Dalam tulisan saya sebelumnya (Negeri Sabah atau Negeri Pagi, Identitas Nusantara di Masa Kuno dan Ini Beberapa Catatan Kuno yang Menyebut Nusantara sebagai Negeri Saba) telah saya bahas mengenai hipotesis Nusantara sebagai Negeri Saba atau Negeri Pagi, dengan asumsi bahwa kata “saba” berasal dari bahasa Arab “sabah” yang berarti “pagi”.
Hipotesis ini tentunya memunculkan pertanyaan selanjutnya, bahwa jika ada yang disebut “Negeri Pagi”, apakah ada pula yang disebut “Negeri Siang”, “Negeri Sore”, dan “Negeri matahari terbenam”?
Ternyata, penelusuran yang saya lakukan beberapa tahun terakhir ini dapat membuktikan keberadaan semua negeri tersebut.
Ini yang kemudian mendasari kesimpulan saya bahwa telah ada pembagian zona waktu di masa kuno, yang kuat dugaan saya dilakukan oleh Bangsa Matahari.
Pembagian Zona Waktu di Masa Kuno
Yang menarik karena Pembagian waktu ini, jika dicermati, nampaknya erat kaitan dengan pembagian waktu ibadah harian dalam tradisi Yahudi, umat Kristiani, maupun Islam.
Sebagaimana kita ketahui, Lima waktu shalat yang dikenal dalam Islam – yang didasarkan pada posisi matahari, yaitu: Fajar (ketika Matahari terbit), Lohor atau Dhuhur (ketika matahari tepat di atas kepala), Azhar (ketika posisi Matahari telah condong ke barat), Maghrib (matahari terbenam) dan Isya (malam).
Sementara itu, dalam praktek Kristiani, jam kanonik, yaitu jadwal tradisional siklus monastik doa harian – terbagi dalam beberapa pembagian waktu, yaitu: Matins (Tengah Malam); Lauds (sekitar 3 AM); Prime: 6-9 AM (matahari terbit dan pagi hari); Underne (Terce): 9-12 AM (pagi); Sexte: 12-3 PM (siang); None: 3-6 PM (sore); Vesper (Senja/Maghrib): 6-9 PM (malam); Compline: 9 PM. (Jeffrey L. Forgeng, Will McLean. Daily Life in Chaucer’s England. Greenwood Press, 2009, hlm. 69-70)
Dapat kita lihat bahwa pembagian waktu-waktu ibadah yang terdapat dalam tradisi keagamaan Yahudi dan Kristiani, nampak nyaris tidak ada bedanya dengan waktu-waktu shalat harian dalam tradisi Islam. Hanya saja di dalam Islam, waktu shalat di jam 9 pagi, yaitu shalat Dhuha, tidak masuk dalam shalat wajib yang lima waktu, tapi hukumnya sangat dianjurkan untuk dilakukan.
Pembagian waktu-waktu ibadah tersebut berinterval waktu 3 jam, yang dalam pembagian garis bujur bernilai 45 derajat . Jadi, jika merujuk penentuan titik meridian 0 derajat berada di Greenwich (sebagaimana yang berlaku di dunia moderen) maka, nilai masing-masing waktu tersebut adalah:
- jam 6.00 (terbit fajar diujung timur) berada di garis bujur 180 derajat;
- jam 9.00 (pagi) berada di garis bujur 135 derajat;
- jam 12.00 (siang) berada di garis bujur 90 derajat;
- jam 15.00 (sore) berada di garis bujur 45 derajat;
- jam 18.00 (terbenam matahari) berada di garis bujur 0 derajat.
Dapat diduga bahwa nilai sudut dari jam-jam tersebut adalah nilai sudut posisi Matahari di langit dilihat dari bumi.
Dari kesemua waktu ibadah yang telah diuraikan di atas, ada empat waktu yang saya perkirakan menjadi dasar penentuan zona waktu berdasarkan posisi matahari di langit siang hari, yaitu: waktu pagi, siang, sore, dan maghrib. Formasi pembagian zona waktu disusun berurutan dari timur ke barat.
Metode penentuannya adalah menyelaraskan waktu fajar di zona tertentu dengan waktu yang ditunjukkan wilayah paling timur di bumi pada saat yang sama. Mengacu pada data peta, pulau Nukulaelae di Tuvalu adalah wilayah paling timur di bumi.
