Ini adalah seri pembahasan mengenai upaya penelusuran untuk mengungkap asal mula bahasa hingga ke titik paling primordial, yaitu: bahasa Adam.
Dari masa kuno hingga hari ini hanya sedikit orang saja yang secara khusus mengabdikan hidupnya – jika bisa diistilahkan demikian – untuk mengkaji bahasa secara komprehensif. Mereka kemudian menjadi ahli-ahli studi bahasa (lingustik) yang dapat diandalkan keilmuan dan pencapaiannya untuk menjembatani proses studi bahasa dari masa ke masa.
Sejarawan Yunani Herodotus menyampaikan anekdot tentang Raja Mesir, Psammetichus, dalam volume kedua Histories – nya (2.2). Selama kunjungannya ke Mesir, Herodotus mendengar bahwa Psammetichus (“Psamtik”) berusaha menemukan asal mula bahasa dengan melakukan percobaan dengan dua anak bayi yang baru lahir.
Diriwayatkan, dia memberikan dua bayi yang baru lahir itu ke seorang gembala, dengan perintah bahwa tidak ada seorang pun yang boleh berbicara kepada mereka. Sang gembala cukup memberi makan dan merawat mereka sambil mendengarkan kata pertama yang mereka ucapkan.
Hipotesisnya adalah bahwa kata pertama yang mereka ucapakan adalah bahasa dasar semua umat manusia. Ketika salah satu anak menangis, dan terdengar mengucapkan “bekos”, sang gembala kemudian melaporkan hal ini kepada Psammetichus, yang menyimpulkan bahwa kata itu adalah bahasa Frigia, karena itulah bunyi kata Frigia untuk “roti”.
Jadi, mereka menyimpulkan bahwa orang Frigia adalah orang yang lebih tua daripada orang Mesir, dan bahwa Frigia adalah bahasa asli manusia. Namun tidak ada sumber lain yang dapat digunakan untuk memverifikasi cerita ini.
Orang Yunani kuno mempunyai bakat ingin mengetahui hal-hal yang oleh orang lain dianggap sebagai semestinya. Dengan berani dan gigih, mereka membuat spekulasi mengenai asal mula atau sejarah bahasa (etimologi).
Etimologi-etimologi tersebut menunjukkan kepada kita bahwa orang-orang Yunani menyadari bahwa bentuk-bentuk bahasa berubah dalam perjalanan waktu.
Dalam perjalanan bahasa mengisi ruang sejarah manusia, ada saat dimana bahasa dianggap karunia Ilahi kepada manusia, ada pula saat di mana “para ahli bahasa” berhenti memandang bahasa sebagai pemberian langsung dari Tuhan – lalu mengajukan berbagai teori mengenai asal mula bahasa.
Beda pendapat ini terus berlangsung, hingga pada satu saat muncullah deskripsi yang mengatakan bahwa studi tentang asal mula bahasa sebagai “tantangan terberat bagi sains”. Kekurangan bukti Empiris (pada asal-usul bahasa) telah menyebabkan banyak sarjana menganggap seluruh topik sebagai hal yang tidak sesuai untuk studi serius.
Hingga Pada tahun 1866, Linguistic Society of Paris melarang segala perdebatan yang ada atau yang akan datang mengenai masalah tersebut, suatu larangan yang tetap berpengaruh di sebagian besar dunia barat hingga akhir abad keduapuluh.
Penyair besar Italia, Dante Alighieri, dalam De Vulgari Eloquentia (1304) menulis, “Bahasa Ibrani adalah bahasa yang digunakan oleh bibir pembicara pertama,” dan berpendapat bahwa bahasa Adam asalnya dari Ilahi dan karenanya tidak dapat diubah; dia juga mencatat bahwa tindakan pertama adalah karena Hawa, berbicara dengan ular, dan bukan kepada Adam.
Namun, dalam Divina Commedia-nya, Dante mengubah pandangannya (Paradiso XXVI), menyimpulkan bahwa bahasa Ibrani adalah turunan selanjutnya dari bahasa yang diucapkan oleh Adam. (Norman Berdichevsky, 2014: 27)
Dalam bukunya, “Sejarah Arab sebelum Islam,” Jawwad Ali menguraikan bahwa sebagian Ilmuwan Barat beranggapan bahasa Ibrani merupakan bahasa Semit paling tua, karena mempunyai kedekatan zaman dengan bahasa ibu.
Ilmuwan lain berpendapat, bahasa Arab adalah bahasa modernnya, karena ia mengandung pangkal bahasa Semit. Ilmuwan lain lagi berpendapat, bukan bahasa Arab, melainkan bahasa Assyria kuno atau Babel dan lainnya.
Tidak ada satu pun dari mereka yang mengklaim telah mengetahui bentuk bahasa Semit yang memungkinkannya mengetahui bahasa yang digunakan Nabi Nuh, atau setidaknya anak-anaknya yang telah menurunkan garis keturunan bangsa Semit.
