-->

Ghazwatul Hindi, dalam Nubuat Perang Akhir Zaman


Dalam bahasa Arab ‘Ghazwa’ menyiratkan tentang suatu perang yang dipandu atau didasari oleh keyakinan, bukan bertujuan mendapatkan keuntungan materialistis atau penguasaan teritorial. Sehingga Ghazwatul Hindi dapat dimaknai sebagai perang suci menghadapi India.

Ungkapan ‘Ghazwatul Hindi’ merujuk pada beberapa hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Sunan an-Nasa’i. Antara lain:

Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah mengatakan: “Utusan Allah berjanji bahwa kita akan menyerang India. Jika aku hidup (cukup lama) untuk melihatnya, maka aku akan mengorbankan diriku dan kekayaanku. Jika aku terbunuh, maka aku termasuk ke dalam golongan syahid, dan jika aku selamat, maka aku akan menjadi Abu Hurairah Al-Muharrar ((yang terbebas dari Api Neraka).” [Sunan an-Nasa’i 3174, derajat Sahih]

Diriwayatkan bahwa Thawban, budak yang dibebaskan dari Rasulullah , berkata: “Nabi Muhammad SAW bersabda: ‘Ada dua golongan dari umatku yang Allah akan bebas dari api: yaitu golongan yang akan menyerang India, dan golongan yang akan bersama Isa bin Maryam, AS.” [Sunan an-Nasa’i 3175, derajat Hasan (Darussalam)]

Kaitan hadis ‘Ghazwatul Hindi’ dan hadis petunjuk hijrah ke Ash-Sham

Saya melihat jika ‘Ghazwatul Hindi’ atau perang suci menghadapi India ada kaitannya dengan hadis Nabi Muhammad yang memberi petunjuk untuk hijrah atau bermigrasi ke Ash-Sham mendekati akhir zaman nanti. 

Seperti bunyi hadis berikut ini…

Dari Abdullah bin Amr berkata, Sesungguhnya Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam), bersabda: “Akan terjadi hijrah setelah hijrah, sebaik-baik penduduk bumi adalah yang tinggal di tempat hijrah Nabi Ibrahim (…) ” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Al-Hakim)

Bunyi hadis di atas memiliki keterkaitan dengan hadis berikut ini.  Dari Abu Bakrah, Rasulullah SAW bersabda: “Akan ada segolongan kaum dari umatku yang menetap di sebuah daerah yang mereka namakan Bashrah, di sisi sebuah sungai yang disebut Dijlah, dan di atas sungai itu ada sebuah jembatan. Penduduk daerah itu akan bertambah banyak, dan ia akan menjadi salah satu negeri dari negeri-negeri orang-orang yang berhijrah.”

Dalam hadis lain disebutkan:

“Di akhir zaman nanti akan datang suatu kaum yang bernama Qanthura, wajah mereka lebar dan matanya sipit, hingga kaum itu sampai ke daerah tepian sungai lalu para penduduknya pecah menjadi tiga kelompok; satu kelompok pergi mengikuti ekor sapi dan binatang ternak (pergi ke tempat yang jauh dengan membawa binatang ternak mereka untuk bercocok tanam) hingga mereka hancur. 

Satu kelompok mengambil untuk keamanan mereka (mengajukan atau menerima jaminan keamanan dari bani Qanthura) hingga akhirnya menjadi kafir. 

Dan satu kelompok melindungi anak dan istri mereka dan berperang melawan musuh (Bani Qanthura) hingga mereka mati sebagai syuhada.” (HR. Abu Dawud) 

Sejauh ini, para cendikiawan Islam umumnya menganggap jika Bashrah yang dimaksud hadis di atas adalah kota Basrah di Irak, sementara sungai Dijlah yang dimaksud adalah sungai Tigris. Namun penentuan ini bukan tidak memiliki silang pendapat.

Misalnya, Imam Syamsul Haq ‘Azhim Abadi mengutip penjelasan imam al-Asyraf bahwa yang dimaksud dengan Bashrah dalam hadits ini adalah Baghdad. Alasannya, Dajlah adalah sebuah sungai, sementara jembatan Dajlah tersebut berada di tengah (atas) sungai Dajlah, bukan di tengah kota Bashrah sendiri. 

Begitu juga sebutan ‘Dijlah’ untuk sungai Tigris, hanya digunakan dalam orang berbahasa Arab saja, sementara dari sumber yang jauh lebih tua seperti Yunani Kuno menyebutnya ‘Tigris’ yang berarti ” harimau “, dan dianggap diadaptasi dari Persia kuno ‘Tigra’, dan dari Elam yang juga menyebut ‘Tigra’.

Dengan pertimbangan ini, saya pikir ada kemungkinan wilayah ‘Basrah’ dan sungai ‘Dijlah’ yang disebut dalam hadis Nabi, yang diklaim terletak di Irak, “mungkin telah pula mengalami kekeliruan penafsiran” seperti kekeliruan yang terjadi pada penafsiran Suriah sebagai wilayah Ash-Sham yang disebut nabi sebagai tempat hijrah Nabi Ibrahim dan akan pula menjadi tempat hijrah umat akhir zaman.