Berikut hasil pencarian keberadaan toponim yang identik dengan nama waktu-waktu ibadah agama Samawi, dan sebagai bukti adanya pembagian wilayah di bumi pada zaman kuno menurut posisi matahari di langit:
Zona Pagi atau Sabah
Zona Pagi atau Sabah berada tepat di wilayah nusantara. Di masa lalu, Nusantara dikenal dengan nama Saba, Sabadeiba dan She-po atau Cho-po.
Jika penentuan titik zona pagi mesti didasarkan pada perhitungan bahwa ia berada di garis bujur yang berjarak 45 derajat dari ujung timur, yang berarti berada pada garis bujur 135 derajat (dengan ketentuan titik meridian 0 derajat berada di Greenwich, dan titik terbit fajar di ujung timur berada di Tuvalu – garis bujur 180 derajat), maka titik tersebut mesti berada di pulau Papua.
Berjarak 1 jam ke arah barat, di garis bujur 120 derajat – terdapat pulau Sulawesi. Di sini terdapat toponim yang jelas-jelas bermakna pagi, yaitu: Makale. Dalam bahasa tae’, makale artinya pagi. Makale saat ini merupakan ibu kota kabupaten Tana Toraja di provinsi Sulawesi Selatan.
Namun, secara keseluruhan wilayah nusantara bisa dikatakan sebagai zona wilayah pagi, berikut uraiannya…
Wilayah nusantara kita ketahui terbagi atas 3 (tiga) zona waktu, yang jika kita selaraskan dengan zona waktu di Tuvalu maka dapat kita rinci sebagai berikut:
- Waktu Indonesia timur (WIT), berinterval waktu sekitar 3 jam dengan Tuvalu, yang berarti saat terbit fajar di waktu Indonesia timur pada pukul 06:00, dalam waktu yang bersamaan di tuvalu telah menunjukkan pukul 09:00 pagi.
- Waktu Indonesia tengah (WITA), berinterval waktu sekitar 4 jam dengan Tuvalu, yang berarti saat terbit fajar di waktu Indonesia tengah pada pukul 06:00, dalam waktu yang bersamaan di tuvalu telah menunjukkan pukul 10:00 pagi.
- Waktu Indonesia Barat (WIB), berinterval waktu sekitar 5 jam dengan Tuvalu, yang berarti saat terbit fajar di waktu Indonesia barat pada pukul 06:00, dalam waktu yang bersamaan di tuvalu telah menunjukkan pukul 11:00 pagi.
Dapat kita lihat bahwa tatkala matahari terbit di wilayah Nusantara, pada saat yang bersamaan di wilayah paling timur di muka bumi (Tuvalu) telah memasuki waktu pagi hari. Inilah mengapa wilayah Nusantara di masa lalu disebut sebagai wilayah Sabah yang berarti pagi dalam bahasa Arab.
Zona Siang
Zona siang berada pada wilayah teluk benggala. Di sana terdapat daerah bernama Madhyanagar Bazar. Dalam bahasa Sanskrit kata “madhyAhna” berarti siang atau tengah hari. Dengan demikian dapat diduga bahwa bentuk etimologi Madhyanagar berasal dari kata “madhyAhna” yang berarti “siang” atau “tengah hari”; dan “nagara” yang berarti “Negeri”. Jadi, kemungkinan pada masa lalu daerah ini disebut: “Negeri madhyAhna” atau “Negeri Siang” atau “Negeri Tengah Hari”.
Nama lain sungai Brahmaputra yang melintas di wilayah teluk benggala yaitu: “Siang River” (Sungai Siang), kiranya menegaskan jika kawasan teluk Benggala dulunya memang disebut “negeri siang. Nama “Siang River” merupakan sebutan orang-orang di wilayah Arunachal Pradesh (negara bagian India di sisi timur laut) untuk Sungai Brahmaputra.
Selain itu, toponim negara Siam di Indocina saya prediksi besar kemungkinan ada keterkaitan dengan “Negeri Siang”. Bisa jadi, hal ini disebabkan oleh adanya kegiatan migrasi orang-orang di masa kuno yang tetap menggunakan nama negerinya di tempat yang baru. toponim “Siam” dan “Siang” pada dasarnya sama saja. Kesamaannya dapat kita pada kata “wangsa” yang dalam prasasti berbahasa sanskrit biasanya ditulis “wamsa”.
