-->

Panji Hitam Sebagai Metafora dan Penanda Kemunculan al Mahdi


Dalam apokaliptik Islam, “panji hitam” sebagai penanda kemunculan Al Mahdi adalah salah satu tema yang sangat sering dibicarakan.

Seringnya istilah ini digunakan oleh kelompok tertentu untuk mencapai tujuan politiknya, nampaknya adalah salah satu hal yang membuat hadist tentang panji hitam menjadi begitu kontroversi.

Salah satu hadist yang terkenal terkait panji hitam, yang diriwayatkan Ibni Abi Syaibah dan Nu’aim bin Hammad dalam Al Fitan dan Ibnu Majah dan Abu Nu’aim dari Ibnu Mas’ud, berbunyi:

Ketika kami berada di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba datang sekumpulan anak-anak muda dari kalangan Bani Hasyim. Melihat mereka, maka kedua mata Rasulullah berlinang air mata dan wajahnya berubah. Akupun bertanya: “Mengapakah kami melihat pada wajahmu, sesuatu yang kami tidak sukai?”.

Beliau menjawab: “Kami Ahlul bait telah Allah pilih untuk kami akhirat lebih dari dunia, kaum kerabatku akan menerima bencana dan penyingkiran sepeninggalanku kelak, sampai datangnya suatu kaum dari sebelah Timur yang membawa bersama mereka panji-panji berwarna hitam.

Mereka kaum yang meminta kebaikan, tetapi tidak diberikan. Maka mereka berjuang dan memperoleh kemenangan. Lalu diberikanlah apa yang mereka minta itu, tetapi mereka tidak menerimanya, hingga mereka menyerahkannya kepada seorang lelaki dari kaum kerabatku yang memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana bumi dipenuhi dengan kedurjanaan.

Siapa pun di antara kamu yang sempat menemuinya (mencapai masanya), datangi dan beri dia kesetiaanmu walau pun engkau harus merangkak di atas salju. Sesungguhnya dialah Al Mahdi.”

Di masa sekarang, beberapa kalangan menganggap panji hitam yang datang dari timur yang dibawa pasukan Al Mahdi, mengadopsi Ar-Rayah, yaitu panji perang pada zaman Nabi Muhammad yang berwarna dasar hitam.

Di sisi lain, sejarah mencatat bahwa bendera kebesaran Islam pada zaman Nabi Muhammad disebut Al-Liwa yaitu sebuah bendera berukuran besar berwarna putih.

Saya melihat bendera putih yang digunakan Nabi Muhammad tersebut, ada kemungkinan terkait dengan nubuat “empat penunggang kuda” Yohanes Pembabtis (Nabi Yahya) dalam Kitab Wahyu. Dalam tulisan “Makna dari Nubuat Empat Penunggang Kuda” dan “Siklus Angka Kosmis dalam Nubuat Akhir Zaman” hal ini telah saya bahas.

Bahwa, empat penunggang kuda tersebut adalah representasi Nabi Muhammad (sebagai penunggang kuda putih), John I Tzimiskes kaisar Bizantium (sebagai penunggang kuda merah), Edward the Black Prince (sebagai penunggang kuda hitam), dan sebuah institusi, bisa sebuah institusi negara, kerajaan, atau pun institusi agama (sebagai penunggang kuda berwarna pucat).

Nabi Muhammad dianalogikan sebagai penunggang kuda putih nampaknya merujuk pada bendera putih sebagai bendera kebesarannya, di sisi lain ada riwayat yang menyebutkan jika beliau memiliki kuda berwarna putih.

John I Tzimiskes (kaisar Bizantium) dianalogikan sebagai penunggang kuda merah, oleh karena ia memang terkenal dengan julukan “Chmushkik” yang dalam bahasa Armenia berarti “boot merah.”

Edward the Black Prince (putra tertua Raja Edward III dari Inggris) dianalogikan sebagai penunggang kuda hitam, oleh karena ia terkenal dengan julukan “pangeran hitam” (the black prince).

Penunggang kuda pucat saja yang saya lihat bukan merupakan analogi seorang tokoh melainkan analogi sebuah institusi, bisa sebuah institusi negara, kerajaan, atau pun institusi agama. Warna pucat yang direpresentasi kuda keempat, yang disebut kuning kehijauan atau hijau kekuningan, dugaan saya merujuk pada wabah demam kuning yang pada tahun 1690 menyebar di Tiga belas koloni Inggris di benua Amerika. Salah satu yang terparah, yaitu wabah yang menyebar di Philadelphia pada kisaran 1690-1807. 

Hipotesis empat penunggang kuda yang saya berikan ini bukan saja sesuai menurut pencocokan warna, tetapi didukung oleh temuan saya bahwa jarak tahun kemunculan keempat tokoh berada dalam rentang siklus 360 tahun.

Tahun 610 M sebagai tahun kenabian Muhammad berjarak 360 tahun ke 970 M yang merupakan tahun pemerintahan John I Tzimiskes (969 – 976).

Tahun 970 berjarak 360 tahun ke 1330 M sebagai tahun kelahiran Edward of Woodstock (15 Juni 1330 – 8 Juni 1376).

Tahun 1330 berjarak 360 tahun ke 1690 M saat wabah demam kuning menyebar di Tiga belas koloni Inggris di benua Amerika. Salah satu yang terparah, yaitu wabah yang menyebar di Philadelphia pada kisaran 1690-1807.

