-->

Identifikasi Jati Diri Semar sebagai Analogi Sem bin Nuh


Selain dikenal sebagai tokoh penting dalam pewayangan—pengasuh / penasihat para kesatria dalam pementasan wiracarita Mahabharata dan Ramayana—Semar juga merupakan entitas mistis yang mengisi panggung dunia spiritual masyarakat Jawa.

Mark R. Woodward, peneliti etnografi Jawa dari Amerika, dalam bukunya berjudul “Islam Jawa ; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan” mengatakan: Semar juga dianggap sebagai pembimbing spiritual dalam pengertian yang lebih umum. Banyak mistikus Yogyakarta yang mencari inspirasi darinya dan secara rutin berkunjung ke candi di Serandil yang diyakini merupakan tempat berkubur.

Woodward juga mengatakan, ada pandangan yang berkembang di antara para mistikus Yogyakarta bahwa, peran Semar dalam mistisisme sama dengan Nabi Muhammad dalam sistem kesalehan Islam normatif. Beberapa di antaranya lebih jauh melukiskannya sebagai “nabi batin.

Hal ini dianggap Woodward sebagai tema yang menguat di dalam kepercayaan kraton Yogyakarta, tempat posisi Semar paralel dengan Sunan Kalijaga. Sebagaimana wali, Semar membantu Sultan mengatur wewenang yang ia transendensikan sendiri. Dalam hal ini, Sultan dianggap sebagai keturunan langsung dari Arjuna, dan karena itulah berhak atas bantuan dan perlindungan Semar. 

Lebih jauh Woodward juga mengatakan, para informannya yang berasal dari kalangan istana percaya bahwa Sultan bisa berbicara langsung dengan Semar, yang membimbing adminstrasi kerajaan maupun persoalan keagamaan pribadi Sultan.

Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya “Sufi pinggiran: menembus batas-batas” (2007:113-114) mengatakan, dalam tradisi Jawa Semar bukan saja tokoh dalam dunia wayang tetapi juga merupakan legenda dan mitos politik.

Dalam legendanya, Semar dikenal sebagai tokoh yang menyimpan sumber kepemimpinan karismatik sekaligus rasional. Selain itu ia juga menyimpan sumber daya kekuatan fisik yang dikenal dalam idiom Jawa sebagai kadigdayan atau kasekten dan kekuatan spiritual luar biasa.

Demikianlah kurang lebih, seperti apa keistimewaan sosok Semar dalam tradisi masyarakat Jawa.

“Puzzle” Pohon Cemara

Seperti biasa, ketika saya mengamati sesuatu objek yang ingin saya cermati, pendekatan linguistik dalam hal aspek homofon, menjadi salah satu fokus perhatian utama saya.

Nama ‘Semar’, dalam pandangan saya, cukup homofon dengan “cemara”. Dugaan awal ini kemudian saya tindaklanjuti dengan mencari tahu nama lain dari pohon cemara. Hasilnya, saya menemukan hal menarik, dan saya pikir berpotensi menjadi “puzzle” penting untuk mengungkap asal usul sosok Semar.

Nama latin pohon Cemara adalah “Casuarina“. Nama ini berasal dari sebutan pohon Cemara dalam bahasa Melayu yakni “Pohon Kasuari”. Habitat asli pohon ini adalah wilayah Asia tenggara, Benua Australia, hingga kepulauan di Pasifik. (sumber di sini)

Pertanyaan yang mesti timbul dari fakta ini adalah: Mengapa “pohon Cemara” juga disebut sebagai “pohon Kasuari” oleh orang-orang Melayu (Asia Tenggara) di masa lalu? apa yang mendasari hal itu?

Meskipun alasan umumnya adalah karena daun pohon Cemara terlihat mirip dengan bulu burung Kasuari, namun dalam pandangan saya, adanya kesamaan visual antara sosok Semar dalam pewayangan dengan burung Kasuari juga layak dipertimbangkan, yakni keduanya sama-sama menunjukkan memiliki bokong yang besar, juga sama-sama memiliki Jambul.

Lebih jauh, kita akan dapat menemukan Pembuktian berikutnya dengan menggali makna nama lain dari pohon cemara yakni: RuRhu, atau Aru. ini juga merupakan sebutan lain pohon Cemara atau pohon Kasuari dalam bahasa Melayu.

