Sebelum saya masuk ke inti pembahasan wangsit Prabu Siliwangi, saya ingin terlebih dahulu mengurai beberapa hal yg saya anggap penting untuk saya sampaikan, agar nanti setelah kita tiba pada pembahasan inti, para pembaca telah memiliki perspektif yg memadai, sehingga dapat memahami uraian dengan baik.
Dalam tulisan sebelumnya “Lauh Mahfuzh dan Internet…..” telah saya ungkap bahwa sejak masa kuno “Lauh Mahfuzh” atau yang juga disebut “Akashic Records” telah diketahui sebagai medium penyimpanan segala sesuatu peristiwa yang terjadi di alam semesta.
Meskipun telah diketahui sejak masa kuno, namun, hanya sedikit saja “orang khusus” yang mampu mengakses “secara signifikan” data yang tersimpan di server alam semesta ini.
Saya tegaskan “secara Signifikan” oleh karena, pada kenyataannya, setiap manusia yang masih hidup dapat mengakses dan terhubung satu sama lain melalui jaringan Lauh Mahfuzh ini. Analoginya persis sama dengan jaringan Internet dewasa ini.
Namun demikian, dari sejak masa kuno memang hanya sangat sedikit orang yg memahami tentang adanya Lauh Mahfuzh sebagai jaringan yang menghubungkan umat manusia. “Orang-orang khusus” tersebut merahasiakan dan mengembangkan kemampuannya mengakses Lauh Mahfuzh untuk digunakan secara terbatas di kalangan mereka saja.
Hasil yang mereka dapatkan dari Lauh Mahfuzh ketika diungkap ke khalayak umum biasanya dalam bentuk bahasa simbolis (metafora) yang sulit dipahami orang awam.
Mengenai gaya bahasa metafora yang digunakan orang di masa kuno untuk mengungkap suatu wahyu, visi ilahiah, dsb, telah saya bahas dlm tulisan ini: Bahasa Senja (Twilight language) ….
Masalah besar kemudian muncul dalam perjalanan sejarah umat manusia ketika orang-orang di luar komunitas penjaga rahasia suci mengupayakan pengetahuan tentang hal tersebut dengan caranya sendiri, guna mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri.
Mereka memanipulasi ilmu perbintangan dan tanda-tanda alam lainnya untuk memunculkan suatu bentuk ramalan atau prediksi yang tidak benar dan tentu saja menyesatkan.
Ada juga yg memanfaatkan (atau lebih tepatnya dimanfaatkan) kekuatan dari sisi kegelapan (golongan jin jahat). Sehingga, dalam perspektif keagamaan berkembang pemahaman bahwa mereka para dukun dan ahli nujum telah mendapatkan keuntungan dari bisikan jin yang mencuri dengar berita langit.
Pemahaman ini ada benarnya. Terkait hal ini Allah Ta’ala berfirman:
“Apakah akan Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak berbuat jahat/buruk (para dukun dan tukang sihir). Syaitan-syaitan tersebut menyampaikan berita yang mereka dengar (dengan mencuri berita dari langit, kepada para dukun dan tukang sihir), dan kebanyakan mereka adalah para pendusta” (QS asy-Syu’araa’:221-223).
Tapi penting pula untuk dipahami bahwa berita gaib (berita langit) yang dirahasiakan Allah, ada pula yang atas Izin dan sebagai bentuk KaruniaNya, Dia berikan kepada hamba-Nya yang Ia kasihi.
Hal lain yang saya pikir penting pula untuk para pembaca pahami adalah bahwa, hamba-hamba yang Ia kasihi dan Ia rahmati itu bukan hanya orang-orang dari golongan pengikut nabi Muhammad, tapi juga Pengikut nabi Isa, Buddha, dan nabi-nabi lainnya.
Siapa pun dia, selama berada di jalan lurus, tunduk dan patuh terhadap perintah Allah, maka ia adalah tergolong berada dalam jalan keselamatan, tergolong Islam, dan oleh karena itu, Ia adalah hamba yang akan dikasihi dan dirahmati Allah.
