-->

Kesamaan Sosok Shiloh (Alkitab Ibrani) Dengan Maitreya (Tradisi Buddha)


Shiloh/ Shilo/ Siloh/ atau Silo adalah sosok yang disebutkan dalam Alkitab Ibrani (Kejadian 49: 10).

Beberapa versi Alkitab mempertahankan penulisan kata ‘Shiloh’, dalam artian tidak diberi penafsiran, Seperti pada Alkitab Versi King James: Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda, Atau pemberi hukum dari antara kakinya, Sampai Shiloh datang; Dan kepada-Nya lah ketaatan manusia (Kejadian 49:10).

Sementara itu beberapa versi lainnya, mengganti kata ‘Shiloh’ dengan frase “Dia yang berhak”. misalnya pada versi Terjemahan Baru: Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda, ataupun lambang pemerintahan dari antara kakinya, sampai dia datang yang berhak atasnya, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa (Kejadian 49:10).

Banyak orang melihat ayat ini sebagai nubuatan Mesianik. Dalam artian, nama ‘Shiloh’ dikaitkan dengan Mesiah, sosok penyelamat dan pembebas dalam eskatologi Yahudi.

Dalam eskatologi Yahudi, istilah mashiach, atau “Mesiah”, merujuk secara khusus kepada raja Yahudi masa depan dari garis keturunan Daud, yang diharapkan hadir menyelamatkan bangsa Yahudi. Ia biasa disebut “Raja Mesias”, yang dalam bahasa Ibrani “melekh mashiach”, dan dalam bahasa Aram “malka meshiḥa”. Dalam arti umum, mesias bermakna: penyelamat atau penebus yang akan muncul pada akhir zaman dan mengantar kerajaan Allah, pemulihan ke arah keadaan ideal dunia.

Meninjau Sebutan ‘Shiloh’ Menurut Perspektif Mesianik

Karena literatur yang ada cenderung mengarahkan sosok Shiloh yang disebut dalam Kejadian 49: 10 sebagai sosok Mesianik, maka, salah satu cara menggali lebih jauh untuk mengetahui siapa sosok yang dimaksud, adalah dengan mengkomparasinya dengan sosok mesianik yang terdapat dalam literatur tradisi lain.

Dalam metode komparasi semacam ini, biasanya akan kita temukan fakta bahwa; dua nama berbeda, dari tradisi yang juga berbeda, pada kenyataannya memiliki makna yang sama. Fakta ini, mau tidak mau mesti kita pandang sebagai kenyataan bahwa bisa jadi dua nama yang berbeda itu merujuk pada satu sosok atau orang yang sama.

Dalam tradisi Budhis, kita mengenal sosok Maitreya “Sang Buddha Masa Depan” sebagai tokoh mesianik. Nama Maitreya sendiri berasal dari kata Sansekerta ‘maitri’ yang pada gilirannya berasal dari kata ‘mitra’ yang berarti: teman.

Yang menarik, dalam bahasa Bugis dan beberapa bahasa daerah di Sulawesi Selatan terdapat kata ‘Shiloh’ atau ‘Silo’ yang berarti: Teman. (pembaca silakan tanya sama temannya yang bisa berbahasa Bugis untuk mengecek hal ini)

Jadi, dari komparasi ini kita temukan fakta bahwa sebutan ‘Shiloh’ dalam tradisi Ibrani dan ‘Maitreya’ dalam tradisi Buddhis sama-sama berarti “teman”.

Pembaca mungkin bertanya-tanya, kok bisa bahasa Bugis digunakan untuk menafsir makna ‘Shiloh’ yang disebut dalam Kejadian 49: 10?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, melihat jauh ke belakang menelusuri jejak 10 suku Israel yang hilang, adalah satu-satunya jalan.

Menelusuri 10 Suku Israel yang Hilang

Kita ketahui dari literatur yang ada bahwa sepuluh (dari duabelas) Suku Israel yang berasal dari Kerajaan Israel Utara, tidak diketahui keberadaannya lagi setelah penaklukan Kekaisaran Neo-Asyur sekitar tahun 721-722 SM.

Kesepuluh suku tersebut adalah: suku Ruben, Simeon, Dan, Naftali, Gad, Asyer, Isakhar, Zebulon, Manasye, dan Efraim.

Dari literatur sejarah kita ketahui, setelah perang saudara di masa pemerintahan Rehabeam (Rehoboam), Cucu Daud, 10 suku melepaskan diri dari kerajaan utama dan membuat kerajaan sendiri yaitu kerajaan Israel Utara.

