Bait 150.
ukuman ratu ora adil / akeh pangkat jahat jahil / kelakuan padha ganjil / sing apik padha kepencil / akarya apik manungsa isin / luwih utama ngapusi (hukum raja tidak adil / banyak yang berpangkat, jahat dan jahil / tingkah lakunya semua ganjil / yang baik terkucil / berbuat baik manusia malah malu / lebih mengutamakan menipu)
Bait 151.
wanita nglamar pria / isih bayi padha mbayi / sing pria padha ngasorake drajate dhewe (wanita melamar pria / masih muda sudah beranak / kaum pria merendahkan derajatnya sendiri)
Bait 152 – 156 tidak ada
Bait 157.
wong golek pangan pindha gabah den interi / sing kebat kliwat, sing kasep kepleset / sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik / sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati / nanging sing ngawur padha makmur / sing ngati-ati padha sambat kepati-pati ( tingkah laku orang mencari makan seperti gabah ditampi / yang cepat mendapatkan, yang lambat terpeleset / yang besar beramai-ramai membuat yang kecil terjepit / yang angkuh menengadah, yang takut malah mati / namun yang ngawur malah makmur / yang berhati-hati mengeluh setengah mati)
Bait 158.
cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring / melu Jawa sing padha eling / sing tan eling miling-miling / mlayu-mlayu kaya maling kena tuding / eling mulih padha manjing / akeh wong injir, akeh centhil / sing eman ora keduman / sing keduman ora eman (cina berlindung – karena dilempari lari terbirit-birit / (mereka) ikut (pada) orang Jawa yang sadar (masih mengingat) / yang tidak sadar was-was / berlari-lari bak pencuri yang kena tuduh / yang tetap tinggal dibenci / banyak orang malas, banyak yang genit / yang prihatin tidak kebagian / yang dapat bagian tidak prihatin)
Bait 159.
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun / sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu
bakal ana dewa ngejawantah / apengawak manungsa / apasurya padha bethara Kresna / awatak Baladewa / agegaman trisula wedha / jinejer wolak-waliking zaman / wong nyilih mbalekake / wong utang mbayar / utang nyawa bayar nyawa / utang wirang nyaur wirang (selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun / (sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu) / akan ada dewa tampil / berbadan manusia / berparas seperti Batara Kresna / berwatak seperti Baladewa / bersenjata trisula wedha / tanda datangnya perubahan zaman / orang pinjam mengembalikan / orang berhutang membayar / hutang nyawa bayar nyawa / hutang malu dibayar malu)
Bait 160.
sadurunge ana tetenger lintang kemukus lawa / ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener / lawase pitung bengi / parak esuk bener ilange / bethara surya njumedhul / bebarengan sing wis mungkur prihatine manungsa kelantur-lantur / iku tandane putra Bethara Indra wus katon / tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa (sebelumnya ada pertanda bintang pari / panjang sekali tepat di arah Selatan menuju Timur / lamanya tujuh malam / hilangnya menjelang pagi sekali / bersama munculnya Batara Surya / bebarengan dengan hilangnya kesengsaraan manusia yang berlarut-larut / itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak / datang di bumi untuk membantu orang Jawa)
***
Bait 150 hingga bait 158 saya pikir tidak perlu saya beri interpretasi. Karena saya pikir para pembaca dapat mudah memahami, terutama kalimat: “hukum raja tidak adil / banyak yang berpangkat, jahat dan jahil / tingkah lakunya semua ganjil / yang baik terkucil” – Yang mengisyaratkan makna hukum penguasa yang tidak adil. Para pejabat berwatak jahat dan jahil, dengan menerapkan kebijakan yang ganjil (tidak sesuai dengan tatanan Undang-undang yang berlaku).
Saya ingin langsung membahas bait 159 dan 160, di mana Prabu Jayabaya mengisyaratkan kemunculan Ratu Adil.
Interpretasi Bait 159
Kalimat pertama pada bait 159 beliau mengatakan bahwa: selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun (sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu) akan ada dewa tampil berbadan manusia.
