Dalam pidatonya tentang kebebasan intelektual di Royal Albert Hall, London, 3 Oktober 1933, Albert Einstein mengatakan: “Tanpa kebebasan seperti itu tidak akan ada Shakespeare, tidak ada Goethe, tidak ada Newton, tidak ada Faraday, tidak ada Pasteur dan tidak ada Lister.”
Pernyataan dengan nada yang sama disampaikan pula oleh Joel H. Hildebrand dalam suatu pidato ilmiahnya di New York University tahun 1963, bahwa: “Betapa beruntung bagi peradaban, bahwa Beethoven, Michelangelo, Galileo dan Faraday tidak diwajibkan oleh hukum untuk menghadiri sekolah-sekolah di mana kepribadian mereka secara total akan dioperasi untuk membuat mereka belajar cara-cara yang dapat diterima untuk berpartisipasi sebagai anggota “kelompok.” (Gene Currivan, 16 Jun 1963. “I.Q. Tests Called Harmful to Pupil”, New York Times)
Pernyataan deklaratif seperti yang disampaikan Albert Einstein dan Joel H. Hildebrand, secara khusus ditujukan pada para seniman dan ilmuwan besar dunia yang dengan berbekal pendidikan formal yang sangat minim (umumnya hanya memiliki pendidikan sekolah paling dasar), namun dengan “Passion” yang tinggi, mereka berjuang mendidik dirinya sendiri (Autodidak), hingga pada akhirnya dapat sukses menghasilkan karya terbesar sepanjang masa, dan terbukti paling berpengaruh dalam sejarah manusia.
Tindakan heroik semacam ini, salah satunya dapat kita temukan dalam catatan biografi tentang sejarah hidup ilmuwan fisika dan filsuf Michael Faraday.
Terlahir di wilayah pedesaan Newington, Surrey (sekarang masuk wilayah London Selatan), dari keluarga tidak mampu membuat Faraday hanya dapat mengecap pendidikan formal tingkat dasar. Faraday anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya seorang pandai besi yang bermigrasi dari Inggris utara pada awal 1791 untuk mencari pekerjaan. Ibunya adalah seorang wanita desa yang sangat tenang dan bijaksana, yang mendukung Faraday secara emosional melalui masa kecil yang sulit.
Faraday bersama saudaranya menjalani masa kecil yang sulit dikarenakan Ayah mereka sering sakit sehingga tidak mampu bekerja dengan baik untuk menghidupi keluarganya.
Kesulitan sepanjang masa kecil mendesak Faraday bekerja sejak usia dini, yaitu dengan mengantarkan koran dan bekerja pada sebuah toko penjilid buku. Ia mulai magang di tempat tersebut pada usia 14 tahun, dan selama tujuh tahun berikutnya, ia mendidik dirinya sendiri dengan membaca buku-buku tentang berbagai mata pelajaran ilmiah.
Pada 1812, Faraday menghadiri empat kuliah yang diberikan oleh ahli kimia Humphry Davy di Royal Institution. Faraday kemudian menulis kepada Davy untuk meminta pekerjaan sebagai asistennya. Pada awalnya Davy menolaknya, tetapi pada tahun 1813 Davy menunjuk Faraday sebagai asisten kimia di Royal Institution.
Setahun kemudian, Faraday diundang untuk menemani Davy dan istrinya dalam tur Eropa selama 18 bulan, dan bertemu banyak ilmuwan berpengaruh. Sekembalinya pada tahun 1815, Faraday terus bekerja di Royal Institution, membantu eksperimen Davy dan ilmuwan lainnya. Hingga Pada 1821 ia menerbitkan karyanya tentang rotasi elektromagnetik (prinsip di balik motor listrik).
Salah satu karya terbesar dan paling berpengarah Faraday adalah keberhasilannya menetapkan dasar untuk konsep medan elektromagnetik dalam fisika. Faraday juga menetapkan bahwa magnetisme dapat memengaruhi sinar cahaya dan bahwa ada hubungan mendasar antara kedua fenomena tersebut. Hal ini pada awalnya mendapat cemoohan dari kalangan ilmuwan. Dianggap sebagai suatu hal yang tidak masuk akal.
Teori Faraday yang menyatakan adanya hubungan cahaya dan elektromagnetik bisa dikatakan memang terbilang sangat revolusioner dan radikal. beberapa puluh tahun kemudian, setelah Faraday memasuki usia senjanya, barulah muncul matematikawan James Clerk Maxwell yang dapat menyusun persamaan tersebut dalam bahasa matematika.
Pencapaian James Clerk Maxwell terkait perumusan teori klasik tentang radiasi elektromagnetik, yang jelas merujuk pada teori yang sebelumnya telah disampaikan Faraday, dianggap sebagai salah satu prestasinya yang paling menonjol sepanjang karirnya.
Karena melalui perumusan tersebut, untuk pertama kalinya kelistrikan, kemagnetan, dan cahaya, disatukan – sebagai suatu manifestasi berbeda dari fenomena yang sama. Persamaan Maxwell untuk elektromagnetisme ini disebut sebagai “penyatuan besar kedua dalam fisika” setelah yang pertama direalisasikan oleh Isaac Newton.