Dengan berada tepat pada garis bujur 90 derajat, Madhyanagar Bazar berinterval waktu 6 jam dengan Tuvalu, yang berarti saat terbit fajar di Madhyanagar Bazar pada pukul 06:00, dalam waktu yang bersamaan di tuvalu telah menunjukkan pukul 12:00 siang.
Zona Sore
Zona Sore saya perkirakan berada di kota Samawah (Irak). Kota ini tepat berada titik 45 derajat (sesuai dengan pembagian garis bujur) – sehingga Samawah berinterval waktu sekitar 9 jam dengan Tuvalu, yang berarti saat terbit fajar di wilayah Samawah pada pukul 06:00, dalam waktu yang bersamaan di tuvalu telah menunjukkan pukul 15:00 sore.
Etimologi Samawah saya perkirakan berasal dari kata Sanskirt “samApana” yang berarti: mengakhiri / akan segera berakhir. Dengan makna ini, Samawah merepresentasi posisi matahari di langit yang akan segera menuju titik akhir perjalanan hariannya.
Zona Maghrib
Zona Maghrib saya perkirakan berada di maroko yang dikenal dalam Bahasa Arab sebagai “Al-Mamlakah Al-Maghribiyah,” yang berarti kerajaan Barat. Maroko berinterval waktu sekitar 12 jam dengan Tuvalu, yang berarti saat terbit fajar di wilayah Maroko pada pukul jam 06:00, dalam waktu yang bersamaan di tuvalu telah menunjuk pukul 18:00 petang.
***
Hal yang menarik dari pembagian wilayah menurut zona waktu ini adalah karena dapat kita pastikan bahwa konsep ini telah ada sejak masa kuno, dikarenakan nama Saba, sebagaimana kita ketahui, telah ada setidaknya di masa Nabi Sulaiman berdasarkan keberadaannya dalam literatur-literatur kuno tradisi agama seperti Yahudi, Nasrani atau pun Islam.
Ketepatan pembagian waktu di masa kuno tersebut tentunya menjadi tanda tanya besar bagi kita bahwa, teknologi seperti apakah yang mereka gunakan? sehingga dapat mengetahui interval waktu secara tepat antara Tuvalu dan maroko yang bisa dikatakan berjarak sekitar 20,000 km (dengan pertimbangan bahwa keduanya masing-masing merupakan ujung belahan bumi, sementara lingkar bumi di bagian khatulistiwa adalah sekitar 40.075 km).
Apakah mungkin orang-orang di Zaman itu telah mengetahui metode penentuan waktu dengan penentuan garis bujur?
Mengenai lokasi garis waktu internasional kuno ini, Prof. Arysio Santos membahasnya sebagai berikut:
“Lanka – Lokasi Selat Sunda, jalur timur – juga merupakan lokasi Garis Waktu Internasional kuno. Dan, ini adalah tempat ketika hari baru dimulai berdasarkan konvensi Internasional yang diadopsi oleh banyak orang di dunia ( Meridian 0 derajat ) sejak dulu kala. Sekarang, menarik untuk ditanyakan, mengapa sejak dulu ada orang yang merasa perlu menetapkan Garis Waktu Internasional kecuali mereka telah mempunyai alasan dan sumber daya yang bagus untuk melakukan itu?
…Hanya kekaisaran internasional tingkat dunialah – suatu Negara dengan navigator hebat yang mampu menjelajahi seluruh dunia – yang benar-benar memerlukan Garis Waktu Internasional. Fakta bahwa Lanka adalah kekaisaran besar semacam itu sudah tidak diragukan lagi, seperti ditegaskan dalam kitab suci kuno umat Hindu. Dan, juga merupakan fakta bahwa Lanka dianggap sebagai lokasi awal Meridian 0. (Prof. Arysio Santos. Atlantis: The Lost Continent Finally Found. UFUKPRESS, 2010, Hlm. 189-190)
Dalam penjelasannya ini, Santos mengatakan lokasi selat Sunda sebagai titik meridian 0 derajat. Yang jika mengikuti pendapat ini, bahwa selat Sunda sebagai titik bujur 0 derajat maka, berarti titik terbenamnya matahari berada di wilayah Peru (Benua Amerika).
Ini tentu saja tidak sejalan dengan informasi dari berbagai literature kuno mengenai titik ujung barat bumi, yang pada umumnya mengatakan berada di wilayah Maroko dengan menyebut wilayah itu sebagai “Al-Mamlakah Al-Maghribiyah,” yang berarti kerajaan barat.