Sebagaimana yang telah saya bahas dalam tulisan sebelumnya, klaim Suriah dan sekitarnya sebagai tempat hijrah Nabi Ibrahim rasanya tidak masuk akal, disebabkan oleh karena alasan hijrah atau migrasi yang dilakukan Nabi Ibrahim tersebut adalah bertujuan untuk menghindari bencana kekeringan yang sangat parah. 

Sementara itu, penelitian ilmiah hari ini mengungkap bahwa wilayah Mesir, Suriah, Lebanon Palestina, hingga Irak, dan sebagian besar timur tengah pada umumnya adalah wilayah utama yang mengalami kekeringan parah tersebut. (Baca ulasan saya mengenai hal ini di sini: Petaka Alam pada Masa Nabi Ibrahim yang Berdampak Global dan Meruntuhkan Banyak Peradaban)

Sebagai alternatif, saya telah mengajukan pendapat, wilayah Meghalaya atau pun Assam di timur laut India, sebagai tempat hijrah Nabi Ibrahim yang sesungguhnya. Pendapat ini telah saya sampaikan dengan disertai banyak tinjauan argumentasi yang kuat. Mulai dari tinjauan aspek filologi, yakni analisa cerita kuno dalam tradisi etnis Dimasi (pribumi), tinjauan aspek genealogi mereka, dan masih banyak lagi.

Bagi yang belum sempat membaca silahkan baca di artikel-artikel di bawah ini (sebaiknya baca sesuai urutan):

Dengan konsisten pada hipotesis sebelumnya, bahwa wilayah Assam (di timur laut India) sebagai negeri Ash-Sham yang dimaksud dalam hadis Nabi Muhammad, maka wilayah Bashrah, dan sungai Dijlah yang disebut Nabi sebagai “salah satu negeri dari negeri-negeri orang-orang yang berhijrah,” saya pikir mestilah pula di cari di sekitar wilayah Assam.

Atas pertimbangan ini, maka wilayah ‘Batshar’ di distrik Nalbari, Assam, menjadi opsi yang paling memungkinkan. Selain bentuk ‘Batshar’ yang identik dengan ‘Basrah’, letaknya yang juga dekat dengan sungai Brahmaputra memberi penguatan. Ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadis bahwa di Basrah terdapat sungai Dijlah dan sebuah jembatan. 

(dokpri)
Letak Batshar di Assam. (Dokpri)
Jembatan Saraighat membentang sepanjang 1,49 km di atas sungai Brahmaputra, Menghubungkan Guwahati dengan sisi utara sungai Brahmaputra (dokpri)
Jembatan Saraighat membentang sepanjang 1,49 km di atas sungai Brahmaputra, Menghubungkan Guwahati dengan sisi utara sungai Brahmaputra (dokpri)

Meskipun nama sungai Brahmaputra berbeda jauh dengan bentuk nama sungai Dijlah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis, namun, ada kemungkinan sebutan ‘Dijlah’ ada kaitannya dengan bentuk kata ‘Dighala’ yang dalam bahasa setempat (bahasa Bengali)  berarti “panjang”.

Sementara dalam bahasa etnis lokal (Bodo) bentuk ‘di’ ekuivalent atau setara maknanya dengan ‘sungai’. Hal ini ditunjukkan oleh nama-nama sungai di wilayah ini yang umumnya berawalan suku kata ‘di’. Seperti: Dikhan, Dikhu, Dikrang, Digaru, Dichu, Diputa, Diphang, Diphu, Diphlu, Dibong, Dibru, Dima, Dimla, Dimu, Dilao (Brahmaputra), Dilih, dan masih banyak lagi.

Berikut ini penjelasannya dalam buku Bengali and Other Related Dialects of South Assam

Sudhamsu Sekhara Tunga:
Sudhamsu Sekhara Tunga: “Bengali and Other Related Dialects of South Assam”, 1995: 13 (dokpri)

Jadi, sungai Dijlah yang disebutkan dalam hadis, bisa jadi merujuk pada kata ‘Dighala’ yang memiliki makan ‘panjang’ dan mengandung bentuk ‘di’ yang berarti sungai. Sehingga Dighala bisa bermakna sungai yang panjang atau sungai yang lebar. Ini setidaknya sesuai dengan badan sungai Brahmaputra yang lebar.

Adapun mengenai Bani Qanthura yang dalam hadis yang diriwayatkan HR. Abu Dawud datang menyerang basrah, dapat diduga merupakan etnis lokal di wilayah itu.

Sebagaimana yang telah saya ulas dalam tulisan sebelumnya (Temuan Jejak Migrasi Nabi Ibrahim 4200-an Tahun Lalu), Orang Dimasa (juga disebut Dimasa-Kachari) sebagai komunitas etnis asli dan dianggap sebagai penghuni tertua yang mendiami negara bagian Assam dan Naga land di India timur laut, telah saya identifikasi sebagai keturunan langsung dari Nabi Ibrahim dan istrinya Hajar (dengan nama lain Keturah).

