Prof. Dr. Andi Zainal Abidin Farid dalam bukunya yang berjudul “Capita Selecta: Sejarah Sulawesi Selatan” mengatakan bahwa Dr. Cyril A. Hromnik yang meneliti di Afrika Selatan dan Malagasi (Madagaskar) khusus datang mengunjunginya di Makassar pada tahun 1987, dan menyampaikan hasil penelitiannya bahwa dari abad ke 1 sampai abad ke 10 Masehi, banyak sekali pekerja yang dikirim dari kerajaan tertua Bugis di Sulawesi Selatan, ke Afrika Selatan untuk dipekerjakan di pertambangan emas orang-orang India.
Atas informasi tersebut Prof. Dr. Andi Zainal Abidin Farid menyampaikan bahwa kerajaan tertua Bugis yang dimaksud Hromnik dengan sebutan “The Ancient Bugis State” itu menurut tradisi adalah Luwu.
Dalam buku saya yang berjudul LUWU BUGIS The Antediluvian World, Bagian 11: Jejak Luwu di Madagaskar dan Afrika, saya juga telah membahas mengenai jejak orang Bugis atau pun pelaut Bajo di Madagaskar dan Afrika.
Misalnya, di Madagaskar, saya temukan toponim Ampasimanjeva yang saya perkirakan adalah bentuk bahasa Makassar “ampa sima jappa” yang berarti: “menarik biaya perjalanan.” Jadi saya menduga, di masa lalu, desa itu merupakan tempat tinggal para pemilik armada kapal.
Ampasimanjeva berada di distrik Manakara, nama yang identik dengan ungkapan “manakkara” – yang sekarang menjadi slogan resmi pada lambang pemerintah kabupaten Mamuju.
Kisah masa lalu yang menyertai penamaan desa Manakara di Madagaskar pada kenyataannya terkesan memiliki keterkaiatan yang erat dengan sejarah wilayah Mamuju/Mandar, yang sekarang menjadi provinsi Sulawesi Barat.
Dari sebuah situs di internet saya menemukan penjelasan asal nama daerah Manakara yang ada di Madagaskar. Sumber tersebut menyebutkan bahwa nama “Manakara” berasal dari dua makna:
Makna pertama, berasal dari keberadaan batu karang besar atau “aram-bato” yang ada di laut, dari utara ke selatan. Jadi tempat ini disebut “manana aram-bato” maka jadilah nama “Manakara”. Batu karang besar ini dijaga oleh makhluk gaib yang hidup di bawah air; “Rangahy Sola”.
Makna kedua, Manakara terkait dengan ungkapan “7 vinany”. Ungkapan 7 vinany ini merujuk pada makna tentang 7 sungai yang mengalir ke muara hingga terhubung kelaut.
Makna 7 vinany ini bisa dikatakan identik dengan ungkapan yang terkenal dalam literatur kesejarahan bumi Manakkara di Sulawesi Barat, yakni; “Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga” (Tujuh Kerajaan di Hulu Sungai, dan Tujuh Kerajaan di Hilir Sungai). Karena itu saya menduga, 7 vinany kemungkinan bentuk aslinya adalah 7 binanga atau minanga (yang dapat berarti muara sungai). Terjadi perubahan fonetis labial, yaitu antara v pada vinany dengan b pada binanga.
Berbicara mengenai orang Bugis sebagai pemilik armada kapal yang melayani pelayaran di Madagaskar, Afrika serta pelayaran melintasi Samudera Hindia ke wilayah lainnya, disana, terdapat kapal yang disebut Mtepe – buatan suku Bajun (baju).
Mtepe merupakan jenis kapal penumpang yang saat itu merupakan kapal yang umum digunakan di pantai Afrika Timur. Kapal ini cukup luas untuk mengangkut barang-barang menempuh jarak jauh. Kemampuan Suku Bajun dalam membuat kapal tersebut dikarenakan mereka merupakan keturunan dari orang Bajo dari masa lampau.
Untuk pendapat ini, Robert Dick mengatakan: Jika suku Bajun terkait dengan suku Bajo dari Indonesia, Suku Bugis dari Sulawesi memiliki peluang yang lebih besar untuk dihubungkan dengan bangsa Afrika/ Madagaskar.
Dugaan Robert Dick ini cukup mendasar jika mencermati mata pencaharian suku Bajun Afrika adalah sebagai nelayan – dan dibandingkan dengan binatang lain, mereka sangat senang menangkap mentimun laut atau teripang – yang mana hal ini identik dengan Suku Bajo dan Bugis Makassar yang rela berlayar hingga ribuan mil ke laguna-laguna dangkal di pantai utara Australia untuk menangkap binatang tersebut, dan menjualnya sebagai makanan mahal di pasar-pasar di dataran Cina.