Prinsip dasar dari teori ini menyatakan bahwa “medan magnet yang berubah menghasilkan medan listrik, dan demikian pula sebaliknya, perubahan medan listrik akan menghasilkan medan magnet”. Prinsip ini yang mendasari prinsip kerja dinamo listrik, nenek moyang generator listrik modern dan motor listrik.
Gerak rambat yang terjadi pada medan magnet atau medan listrik ini yang kemudian disebut sebagai gelombang elektromagnetik. Yang mana kecepatan gelombang elektromagnetik diruang hampa adalah sebesar 300.000 km/s, atau sama dengan nilainya laju rambat cahaya (kecepatan cahaya). Bisa dikatakan, kesamaan hitungan inilah yang mengunci kebenaran teori persamaan antara cahaya dan elektromagnetik.
Demikianlah, Faraday dengan berlatar masa kecil yang sulit dan hanya mengecap pendidikan formal tingkat dasar mampu menghadirkan sesuatu yang sangat berjasa dalam sejarah umat manusia. Fisikawan Ernest Rutherford menyatakan, “Ketika kita mempertimbangkan besarnya dan luasnya penemuannya dan pengaruhnya terhadap kemajuan sains dan industri, tidak ada kehormatan yang terlalu besar untuk dibayarkan pada memori Faraday, salah satu ilmuwan terbesar penemu sepanjang masa.” (Rao, C.N.R: Understanding Chemistry, 2000. Hlm. 281)
Pencapaian kesuksesan yang diraih Faraday selain dikarenakan ia memiliki passion pada bidang fisika yang ditekuninya, juga oleh karena ia cermat memanfaatkan setiap momentum atau kesempatan yang datang padanya. Hidup yang memprihatinkan semenjak usia kecil melatihnya untuk senantiasa “alert” setiap saat. Begitulah cara Ia menghargai waktu dan kesempatan yang mahal buat orang kecil seperti dirinya.
Misalnya, Ia mampu menguatkan dirinya meskipun saat menemani Humphry Davy tur eropa selama 18 bulan, Istri Davy, Jane Apreece, menolak untuk memperlakukan Faraday sebagai orang yang sederajat. Hal itu membuat Faraday begitu sedih, namun ia berusaha bertahan karena menyadari bahwa perjalanan itu memungkinkannya dapat bertemu dan berkenalan dengan para ilmuwan elit Eropa.
Keluarga Faraday yang berada dalam naungan sekte kecil kristiani yang bernama Sandemanian, bisa dikatakan juga memberi peran penting dalam perjalanan hidup Faraday. Di gereja sekte Sandeman inilah Faraday bertemu dengan istrinya. Ia juga sempat melayani di gerejanya ini sebagai penatua.
Perhatian dalam bentuk bantuan sosial yang diberikan kelompok gereja pada jemaatnya yang miskin, seperti yang dilakukan sekte Sandemanian kepada keluarga Faraday, tentulah sangat berarti dan sedikit meringankan beban hidup Faraday dan keluarganya. Jaminan semacam ini dapat memungkinkan Faraday dapat tenang dan lebih fokus belajar dalam mengejar obsesinya.
Kondisi yang dialami Faraday di masa lalu, pada dasarnya juga mewarnai kehidupan di masa sekarang. Ada banyak orang-orang bertalenta luar biasa di luar sana yang berjuang di antara berbagai aspek keterbatasan hidup. Namun, jika dibandingkan dengan kehidupan di masa lalu, tatanan hidup pada masa sekarang bisa dikatakan telah jauh lebih baik.
Tak dapat dipungkiri, tingginya kompleksitas persaingan hidup pada masa sekarang telah menuntut setiap orang yang ingin berkompetisi di dalamnya untuk memiliki daya fokus dan totalitas yang tinggi agar dapat meraih kesuksesan. Untuk hal ini, telah banyak pula kiat sukses yang mengemuka.
Beberapa diantaranya bersifat praktis dan cenderung oportunis. Sebagian lagi bersifat filosofis dan membutuhkan pendalaman agar dapat memaknainya dengan tepat. Masalahnya, tidak semua orang dilahirkan menjadi filsuf yang dapat memaknai kalimat filosofis sebagai sebuah kekuatan besar yang dapat mendorong sebuah perubahan.
Pada masa sekarang, berfilosofi agar dinilai cerdas nampaknya menjadi tren. Namun, sebelum mencoba mencermati kalimat seperti “…mengalahkan diri sendiri” atau mengajak “berdamai dengan diri sendiri” maka yakinlah, ada pula kalimat “Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang” – tentunya kamu tidak berpikir akan berperang dengan diri sendiri bukan?
Saran saya selanjutnya, temukan “Passion“mu dan mulailah bebaskan langkahmu dalam menjalaninya. Lakukan apa yang kamu suka tanpa khawatir, di mana pun dan kapan pun kamu berada.
Siapa tahu kamu bisa menjadi “Faraday di masa modern”. Sehingga suatu saat mendapat semacam testimoni seperti yang ditulis Aldous Huxley tentang Faraday dalam esainya yang berjudul, A Night in Pietramala : “Dia adalah filsuf alami. Menemukan kebenaran adalah satu-satunya tujuan dan minatnya … bahkan jika saya bisa menjadi Shakespeare, saya pikir saya masih harus memilih untuk menjadi Faraday. “