2 suku lainnya yaitu Suku Yehuda dan Benyamin tetap setia kepada Rehabeam, dan membentuk Kerajaan Yehuda (Kerajaan Israel Selatan).

Pada tahun 721 SM, Kerajaan Israel Utara diserbu oleh pasukan Asyur (Asiria) yang dipimpin oleh Salmaneser V dan dilanjutkan oleh Sargon II. Satu tahun kemudian Samaria, Ibukota Kerajaan Israel Utara, takluk dan dihancurkan.

Penduduk Kerajaan Israel Utara yang terdiri dari 10 suku Israel (suku Yehuda dan suku Benyamin tidak termasuk di dalamnya) diasingkan dan dibuang ke Khorasan, yang sekarang merupakan bagian dari Iran Timur dan Afganistan Barat. Suku-suku inilah yang dipercaya sebagai bagian dari bangsa Yahudi yang hilang dari sejarah, karena melebur dengan suku-suku bangsa tempat mereka tinggal.

Pada tahun 603 SM, kekuasaan bangsa Asyur (“Asiria”) digantikan oleh bangsa Babel (“Babilonia”). Pada masa kekuasaan Babel ini, Kerajaan Israel Selatan atau Kerajaan Yehuda pun takluk dan Yerusalem dihancurkan (587/586 SM). Setelah itu berlangsunglah masa pembuangan di Babel.

50 tahun kemudian, 538 SM, Kekaisaran Persia merebut kekuasaan Babel. Sebagian Suku Yehuda dan Benyamin diperkenankan untuk kembali ke Yudea. Namun sepuluh Suku Israel lainnya, penduduk Kerajaan Israel Utara, tidak pernah disebutkan kembali sebagaimana dua suku itu, sehingga mereka dijuluki sebagai “Sepuluh Suku (Utara) Israel yang ‘Hilang'”.

Dalam Alkitab Perjanjian Lama 2 Raja-raja 18:11 tertulis… “Raja Asyur mengangkut orang Israel ke dalam pembuangan ke Asyur dan menempatkan mereka di Halah, pada sungai Habor, yakni sungai Negeri Gozan, dan di Kota-Kota orang Madai”

Tempat-tempat ini sekarang terletak pada bagian utara Irak dan sebelah barat laut Iran yang disebut Kurdistan.

Menurut sejarawan kuno Flavius Yosefus yang hidup pada abad pertama Masehi, di mana ia menulis tentang keberadaan kesepuluh Suku tersebut: “… kesepuluh Suku yang berada di Efrat hingga sekarang, dan yang berjumlah sangat besar, yang jumlahnya tidak dapat diperkirakan.” (Antiquitates Iudaicae 11:2)

Yosefus menulis bahwa pada abad pertama Masehi kesepuluh Suku Israel hidup dalam jumlah yang sangat besar di seberang Sungai Efrat. Hal ini mungkin berarti bahwa beberapa dari mereka tersebar ke sebelah timur sungai Efrat.

Demikianlah, Kesepuluh Suku Israel yang hilang yang pada mulanya diangkut ke wilayah yang sekarang masuk dalam wilayah utara Irak dan barat laut Iran, lambat laun menyebar ke berbagai wilayah di dunia.

Di India bagian utara yakni Kashmir terdapat sekitar 5-7 juta jiwa. Terdapat nama Ibrani di lembah dan di desa-desa di Kashmir seperti Har Nevo, Beit Peor, Pisga, Heshubon. Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa Bangsa Kashmir keturunan Sepuluh Suku Utara Israel yang ‘Hilang’ pada pembuangan tahun 722 SM.

Penampilan fisik mereka berbeda dengan umumnya orang India. Tradisi mereka memang mengindikasikan perbedaan asal-usul. Mereka memang menyebut diri sebagai Bene Israel, Anak-anak Israel. Orang Kashmir menghormati Sabbath (beristirahat dari semua jenis kerja); menyunat bayi pada usia delapan bulan (di Alkitab, Kejadian 17:12: 8 hari); tidak makan ikan yang tak bersisik dan bersirip (Imamat 11), dan merayakan beberapa Hari Raya Yahudi lainnya, tetapi tidak yang berasal dari setelah kehancuran Bait Allah pertama (seperti Hannukah).

Di kawasan pegunungan di kedua sisi perbatasan India-Myanmar, bermukim sekitar 2 juta orang Shin-lung. Mereka memiliki tradisi penyembelihan binatang korban seperti suku-suku Israel kuno pada umumnya, dan menyebut diri “Anak Manasye” atau “Bnei Menashe”.