Di sisi lain, kita tidak pernah mendengar satu pun negeri di wilayah Peru atau pesisir barat benua Amerika pada umumnya, yang mendapat penyebutan “kerajaan barat” atau semacamnya.
Satu-satunya toponim yang berkesesuaian dengan pendapat Prof. Santos adalah keberadaan kerajaan Saba di Eden, Yaman dan kerajaan Saba di sebelah selatannya yaitu wilayah Etiopia.
Karena jika merujuk pada pendapat Prof. Santos tersebut maka, “negeri Sabah” atau “negeri pagi” letaknya berada di kawasan tersebut. Tapi hanya itu saja. Dukungan toponim lainnya yang menunjukkan keidentikan pada nama yang memiliki makna siang, sore, dan Maghrib ia tidak miliki. Dengan demikian, rasanya berat untuk menerima pendapat Prof. Santos terkait hal ini.
Terlepas dari fakta kecanggihan teknologi orang-orang di masa kuno yang kita ketahui dari terungkapnya pembagian wilayah muka bumi menurut zona waktu posisi matahari di langit ini, hal yang tak kalah penting yang terungkap dari metode ini adalah negeri Sabah yang terindikasi kuat bahkan dapat dipastikan letaknya berada di wilayah Nusantara. Ini sejalan dengan sebutan Nusantara pada masa kuno yakni: Saba, Sabadeiba, dan She-po (Cho-po).
Lebih lanjut mengenai pembahasan Nusantara sebagai “Negeri Sabah” silahkan membaca tulisan saya lainnya: (Negeri Sabah atau Negeri Pagi, Identitas Nusantara di Masa Kuno dan Ini Beberapa Catatan Kuno yang Menyebut Nusantara sebagai Negeri Saba), karena untuk selanjutnya saya akan secara khusus akan membahas “Negeri Siang” atau “Negeri Tengah Hari” yang saya identifikasi sebagai Negeri kaum Nabi Su’aib.
Hipotesis Madhyanagar Bazar sebagai Negeri Madyan (Negeri kaum Nabi Su’aib)
Etimologi toponim Madhyanagar Bazar, yang saya perkirakan berasal dari kata Sanskrit, madhyAhna berarti “siang” atau “tengah hari”; nagara yang berarti “Negeri”, secara jelas bercerita bahwa pada masa lalu daerah ini dijuluki “Negeri madhyAhna” atau “Negeri Siang” atau “Negeri Tengah Hari”.
Sementara itu, penulisan Madhyanagar Bazar dalam bentuk Bengali adalah Madhyanagara bajara; Madya = tengah atau pertengahan, nagara = kota/ Negeri, bajara = pasar – dengan demikian, kurang lebih dapat diartikan sebagai “pasar kota/Negeri tengah”.
Letaknya yang tepat pada garis bujur 90 derajat, yang artinya tepat berada di pertengahan antara belahan timur dan barat bumi, dapat dikatakan melengkapi dengan sempurna – dan sekaligus menjadi bukti kuat yang mengkonfirmasi teori adanya pembagian zona menurut posisi matahari di langit.
Sayangnya, literatur mengenai profil kesejarahan daerah Madhyanagar Bazar ini tidak saya temukan, sehingga agak sulit untuk menyusun profilnya. Namun jika mencermati namanya – yang jadinya bersifat hipotesis – maka dapat saya sampaikan beberapa hal sebagai berikut…
Dalam nama Madhyanagar terdapat kata “madhya” yang berarti “tengah”. Nama tersebut bisa dikatakan merupakan representasi dari posisi matahari yang tepat berada di tengah-tengah dalam perjalanan dari timur ke barat – dengan kata lain tepat berada di titik zenit. Dengan pemahaman ini, saya teringat dengan satu nama wilayah yang banyak disebut dalam kitab-kitab suci, yaitu: Madyan atau Midian.
Kedua bentuk nama ini pada dasarnya sama. Madyan berasal dari bentuk kata Madhya yang berarti “tengah”, sedangkan Midian nampaknya merupakan bentuk penyebutan orang eropa; Mid yang juga berarti “tengah” atau “pertengahan”.
