni atau Bo Ni pada dasarnya berasal dari sesuatu kata dengan makna “pagi”. Ini seperti istilah Bohni atau boni yakni istilah penjualan pertama di pagi hari yang terdapat India Utara dan Pakistan. ( telah sering saya bahas dalam banyak artikel misalnya di sini). 

Atau, bahkan dapat juga dilihat bahwa nama-nama tersebut merupakan hasil perubahan fonetik dari kata  ‘Mori’ yang pada dasarnya juga berari “pagi” — jejak untuk hal ini dapat dilihat pada ucapan selamat pagi orang Maori yaitu “Morena“, selanjutnya Saya juga menduga bahwa kata morning dalam bahasa Inggris berasal dari kata Mori ini:  mor *- ming  [lihat: https://www.merriam-webster.com/dictionary/morning]

Nama Phoenicia yang berarti “pagi” terlihat jelas pada nama kawasan bermukim mereka di ujung timur Laut Mediterania: “Laut Matahari Terbit”. 

Jelas terlihat bahwa atribut “pagi” yang melekat sebagai “jati diri mereka” tidak mereka tanggalkan. Mereka senantiasa membawa hal tersebut kemana saja mereka pergi. Hal ini tidak lain, adalah karena mereka bangsa berjiwa Matahari (penyembah Matahari). 

Seterkaitan dengan hal ini, kuat pula dugaan saya bahwa letak negeri Sabah yang sesungguhnya berada di Nusantara, dengan fakta bahwa dalam bahasa Arab Sabah berarti “pagi”, yang dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa “Negeri Sabah” dapat pula berarti “Negeri Pagi”. 

Jadi, Bangsa Phoenicia maupun Bangsa Sabah yang banyak ditemukan jejaknya di wilayah timur tengah hingga Mediterania sesungguhnya adalah orang-orang dari Nusantara yang bermigrasi dan membuat koloni di wilayah sana.

Selain itu, pertimbangan kuat lainnya, datang dari nama dewa pelindung bangsa Fenesia (Phoenicia), Melqart, yang dalam abjad bahasa Fenisia ditulis MLK KRT, yang berarti “Raja Kota”. dengan pengertian demikian, dapat diduga jika KRT kemungkinan berbunyi “karta” yang memang berarti “kota”. 

Ini sejalan dengan informasi dari Sarjana Yahudi-Portugis, Isaac Abarbanel (1447-1508) menggambarkan Tarsis sebagai “kota yang dikenal pada masa awal seperti Kartago (Carthage) dan hari ini disebut Tunis.”

Adapun MLK, jika menimbang bahwa Fenesia (Phoenicia) adalah bangsa laut, yang mana ciri utama bahasa bangsa maritim adalah tidak ada kata yang berakhir konsonan tetapi semua berakhir vokal, maka MLK kemungkinan bisa berbunyi “malaka” sinonim dengan kata Molokh ( juga ditulis sebagai MolochMolech, Molekh, Molok, Molek, Molock, atau Moloc) yang juga memang berarti “raja”. (sejalan dengan apa yang dijelaskan di sini)

MLK KRT atau “Malaka Karta” yang berarti “Raja Kota” (atau mungkin mesti dibalik menjadi: kota raja) tentu saja dapat dilihat sangat besar kemungkinannya merujuk pada wilayah Malaka yang menjadi dasar kata Malaya, Malayu atau Melayu (baca pembahasan mengenai Malaka dan kaitannya dengan Malaga di sini dan pembahasan Malaka di masa awal kedatangan Portugis di sini). 

Mengenai Melqart, baca pembahasan lebih selengkapnya di sini: Nuansa Jawa pada Kata Ungu dalam Bahasa Phoenicia dan Bahasa Kuno Lainnya). Dalam tulisan ini saya membahas sinkronisme Melqart (sebagai dewa pelindung bangsa Fenesia) dengan Dewa Yama (yang dalam konsep lokapala disebut sebagai penjaga dan penguasa wilayah Selatan, atau “dunia bawah”, yang meliputi wilayah Nusantara pada hari ini).

Pembuktian Nusantara sebagai “wilayah selatan” yang merupakan wilayah kekuasaan Dewa Yama (atau Melqart) pada masa kuno, datang dari toponim Sunda. 

Dalam bahasa Norse Kuno (Bahasa Skandinavia Kuno atau bahasa Jermanik Utara yang dituturkan oleh orang-orang Skandinavia di sekitar abad ke-7 hingga abad ke-15. ), kata “sund” bisa berarti “sebuah selat”. (penjelasan bisa dibaca di sini: etymonline). Dari hal ini, dapat diduga jika kata ‘sunda’ bisa berarti: selat, atau selat-an. 

Jadi, istilah “Paparan Sunda” sesungguhnya dapat diartikan sebagai: landasan benua wilayah selatan.

‘Sunda’ bisa dikatakan toponim dari dunia kuno yang secara eksplisit merujuk pada makna “selatan”, dengan bukti geografis bisa dikatakan memang berada di sekitar wilayah ujung selatan bumi. Ini sebanding dengan sebutan “nor-way” (jalur utara), merupakan asal nama negara Norwegia yang wilayahnya memang berada di sisi ujung utara bumi.

Adapun sebutan Nama benua Australia yang berasal dari bahasa Latin australis, yang berarti “selatan”, baru dipopulerkan oleh penjelajah Matthew Flinders di tahun 1804, dan baru digunakan secara resmi sejak 1817, menggantikan sebutan “New Holland” (Holland baru, atau Belanda Baru) yang sebelumnya digunakan untuk nama benua itu. (sumber di sini)  

Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.

Baca artikel terkaitUji DNA Terbaru: Orang Chamorro kuno berasal dari Sulawesi

LihatTutupKomentar