Orang-orang yang dirahmati Allah ini, biasanya akan dilimpahkan kepadanya suatu karunia, salah satunya adalah berita gaib tentang suatu kejadian di masa depan.
Allah Berfirman, QS. Al Jinn ayat 26-27: Dia Mengetahui yg gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yg gaib itu. Kecuali kepada rasul (utusan-utusan) yang diridahi-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.
Saya juga ingin tekankan pemahaman bagi para pembaca bahwa “utusan Allah” yang membawa pesan bagi umat manusia di muka bumi tidaklah senantiasa sekadar berbicara tentang ayat-ayat suci, atau mengusung simbol-simbol keagamaan saja.
Saya pikir, kita harus memiliki perspektif yg lebih luas terkait “utusan Allah” ini. Misalnya, kita bisa melihat Einstein sebagai penyampai pesan “teori relativitas,” Michael Faraday sebagai penyampai pesan ke umat manusia tentang “keterkaitan antara cahaya dengan elektromagnetik.”
Saya pribadi sangat mengagumi Michael Faraday. Teorinya yang menyatakan adanya hubungan cahaya dan elektromagnetik bisa dikatakan memang terbilang sangat revolusioner dan radikal. Awalnya Ia bahkan dicemooh kalangan ilmuwan, dianggap sebagai suatu hal yang tidak masuk akal.
Beberapa puluh tahun kemudian, setelah Faraday memasuki usia senjanya, barulah muncul matematikawan James Clerk Maxwell yang dapat menyusun persamaan tersebut (cahaya dan elektromagnetik) dalam bahasa matematika.
Pencapaian Maxwell terkait perumusan teori klasik tentang radiasi elektromagnetik, yang jelas merujuk pada teori yang sebelumnya telah disampaikan Faraday, dianggap sebagai salah satu prestasi yang paling menonjol sepanjang karirnya.
Karena melalui perumusan tersebut, untuk pertama kalinya kelistrikan, kemagnetan, dan cahaya, disatukan – sebagai suatu manifestasi berbeda dari fenomena yg sama. Persamaan Maxwell itu disebut sebagai “penyatuan besar kedua dlm fisika” setelah yang pertama direalisasikan Newton.
Poin penting yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa, orang-orang yg ditakdirkan dalam hidupnya sebagai tokoh besar dalam sejarah umat manusia, yg menghasilkan karya luar biasa & sangat bermanfaat bagi peradaban, dalam hal tertentu, bisa kita lihat sebagai utusan Allah di muka bumi.
Bahkan, jika merujuk pada pemahaman “ayat kauniyah,” yaitu bahwa alam semesta dan segala yang ada di dalamnya adalah merupakan ayat-ayat Allah, maka, para ilmuwan penemu pun pada dasarnya dapat kita pahami sebagai penyampai pesan “ayat-ayat Allah.”
Sejak masa Adam hingga ribuan tahun selanjutnya, ada sangat banyak utusan Allah yang hadir di muka bumi. Sebagian di antaranya dikabarkan dalam kitab-kitab suci, sebagian lainnya hanya disyaratkan, bahkan ada juga yang tidak diberitakan sama sekali.
RENDERING WANGSIT PRABU SILIWANGI
Selama ini, beberapa kalangan menyebut wangsit Prabu Siliwangi sebagai suatu bentuk ramalan. Tapi saya pikir orang yang menganggap demikian, sesungguhnya, pada dasarnya tidak mengetahui apa yang sedang ia bicarakan.
Kenyataannya, beberapa poin yang disebutkan dalam wangsit Prabu Siliwangi, dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pernyataan simbolis suatu “Penglihatan” yg diekspresikannya dalam bentuk metafora agar makna sebenarnya tidak mudah dipahami, karenanya, wangsit tersebut dapat kita sebut sebagai “ekspresi esoterik”.
