Bait 161.
dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan / wetane bengawan banyu / andhedukuh pindha Raden Gatotkaca / arupa pagupon dara tundha tiga / kaya manungsa angleledha (asalnya dari kaki Gunung Lawu sebelah Timur / sebelah timurnya bengawan / berumah seperti Raden Gatotkaca / berupa rumah merpati susun tiga / seperti manusia yang menggoda)
Bait 162.
akeh wong dicakot lemut mati / akeh wong dicakot semut sirna / akeh swara aneh tanpa rupa / bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis / tan kasat mata, tan arupa / sing madhegani putrane Bethara Indra / agegaman trisula wedha / momongane padha dadi nayaka perang / perange tanpa bala / sakti mandraguna tanpa aji-aji (banyak orang digigit nyamuk, mati / banyak orang digigit semut, hilang (lenyap) / banyak suara aneh tanpa rupa / pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar / tak kelihatan, tak berbentuk / yang memimpin adalah putra Batara Indra / bersenjatakan trisula wedha / para asuhannya menjadi perwira perang / jika berperang tanpa pasukan / sakti mandraguna tanpa bacaan-bacaan kesaktian)
Bait 163.
apeparap pangeraning prang / tan pokro anggoning nyandhang / ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang sing padha nyembah reca ndhaplang / cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang (bergelar pangeran perang / kelihatan berpakaian kurang pantas / namun dapat mengatasi keruwetan orang banyak yang menyembah patung yang membentangkan kedua tangan / cina ingat suhu-suhu (leluhur) dan pesan yang diberi, lalu melompat ketakutan)
Bait 164.
putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu / hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti / mumpuni sakabehing laku / nugel tanah Jawa kaping pindho / ngerahake jin setan / kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo / kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda / landhepe triniji suci / bener, jejeg, jujur / kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong (putra kesayangan almarhum yang bermukim di Gunung Lawu / yaitu Kyai Batara Mukti, ya Krisna, ya Herumukti / menguasai seluruh ajaran (ngelmu) / memotong tanah Jawa kedua kali / mengerahkan jin dan setan / seluruh makhluk halus berada dibawah perintahnya bersatu padu / membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda / tajamnya tritunggal nan suci / benar, tegak lurus, jujur / didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)
Bait 165.
pendhak Sura nguntapa kumara / kang wus katon nembus dosane / kadhepake ngarsaning sang kuasa / isih timur kaceluk wong tuwa / paringane Gatotkaca sayuta (tiap bulan Sura sambutlah kumara / yang sudah tampak menebus dosa / dihadapan sang Maha Kuasa / masih muda sudah dipanggil orang tua / warisannya Gatotkaca sejuta)
Interpretasi
Bait 161 menginformasikan posisi keberadaan Satria Piningit sebelum ia memunculkan diri.
Pada Bait 162, kalimat “banyak orang digigit nyamuk, mati” kemungkinan menyiratkan adanya wabah demam berdarah. Mengenai kalimat lanjutan “banyak orang digigit semut, hilang (lenyap)” saya pikir, Prabu Jayabaya iseng saja memunculkan kalimat ini. Ia sedang menunjukkan kepiawaiannya membuat sajak, dengan memunculkan bentuk ‘rima’ (pengulangan bunyi) pada kalimat: akeh wong dicakot lemut mati, akeh wong dicakot semut sirna.
Kalimat “banyak suara aneh tanpa rupa, pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar. (mereka) tak kelihatan, tak berbentuk” sangat menarik, karena ini senada dengan apa yang diungkap dalam naskah gulungan laut mati tentang perang akhir zaman yang menyebutkan bahwa, pertempuran itu bukan saja antara manusia, tapi juga melibatkan makhluk kosmis dan penghuni dunia astral.
Jadi, pertempuran akhir zaman adalah “final battle” antara pihak yang berdiri di sisi kebenaran (taat kepada Allah) dengan pihak yang berdiri di sisi kejahatan (tidak taat kepada Allah).
Jika dalam naskah Gulungan Laut Mati disebutkan bahwa dalam perang akhir zaman, pasukan di sisi kebenaran dipimpin “putra cahaya” maka, dalam jangka Jayabaya pemimpin pasukan yang berdiri di sisi kebenaran dipimpin oleh “Putra Batara Indra,” yang dalam bagian 1 telah saya jelaskan merujuk pada sosok yang bernama “Vali”, yakni nama putra spiritual Batara Indra dalam kisah Ramayana.
Dalam bait 163, kalimat “bergelar pangeran perang” mengindikasikan bahwa di masa mendatang Ratu Adil atau Satrio Piningit akan terlibat dalam banyak peperangan. Hal ini selaras dengan narasi-narasi apokalips dari sumber-sumber lain, seperti dari tradisi Islam misalnya, yang menyebutkan bahwa Imam Mahdi akan melakoni puluhan peperangan yang mana akan selalu ia menangkan. Kemenangan demi kemenangan tersebut yang akhirnya memancing kemarahan Dajjal dan akhirnya keluar dari persembunyiaannya.
Kalimat selanjutnya, “kelihatan berpakaian kurang pantas, namun dapat mengatasi keruwetan orang banyak yang menyembah patung yang membentangkan kedua tangan, cina ingat suhu-suhu (leluhur) dan pesan yang diberi, lalu melompat ketakutan” saya pikir merupakan bagian kalimat yang menarik.
