-->

Jejak 3 Putra dan 16 Cucu Nabi Nuh (Bagian 4: Sam bin Nuh)


Sam Bin Nuh

Sam adalah putra nabi Nuh. Dia dianggap yang tertua karena dia selalu yang pertama disebut setiap kali Alkitab menyebutkan nama anak-anak Nuh.

Sam adalah ayah dari Elam, Asshur, Arphaxad, Lud, dan Aram.

Nama ‘Sam’ atau ‘Shem’ atau ‘Sem’ dalam bahasa Ibrani berarti: “Nama” (name); “Sebutan” (appellation). Secara tinjauan ilmu fonetis, makna nama Sam menurut bahasa Ibrani ini, dapat kita lihat terkonfirmasi kebenarannya oleh kata ‘sanga’ dalam bahasa Tae (bahasa tradisional yang digunakan di Sulawesi Selatan).

Dalam bahasa Tae, sanga’ dapat berarti “nama” dapat pula berarti “kata atau sebutan” (tergantung dalam bentuk kalimat bagaimana kata tersebut digunakan).

Contoh kalimat pertama: apa na sanga? – artinya: apa katanya? (pada contoh kalimat ini “sanga” bermakna “kata”)

Contoh kedua: inda sanganna? – Artinya: siapa namanya? (pada contoh kalimat ini “sanga” bermakna “nama”). 

Lalu mengapa saya sebutkan “secara tinjauan ilmu fonetis” nama Sam identik dengan kata ‘sanga’ dalam bahasa Tae’?

Banyak literatur yang menunjukkan sosok Sam, dalam perjalanan waktu dimitologisasi sebagai dewa pelindung oleh bangsa-bangsa maritim di masa kuno.

Ciri khas bahasa bangsa maritim adalah setiap suku kata berakhir dengan vokal, sebagaimana yang diungkap John Inglis (seorang misionaris asal Skotlandia yang melakukan perjalanan ke Vanuatu antara tahun 1850-1877).

Jadi, dalam bahasa bangsa maritim, nama Sam mestilah berbentuk ‘Sama’.

Sebagai informasi tambahan, suku bangsa laut bajoe, menyebut diri mereka sebagai ‘orang sama’ karena mereka percaya adalah keturunan dari Sam bin Nuh. Ada pun sebutan ‘bajoe’ merupakan panggilan orang luar (outsider) kepada mereka.

Bentuk ‘sama’ inilah yang dapat kita lihat mengalami perubahan fonetis dengan kata ‘sanga’ dalam bahasa Tae. Yaitu pada fonetis m yang berubah menjadi ng.

Demikianlah, bisa dikatakan, hanya kata sanga’ dalam bahasa Tae saja (bahasa yang masih digunakan di dunia modern) yang masih dapat mengkonfirmasi kebenaran makna nama Sam menurut bahasa Ibrani. Yang juga menyerupai adalah bentuk šumu dalam bahasa Akkadia kuno.

Sam bin Nuh Dimitologisasi menjadi dewa

Seperti halnya Yafet yang dimitologisasi menjadi dewa dalam banyak tradisi bangsa di masa kuno – dewa Iapetos atau Iapetus (dari nama Yapheth) dalam tradisi bangsa Yunani kuno; Pra-Japati di India, atau Jupiter pada bangsa Romawi, sosok Sam bin Nuh pun juga mengalami mitologisasi.

Dalam perjalanan waktu ribuan tahun, sosok Sam yang termitologisasi, terus mengisi alam spiritual bangsa-bangsa dunia kuno.

Oleh bangsa laut Phoenicia, sosoknya dijadikan sebagai dewa pelindung, dan dikenal dengan nama dewa Melqart. Tapi, bentuk mitologisasi yang paling terkenal dan bertahan sangat lama, adalah sebagai dewa Yama, yang dalam konsep kuno lokapala disebut sebagai dewa pelindung arah selatan.

Dewa Yama Penjaga Arah Selatan

Dalam agama Hindu, Yama juga disebut sebagai Yamaraja. Merupakan salah satu nama dewa dalam naskah Rigveda. Ia dikenal sebagai penguasa alam kematian.

Statusnya dalam Lokapala sebagai Penjaga Arah yang mewakili arah selatan, bisa dikatakan selaras dengan arah selatan yang dalam konsep kosmologi kuno merepresentasi alam bawah atau alam kematian atau neraka. Bahkan banyak sejarawan menganggapnya merupakan analogi dari Hades, dewa Yunani yang menguasai dunia bawah. 

Kuat dugaan saya jika wilayah selatan yang menjadi wilayah kekuasaan dewa Yama, tidak hanya dimaknai sebagai ‘dunia bawah’, lebih dari pada itu, ia merujuk suatu wilayah geografis tertentu, sebagaimana dewa Kubera yang menempati negeri Cina di Utara, dan Dewa Varuna yang menempati Bharat yang kita kenal sebagai India pada hari ini.