Tapi apakah Madhyanagar Bazar adalah Madyan atau Midian yang banyak disebutkan dalam kitab-kitab suci tersebut? untuk hal ini saya tidak bisa memastikan. Hanya Allah-lah yang lebih tahu. Saya memilih untuk mengumpulkan bahan sebagai bahan pertimbangan, dan selanjutnya para pembaca saja yang menarik kesimpulan.
Menurut William G. Dever dalam bukunya Who Were the Early Israelites and Where Did They Come From? (2003, hlm. 34), Tanah alkitabiah Midian terletak di Semenanjung Arabia barat laut, di pantai timur Teluk Aqaba di Laut Merah (“Hejaz”). Beberapa ahli berpendapat bahwa “Midian” tidak merujuk ke tempat geografis atau suku tertentu, tetapi merupakan konfederasi atau “liga” suku yang disatukan secara kolektif untuk tujuan ibadah.
Paul Haupt yang pertama kali mengajukan saran ini pada 1909, menggambarkan Midian sebagai “kolektif kultus” (Kultgenossenschaft) atau “amphictyony” yang berarti “asosiasi (Bund) dari berbagai suku di sekitar tempat perlindungan atau tempat suci.” Elath, di ujung utara Teluk Aqaba diusulkan sebagai lokasi kuil pertama, dengan tempat perlindungan kedua yang terletak di Kadesh.
Berikut ini pernyataan William J. Dumbrell terkait pendapat ini…
Catatan alkitabiah tentang aktifitas orang Midian atau kelompok terkait pada akhir Zaman Perunggu Akhir menunjukkan mereka sebagai orang-orang yang tampak di mana-mana ditemukan tidak hanya di wilayah Horeb/ Sinai dan juga di Mesir, tetapi juga mengangkangi rute perdagangan utara-selatan, di dataran Moab…
Jelas bahwa, bahkan bagi para penulis Alkitab, mereka adalah entitas yang sukar dimengerti dan membingungkan, yang hanya sedikit diketahui secara langsung, dimana mereka banyak dikaitkan dalam hubungannya dengan banyak kaum.
Dalam kaitannya dengan Israel pada periode pembentukan bangsa Israel setelah Eksodus dan pengembaraan di padang gurun, orang-orang Midian terbukti telah meninggalkan stempel sosiologis mereka pada banyak lembaga awal Israel, sementara pada saat yang sama mereka menyusup ke tingkat tertentu tetangga Israel yang berdekatan di Palestina selatan dan daerah Transyordania.
Karena mereka juga ditemukan terkait dengan orang Edom, orang Keni, orang Ismael, Hagar, dan Kenizz. Juga setidaknya ada hubungan dengan orang Amalek dan Moab, dan mungkin dengan Amon.(…)
Untuk menjelaskan kompleksitas penyajian literatur mengenai orang Midian ini, lebih dari enam puluh tahun yang lalu Paul HAUPT berpendapat, “Midian ist nicht der Name eines arabischen Stammes sondern … ein Kollektivum mit der Bedeutung Kultgenossenschaft …Es (Midian) bezeichnete die edomitische Sinai-Amphiktyonie, deren Hauptstadt Elath um Golf von ‘Akaba war’.“
selanjutnya, HAUPT mendefinisikan sebuah amphictyony sebagai asosiasi dari berbagai suku di sekitar tempat perlindungan, dan dia menilai bahwa kuil konfederasi umum dari Liga Midianite adalah Sinai di Elath, sedangkan di sebelah utara dan barat Elath, Kadesh adalah tempat perlindungan Midianite kedua, di mana kontroversi diselesaikan dan kesalahan dihukum. Dalam perjalanan peristiwa sejarah kemudian, Midian menjadi terbatas pada distrik Madian (c. 1200 SM), dan nama tempat ini harus berasal dari orang Midian secara kolektif dan bukan sebaliknya.
Mencermati uraian William J. Dumbrell di atas, yang menggambarkan orang Midian sebagai orang yang tidak jelas, membingungkan, dikarenakan banyak terkait dengan banyak kelompok masyarakat pada masa itu, menyiratkan suatu pemikiran bagi saya bahwa kondisi semacam itu pada umumnya hanya terjadi pada orang-orang pendatang, semacam kaum pengungsi.
Hal ini dengan sendirinya mengarahkan ingatan saya pada kisah Nabi Shu’ayb bersama pengikutnya yang terpaksa pergi meninggalkan negeri Madyan.