Kata “ru, rhu, atau pun aru” tampaknya bentuk kuno dari kata “haru” yang kita kenal dalam bahasa Indonesia (sinonim dengan kata sedih). Dari Proto-Melayu  (h)Aru, Proto-Malayo-Chamic (h)aru, Proto-Malayo-Sumbawan (h)aru, Proto-Sunda-Sulawesi (h)aru, Proto-Malayo-Polinesia (q)aruhu. Sementara dalam bahasa Kabyle (bahasa Berber) yang digunakan oleh orang-orang Kabyle di utara dan timur laut Aljazair, kata ‘ru‘ artinya: menangis. meneteskan air mata. Hal ini sejalan dengan wajah Semar yang senantiasa dilukiskan dengan mata yang selalu sembab dan mengeluarkan air mata. 

Ini juga tampaknya ada keterkaitan mengapa nama pohon Cemara juga disebut “pine” (pinus). Menurut http://www.etymonline.com kata “pine” berasal dari bahasa Inggris Kuno Pinian = torment, afflict, cause to suffer” (siksaan, penderitaan, menyebabkan penderitaan), dan dari pin (n.) = “pain, torture, punishment” (Sakit, siksaan, hukuman). Dianggap berasal dari bahasa Latin poena = “punishment, penalty” (hukuman, penalti).

Berikutnya, pohon Cemara juga disebut “Whistling Pine”. Whistling yang artinya bersiul” pun pada kenyataannya terkait pula dengan salah satu ciri Semar yang diceritakan dalam pewayangan kadangkala mengeluarkan bunyi kentut,  dianggap sebagai salah satu kesaktiannya.

Demikianlah, beberapa komparasi di atas saya pikir sudah cukup memperlihatkan adanya kemungkinan bahwa nama “Cemara” sesungguhnya memang terkait erat dengan nama “Semar.”

Hal ini mungkin dapat juga menjadi penjelasan terkait adanya toponim (nama wilayah) yang menggunakan sebutan “cemara” di beberapa tempat di Jawa tengah. Seperti pantai Cemara Sewu, atau pantai Goa Cemara di Yogyakarta, juga Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu di Gunung Lawu.

Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa simbol-simbol seperti “mata sembab, dan linangan air mata” yang digambarkan pada sosok Semar, dapat lebih terurai makna metaforanya melalui penggalian makna nama-nama lain dari pohon cemara. 

Ini seperti menjadikan entitas pohon cemara sebagai secret chamber of meaning atau “ruang penyimpanan makna tersembunyi” dari sosok Semar.

Adapun mengenai “hukuman, dan penderitaan” yang menyebabkan mengapa Semar senantiasa bersedih dan meneteskan air mata, dapat kita temukan jawabannya melalui penerjemahan makna nama lain dari Semar.

Penerjemahan Nama Lain Semar

Semar dikenal dengan beberapa nama, antara lain: Janggan SmarasantaKi Lurah Badranaya, dan Ki Lurah Nayantaka. Namun yang umum dikenal adalah Badranaya. Biasanya dirangkai menjadi “Semar Badranaya”.

Yang menarik, bentuk “naya” pada nama Badranaya ataupun Nayantaka terdapat pula pada kata “argwonoyo” yang dalam tulisan sebelumnya “Nuansa Jawa pada Kata Ungu dalam Bahasa Phoenicia dan Bahasa Kuno Lainnya”, telah saya jelaskan sebagai sebutan untuk warna ungu dalam bahasa kuno Aram dan Suryani.

Dalam bahasa Sanskrit, “naya” bermakna: pemandu, pembimbing, memimpin, konduktor, pelindung, sudut pandang, bijaksana, dan masih banyak lagi.

Sementara dalam bahasa Arab, mungkin kita dapat melihatnya sinonim dengan kata “kinayah” yang berarti: bermakna ganda. Sarjana muslim seperti Tabary, Ibnu Mandhur, dan Qurthuby memaknainya: irdaf (sinonim), Dhamir (pronoun atau kata ganti).

