-->

Lahore "Negeri Tengah" Kedua, Setelah Negeri Madyan Terkena Azab


Lahore adalah kota kuno yang terletak di tepi sungai Ravi (sungai lintas batas antara India dan Pakistan). Dalam beberapa buku sejarah ia disebut juga dalam bentuk Lahur dan Lahavar.  (Muammad Baqir. Lahore, Past and Present: Being an Account of Lahore Compiled from Original Sources1984: 20)

Namun begitu, sampai saat ini, tidak ada bukti konklusif untuk menetapkan kapan tepatnya Lahore didirikan atau asal-usul yang tepat dari etimologi nama tersebut.  

Beberapa sumber mengatakan nama kota itu berasal dari kata “Loh” atau “Lava”, putra Rama dalam puisi epik Hindu kuno, Ramayana.

Sebuah legenda lainnya yang didasarkan pada tradisi lisan menyatakan bahwa Lahore dikenal di zaman kuno sebagai Lavapuri (Kota Lava dalam bahasa Sanskerta). (Braz A. Fernandes. Annual bibliography of Indian history and Indology, Volume 4. 1946: 257)

Ptolemy menyebutkan di dalam Geographia-nya sebuah kota bernama Labokla yang terletak di dekat Sungai Chenab dan Ravi yang mungkin mengacu pada Lahore kuno. (Charles Umpherston Aitchison. Lord Lawrence and the Reconstruction of India Under the British Rule. 1905: 54)

Dokumen otentik tertua tentang Lahore ditulis secara anonim pada tahun 982. Dokumen tersebut bernama  udud al-Alam, Artinya: “Batas Dunia” (udud al-Alam “The Regions of the World”. Translate and Explained by Vladimir Minorsky. 1930) – adalah sebuah buku geografi abad ke-10 yang ditulis dalam bahasa Persia oleh seorang penulis tak dikenal dari provinsi Guzgn, di tempat yang dikenal sebagai Jowzjan wilayah Afghanistan utara sekarang ini.

Buku itu didedikasikan untuk pangeran lokal dari keluarga Farigunid, Amir Abul-Harith Muhammad b. Ahmad. Judul lengkapnya adalah  “udud al-Alam min al-Mashriq ila l-Maghrib (Batas Dunia dari Timur ke Barat)[Ibid, hlm 30]. 

Dalam bahasa Inggris, judul buku ini juga diterjemahkan sebagai “The Regions of the World” setelah terjemahan Vladimir Minorsky tahun 1937, di mana pada catatan kaki Vladimir Minorsky mengomentari judul tersebut sebagai berikut:

…Kata udud (“batas” benar, atau “batas” tepat) yang dalam hal ini pembuktiannya mengarahkan kita pada ‘wilayah dengan batas-batas yang jelas’ di mana dunia dibagi dalam buku udud al-Alam. …seumpama saya menggunakan kata “wilayah” untuk naiyat, akan lebih baik mungkin, dengan menerjemahkan udud al-Alam sebagai “Batas Wilayah-wilayah di dunia. [Ibid, hlm vii]

Hal yang menarik perhatian saya terhadap buku udud al-Alam adalah judul aslinya, yakni “Batas dunia dari timur ke barat”, kalimat ini dapat dikatakan sesuai dengan perkiraan saya bahwa Negeri Tengah memang dipindahkan ke wilayah ini. 

Dalam tulisan sebelum, yang berjudul “Jejak yang Hilang dari Orang Madyan, Kaum Nabi Syu’aib yang Mendapat Azab” telah saya bahas negeri tengah pertama (sebelum dipindahkan ke Lahore) berada di wilayah Bangladesh hari ini. Di sana ada toponim Madhyanagar Bazar, yang dalam bentuk Bengali adalah “Madhyanagara bajara” (Madya = tengah atau pertengahan, nagara = kota, bajara = pasar. Jadi Madhyanagar Bazar artinya: Pasar Negeri Tengah).

Letak Madhyanagar Bazar yang tepat pada garis bujur 90 derajat (garis bujur pertengahan dari garis bujur 0 derajat ke garis bujur 180 derajat) sangat selaras dengan identifikasi sebelumnya bahwa Madyan adalah berarti “negeri tengah”, sementara itu sebutan “Bazar” atau pasar yang melekat pada toponim tersebut sejalan pula dengan riwayat dalam kitab suci yang mengatakan bahwa bangsa Madyan adalah bangsa pedagang.  (untuk lebih lengkapnya baca di sini: Jejak yang Hilang dari Orang Madyan, Kaum Nabi Syu’aib yang Mendapat Azab).

Hal ini yang mendasari hipotesis saya bahwa sangat mungkin kaum Madyan yang disebutkan dalam kitab suci sebagai kaum Nabi Syu’aib  yang mendapat azab dikarenakan kecurangannya dalam kegiatan jual beli, dulunya terletak di Madyanagar Bazar, di Wilayah Negara Bangladesh saat ini. 

kembali ke pembahasan sebelumnya…

Sayangnya, saya tidak menemukan Lahore sebagai negeri tengah secara lebih spesifik dibahasa di dalam buku yang diterjemahkan oleh Vladimir Minorsky. Dalam kata penutup Kata Pengantar (v.i. hal. 32) V.V. Barthold (Penerjemah dan pengedit pertama kali sebelum Minorsky) berkata bahwa… “alasan utamanya untuk meninggalkan ide memberikan terjemahan manuskrip secara lengkap adalah karena masih terdapat sejumlah besar pembacaan nama-nama geografis yang masih belum diketahui”.