Berikut ini beberapa poin dalam wangsit Prabu Siliwangi yang ingin saya ungkap dalam kesempatan ini…
Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi zaman. Ganti zaman ganti cerita!
Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.
Bunyi kalimat di atas tidak perlu diragukan lagi memang merujuk pada sosok Soekarno.
Kalimat lanjutannya…
Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, (…) memelihara elang dipohon beringin.
Kalimat di atas ini merujuk pada sosok Soeharto.
Yang menarik, dalam kalimat ini, saya melihat prabu Siliwangi berhasil mengekspresikan “penglihatannya” terhadap masa pemerintahan Soeharto dalam bentuk kalimat metafora yang sungguh sangat berkelas.
Berikut ini renderingnya…
“mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka” – “Benteng” yang dimaksud dalam kalimat ini adalah “UUD 1945”, yang selama ini kita pahami sebagai “benteng NKRI.”
Kalimat “Tidak boleh dibuka” merujuk pada makna “tidak boleh diutak atik lagi”, atau tidak boleh diamandemen (diubah).
“yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup” – “pintu” yang dimaksud dalam kalimat ini adalah “Pancasila” sebagai “pintu demokrasi” yang tidak boleh ditutup.
“memelihara elang di pohon beringin” – Yang dimaksud “elang” dalam kalimat ini adalah “burung elang Garuda” simbol negara Indonesia. Sementara, “pohon beringin” merujuk pada partai Golkar yang kita ketahui berlogo pohon beringin.
Kita ketahui, di masa Soeharto, Golkar menjadi partai terkuat. partai pemerintah. Jadi, kalimat “memelihara elang di pohon beringin” dpt dimaknai upaya Soeharto memelihara Indonesia yg bersimbolkan “burung elang garuda” dgn menggunakan partai Golkar yg berlogo pohon beringin.
Demikianlah, ada banyak kalimat-kalimat dalam wangsit Prabu Siliwangi yang menunjukkan jika itu bukanlah suatu ramalan (prediksi) tapi merupakan suatu “penglihatan spiritual” tentang peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang (setelah masanya).
Identifikasi makna “Suara tengah malam dari Gunung Halimun – Lebak Cawene – Pemuda Berjanggut”
Selama ini, pada umumnya, ketika orang berbicara tentang wangsit Prabu Siliwangi maka, sosok ‘Budak Angon’ dan ‘Lebak Cawene’ bisa dikatakan menjadi pusat perhatian.
Padahal, terdapat pula sosok ‘pemuda berjanggut’ yang disebut Prabu Siliwangi sebagai sosok yang datang membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap, malah dimasukkan penjara.
Di bagian lain dalam wangsitnya, Prabu Siliwangi mengatakan ‘Pemuda Berjanggut’ kemudian datang ke tempat tinggal ‘Budak Angon’ lalu mengajaknya membuka lahan baru di Lebak Cawene.
Dalam uraian ini saya akan memberi identifikasi dugaan siapa sesungguhnya yang dimaksudkan Prabu Siliwangi sebagai “pemuda berjanggut’, juga, daerah mana sesungguhnya yang disebut sebagai ‘lebak cawene’.
Sebelum memasuki pembahasan tersebut, saya terlebih dahulu ini ingin memberi pemahaman kepada pembaca bahwa, nampaknya, alur cerita dalam wangsit Prabu Siliwangi bukanlah alur progresif, yang susunan kronologisnya berurutan dari awal hingga akhir, dgn kata lain, ada bagian di mana cerita dalam wangsit ini melompat jauh ke depan, lalu kembali memulai cerita dari belakang.
Bagian cerita yang saya perkirakan melompat jauh kedepan misalnya terdapat pada kalimat berikut, yang ingin saya beri interpretasi…
Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dara gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya.
Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawene. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! jangan menoleh kebelakang!