Jadi, kata “naya” ini bisa dikatakan selaras dengan makna nama Yama “kembar”. Hal ini juga bisa kita temukan dalam bahasa Sanskrit bahwa, Yama berarti “kembar” atau bisa juga berarti “sama”. [Thomas Egenes. Introduction to Sanskrit – Part 2, 2000: hlm. 132]

Bahkan, juga bisa dikatakan terkait pula dengan Semar, yang dalam salah satu versi kisah pewayangannya, diceritakan bahwa tokoh pewayangan Bagong tercipta dari bayangan Semar, yang berarti dapat dimaknai sebagai kembaran Semar. Dalam versi yang lain, kembaran Semar adalah Togog. Keduanya diutus kedunia sebagai pembimbing manusia. Semar didaulat sebagai pamong untuk para satria berwatak baik, sementara Togog sebagai pamong untuk para satria berwatak buruk.

Jadi, pada titik ini kita dapat melihat bahwa kesamaan profil sosok Semar dan Dewa Yama, adalah keduanya dicirikan memiliki kembaran.

Aspek warna pun juga merupakan kesamaan ciri antara keduanya. Dengan mempertimbangkan uraian di bagian awal bahwa burung kasuari merupakan “analogi” Semar melalui proxy pohon Cemara (dengan melihat bahwa nama lain pohon Cemara adalah pohon Kasuari), maka, kita dapat mencermati jika warna biru pada kulit leher dan kepala burung Kasuari, sama dengan warna kulit Dewa Yama.

Warna Biru pada Dewa Yama dan Burung Kasuari. (sumber: (sumber: pinterest.com/vasivasishta26 dan Foto Colin M.L. Burnett – telah diedit sesuai kebutuhan)

Adapun mengenai mengapa mata Semar senantiasa sembab dan berlinang air mata, dalam pandangan saya, ini merupakan gambaran suasana kebathinan Sem bin Nuh, terkait perjalanan hidupnya. Untuk memahami hal tersebut, saya ingin mengajak pembaca untuk mencermati sisi kehidupan Sem bin Nuh yang terekam dalam mitologi Persia.

Kepingan Puzzle Sejarah Hidup Sem bin Nuh

Sebelum saya mulai mengulas mitologi orang Persia yang saya anggap sebagai puzzle sejarah hidup Sem bin Nuh, terlebih dahulu saya ingin mengulas beberapa hal, terutama terkait literatur agama Samawi yang menggambarkan bahwa Sem bin Nuh adalah salah satu putra Nuh yang beriman. Beberapa sumber bahkan mengidentifikasi Sem sebagai nabi.

Dalam tradisi Syiah misalnya, Imam Ja’far al-Sadiq telah menceritakan kepada rekan-rekannya bahwa Jibril mengunjungi Nuh ketika mendekati waktu kematiannya, menyampaikan pesan Tuhan: 

Oh Nuh! Kenabianmu telah kedaluwarsa dan hari-harimu sudah selesai, (…) jadi warisankanlah pengetahuan kenabian, serahkan kepada putramu, Sam (Sem), karena aku tidak meninggalkan Bumi kecuali bahwa ada yang berpengetahuan di mana kepatuhan kepada-Ku (Tuhan) dapat terjadi… [al-Kulayni, Muhammad ibn Ya’qb (2015). Al-Kafi (Volume 8 ed.]

Dalam tradisi Sunni, Sejarawan Islam awal seperti Ibn Ishaq dan Ibn Hisham selalu memasukkan nama Sem dalam silsilah Muhammad.

Dan berikut ini ulasan mitologi orang Persia yang saya anggap sebagai puzzle dari sejarah hidup Nabi Sem bin Nuh…. 

Dalam mitologi yang berkembang di wilayah Persia, dikenal tokoh mitologi bernama Jamshid, yang dalam bahasa Avestan (teks-teks agama Zoroastrianisme) disebut Yima, dan dianggap sinkronisme Yama dalam kitab Weda.

Dalam mitologi orang-orang Persia, Jamshid digambarkan sebagai raja keempat dan terhebat dari Dinasti Pishdadian. Ini sejalan dengan konsep “the Four Heavenly Kings” lokapala Buddhisme. Yang menempatkan Yama sebagai raja keempat sebagai pelindung arah selatan, dan  merupakan representasi dunia bawah.