Yang menarik, siklus 360 tahun kemunculan empat penunggang kuda dalam nubuat Yohanes Pembabtis (Nabi Yahya) kemudian dilanjutkan oleh siklus 129 tahun untuk pembukaan segel 5, 6, dan 7. Penting untuk pembaca pahami bahwa kemunculan keempat penunggang kuda mengiringi pembukaan segel 1, 2, 3 dan 4. Jadi, ada 7 pembukaan segel yang merupakan representasi atau penanda dimulainya periode tertentu di masa depan yang diwahyukan Allah kepada Yohanes Pembabtis (Nabi Yahya).

Untuk pembahasan lebih lengkapnya silakan baca di kedua artikel ini: “Makna dari Nubuat Empat Penunggang Kuda” dan “Siklus Angka Kosmis dalam Nubuat Akhir Zaman“.

Hitam sebagai warna Simbolik arah Selatan

Tujuan saya kembali mengulas sedikit mengenai nubuat “Empat Penunggang Kuda” yaitu ingin memberi pemahaman kepada pembaca bahwa, ada kemungkinan “panji hitam” yang disebutkan Nabi Muhammad bisa jadi juga merupakan suatu ungkapan simbolik, seperti halnya yang kita temukan dalam nubuat Empat Penunggang Kuda.

Di masa kuno, empat arah mata angin direpresentasi oleh empat warna, yaitu: arah utara= kuning, arah barat= putih, arah selatan= hitam, arah timur= merah.

Keempat warna ini juga merepresentasi tatanan unsur dalam konsep Makro kosmos:

  • Unsur Udara (Simbolisasi: warna kuning; arah utara)
  • Unsur Air (Simbolisasi: warna putih; arah barat)
  • Unsur tanah (Simbolisasi: warna hitam; arah selatan)
  • Unsur Api (Simbolisasi: warna merah; arah timur)

Demikianlah, ketika Nabi Muhammad menggunakan warna putih sebagai warna kebesarannya, ada kemungkinan pertimbangan itu didasari oleh pemahaman simbolis semacam ini.

Berdasarkan pemahaman ini, warna hitam yang dimaksudkan Nabi Muhammad dalam frase “panji hitam” tentulah merujuk pada arah selatan. Lalu, wilayah selatan manakah yang beliau maksudkan? kuat dugaan saya adalah: Nusantara.

Dalam tulisan “Fakta Jejak Kuno di Balik Nama Sunda”, saya telah mengulas panjang lebar bahwa di masa lalu Nusantara dikenal dengan beberapa sebutan yang umumnya merujuk pada makna “Selatan”. Salah satu sebutan tersebut adalah: Sunda.

Pertimbangan “sunda” kemungkinan berarti “selatan”, didasari adanya kata “sunthaz” dalam bahasa Proto-Germanic, yang berarti: selatan. Kata ini merupakan bentuk kuno dari kata “south”. (sumber di sini)

Di sisi lain, dalam bahasa Iceland, terdapat pula kata “sund” yang berarti “selat”. (sumber di sini)

Penyebutan benua Australia pun tidak lepas dari makna “selatan”. Dari Latin “australis” yang berarti “selatan”.

Demikianlah, jika sebutan “panji hitam” kita maknai menurut perspektif warna kosmologi maka, ada kemungkinan yang dimaksud Nabi Muhammad dalam ungkapan metafora “pasukan panji hitam” adalah pasukan kaum dari selatan, dan ini merujuk pada Nusantara, terutama pulau Jawa sebagai pusat “Sunda” (selatan) di masa kuno.

Panji Hitam Muncul 6 Tahun Sebelum Al Mahdi

Ada sebuah riwayat yang disampaikan oleh Nuaim bin Hammad dalam Kitab Al-Fitan bahwa “panji hitam” akan muncul 72 bulan (6 tahun) sebelum kemunculan Al Mahdi.

Jika kita berandai-andai bahwa bendera hitam raksasa bertuliskan kalimat tauhid yang diarak pada aksi damai 212 pada Jum’at 2 Desember 2016 (detik 2 des 2016: Bendera Hitam Raksasa Diarak di Depan Monas dengan Tertib), adalah kemunculan panji hitam yang dimaksud riwayat tersebut, maka, kita dapat memperkirakan bahwa tahun 2022 adalah tahun kemunculan Al Mahdi.

Bisa jadi memang, bendera hitam raksasa yang diarak dalam aksi damai 212 pada Jum’at 2 Desember 2016 adalah peristiwa yang dimaksud oleh riwayat yang disampaikan Nuaim bin Hammad dalam Kitab Al-Fitan. Peristiwa itu monumental sekaligus spektakuler karena dihadiri jutaan orang.

***

Baca pembahasan terkait di sini: Fakta yang Menguatkan Dugaan Dewa Brahma Sebagai Personifikasi Nabi Ibrahim (Di bagian akhir tulisan ini, saya menunjukkan suatu kemungkinan kuat bahwa, tempat pembaiatan al Mahdi yang selama ini disebut di Ka’bah – di posisi antara rukun Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim – sesungguhnya merupakan suatu kalimat perumpamaan atau bersifat analogis (seperti halnya frase “panji hitam”). Posisi wilayah yang dianalogikan itu mengacu pada wilayah nusantara.

LihatTutupKomentar