-->

Mereka yang Ditakdirkan Sebagai "Pandai Besi" Pembawa Perubahan Zaman, dari Era Mitologi Dewa-dewa Hingga Era Masonik


Jika kita mencermati berbagai mitologi yang ada di dunia, kita dapat melihat bahwa konsep “pandai besi” untuk dewa-dewa tertinggi umum digunakan. 

Dewa Mesir, Ptah, digambarkan sebagai sosok pencipta, pelindung pekerja logam dan pengrajin dalam budaya Mesir. 

‘Hephaestus’ dalam mitos Yunani yang menjadi ‘Vulcan’ dalam sastra Latin, keduanya secara konsisten digambarkan membawa alat-alat mereka yaitu palu dan penjepit pandai besi.


Patung dewa Hephaestus

Rajeshwari Ghose dalam bukunya Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period, mengungkap bahwa Batara Guru juga disebut sebagai “Goldsmith” atau “pandai emas” sementara anak-anaknya disebut “Blacksmiths” atau “pandai besi”. 

Berikut ini kutipannya: “In the Tantu Panggelaran, Bhattara Guru is described as the first of the long school of teachers or devagurus (divine teachers). He is represented as the teacher of speech and language. Mahadeva, however, is regarded as a goldsmith. …The blacksmiths are regarded as children of Mahadeva.” (R. Ghose. Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period. The University of Hong Kong Press, 1966. hlm. 129-131)

Dalam kitab I La Galigo, dewata sang pencipta disebut “To Palanro” atau ” To Palanroe” yang secara literal bermakna “pandai besi” sementara makna figuratifnya adalah “Dia yang menciptakan, membentuk dan menata”.

Dalam bahasa Bugis, ‘lanra’ atau ‘lenra’ atau ‘lanro’ berarti “menempa” (dari kata dasar tempa). Jadi, kata ‘tempa’ atau ‘menempa’ yang kita kenal dalam bahasa Indonesia adalah kata yang pada awalnya memang secara spesifik digunakan untuk pelaku dan atau kegiatan pandai besi.

Dinasti Sailendra yang tercatat sebagai dinasti terbesar dalam kesejarahan Nusantara, sangat mungkin menggunakan konsep ini.

Dalam tulisan “Makna Sesungguhnya dari Nama Sailendra” telah saya urai bahwa makna “Sailendra” jika ditinjau dalam perspektif Bahasa Tae’, secara literal bermakna “datang menempa” (sai=datang; lendra=menempa), dan secara figuratif dapat dimaknai: “datang atau hadir membentuk” atau pun “datang atau hadir membangun“.

Kuat dugaan saya jika kata ‘belanda’ yang berasal dari sebutan Jawa ‘walanda’ sebenarnya berakar dari konsep yang telah saya urai di atas.

Oleh leluhur kita di masa lalu, terutama yang berada di Jawa, orang-orang kulit putih yang datang dari Eropa disebut ‘landa’ (londo) karena dipandang datang ‘menempa’ memberi perubahan. membuat bentuk baru – terlepas apakah bentuk yang dihasilkan sifatnya baik ataukah buruk.

Istilah ‘walanda’ secara fonetis menunjukkan keidentikan dengan bentuk palanra/palanro yang telah saya sebut di atas sebagai salah satu gelar Batara Guru.

Morfologi fonetis antara ‘walanda‘ dan ‘palanra‘ yaitu: perubahan fonetis w dan p yang sama-sama merupakan kelompok fonetis labial, dan perubahan fonetis r dan d yang sama-sama perupakan kelompok dental.

Metode identifikasi fonetis yang saya gunakan ini telah saya ulas khusus dalam artikel “Formula Kunci Mengurai Sejarah“. Metode ini sejalan pula dengan konsep Hermeneutika Talmud yang memiliki aturan dan metode dalam penyelidikan dan penentuan yang tepat untuk makna ayat suci dalam Alkitab Ibrani. Aturan-aturan itu antara lain:

  • interpretasi huruf-huruf dalam sebuah kata sesuai dengan nilai numeriknya.
  • penafsiran suatu kata dengan membaginya menjadi dua kata atau lebih.
  • interpretasi sebuah kata menurut bentuk konsonannya atau menurut vokalisasinya.
  • interpretasi sebuah kata dengan mengubah huruf-hurufnya atau dengan mengubah vokalnya.

Dua poin terakhir adalah aturan/ metode yang paling sering saya gunakan, terutama untuk mencermati adanya kemungkinan aspek morfologi yang disebabkan perubahan fonetis. Dalam tradisi tasawwuf Islam diyakini bahwa “ilmu huruf” ini adalah salah satu dari empat ilmu yang mutlak dimiliki Khatamul Auliyah.

Sayangnya, pada masa sekarang, etimologi kata balanda lebih cenderung dianggap berasal dari kata “blondi” (rambut pirang) atau ada juga yang menganggap berasal dari kata “holanda”. Untuk hal ini, saya pikir kita tidak perlu memperdebatkan mana pendapat yang benar. Anggap saja ini dinamika dalam perspektif etimologi.