Dalam tulisan sebelumnya (Ini Asal-Usul Nama “Jawa” Menurut Konsep Lokapala…) telah saya rinci bahwa konsep empat figur dewa dalam “the Four Heavenly Kings” mengindikasikan analogi dari 4 orang nabi di masa kuno. 

Tersusun dari posisi Timur sebagai posisi awal yang ditempati Dewa Indra sebagai analogi Nabi Adam, posisi Utara ditempati Dewa Kubera sebagai analogi Nabi Seth, posisi Barat ditempati Dewa Varuna sebagai analogi Nabi Idris, dan posisi Selatan ditempati Dewa Yama sebagai analogi Nabi Sem / Sam. 

Formasi ini selain searah siklus terbit matahari (berlawanan arah jarum jam), juga terlihat tersusun menurut urutan generasi demi generasi di antara mereka.

Nama Jamshid pada awalnya adalah gabungan dari dua bagian, Jam dan shid , sesuai dengan nama Avestan Yima dan Xsaeta , berasal dari proto-Iran ‘Yamah Xsaitah’. Nama Cem dalam Turki Modern dianggap berasal dari bentuk Persia “Jam”.

Sumber Naskah Suci Avestan

Dalam bab kedua Vendidad of Avesta, terdapat bagian di mana Ahura Mazda menceritakan kepada Zarathustra tentang kisah Yima. 

Dikisahkan, bahwa pada awalanya Ahura Mazda menawarkan Yima tugas untuk menerima hukumnya dan membawanya kepada manusia. Ia diminta menghafal (berlatih dan menyatakan) “daena”-nya (konsep Zoroaster yang mewakili wawasan dan wahyu, dimaknai sebagai; pikiran, kata-kata, dan perbuatan Ahura Mazda), dengan kata lain ia diangkat sebagai seorang Nabi. Hal yang kemudian ditolak Yima [Kellens, 1997-98, p. 760] 

Ahura Mazda kemudian menawarkan kepadanya, sebagai alternatif, peran pelindung, memerintah dan memelihara bumi, untuk memastikan bahwa makhluk hidup makmur. Ahura Mazda menjanjikan bahwa, selama ia berkuasa, dunia akan sempurna, tidak ada panas dan dingin yang berlebihan. tidak ada penyakit atau kematian. 

Yima menerima misi ini. Ahura Mazda kemudian memberinya segel emas dan belati bertatahkan emas. Dalam versi yang lain Ahura Mazda memberikan dua item yakni, ternak dan seruling gembala yang terbuat dari tanduk. [Duchesne-Guillemin, 1980; Kellens, 1994-95, hlm. 702; lihat Sims-Williams, 2001]

Di bawah pemerintahan Yima dunia makmur. Menurut Yast 9.10, keadaan ini berlangsung selama 1000 musim dingin, sementara total durasi yang dijelaskan dalam Videvdad adalah 3 x 300 musim dingin. 

Videvdad mengatakan bahwa, karena makhluk hidup kekal muda dan abadi, setelah 300 musim dingin, bumi menjadi terlalu ramai, dan Ahura Mazda mengatakan Yima untuk menggunakan dua alat yang dia terima untuk memperluas bumi hingga sepertiga ukuran aslinya. Yima melakukan perluasan itu sebanyak tiga kali, sehingg setelah tiga kali periode 300 musim dingin, bumi mencapai ukuran dua kali dari ukuran aslinya.

Setelah pembesaran ketiga bumi, di mana ekspansi lebih lanjut mustahil dilakukan lagi, Ahura Mazda mengadakan pertemuan dengan para Yazata di Airyanem Vaejah (yang utama dari “tanah sempurna”). 

Sebelum saya melanjutkan pembahasan mengenai pertemuan tersebut, saya ingin terlebih dahulu menjelaskan mengenai Yazata dan Airyanem Vaejah.

Yazata adalah kata dalam bahasa Avestan untuk konsep Zoroaster yang umumnya menandakan sifat keilahian. Istilah ini secara harfiah berarti “layak dihormati”. Dalam pengertian yang lebih umum, ini diterapkan pada tanaman penyembuh tertentu, makhluk primordial, dan juga doa-doa tertentu yang dianggap suci. Secara kolektif yazata adalah “kekuatan yang baik di bawah Ahura Mazda.”