Dalam udud al-Alam, Lahore disebut sebagai sebuah kota dengan banyak distrik. Di dalamnya terdapat pasar dan kuil-kuil berhala. Ada banyak pohon jalghuza (menurut raverty: Pinus Gerardiana), pohon almond, serta pohon kelapa. Semua penduduknya adalah penyembah berhala, dan tidak ada Muslim di sana.

Satu hal yang menarik yang saya temukan setelah mencermati keberadaan pasar di lahore pada masa kuno sebagaimana yang diungkap dalam Hudud Al-‘Alam, adalah adanya istilah bohni dalam transaksi perdagangan mereka.

Bohni atau boni adalah kebiasaan sosial dan komersial terutama dari India Utara dan Pakistan yang mengacu pada penjualan pertama hari itu.[S.W. Fallon. A new Hindustani-English dictionary with illustrations from Hindustani literature and folk-lore. 1879:262] 

Dalam “A dictionary, Hindustani and English : accompanied by a reversed dictionary, English and Hindustani” Bohni disebutkan sebagai uang yang diterima pada penjualan pertama di pagi hari oleh penjaga toko dan pedagang keliling. Tidak menerima kredit, dengan kata lain transaksi terjadi secara tunai saja dan idealnya tanpa diskon. [Duncan Forbes. A dictionary, Hindustani and English : accompanied by a reversed dictionary, English and Hindustani. 1866: 132] 

Praktek ini dikatakan berasal pada awal abad ke-18 di pasar akhir pekan Lahore. Tradisi itu dilakukan sedemikian rupa sehingga penjualan pertama pada setiap hari pasar dibuat untuk kurcaci (orang kerdil) dengan tujuan agar mendapatkan pertanda baik yang menguntungkan kegiatan penjualan. Kurcaci dalam bahasa Hindustani dikenal sebagai “bauna”[Area Study Centre (Central Asia) – Issues 5-7, University of Peshawar. 1980]. Sebagian orang berpendapat bahwa “bohni” berasal dari kata “bauna” ini.

Di Jawa hal semacam bohni dikenal dengan istilah penglaris, sementara di Sulawesi selatan khususnya pada pedagang Bugis lebih dikenal dengan istiah “Pammula Balu”. Secara umum, hampir tidak ada perbedaan bentuk sentimen pedagang di wilayah Pakistan atau India dengan pedagang bugis di Sulawesi Selatan mengenai budaya dagang ini. 

Bagi pedagang di wilayah Pakistan dan India Utara penjualan pertama (bohni) dipercaya berpengaruh kepada kesuksesan kegiatan penjualan selanjutnya pada hari itu. Adalah pertanda buruk jika pelanggan pertama pergi tanpa melakukan pembelian, sehingga pedagang sangat berhati-hati untuk tidak membiarkan itu terjadi.

Pada momentum bohni, harga barang biasanya dibuat relatif rendah agar penjualan dapat dimulai dan keberuntungan dapat dipertahankan. [Pramod Kumar Sinha – 1970, The depiction of folk-culture in Vidyapati’s prose

Setelah transaksi bohni berhasil, kebanyakan orang yang percaya takhayul akan meludahi uang hasil penjualan pertama tersebut dengan harapan tindakan tersebut dapat menghindarkannya dari kesialan pada hari itu.

Pada pedagang-pedagang di Sulawesi Selatan praktek semacam ini pun dapat kita jumpai, biasanya mereka meludahi lalu melipatanya dengan baik kemudian menyimpannya di bagian yang dianggapnya special di dalam tempat penyimpanan uang.

Terkait tradisi bohni di wilayah Pakistan dan India utara dengan “Pammula balu” dalam tradisi perdagangan orang Bugis yang memiliki arti yang sama yaitu “Penjualan pertama”, maka saya ada menduga kemungkinan tradisi tersebut pada dasarnya berasal dari Pulau Sulawesi yang dibawa ke wilayah sana oleh pelaut dan pedagang dari Pulau Sulawesi. 

Bahwa istilah bohni tersebut berasal dari kata boni yang merupakan nama teluk di pulau ini (teluk boni), asal dari para pelaut dan pedagang ulung, sebagaimana yang dikatakan Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java“The Bugis, indeed, is the great maritime and commercial state of the Archipelago”. [Thomas Stamford Raffles. The History of Java.  1817:  clxxxiii] 

Jejak Bugis di wilayah ini (Asia Tengah) bahkan dapat kita temukan pada sebutan  “bo’g’iz” yang berarti “teluk” dalam bahasa Uzbek. (Pembahasannya dapat dibaca di artikel ini: Jejak Pedagang Nusantara di Asia Tengah pada Masa Kuno)

Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.

LihatTutupKomentar