Para ilmuwan Taurat dan Semit begitu bersemangat dalam meneliti bahasa Semit pertama atau bahasa yang paling dekat dengan bahasa Semit. Mereka terdorong kisah dalam Taurat: tentang Sam dan bahasa manusia, Babel dan bahasanya.
Selanjutnya, para peneliti Barat menemukan bahwa riset seputar hal ini adalah sia-sia, karena pada saat ini yang tersisa dari bahasa Semit adalah rangkaian evolusi acak. Bahasa Semit kuno telah hilang keberadaannya tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Maka yang harus dilakukan para ilmuwan pada masa depan adalah fokus pada bahasa lain yang terikat dengan bahasa-bahasa Se kuno itu, baik yang belum maupun yang sudah dikenal.
Menurut Jawwad Ali, langkah terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah mempelajari bahasa-bahasa turunan bahasa Semit dan mengomparasikannya, agar dapat memilah kemiripan dan asalnya, sebagaimana komparasi bahasa ini Arab dengan bahasa di Afrika. Juga bahasa Mesir kuno dengan bahasa Barbariyah dan Harariyah, serta dialek Abyssinia. Sehingga kita bisa memperoleh penjelasan ilmiah seputar keterikatan yang menghubungkan antara bahasa Ham dan bahasa Semit… [Jawwad Ali. Sejarah Arab sebelum Islam, Vol. I (2018: 240-241)]
Menurut sebagian besar ilmuwan Barat, bahasa Arab adalah bentuk lain dari bahasa Semit. Bahasa Arab merupakan turunan dari bahasa-bahasa Semit yang tersisa yang dapat dipelajari, karena bahasa Arab belum banyak bercampur dengan bahasa lain.
Selain itu, bahasa Arab mampu menjaga ciri khas bahasa Semit kuno seperti dalam penggunaan irab. Karena itu, menurut mereka, mempelajari bahasa Arab akan memberikan lebih banyak kepastian tentang ciri khas bahasa Semit kuno.
Para ilmuwan Arab pun sibuk meneliti bahasa Semit atau bahasa Sam bin Nuh. Bahkan, mereka bergerak lebih jauh lagi dengan meneliti bahasa Adam – kakek moyang manusia dan bahasa surga. Hal yang mana sebelumnya juga telah dilakukan oleh orang Yahudi dan Nasrani, melakukan sejumlah riset seputar bahasa Adam, bahasa manusia pertama yang kemudian menurunkan beragam bahasa manusia hingga hari ini.
Menurut sebagian ilmuwan Arab, bahasa Arab adalah bahasa lisan pertama, yakni lisan Adam. Merupakan bahasa pertama yang diturunkan bersamaan dengan turunnya Adam dari surga. Namun, setelah masa yang panjang, berubah menjadi bahasa Suryani yang mirip dengan bahasa Arab.
Terkait bahasa Suryani, Jawwad Ali menanggapi bahwa tidak ada salahnya pendapat yang mengatakan bahwa bahasa Suryani adalah asal dari semua bahasa. Lebih jauh, ia juga adalah bahasa Adam dan Sam bin Nuh. [Jawwad Ali. Sejarah Arab sebelum Islam, Vol. I (2018: 242)]
Terkait pendapat Jawwad Ali maupun ilmuwan Arab lainnya, saya melihat jika hal tersebut sesungguhnya didasari dari suatu hadist Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan empat orang nabi terdahulu (Adam, Set, Nuh, dan Henokh) berasal dari bangsa Suryani.
Yang menjadi pertanyaan, bangsa Suryani manakah yang dimaksud? Suriah yang letaknya di timur tengah (sebagaimana banyak kalangan peneliti menafsirkan), ataukah bangsa Surya (wangsa Surya) di India?
Jika merujuk dari pembahasan saya di tulisan-tulisan sebelumnya tentang bangsa atau kaum penyembah matahari (misalnya : “Kaitan Negeri Saba dan Wangsa Surya”), maka dugaan saya tentunya lebih menguat pada bangsa Surya (bangsa matahari) di India.
Tapi India yang mana, India di Asia Selatan (yang kita kenal dengan sebutan negara India hari ini) ataukah wilayah yang di masa lalu oleh orang Eropa menyebutnya “East Indies” (India Timur) atau kadang juga disebut “East Indian Archipelago” (Kepulauan India timur), yang di masa sekarang lebih dikenal dengan sebutan Indonesia?
Terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia adalah negara saya, berbagai data dan fakta yang saya temukan selama saya menekuni studi mengenai hal ini – hukum objektifitasnya menuntut saya untuk mengatakan bahwa asal paling awal dari bangsa suryani adalah wilayah yang hari ini kita kenal sebagai Indonesia.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2