Yang menarik adalah apa yang ada di balik sebutan “Airyanem Vaejah”, yang akan saya urai berikut ini….

Saya melihat Airyanem Vaejah merupakan bentuk anagram dari “jawa menoreh”. Vaejah= Jawa, Airyanem= menoreh.

Airyanem jika dibaca terbalik, menjadi ‘menayria’, yang secara fonetis sangat dekat dengan ‘menoreh’ karena, kita ketahui huruf o kadang bisa kita sebagai a dan, e kadang bisa kita baca sebagai i. Jika asumsi perubahan fonetis ini kita terapkan pada kata ‘menoreh’ maka hasilnya menjadi ‘menarih’, yang tentunya memiliki kesamaan bunyi penyebutan dengan ‘menayria’ sebagai pembacaan terbalik dari ‘Airyanem’.

Identifikasi saya bahwa Airyanem Vaejah tidak lain adalah “Jawa Menoreh” yang disebut sebagai “tanah sempurna” tempat pertemuan Yima (Sem bin Nuh) dengan Ahura Mazda, dan para Yazata (yang dalam terminologi kekinian mungkin dapat kita lihat sinonim dengan sosok para wali), cukup memiliki korelasi kuat dengan fakta-fakta mistis seputar perbukitan menoreh yang selama ini telah banyak diketahui masyarakat Jawa terutama yang tinggal di sekitar Yogyakarta, Purworejo, dan Magelang.

Suroloyo sebagai puncak tertinggi di perbukitan Menoreh, terkenal menyimpan banyak cerita mistis. Diyakini sebagai “rumah Ki Semar”. Puncak Suroloyo juga dianggap sebagai titik tengah (pusat dari empat penjuru) tanah Jawa. Apabila ditarik garis lurus dari selatan ke utara dan dari barat ke timur, maka titik temunya berada di Puncak Suroloyo.

Metode penulisan secara anagram seperti yang kita temukan pada penyebutan nama Menoreh dalam naskah suci Avestan (teks-teks agama Zoroastrianisme), merupakan gaya yang lumrah dilakukan oleh orang-orang suci di zaman dahulu ketika menyusun kisah-kisah yang disakralkan. Ini salah satu cara yang mereka lakukan untuk menyamarkan hal-hal yang mereka anggap perlu dirahasiakan sehingga tidak mudah dipahami orang awam.

Mungkin setelah hal ini saya jelaskan, sebagian pembaca akan ada yang menganggap “ini metode yang mudah kok dipecahkan!” tapi percayalah, rahasia di balik nama-nama yang disamarkan dalam naskah-naskah yang disusun oleh orang-orang suci di masa kuno, tidaklah serta merta dapat terpecahkan hanya dengan mengetahui bahwa hal itu mesti ditinjau dengan metode anagram.

Kenyataannya, telah sangat banyak ahli filolog dunia yang fokus meneliti naskah-naskah kuno menggunakan pembacaan secara anagram untuk mengidentifikasi nama-nama tertentu, tetapi, pada akhirnya mereka buntu, tidak dapat memahami apa makna di balik deretan nama-nama yang muncul dari metode pembacaan secara anagram.

Sesungguhnya, di sinilah titik krusial metode anagram. Karena, hanya orang-orang tertentu saja yang mendapatkan petunjuk (direction) secara intuitif dari Semesta – untuk dapat memahami apa makna di balik nama-nama yang muncul dari metode pembacaan secara anagram. “Orang-orang tertentu” itu diberi petunjuk dan pemahaman sesuai kadar peran yang ia jalankan dalam skenario hidupnya. Dalam artian, ada yang yang diberi petunjuk (ilham) dalam jumlah yang sedikit, banyak, dan atau sangat banyak.

Baik, saya lanjutkan kembali pembahasan mengenai pertemuan Yima yang tertunda….

Jadi, dalam pertemuan itu, Yima hadir dengan sekelompok orang “yang terbaik dari manusia”.  Pertemuan itu memutuskan bahwa populasi bumi harus dikurangi. Ini harus dicapai oleh musim dingin yang parah, yang sangat keras, diikuti oleh banjir ketika salju mencair. 