Kisah Nabi Shu’ayb dan orang-orang Madyan dikisahkan dalam Al Quran, pada surat Al-A’raf, ayat 85:
Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Shu’ayb. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”
Kalimat “Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya” …dalam surat ini, tentunya dapat kita lihat memiliki keterkaitan dengan nama Madhyanagar Bazar yang berarti “Pasar Negeri Tengah”.
Saya membayangkan, di masa kuno Madhyanagar Bazar sebagai kota yang berada di pertengahan antara barat dan timur adalah merupakan pusat perdagangan. Banyaknya kecurangan transaksi yang terjadi, membuat Allah mengutus Nabi Shu’ayb untuk menyampaikan peringatan.
Dalam Al Quran pada surat Asy Syu’araa ayat 176-189, dimana dikisahkan Nabi Shu’ayb berada pada kaum Aikah (mungkin terjadi setelah ia meninggalkan Madyan), peringatan yang sama tentang perihal jual beli pun disampaikan…
(26:176) Penduduk Aikah telah mendustakan rasul-rasul;
(26:177) ketika Shu’ayb berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertakwa?,
(26:178) Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu.
(26:179) maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku;
(26:180) dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.
(26:181) Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan;
(26:182) dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.
(26:183) Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;
(26:184) dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu”.
(26:185) Mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir,
(26:186) dan kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami, dan sesungguhnya kami yakin bahwa kamu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta.
(26:187) Maka jatuhkanlah atas kami gumpalan dari langit, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.
(26:188) Shu’ayb berkata: “Tuhanku lebih mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
(26:189) Kemudian mereka mendustakan Shu’ayb, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya azab itu adalah azab hari yang besar.
Jadi dapat kita lihat bahwa Nabi Shu’ayb diutus Allah kepada dua kaum yaitu Madyan dan Aikah, yang pada intinya memberi peringatan kepada kaum tersebut perihal kecurangan yang mereka lakukan dalam transaksi jual beli.
Saya memperkirakan Madyan dan Aikah adalah dua wilayah yang berdekatan dan berada di sekitar teluk Benggala, dalam zona garis bujur 90 derajat, yang merupakan titik tengah antara timur dan barat. Dapat dibayangkan bahwa pada masa tersebut “Negeri Tengah” atau “Negeri Siang” ini nampaknya memang benar-benar menjadi pusat perdagangan dunia — yang melayani timur dan barat.
Jika dugaan ini benar, dan jika Yitro ayah mertua Nabi Musa – yang dikatakan dalam Alkitab (Keluaran 18) merupakan Imam orang-orang Midian — adalah nama lain Nabi Shu’ayb, maka bisa jadi Allah mempertemukan nasib kedua Nabi ini dalam pengungsiannya masing-masing. Nabi Musa yang meninggalkan Mesir setelah membunuh di Mesir, dan Nabi Shu’ayb yang dipaksa meninggalkan negerinya; Midian.
Hal ini dapat ditangkap maknanya pada kitab keluaran 18:1-12…
Dalam bacaan pertama: ayah mertua Musa Yitro mendengar semua yang telah dilakukan Allah untuk orang Israel, lalu ia membawa istri Musa Zipora dan kedua putranya, yang bernama Gersom (“Aku telah menjadi orang asing di sini”) dan Eliezer (“Tuhan adalah bantuanku”) datang menemui Musa di padang gurun di Gunung Sinai di mana ia berkemah. Yitro bersukacita, Tuhan memberkati, dan mempersembahkan korban kepada Allah.
namun apapun itu, hanya Allah yang maha tahu atas segala hal ini.
Inilah mungkin alasan mengapa dalam Al Quran pada Surat Hud, pada ayat 84 hingga 95 mengisahkan Nabi Shu’ayb dan dilanjutkan mengisahkan Nabi Musa pada ayat 96 setelahnya…
(11:84) Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Shu’ayb. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)”.
(11:85) Dan Shu’ayb berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.
(11:86) Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu”
(11:87) Mereka berkata: “Hai Shu’ayb, apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal”.
(11:88) Shu’ayb berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.
(11:89) Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Shaleh, sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu.
(11:90) Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.
(11:91) Mereka berkata: “Hai Shu’ayb, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami”.
(11:92) Shu’ayb menjawab: “Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah, sedang Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu?. Sesungguhnya (pengetahuan) Tuhanku meliputi apa yang kamu kerjakan”.
(11:93) Dan (dia berkata): “Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhan), sesungguhnya akupun menunggu bersama kamu”.