Kata Manasye banyak bermunculan dalam puisi dan doa (mereka menyeru “Oh God of Manasseh”). Mereka memiliki tradisi cerita yang mengatakan bahwa mereka dibuang ke suatu tempat yang berada di sebelah barat tempat asal mereka, lalu bermigrasi ke timur dan mulai menjadi penggembala dan penyembah dewa.

Migrasi mereka berlanjut ke timur, mencapai perbatasan Tibet-Tiongkok, lalu mengikuti aliran Sungai Wei, hingga masuk dan bermukim di Tiongkok Tengah sekitar tahun 230 SM.

Orang Tionghoa menjadikan mereka sebagai budak, sehingga beberapa di antara mereka melarikan diri dan tinggal di gua-gua kawasan pegunungan Shin-lung, dan hidup miskin selama dua generasi. Mereka juga disebut orang gua atau orang gunung dan tetap menyimpan kitab suci mereka.

Akhirnya mereka mulai berasimilasi dengan orang Tionghoa dan terpengaruh budaya Tionghoa, hingga akhirnya mereka meninggalkan gua-gua pegunungan dan pergi ke barat, melalui Thailand, menuju Myanmar. Setelah itu mereka berkelana tanpa kitab suci, dan membangun tradisi lisan, hingga sampai di Sungai Mandaley, dan menuju Pegunungan Chin. Pada abad-18 sebagian dari mereka bermigrasi ke Manipur dan Mizoram, India Timur Laut.

Kelompok Suku/Bangsa lainnya yang ‘terindikasi’ keturunan dari 10 Suku Utara Israel yang ‘Hilang’

  • Yahudi Kurdi di Suriah, Irak, Iran, Turki & Armenia
  • Bene Israel di India bagian utara
  • Yahudi Cochin di India bagian selatan
  • Yahudi Kaifeng di Tiongkok
  • Jepang
  • Batak di Sumatra bagian utara, Indonesia
  • Nias di Sumatra bagian utara, Indonesia
  • Minangkabau di Sumatra bagian barat, Indonesia
  • Mentawai di Sumatra bagian barat, Indonesia
  • Dayak di Kalimantan (Indonesia, Malaysia & Brunei)
  • Talaud di Sulawesi bagian utara, Indonesia
  • Sangir di Sulawesi bagian utara, Indonesia
  • Minahasa di Sulawesi bagian utara, Indonesia
  • Toraja di Sulawesi bagian selatan, Indonesia
  • Melanesia Sumba (Suku Kodi dan Laura), dan Suku-suku Melanesia lainnya di Nusa Tenggara Timur, Indonesia & Timor-Leste
  • Melanesia Alef’uru di Maluku, Indonesia
  • Suku-suku Melanesia Papua Pesisir di Pesisir Papua, Indonesia & Pesisir Papua Nugini
  • Pribumi Amerika di Amerika Serikat
  • Pribumi Amazon di Amerika bagian selatan
  • Yahudi Falasha (Beta Israel) di Eritrea dan Ethiopia
  • Madagaskar
  • Lemba di Malawi, Zimbabwe dan Afrika Selatan
  • Timbuktu (Bilad el-Sudan) di Mali
  • Sefwi (Rumah Israel) di Ghana
  • Yahudi Igbo di Nigeria
  • Anglo-Saxon (Anglo-Israel) yang membentuk Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara, Kanada, Afrika Selatan, Australia, Selandia Baru & Negara Amerika Serikat
  • Armenia
  • Aborigin Australia di Australia
  • Polinesia Maori di Selandia Baru

‘Sompa’ Dalam Bugis-Makassar yang Identik Dengan Tabut Perjanjian Dalam Tradisi Yahudi

Dalam tradisi Bugis-Makassar ada dikenal istilah ‘Sompa’ yang berarti mahar dalam prosesi perkawinan.

kata ‘Sompa’ ini identik dengan kata ‘Sompe’ atau ‘Sempe’ yang berarti “piring” dan atau “kapal” dalam bahasa kuno di Sulawesi.

Dalam prosesi perkawinan Bugis-Makassar, pengantaran mahar (sompa) dari mempelai laki-laki ke kediaman mempelai wanita, menggunakan apa yang disebut ‘wala-suji’. Tapi sebenarnya, jika ditinjau secara linguistik, wala-suji itu lebih tepat jika disebut sebagai ‘sompa’ dalam maknanya sebagai “kapal” atau “bahtera”.