Agar makhluk hidup tidak binasa seluruhnya, Ahura Mazda menjelaskan kepada Yima bagaimana membuat “Vara” yaitu semacam benteng, untuk menjaga sampel semua makhluk hidup selama musim dingin berlangsung. 

Ahura Mazda menjelaskan arsitektur bangunan dan menjelaskan cara menggunakan tanah liat. Dia juga menjelaskan tentang dua jenis cahaya dalam vara yang terbentuk dari diri mereka sendiri (dimaknai sebagai lampu abadi).

Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa “vara” itu berbentuk gua multi-level, panjang dua mil (3 km), dan lebar juga dua mil (3 km). 

Ke dalam vara Ini Yima kemudian membawa pasangan semua makhluk hidup. Tidak termasuk mereka yang cacat tubuh, dan, setiap empat puluh musim dingin, dua anak akan terlahir dari pasangan manusia. Setelah selesai, Yima lalu menyegel Vara dengan cincin emas.

Dalam masa pemerintahannya, Yima memerintah seluruh makhluk di muka bumi, tidak terkecuali bangsa daeva (istilah bahasa Avestan untuk jenis entitas supernatural tertentu dengan karakteristik yang tidak menyenangkan – daemon atau setan dalam terminologi masa sekarang), yang adalah hamba dari Ahriman yang jahat.

Dalam banyak literatur, umumnya para sarjana menyatakan bahwa Yima bertanggung jawab atas banyak sekali penemuan yang membuat hidup lebih aman bagi rakyatnya: pembuatan baju besi dan senjata, tenun dan pewarnaan pakaian dari linen, sutra dan wol, pembangunan rumah dari batu bata, penambangan perhiasan dan logam berharga, pembuatan parfum dan anggur, seni kedokteran, hingga navigasi perairan dunia dengan kapal layar. 

Yima atau Jamshid dikatakan juga membagi orang-orang menjadi empat kelompok:

  • Katouzians : Para imam yang melakukan pemujaan Hormozd (Ahura Mazda)
  • Neysana: Para pejuang yang melindungi rakyat dengan kekuatan mereka
  • Nasoudians: Para petani yang menanam gandum yang memberi makan orang-orang
  • Hotokhoshians: Para perajin, yang memproduksi barang-barang untuk kemudahan dan kesenangan rakyat

Sebagai raja terbesar di dunia yang pernah dikenal, Yima diberkahi keberuntungan Ilahi yang dalam Avestan disebut “khvarena, khwarenah atau xwarra(h).”

Khvarena secara harfiah adalah konsep yang merujuk pada “kemuliaan” atau “kemegahan” tapi dipahami juga sebagai kekuatan mistis Ilahi. Kata ini berkonotasi “kemuliaan kerajaan (ilahi),” yang mencerminkan pemberdayaan aspek ilahiah yang didapatkan para raja. Istilah ini juga membawa arti sekunder “keberuntungan” (baik) “; mereka yang memilikinya dapat senantiasa menyelesaikan misi.

Yima disebutkan memiliki Keberuntungan ilahi pada tingkat tertinggi di antara mereka yang terlahir, seperti Zarathustra dan seperti Mitra.

Dikisahkan, bahwa pada suatu hari Yima duduk di atas singgasana bertabur permata, dan para daeva yang melayaninya mengangkat tahtanya ke udara hingga ia terbang di langit. Rakyatnya, dan semua bangsa di dunia, kagum dan memujinya.

Jamshid juga dikatakan memiliki cangkir tujuh cincin ajaib “Jam-e Jam” yang diisi dengan ramuan keabadian dan memungkinkannya dapat mengamati alam semesta. 

Dalam riwayat Persia [tr. Christensen, 1918-34, II, hlm. 60-67], terdapat kisah tentang Jamsid ketika dipanggil ke hadapan Allah sendiri dan diberi kekuasaan sebagai raja atas dunia dengan tanda kebesaran: cincin segel, takhta, dan mahkota. Ketika kembali ke bumi, ia turun di gunung Alborz, dan orang-orang yang melihat ke arah itu, diriwayatkan bagai melihat dua matahari, salah satunya adalah Jamsid.