Dalam Kalimat ini, Prabu Jayabaya mengisyaratkan bahwa meskipun Ratu Adil tidak berpakaian layaknya seorang pemuka agama pada umumnya, namun, ia dapat memberi pencerahan pada “golongan Kristiani” yang ia simbolisasi dalam ungkapan “reca ndhaplang” (reca= patung; ndhaplang= membentangkan kedua tangan), yang jelas merujuk pada patung Yesus di tiang salib.
Di kalimat selanjutnya “cina ingat suhu-suhu (leluhur) dan pesan yang diberi, lalu melompat ketakutan“, Prabu Jayabaya juga mengisyaratkan Ratu Adil dapat menginspirasi golongan etnis Tionghoa (yang di masa hidup Prabu Jayabaya adalah golongan penganut ajaran Buddha, jadi Orang Cina yang dimaksud Jayabaya merujuk pada orang-orang Buddhist) menyadari pesan-pesan leluhur atau nubuat dalam ajaran mereka bahwa suatu saat di masa mendatang, akan hadir Maitreya sang Buddha masa depan.
Kesadaran etnis Tionghoa ini digambarkan Jayabaya dengan kalimat “mereka lalu melompat ketakutan” bisa dikatakan merupakan penggambaran situasi psikologis seseorang ketika terkejut pada sesuatu yang datang tiba-tiba, dan berusaha sesegara mungkin untuk menyesuaikan diri. Dalam hal ini, dapat dimaknai bahwa pada saatnya nanti orang-orang etnis Tionghoa pun akan berbondong-bondong masuk dalam barisan Ratu Adil.
Dalam bait 164, kalimat “menguasai seluruh ajaran” mengisyaratkan saat ketika Satrio Piningit telah mencapai titik pencerahan sempurna, atau mendapat hidayah, yang dalam tradisi Islam disebutkan bahwa, Imam Mahdi adalah seseorang yang mendapat hidayah dalam semalam.
Kalimat “mengerahkan jin dan setan / seluruh makhluk halus berada dibawah perintahnya bersatu padu / membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda / tajamnya tritunggal nan suci / benar, tegak lurus, jujur / didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong” saya pikir merupakan bentuk kalimat pengulangan saja dari bunyi kalimat di bait 162, bahwa Ratu Adil tidak saja memimpin bangsa manusia tapi juga bangsa jin dan makhluk astral lainnya, yang memilih berada di barisan kebenaran.
Yang perlu mendapat perhatian dalam bait 164 adalah sebutan “berpedoman trisula weda“. Selama ini, banyak kalangan mengiterpretasikannya terlalu jauh, padahal, Prabu Jayabaya telah menjelaskan bahwa trisula weda itu terdiri dari tiga hal: benar, tegak lurus, dan jujur.
Pada bait 165, kalimat “tiap bulan Sura sambutlah kumara / yang sudah tampak menebus dosa / dihadapan sang Maha Kuasa” dan kalimat “masih muda sudah dipanggil orang tua” saya pikir adalah dua kalimat yang mengungkap atau mengacu pada subjek yang sama.
Kumara adalah nama lain dewa Kartikeya, yang dikenal luas dalam tradisi orang Tamil di wilayah India selatan dan Srilanka. Ia dikenal sebagai Dewa Perang yang memimpin tentara para dewa. Hal ini senada dengan sebutan “pangeran perang” dan “pemimpin pasukan bangsa manusia, bangsa jin, dan semua kekuatan kosmis yang berdiri di sisi kebenaran” sebagaimana yang digambarkan Jayabaya untuk sosok Ratu Adil.
Kalimat “masih muda sudah dipanggil orang tua” dapat dipahami maknanya dengan mencermati sosok kumara atau dewa Kartikeya yang dalam tradisi Hindu senantiasa digambarkan sebagai sosok yang masih muda dan tampan tapi memiliki kekuatan dan keterampilan yang luar biasa, di sisi lain juga sangat cerdas.
Jayabaya memilih Kumara (artinya: pemuda) sebagai analogi Ratu Adil, bertujuan mengisyaratkan bahwa Ratu Adil adalah sosok seorang pemuda yang atas kehendak Allah, akan hadir di akhir zaman dengan segala kemampuan yang luar biasa.
Atas segala kelebihan yang dimilikinya, Ratu Adil akan kerap dihadapkan pada situasi di mana orang-orang yang berinteraksi dengannya akan bersikap sungkan layaknya ketika orang itu berhadapan dengan orang tua. Hal ini misalnya dapat kita temukan dalam tradisi di Jawa yang memanggil “mbah” ketika berhadapan dengan “orang pintar” tak peduli orang itu masih muda atau sudah tua.
Kalimat “warisannya Gatotkaca sejuta” bisa dikatakan bentuk hiperbola yang diberikan Prabu Jayabaya untuk menggambarkan kekuatan dan keterampilan luar biasa yang dimiliki Ratu Adil.
BERSAMBUNG KE Mencermati Bait Bagian Akhir Ramalan Jayabaya, dan Relevansinya Dengan Situasi Masa Sekarang (bag. 3)