Untuk mereka-reka tahun mana yang dimaksud, saya pikir, kalimat “sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu” perlu mendapat penafsiran.
Selama ini beberapa kalangan umumnya menafsirkan sebagai berikut: sinungkalan dewa wolu (8), ngasta (2), manggalaning (9), ratu (1) – yang berarti 8291. Karena dalam wangsitnya, Prabu Jayabaya menggunakan frase ini untuk mengisyaratkan waktu pergantian tahun maka, biasanya orang akan melihat angka 8291 ini sebagai penulisan angka terbalik untuk tahun 1928 tapi, karena tahun 1928 telah berlalu, maka, langkah lainnya yaitu dengan menjumlahkan deretan angka tersebut, yang hasilnya: 20 (1+9+2+8). Jumlah 20 inilah yang kemudian dianggap mengacu pada tahun 2020.
Tapi, karena tahun 2020 juga telah berlalu, sementara “dewa berbadan manusia” yang disebutkan Prabu Jayabaya dalam wangsitnya belum juga tampil maka, dengan sendirinya angka misterius 8291 masih menuntut suatu interpretasi lain.
Saya melihat ada kemungkinan jika angka 8291 mesti dilihat sebagai deretan angka yang secara spesifik menyatakan tanggal tertentu, yaitu: 9 / 8 / 21 ( 9 Agustus 2021). Tanggal ini, nyatanya, sangat sejalan dengan bunyi pernyataan Prabu Jayabaya ” selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun” – karena menurut Penanggalan Jawa, 1 hari setelah tanggal ini, yaitu 10 Agustus 2021, adalah merupakan tanggal 1 Suro (tahun baru dalam penanggalan Jawa).
Tepatlah jika dalam wangsitnya Prabu Jayabaya menggunakan frase: “selambat-lambatnya menjelang tutup tahun” untuk menyatakan momentum tanggal 9 Agustus 2021, karena ini merupakan tanggal akhir tahun 1954 menurut penanggalan Jawa. Jadi, sebelum tanggal inilah sosok manusia yang dianalogikan Prabu Jayabaya sebagai “dewa berbadan manusia ” itu akan menampilkan diri. Mungkin dikisaran tanggal 10 Juli hingga 9 Agustus 2021 atau dalam rentang 1 bulan sebelum tutup tahun, atau bisa jadi bahkan lebih cepat dari waktu tersebut. Intinya, menjelang tutup tahunlah pokoknya.
Demikianlah, frase “sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu” – yang berarti angka 8291, mengacu pada tanggal 9 / 8 / 2021 Masehi, di sisi lain, juga menyiratkan akhir tahun 1954 kalender Jawa.
Adapun makna bunyi kalimat berikutnya, “berwatak seperti Baladewa“, adalah isyarat yang diberikan Prabu Jayabaya bahwa Satria Piningit atau Ratu Adil adalah seorang yang berwatak tegas, keras hati, mudah naik darah tetapi pemaaf dan arif bijaksana, sebagaimana ciri watak Baladewa dalam pewayangan.
Interpretasi Bait 160
Di bait 160, Prabu Jayabaya menyebut Satria Piningit sebagai “putra Batara Indra”. Untuk mencermati Frase ini, mencari tahu siapa nama putra Batara Indra menjadi solusinya.
Dalam kisah Ramayana disebutkan bahwa Raja bangsa kera (bangsa Wanara) yaitu “Vali” adalah putra spiritual Dewa Indra. di Indonesia Vali lebih dikenal dengan sebutan Subali. Ia adalah suami “Tara” (Ratu Kishkindha). (sumber: di sini)
Karena di bait 159, Prabu Jayabaya telah menyebutkan bahwa Satria Piningit “berparas seperti Batara Kresna” yang artinya menyiratkan jika Satria Piningit berparas tampan dan berwibawa, maka, dapat diduga bahwa yang ingin diambil dari sosok “putra Batara Indra” tentulah bukan aspek sebagai Raja bangsa Kera, melainkan mungkin aspek nama “Vali”.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2