Terkait kapal Mtepe yang berfungsi sebagai kapal penumpang di masa lalu, saya menduga ada keterkaitan dengan asal usul penamaan Pete-pete sebagai istilah untuk angkutan umum yang secara luas digunakan masyarakat di beberapa tempat di Sulawesi Selatan. Bisa saja ada kemungkinan bahwa Mtepe yang merupakan nama angkutan umum di laut pada masa lalu, seiring berjalannya waktu terserap menjadi istilah untuk nama angkutan umum di darat di Sulawesi Selatan.
Istilah ini kemungkinan dibawa oleh para pelaut Bugis Makassar atau pelaut Bajo dari Afrika, kemudian mempopulerkannya di Sulawesi Selatan. Hal ini saya pikir relevan dengan ungkapan William Marsden yang mengindikasikan Pelaut Bugis Makassar sebagai “sumber trend di masa lalu”, yang mana hal ini dapat dimengerti dikarenakan mereka memiliki banyak pengalaman dengan mengunjungi banyak tempat dalam aktifitasnya sebagai pelaut.
Berikut ini saya mengutip ulang ungkapan Marsden tersebut: “Orang-orang Bugis Makassar yang datang tiap tahun untuk berdagang di Sumatra dianggap para penduduk setempat sebagai teladan dalam cara bersikap, bangsa Melayu meniru gaya berpakaian mereka, serta membuat pantun-pantun yang memuji pencapaian mereka. Reputasi mereka tentang keberanian, yang melebihi semua pelaut di perairan bagian timur, mendapat sanjungan khusus. Mereka juga memperoleh rasa hormat dari barang-barang mahal yang mereka datangkan, serta semangat yang mereka tunjukkan ketika membelanjakannya dalam permainan, sabung ayam dan opium.”
Keberadaan unsur toponim yang identik antara yang ada di pulau Sulawesi dan Madagaskar bukanlah hal yang mengejutkan karena bahasa yang digunakan masyarakat di kedua pulau, oleh para ahli lingustik telah disepakati teridentifikasi sebagai bagian dari pada rumpun bahasa bahasa Austronesia.
Otto Dahl (1951) walaupun secara umum mengemukakan bahasa Malagasi ada keterkaitan dengan Bahasa Ma’anjan, namun di sisi akhir dalam bukunya yang berjudul “Malgache et Ma’anjan” ia juga mengatakan bahwa terdapat unsur dalam Malgache yang mengarah ke Celebes (Sulawesi).
Berikut ungkapan Otto Dahl dalam Malgache et Ma’anjan hlm. 372 tersebut: “Les resemblances avee le Maanjan ne resolvent pourtant pas tous les problems du Malgache. Il ya dans le Malgache des elements qui semblent nous orienter vers Celebes. Mais une nation qui a pousse ses expeditions maritime jusqu’en Afrique, a certainment pu, long temps auparavant, traverse le Detroit de Macassar, et a subi l’influence des langues de Celebes.”
Pradiptajati Kusuma dkk, Dalam artikelnya “Mitochondrial DNA and the Y chromosome suggest the settlement of Madagascar by Indonesian sea nomad populations” menyampaikan bahwa nilai FST kromosom Y yang ketika divisualisasikan dengan Surfer, menunjukkan bahwa populasi Indonesia dengan afinitas terdekat ke Malagasi berasal dari daerah dekat garis Wallace di barat dan selatan laut Sulawesi (Sulawesi selatan, timur Borneo dan Kepulauan Sunda Kecil). Populasi dengan afinitas tertinggi ke Malagasi adalah Mandar (Sulawesi), Flores (Sunda Kecil), Bajo (Sulawesi), dan Kalimantan Timur Dayak dan Lebbo ‘(Kalimantan).
Dalam kesimpulannya, Pradiptajati Kusuma dkk, mengusulkan bahwa pemukiman Madagaskar memiliki akar dari Indonesia yang lokasinya berada di sekitar Sulawesi selatan, pulau Sunda Kecil dan Kalimantan bagian timur.
Pada bagian lain (dalam artikel yang sama), Pradiptajati Kusuma dkk mengutip pendapat Bulbeck yang mengungkap adanya aktifitas penjelajahan dan perdagangan laut di masa lalu sebagai jaringan interaksi jarak jauh berbasis laut yang diduga kuat telah berkembang sejak ribuan tahun yang lalu, setidaknya dimulai pada Holocene awal.