Bentuk desain wala-suji atau sompa dalam tradisi Bugis-Makassar ini bisa dikatakan sangat mirip dengan bentuk desain tabut perjanjian. (lihat gambar di bawah)

Walasuji/ Sompa yang digunakan untuk membawa mahar dalam prosesi perkawinan Bugis-Makassar
Tabut Perjanjian

Dan jika ‘sompa’ memiliki makna “kapal” maka, tabut perjanjian atau “Ark of the Covenant” juga menggunakan kata ‘Ark’ yang berarti: kapal.

Hal ini bahkan menjadi bahan pertanyaan tersendiri bagi orang Barat. Misalnya dalam artikel: Why Is It Called An Ark? (www.oneforisrael.org) disebutkan: “When we talk about “The Ark” in the Bible, we could either be talking about the Ark of the Covenant, or Noah’s Ark.” (ketika kita bicara tentang “The Ark” (bahtera) di dalam Alkitab, kita akan berbicara tentang “The Ark of the Covenant, atau “Noah’s Ark”)

Jadi, antara ‘Sompa’ dan ‘Tabut Perjanjian’ (Ark of the Covenant) terdapat kesamaan bentuk desain dan juga kesamaan bentuk etimologi.

Pemerhati tradisi Yahudi umumnya menjadikan tradisi matrilineal Yahudi sebagai salah satu ciri yang digunakan untuk mengidentifikasi jejak 10 suku Israel yang hilang. Itulah makanya, suku Minangkabau di Sumatera yang menganut sistem matrilineal dianggap memiliki jejak 10 suku Israel yang hilang.

Di Sulawesi Selatan, sistem Matrilineal tidak lagi digunakan. Saya katakan “tidak lagi digunakan” oleh karena ada jejak di wilayah Luwu yang menunjukkan jika di masa kuno sistem tersebut dapat diduga kuat pernah digunakan.

Di wilayah Luwu, Sulawesi Selatan, ada daerah adat bernama ‘Senga’ yang sistem pemerintahan adatnya dipimpin oleh orang yang bergelar “Arung Senga”. Yang menarik, yang diangkat sebagai Arung Senga’ haruslah wanita. Ini sudah menjadi ketentuan adat yang berlaku turun temurun dan pantang untuk dilanggar.

Di sisi lain, nama Senga’ ini sangat mirip dengan “Sena” yakni nama daerah yang disebut sebagai asal usul Orang- orang Lemba (Vhalemba/ Palemba) di Afrika Selatan yang mengklaim sebagai keturunan Yahudi.

Sejarah lisan Orang Lemba menuturkan bahwa nenek moyang mereka melakukan perjalanan dari tempat yang sekarang disebut Yaman ke Afrika untuk mencari emas, di mana mereka mengambil istri dan mendirikan komunitas baru. Lebih jauh, sejarah lisan tersebut mengatakan bahwa tempat asal mereka bernama “Sena”. (Penurun ini berkorelasi dengan apa yang telah saya ulas dalam artikel ini: Jejak Penambang Emas dari Kerajaan Tertua Bugis di Afrika)

Tidak jauh dari daerah Senga’ di Belopa, Luwu, atau bisa dikatakan masih di wilayah yang sama karena hanya berjarak sekitar 7 Km, terdapat wilayah adat Suli yang dipimpin oleh seorang dengan gelar Palempang Suli. Sebutan ‘Palempang’ ini terlihat sangat identik dengan sebutan komuntas Vhalemba atau Palemba di Afrika.

Lalu, masih di sekitar daerah Senga, Luwu, beberapa kilometer ke arah barat, di kaki gunung Sinaji, terdapat toponim Kanna yang sangat mirip dengan toponim kanaan yang sangat banyak disebutkan dalam Alkitab Ibrani.

Di daerah Kanna (Bassesang tempe, Luwu) terdapat pula Buntu Sinaji atau Gunung Sinaji yang secara fonetis juga sangat mirip dengan nama gunung Sinai. Morfologi fonetisnya adalah: sinai – sinayi – sinaji. Dalam hal ini saya tidak mengatakan bahwa gunung Sinaji di Bastem, Luwu, adalah gunung Sinai yang disebut dalam kitab suci tetapi, sangat mungkin bahwa nama gunung Sinaji di Bastem adalah duplikasi nama yang dilakukan orang di masa kuno yang bersumber dari nama gunung Sinai yang banyak disebut dalam kitab suci.

Demikianlah, saran bahwa kata ‘Shiloh’ yang disebut dalam Kejadian 49:10 merujuk pada makna ‘teman’ (dalam bahasa Bugis) layak dipertimbangkan, dan bahwa makna tersebut senada dengan makna tokoh mesianik dalam tradisi Buddha, Maitreya yang juga berarti: “teman”.

LihatTutupKomentar