Saya melihat ada kemungkinan bahwa kalimat “suara minta tolong di tengah malam” merujuk pada suara rekaman minta tolong “korban km 50” yang baru-baru saja viral di media sosial. (Rekaman suara minta tolong tersebut dapat anda cermati kembali di channel Youtube Najwa Shihab)
Sementara “gunung halimun” merujuk pada wilayah perbukitan mega mendung. Dalam hal ini, “mega” yang berarti “awan” sebenarnya sinonim dengan “halimun” yang berarti “kabut.”
Jadi bentuk kalimat utuh yang mudah dipahami adalah: Suatu saat nanti, apabila (pada saat) tengah malam, terdengar suara minta tolong (yang berasal dari orang yang datang) dari gunung Halimun (mega mendung).
Dengan susunan kalimat seperti ini, tentunya para pembaca telah dapat memahami bahwa yang dimaksud orang yang datang dari gunung halimun (mega mendung) merujuk pada “para korban km 50”.
Kalimat selanjutnya “Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawene. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir!” – kalimat ini saya perkirakan membentuk alur mundur, dengan asumsi bahwa yang dimaksud “orang yang mau menikah” dalam kalimat tersebut merujuk pada pernikahan putri HRS, karena acara pernikahan tersebut berlangsung beberapa hari/minggu sebelum peristiwa naas km 50 terjadi.
Identifikasi ini saya pikir cukup identik, oleh karena, kita ketahui, ramai di pemberitaan pada saat itu HRS mengundang ribuan orang untuk menghadiri pernikahan putrinya. Fakta ini tentunya senada dengan kalimat “Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah…”
Kalimat selanjutnya “jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir!” – telaga akan banjir dalam kalimat ini nampaknya merupakan perumpamaan untuk makna “bencana atau masalah”, ini nantinya akan merujuk pada masalah “kasus kerumunan” yang ditimbul kemudian.
Mengenai ungkapan “Lebak Cawene,” saya perkirakan merujuk pada nama wilayah “Tanah Abang”.
Kata lebak dapat diartikan: lembah/ dataran/ tanah, sementara “Cawene” berarti: “perawan/ gadis”. Jadi, secara harfiah Lebak Cawene artinya: lembah gadis/perawan, atau tanah gadis/perawan.
Jika demikian arti dari “Lebak Cawene”, Lalu, mengapa saya mengidentifikasinya merujuk pada “Tanah Abang”?
Saya melihat Prabu Siliwangi ini selain memiliki kedalaman spiritualitas yang baik, ia sesungguhnya juga adalah seorang sastrawan, seorang intelektual yang berwawasan luas di zamannya.
Misteri yang terbangun pada frase “Lebak Cawene” dalam uga Siliwangi, yang selama ini membingungkan banyak kalangan, semata-mata timbul oleh karena makna sesungguhnya dari frase tersebut berlindung dibalik permainan “lawan kata” yg dalam ilmu bahasa kita kenal dengan sebutan “antonim”.
Contoh kata antonim: Atas ≠ Bawah; Besar ≠ Kecil; Jauh ≠ Dekat, Mahal ≠ Murah, Baru ≠ Lama, Bahagia ≠ Sedih, Kuat ≠ Lemah, Baik ≠ Buruk, Terang ≠ Gelap, Asli ≠ Palsu, dll.
Dgn mengidentifikasi “Lebak Cawene” sebagai permainan “antonim” maka, dapat diduga Lebak Cawene ≠ Lebak Abang (Tanah Abang). (permainan “antonim” diulang kembali oleh Prabu Siliwangi pada ungkapan “memakai baju hitam. Penjelasannya nanti ada di bagian bawah).
Di kabupaten Karawang, Jawa Barat, ada kecamatan Lemah Abang, yang mana kata “lemah” dlm bahasa Sunda berarti: tanah/ bumi.
Kata ‘lemah’ dan ‘lebak’ bisa dikatakan memiliki makna yang sinonim, hanya saja dalam bahasa Sunda, makna kata ‘lebak’ sedikit lebih spesifik mengarah pada makna “tanah – yang berada di tempat yang lebih rendah”, atau dengan kata lain “lembah”.