Telah juga saya ungkap dalam tulisan tersebut jika etnis Dimasa memiliki keunikan karena mereka melacak klan mereka menurut dua garis, yaitu, patriclan (klan dari garis keturunan bapak) dan matriclan (klan dari garis keturunan ibu). 

Bahkan, sebutan nama ‘Dimasa’ atau pun ‘Kachari’ yang secara signifikan lebih merujuk pada garis ibu, cukup jelas menunjukkan jika pada masa lalu (dan mungkin hingga kini) etnis ini didominasi oleh pengaruh kuat dari garis ibu. Karena itu, cukup sejalan jika dalam hadis Nabi mereka lebih disebut sebagai Bani Qanthura (Keturah).

Demikianlah, disebutnya Bani Qanthura sebagai kaum yang akan datang menyerang kawasan pemukiman tempat umat hijrah di akhir zaman, telah lebih jauh menguatkan hipotesa sebelumnya bahwa kawasan Assam memang adalah Ash-Sham (tempat hijrah akhir zaman) yang sesungguhnya.

Penyerangan tersebut dapat diduga “mungkin” merupakan akibat gesekan sosial yang timbul antara penduduk asli (etnis Dimasi dan lainnya) dengan para pendatang (kaum yang hijrah memenuhi petunjuk Nabi).

Demikian pula ‘Ghazwatul Hindi’ (pertempuran menghadapi India) juga besar kemungkinan merupakan ekses dari gejolak ego pribumi terhadap para pendatang yang menduduki wilayah mereka.

Inilah skenario yang saya pikir sejauh ini bisa menjelaskan mengapa dalam hadis Nabi Muhammad ada disebutkan perang menghadapi Bani Qanthura dan perang suci menghadapi India (Ghazwatul Hindi).

Dan nampaknya, skenario ini dapat pula menjelaskan hadist paling terkenal berikut ini:

Rasulullah SAW bersabda, “Akan berperang tiga orang di sisi pembendaharaanmu (red: Ka’bah). Mereka semua adalah putera khalifah. Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian terbit panji-panji hitam dari arah timur, lantas mereka membunuh kamu dengan suatu pembunuhan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu.” 

Kemudian beliau SAW menyebutkan sesuatu yang tidak aku hafal, lalu bersabda, “Maka jika kamu melihatnya, berbai’atlah walaupun dengan merangkak di atas salju, karena dia adalah khalifah Allah al-Mahdi.”. [Keterangan Hadits: Sunan Ibnu Majah, Kitab Al-Fitan Bab Khuruj al-Mahdi 2:1467: Mustadrak al-Hakim 4:463-464]

Dari wilayah inilah (Assam) bergerak pasukan dengan panji-panji hitam, karena itu mereka disebut terbit atau berasal dari timur.

***

Terlepas dari kesemua ulasan di atas, kuat dugaan saya jika peperangan yang dimaksud dalam hadis-hadis tersebut, hanya akan terjadi setelah adanya bencana besar seperti yang terjadi di masa Nabi Ibrahim.

Hanya bencana alam dahsyat, berlangsung berkepanjangan, dan disusul gejolak sosial yang masif, yang dapat meruntuhkan tatanan kehidupan terutama sosial politik, dan memaksa orang untuk bermigrasi mencari tempat bermukim yang lebih kondusif. 

Di sisi lain, kerusuhan global pun sangat mungkin terjadi di situasi sulit seperti itu. Ini misalnya terjadi di sekitar 1200 BC, pada masa runtuhnya zaman perunggu akhir di wilayah Laut Aegean dan Timur Dekat.

Runtuhnya tantanan masyarakat kuno di masa itu menurut para ahli disebabkan oleh bencana dahsyat yang datang susul menyusul. Mulai dari gempuran gempa bumi, perubahan iklim, hingga kekeringan yang mengakibatkan kelaparan. 

Bangsa laut (Sea Peoples) yang dianggap penyebab runtuhnya banyak kerajaan, bahkan sempat dianggap sebagai penyebab runtuhnya zaman perunggu akhir di wilayah itu, bisa jadi hanyalah pihak yang tampil memanfaatkan situasi, di mana wilayah yang mereka ingin jarah mereka ketahui tengah berada dalam kondisi pertahanan terlemahnya.

Jadi, ketika dunia mengalami kehancuran akibat bencana alam yang sangat parah, akan selalu ada pihak yang muncul ingin memanfaatkan situasi krisis itu untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.

Sekian  apa yang wajib saya sampaikan. Semoga bermanfaat. Salam.

Baca artikel terkait: ‘Bashrah’ Tempat Hijrah Umat Akhir Zaman dan ‘Ghazwa Hind’

LihatTutupKomentar