Namun jika boleh saya runut, memori kolektif kita dari masa kuno hingga masa kolonial sebenarnya menunjukkan jejak yang konsisten untuk konsep istilah “landa” (londo).

Setelah usai digunakan di era sailendra (Nusantara era Hindu/ Buddha), istilah “landa” atau “penempa” selanjutnya digunakan di awal era kerajaan Islam Jawa, digunakan dengan sebutan “panembahan” sebagai gelar dari pendiri Kerajaan Demak yaitu Raden Fatah yang bergelar “Panembahan Jinbun”.

Ia mengambil gelar Panembahan Jimbun setelah melegitimasi Kesultanan Demak sebagai penerus Majapahit. Ini berarti sangat mungkin bahwa ia mendeklarasikan dirinya sebagai pembawa era baru di tanah Jawa – yang mentransisi kerajaan tanah Jawa yang sebelumnya bercorak Hindu-Buddha menjadi kerajaan bercorak Islam.

Sayangnya, istilah panembahan ini pada umumnya di masa sekarang dianggap berarti “orang yang disembah”, dengan anggapan bahwa kata panembahan berasal dari kata manembah yang artinya menyembah. Jika boleh kritis, Kerajaan Demak yang bercorak Islam, rasanya tidak masuk akal menggunakan pemaknaan semacam ini.

Karena dalam Islam sangat dilarang menyembah manusia. Raden Fatah sebagai pemeluk Islam yang taat, terlebih bahwa pengangkatannya sebagai sultan Demak dilakukan oleh Walisongo yang tentunya paham benar aturan Islam, jelas tidak mungkin menggunakan terminologi semacam ini. Masa ia, orang yang tahu aturan agama Islam bahwa menyembah manusia itu sangat dilarang malah menginginkan dirinya disembah.

Memasuki masa kolonial, leluhur kita kemudian menyematkan istilah ‘landa’ kepada orang kulit putih yang datang dari benua Eropa. Saya pikir, leluhur kita pada saat itu memahami betul bahwa kedatangan orang-orang Eropa akan memulai lagi suatu zaman baru di bumi Nusantara. Di mana tatanan hidup akan berubah selamanya – tidak akan pernah kembali seperti dulu.

Sebagai tambahan, Nalanda di India kuno (beroperasi di sekitar tahun 427 hingga 1197 M), yang dianggap oleh para sejarawan sebagai universitas pertama di dunia, merupakan pusat pembelajaran terbesar buddhis di dunia kuno, juga menggunakan konsep yang saya urai di atas.

I-Tsing, biksu buddha yang pernah mengunjungi nusantara di abad ketujuh hingga memasuki awal abad kedelapan juga pernah sekolah hingga 10 tahun di nalanda.

Penggunaan “Nalanda” untuk sebuah pusat pendidikan tentulah selaras dengan makna dari nama tersebut, yaitu sebagai tempat “menempa” mental dan intelektual murid.

Yang menarik, nampaknya organisasi freemason pun nampaknya akan menggunakan terminologi “penempa”, “perajin”, atau sejenisnya. Jika sebelumnya mereka menyebut organisasinya “Mason” yang secara harfiah berarti “tukang batu”, maka ke depan, mereka ada kemungkinan menggunakan nama sandi baru.

Ada dua kemungkinan, yaitu: ‘Potter‘ (yang dalam bahasa Inggris berarti “perajin tembikar”), dan ‘Craft‘ (dalam bahasa Inggris ‘craftsman’ berarti “perajin atau seniman”).

Setidaknya itulah yang ditunjukkan jejak samar eksistensi mereka. Karena, walaupun pembicaraan mengenai organisasi ini telah begitu ramai tersebar di internet namun, organisasi ini seakan tetap diselimuti misteri.

Orang-orang banyak menyebut mereka sebagai “tangan yang bergerak di belakang layar” yang mengontrol tatanan dunia. Menguasai ekonomi dunia, perkembangan ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Tapi, hingga kini rasanya tidak ada satupun dari selebriti, pejabat atau petinggi level dunia yang secara terang-terangan mengatakan dirinya bagian dari Masonik.

Mungkin pembaca jadi bertanya-tanya, dari mana saya mendapat informasi bahwa kemungkinan mereka akan menggunakan nama sandi baru, ‘Potter’ atau ‘Craft’? Sayangnya, untuk saat ini saya belum bisa jelaskan.

Yang saya heran, jika selama ini mereka dianggap sebagai “tangan yang bergerak di belakang layar”, mengapa mereka tidak memilih menggunakan istilah ‘puppeteer’ saja?

Karena ungkapan “tangan yang bergerak di belakang layar” jelas adalah definisi bersifat figuratif yang tepat untuk sebutan ‘Puppeteer’ atau ‘master of puppet’ (yang berarti “dalang”). Tapi terserahlah jika ingin tetap menggunakan ‘potter’ atau pun ‘craft’…. btw, craft-man or croft-er?

LihatTutupKomentar