Dengan uraian di atas, akhirnya, kita dapat lebih mudah mengidentifikasi siapa sesungguhnya “pemuda berjanggut” yang disebut Prabu Siliwangi dalam uganya.
Terutama karena ada bagian uga Siliwangi yang mengaitkan Pemuda Berjanggut dengan Lebak Cawene, yaitu pada kalimat:
yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mrk mencari anak gembala, yg rumahnya di ujung sungai yg pintunya setinggi batu, yg rimbun oleh pohon handeuleum & hanjuang.
Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tdk ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawene!
Bunyi narasi di atas dapat dimaknai bahwa “Pemuda Berjanggut dtg menemui Budak Angon, lalu mengajaknya membuka lahan baru di Lebak Cawene”.
Ajakan ini dengan sendirinya menempatkan Pemuda Berjanggut berposisi sebagai tuan rumah Lebak Cawene, karena, bukankah yang mengajak atau mengundang itu biasanya dilakukan seorang tuan rumah?
Demikianlah, uraian di atas pada akhirnya mengerucutkan upaya identifikasi Pemuda Berjanggut kepada sosok HRS. Ia yang membuat undangan acara pernikahan di Lebak Cawene (Tanah Abang). Untuk diketahui, kediaman HRS di Petamburan itu berada di wilayah kec.Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Kalimat lain dalam uga Siliwangi yang menguatkan bhw HRS adalah Pemuda berjanggut, yaitu:
Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap ….
.. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara.
Kalimat “pada saat itu dtg pemuda berjanggut” merujuk pada momen kedatangan HRS dari Arab.
Pada kalimat “datangnya memakai baju hitam” – lagi-lagi Prabu Siliwangi bermain “antonim” (lawan kata). Hitam lawan katanya putih. Kita ketahui, hampir setiap kemunculannya, HRS senantiasa menggunakan pakaian berwarna putih.
Kalimat “sambil menyandang sarung tua” – lebih nyata mengarah ke identitas pribadi keluarga HRS. Karena menurut sejarahnya, sarung berasal dari Yaman. (ulasan sejarah sarung dapat di baca di sini)
Frase “Sarung tua” dapat dilihat merujuk pada makna “sejarah asal usul sarung” yaitu Yaman, yang beriringan pula dengan sejarah rumpun keluarga HRS sebagai keturunan Nabi Muhammad yang berasal dari Yaman.
Kalimat “…Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, …” dapat dikatakan merujuk pada upaya perbaikan akhlak yang sempat digelorakan HRS.
Kalimat “Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara.” merujuk pada situasi yang di alami HRS sekarang ini.
Demikianlah, beberapa bentuk identifikasi makna kalimat dalam uga Siliwangi di atas, lebih jauh menunjukkan bahwa uga Prabu Siliwangi memang bukanlah suatu ramalan (prediksi) tapi merupakan suatu “penglihatan spiritual” tentang peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang.
untuk pertanyaan: SIAPAKAH SOSOK BUDAK ANGON SESUNGGUHNYA? – sayangnya, belum bisa saya ungkap. Jika Allah telah menghendaki hal itu saya ungkap (dalam artian Allah telah memberi saya petunjuk mengenai siapa sesungguhnya sosok itu), maka tentu dengan senang hati akan saya ungkap.
Bersabarlah, seperti ungkapan Taha Hussein “bapak sastra Arab” dlm buku “Hari-hari Berlalu” (judul asli: Al-Ayyam) – Bersabarlah, jangan gelisah seperti gelisahnya seorang anak kecil yang ketakutan dan tertekan dlm suasana malam yang gelap lalu berharap agar pagi segera tiba… – suatu bentuk kegelisahan yang mengharap hadirnya suatu perubahan yang cepat dan instant, kurang lebih seperti itu maknanya saya pikir… 🙂
Sekian.