Sejak hari itu, sebagai manusia abadi, Jamsid memproklamirkan dirinya sebagai raja alam semesta tepat pada hari tahun Baru. Mitos ini kemudian dilestarikan dalam tradisi yang mengaitkan Jamshid dengan festival Hari Tahun Baru (Nowruz).

Keterkaitan Jamshid (Yama) dengan festival tahun baru dalam tradisi Persia, sama persis dengan keterkaitan Semar dengan tradisi bulan suro yang merupakan tahun baru dalam tradisi Jawa.

Dosa Yima dan hilangnya keberuntungan Ilahi-nya

Dalam mitologinya, kesombongan Jamshid atau Yima dikisahkan tumbuh seiring waktu, ketika ia mulai lupa bahwa semua yang dimilikinya adalah berkat dari Tuhan. Dia membual kepada orang-orangnya bahwa semua hal baik yang mereka miliki berasal dari dirinya, dan menuntut agar dia harus diberi kehormatan ilahi, seolah-olah dia adalah Pencipta.

Menurut Avesta, keberuntungan ilahi meninggalkannya karena dosa tertentu, dan, menurut sumber-sumber kemudian, ia harus melepaskan tahtanya dan pergi ke pengasingan. Karena tidak lagi abadi, dia dapat dibunuh. Dalam riwayatnya, ia mati dengan cara dibelah. 

Dalam Yasht 19.30-34, digambarkan “keberuntungan ilahi”-nya (hvarena atau khwarenah) meninggalkan Yima dalam bentuk “burung Varahna” ketika dia mengucapkan “kata bohong atau menipu”. 

Menurut Rivayat Pahlavi (Dadestan i denig 38.19-21), dosa Jam adalah menolak tawaran Ahura Mazda terkait “daena” (status kenabian). Kebohongan lainnya adalah bahwa ia telah memproklamirkan dirinya sebagai pencipta dunia. Karena dosa ini, ia dikurung di Neraka. 

Ketika Zarathustra bertanya tentang pendosa terburuk, Ohrmazd (Ahura Masda) memanggil jiwa Yima dan menunjukkan kepadanya. 

Namun, Yima telah melakukan beberapa hal baik, sehingga ketika jiwa Yima bertobat dan bersedia menerima “daena” ia diampuni dan diizinkan untuk pergi ke hamestagan (tempat mereka yang perbuatan baik dan jahatnya memiliki bobot yang sama), di mana ia menjadi penguasa [Christensen, 1918-34 , II, hlm. 76].

Dikisahkan bahwa sejak saat ketika “keberuntungan Ilahi” pergi meninggalkan Yima, orang-orang mulai menggerutu dan memberontak terhadapnya. Meskipun Yima telah bertobat di dalam hatinya, kemuliaannya tidak pernah kembali kepadanya. Raja Zahhak , yang di bawah pengaruh Ahriman, berperang melawan Jamshid (Yima), dan ia disambut oleh banyak pengikut Jamshid yang tidak puas. 

Jamshid melarikan diri dari ibukotanya, tetapi pada akhirnya dia terjebak oleh Zahhak dan dibunuh secara brutal. Sejak saat itu, umat manusia turun dari peradaban yang tinggi kembali kepada zaman kegelapan.

Tradisi Persia Sah-nama memberi rincian lebih lanjut bahwa, setelah seratus tahun bersembunyi, Jamsid muncul suatu hari di Cin di sebuah pantai. Di sini Zahhak menemukannya dan memotongnya.

Menurut Fars-nama dan sebuah puisi tentang Jamsid, ia terbunuh di Cina, di hutan, tempat ia bersembunyi di dalam pohon. Ketika persembunyian Jamsid diketahui, Setan kemudian memberi tahu Bivarasp (Zahhak), yang kemudian datang dan mulai menggergaji pohon tempat Jamsid bersembunyi. 

Ketika tubuh Jamsid telah terpotong, matahari menghilang (malam), tetapi ketika mereka kembali keesokan harinya, tubuh Jamsid kembali utuh. Ini terjadi sekali lagi sebelum mereka dapat membunuhnya. Dari sini, kisahnya berlanjut pada bagian di mana Jamsid dikirim ke Neraka, tetapi kemudian jiwanya bertobat, dan dikirim ke hamestagan, di mana ia tinggal selama seribu tahun sebelum diterima di Garodman (Pavlavi= Surga).