(11:94) Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shu’ayb dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya.
(11:95) Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, kebinasaanlah bagi penduduk Mad-yan sebagaimana kaum Tsamud telah binasa.
(11:96) Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan mukjizat yang nyata…
Dalam surat yang lain dalam Al Quran, kaum Midian ditimpakan bencana gempa…
…Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, (Surat Al-A’raf ayat 91)
Dugaan saya bahwa orang-orang Midian yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab suci, yang membingungkan para ahli pada masa sekarang ini dikarenakan begitu menyebarnya mereka dalam banyak komunias masyarakat di timur tengah pada saat itu, sebagai orang-orang yang berasal dari wilayah teluk Benggala, menguat, dengan didukung oleh adanya penamaan kota letak kuil suci sekaligus tempat perlindungan milik orang-orang Midian yang diidentifikasi para ahli sebagai: “Kadesh”.
Kades (juga Qadesh ) adalah kota kuno di Levant, yang terletak di atau dekat hulu atau bagian dangkal dari Sungai Orontes. Merupakan kota penting selama Zaman Perunggu Akhir, dan disebutkan dalam surat-surat Amarna.
Surat-surat Amarna yang kadang disebut juga korespondensi Amarna atau tablet Amarna, adalah arsip yang ditulis pada tablet tanah liat. Terdiri dari korespondensi diplomatik antara pemerintahan Mesir dan wakilnya di Kanaan dan Amurru selama Kerajaan Baru, antara 1360-1332 SM.
Herodotus menyebut Kadesh berasal dari bahasa Arab “Al Kads” yang artinya “suci”…
The Arabian name is Al Kads, the Holy ; it is sometimes also called Kadesh. Herodotus again mentions it (Thalia, c. 5) as a city of Palaestine, not much less than Sardis. (The History of Herodotus vol. I – Explanatory and Critical from: Larcher, Rennell, Mitford, Schweighaeuser. Oxford: Talboys and Wheeler, 1824, hlm. 201)
Sementara itu, sumber lain menganggap nama Kadesh berakar dari bahasa Semit Barat (Kanaan) QD-S “suci”. Yang diterjemahkan sebagai “Qdsw” di Mesir dan “Kades” di Hittite . Dengan varian ejaan Akkadian, termasuk Kinza, Kidsa, Gizza.
Dalam pandangan saya, besar kemungkinan Ka-desh berasal dari bahasa India “ek” yang berarti “sebuah” ; “Desh“yang berarti “Negara” – yang dengan demikian Kadesh dapat diartikan sebagai “Sebuah Negara”. atau dari bahasa Bengali “Ekai” yang berarti “sebuah” ; “Desa” yang berarti “Negara” — yang dengan demikian Kadesh dalam bahasa Bengali juga dapat diartikan sebagai “Sebuah Negara”. Atau bisa juga dengan bentuk yang lain dari bahasa India; “Gae Desh” yang artinya kurang lebih “Negara yang hilang”.
Menerjemahkan nama Kadesh sebagai berasal dari bahasa India atau pun Bengali, bersenyawa dengan bentuk hipotesis bahwa orang-orang Madyan ini berasal dari wilayah teluk Benggala pada mulanya. Dan pada dasarnya, nama “Kadesh” memang sangat jelas bercorak India. Bentuk semacam ini bisa kita lihat pada nama “Bangladesh.”
Peliknya upaya para ahli selama ini dalam mengidentifikasi asal usul mereka, saya pikir telah dapat terselesaikan — tentunya jika teori yang saya ajukan dapat diterima.
Yang secara umum dapat kita simpulkan bahwa negeri Madyan yang disebut dalam Kitab-kitab suci sebagai kaum Nabi Shu’ayb yang mendapatkan azab dari Allah akibat prilaku buruk curang dalam perdagangan, adalah Negeri yang posisinya tepat berada di tengah antara belahan Timur dan Barat. Letaknya ini yang di masa kuno menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia yang melayani sisi timur dan barat.
Demikianlah, terungkapnya konsep pembagian waktu di masa kuno, menawarkan ruang analisa baru disertai data dan fakta yang lebih kuat untuk menentukan letak Negeri Sabah dan Negeri Madyan yang selama ini sangat sulit teridentifikasi sehingga menjadi rana spekulasi para ahli sejarah yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun.
Demikian ulasan ini, semoga bermanfaat. Salam.