Kata ‘aKSara‘ berasal dari kata sansekerta: a = tidak; KSara = binasa/ hancur/ luntur. Jadi, ‘aKSara‘ bisa dimaknai: “tidak dapat binasa, tidak dapat dihancurkan, tidak mencair/ luntur”.
Dalam bahasa tae’ (bahasa tradisional di Sulawesi selatan), sara’ atau sarak berarti “pisah”. Biasanya diucapakan dalam bentuk ti-sara’ atau ti-sarak yang artinya: terpisah. Imbuhan ti dalam bahasa tae’ sama dengan imbuhan ter dalam bahasa Indonesia. Kata tisarak dalam bahasa tae saya pikir sama saja dengan kata terserak / berserak dalam bahasa Indonesia.
Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa jejak etimologi kata “aksara” dapat dengan mudah kita temukan dalam bahasa Nusantara, yang disebabkan oleh karena kata dasarnya (KSara) masih kita temukan digunakan dalam percakapan sehari-hari. Sementara itu, dalam bahasa di wilayah lain, di Asia Selatan (India, kannada, telugu, sinhala) misalnya, hal itu sudah sulit ditemukan.
Bahkan mungkin, kata dasar ‘KSara‘ memang tidak pernah mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari. Mereka mengenalnya sebagai kata yang berada dalam naskah-naskah suci berbahasa Sanskrit (bahasa yang memang terbatas hanya digunakan oleh kaum brahmana saja, digunakan untuk menulis naskah-naskah suci).
Ketika para leluhur di masa lalu menyajikan makna yang sedemikian rupa pada kata ‘Aksara’, tentu saja suatu pemahaman filosofis ada mendasari hal tersebut. Demikian pula ketika mereka menyebut aksara brahmik sebagai “aksara syllable“.
Syllable adalah sistem penulisan yang urutan konsonan-vokal ditulis sebagai satu unit, di mana setiap unit didasarkan pada huruf konsonan, sementara notasi vokal bersifat sekunder. Ini berbeda dengan sistem alfabet, di mana vokal memiliki status yang sama dengan konsonan.
Aksara pallawa, aksara kawi, aksara bali, aksara sunda, aksara lampung, aksara bugis/makassar, kesemuanya berjenis syllable.
Etimologi syllable dikatakan berasal dari Anglo-French, merupakan perubahan dari kata “silabel” Perancis Kuno, dari “silaba” Latin, dan dari Yunani “syllavy” yang bermakna “diambil bersama” atau arti harafiahnya “disatukan”. Dalam bahasa tae’ (di Sulawesi selatan) terdapat kata silapi’ yang artinya “saling berlapis” atau “saling melapisi”.
Makna kata silapi’ dalam bahasa tae ini terlihat sangat memiliki kesamaan dengan kata “syllavy” dari bahasa Yunani. Makna kata silapi’ dalam bahasa tae’ memberi kita pandangan pemahaman bahwa aksara syllable adalah sistem penulisan di mana tiap unitnya merupakan huruf konsonan dan vokal yang saling melapisi.
Jika anda menganggap hipotesis saya tentang adanya hubungan kesamaan makna antara silapi’ yang berasal dari bahasa tae dengan, syllavy yang berasal dari bahasa yunani kuno, sebagai hal yang terlalu berlebihan dan tidak mungkin terjadi, maka, hasil penelusuran saya tentang komparasi linguistik antara bahasa tae dan bahasa yunani kuno, mungkin bisa berguna untuk lebih membuka cakrawala pandang anda.
Berikut ini sebagian dari hasil komparasi linguistik yang saya lakukan tersebut, yang telah saya susun dalam buku saya “Luwu Bugis The Antediluvian World“.
Adanya kesamaan leksikon antara bahasa tae dengan bahasa yunani kuno ini, jika dianggap masih belum cukup kuat dijadikan sebagai bukti untuk teori adanya migrasi orang dari timur (nusantara) ke wilayah barat, setidaknya, anda tidak bisa menutup mata bahwa hal ini merupakan bukti tentang adanya hubungan di masa kuno antara keduanya (nusantara dan kawasan mediterania).