Sinkronisme Yima/Yama, Semar, dan Sem bin Nuh

Hal menarik dari mitologi Yima atau Jamsid, adalah adanya entitas “burung” dan “pohon” yang terkait erat dengan momentum “mengharukan” dalam kisah hidup Jamsid.

burung Varahna” yang digambarkan sebagai bentuk bagaimana keberuntungan ilahi Yima pergi dari dirinya, secara simbolik terekam dalam koin dari kekaisaran kushan, begitu pula pohon tempat Jamsid atau Yima bersembunyi.

Koin kekaisaran Kushan. terlihat Iam-so memegang seekor burung (dokpri)

Adanya kedua entitas ini (burung dan pohon), menjadikan sinkronisme antara Semar dan Yima / Yama yang saya ulas di bagian awal menguat dengan sendirinya. Yaitu tentang burung Kasuari dan pohon Cemara.

Jika dalam mitologinya, Jamsid atau Yima dikisahkan bersembunyi dalam sebuah pohon, maka seperti yang saya ungkap di bagian awal bahwa hal itu seperti menjadikan entitas pohon cemara sebagai “chamber of meaning” atau ruang penyimpanan makna tersembunyi dari “jati diri” sosok Semar. 

Dengan kesemua uraian di atas, saya pikir sudah tergambar apa yang menyebabkan mata Semar senantiasa sembab dan berlinang air mata. Yakni, hal itu terkait dengan penyesalan luar biasa dirinya, atas siksaan, dan hukuman yang ia terima.

Ini yang di sisi lain, terekam dalam sebutan Cemara dalam bahasa Inggris “pine tree“. Di mana menurut http://www.etymonline.com kata “pine” berasal dari bahasa Inggris Kuno Pinian = “torment, afflict, cause to suffer” (siksaan, penderitaan, menyebabkan penderitaan), dan dari pin (n.) = “pain, torture, punishment” (Sakit, siksaan, hukuman). Dianggap berasal dari bahasa Latin poena = “punishment, penalty” (hukuman, penalti). 

Secara pribadi, saya melihat, terlepas dari siksaan hukuman yang ia derita, gambaran “mata sembab dan linangan air mata” Semar adalah simbolisasi penyesalan mendalam atas kegagalannya yang berefek luar biasa dalam perjalanan peradaban manusia selanjutnya. 

Hal yang saya pikir sangat penting untuk dicermati, adalah terkait riwayat yang berkembang dalam tradisi Islam, bahwa Sem adalah salah satu orang yang dibangkitkan Yesus dari kematian, sebagai salah satu pembuktiannya kepada kaum Bani Israel. [Ibn Kathir: Stories of the Prophets] 

Masalahnya, tidak ada cerita lebih lanjut, apakah Sem kemudian kembali meninggal dunia atau tidak. Dengan menimbang bahwa yang dibangkitkan Yesus adalah seorang “mantan manusia abadi”, maka, secara pribadi, saya berpikir bahwa bisa jadi, momentum itu membuat Sem kembali melanjutkan statusnya sebagai manusia abadi. Kesempatan ini membuatnya dapat menyaksikan sisa-sisa kegagalannya.

Karena itu, saya pikir, kisah metafora yang terekam dalam mitologi Semar, adalah bagian kisah hidup Yama setelah ia dibangkitkan. 

Sosok Semar yang digambarkan dalam pewayangan sebagai pemandu, pembimbing, dan pelindung para kesatria yang berwatak baik, bisa dikatakan adalah jalan atau kesempatan buat Sem memperbaiki kegagalannya di masa lalu.

Saya dapat membayangkan jika uraian saya dalam tulisan ini dapat dianggap terlampau berlebihan oleh para pembaca sekalian. Mungkin akan dianggap hoax. 

Tapi, apa pun penilaian yang akan datang dari pembaca, saya pribadi hanya ingin fokus menyampaikan apa yang saya percaya telah diberi kesempatan untuk saya ketahui oleh Sang Pencipta. Pada saatnya, waktu akan memperjelas semuanya… 

Demikian apa yang wajib saya sampaikan. Semoga bermanfaat. Salam.

LihatTutupKomentar