Untuk Mengidentifikasi wilayah Selatan milik Dewa Yama ini, ada beberapa informasi dari masa lalu yang bisa menjadi dasar pertimbangan kita.

Salah satunya adalah sebutan orang ‘Celate’ atau ‘Cellate’ yang diberikan oleh orang-orang di barat bagi pelaut-pelaut yang datang dari Nusantara pada masa kuno. Kata ‘celate’ atau ‘Cellate’ ini jelas identik dengan kata Selat.

Dalam Ilmu geografi kita mengenal istilah “Paparan Sunda” untuk nama landasan benua wilayah Indonesia bagian barat (meliputi Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera). Tapi tahukah anda apa arti nama “sunda” yang sebenarnya?

Dalam bahasa Norse Kuno (Bahasa Skandinavia Kuno atau bahasa Jermanik Utara yang dituturkan oleh orang-orang Skandinavia di sekitar abad ke-7 hingga abad ke-15. ), kata ‘sund’ bisa berarti “sebuah selat”. (Penjelasannya bisa dibaca di sini), lalu, terdapat pula kata ‘sunthaz’ dalam bahasa Proto-Germanic yang berarti “selatan”. (sumber di sini)

Di masa kuno, orang di Cina daratan menyebut wilayah nusantara dengan nama “nan-hai” yang berarti “laut selatan”.

Selain itu, nama dataran ‘kedu’ di jawa tengah pun sebenarnya bermakna “selatan”. Kita dapat menelusurinya pada etimologi kata “ketu” ( Sansekerta : केतु , IAST : Ketú ) bermakna sebagai simpul bulan yang menurun, yang berarti “selatan” dalam tradisi astrologi Hindu yang terdapat dalam kitab Weda. (sumber di sini)

Tampaknya, ada kemungkinan bahwa dari kata ‘Kedu’ yang berarti selatan inilah yang kemudian menjadi kata ‘Kidul’ yang berarti selatan dalam bahasa Jawa – yang masih digunakan pada masa sekarang.

Demikianlah, kata ‘selatan’ yang kita kenal hari ini sebagai salah satu nama arah mata angin, pada dasarnya berasal dari kata ‘selat’ yang mendapat akhiran -an. 

Dan tampaknya, sebutan ‘Cellate’ (bagi orang Portugis), ataupun ‘Saleeters’ (bagi orang Inggris), merujuk pada “Orang-orang Selat”, yakni “orang laut”, atau “orang Bajou” yang memang banyak bermukim di berbagai perairan laut di wilayah Nusantara sejak masa kuno.

Etimologi nama Nusantara pun sebenarnya merujuk pada makna ‘selat’. Nusa= pulau, antara= celah/ berjarak. Jadi, makna harfiah dari ‘nusantara’ adalah: “celah (antara) pulau,” – yang dalam bahasa Indonesia hari ini, laut yang terdapat diantara dua pulau kita sebut sebagai “selat” bukan?

Kaitan Dewa Yama (Sam bin Nuh) dengan Orang Bajo

Kaitan antara Dewa Yama sebagai penguasa arah Selatan, dengan Orang Bajou yang mendapat sebutan “orang selat” di masa kuno, akan kita temukan hubungannya setelah kita menggali beberapa layer (lapisan) lebih dalam terkait jati diri keduanya.

Dalam bahasa Sanskrit, Yama berarti “kembar” atau bisa juga berarti “sama”. [Thomas Egenes. Introduction to Sanskrit – Part 2, 2000: hlm. 132]

Suku Bajo atau Bajau menyebut diri mereka “Orang Sama”. [Adrian B. Lapian. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, 2009: hlm. 80] Salah satu alasan yang muncul diberikan atas asal usul nama “sama” tersebut, adalah bahwa mereka percaya merupakan keturunan dari Sam bin Nuh.

Kepercayaan mereka ini identik dengan yang dimiliki bangsa laut Phoenicia yang menjadikan Melqart (salah satu bentuk personifikasi Sam bin Nuh) sebagai dewa pelindung, dan juga bangsa Yaman, yang bentuk etimologinya berasal dari bentuk Phoenicia ‘YMNT,’ yang berarti “Selatan.”

etimologi Yaman (dokpri)
etimologi Yaman (dokpri)

Keberadaan huruf n di akhir kata “yaman” dapat diduga membentuk makna “orang-orang” atau “bangsa”. Ini persis sama dengan yang kita jumpai pada kata “Indian” (bangsa India), ataupun “Indonesian” (bangsa Indonesia). Jadi, “Yaman” selain bermakna “selatan,” juga bermakna: orang-orang Yama atau Bangsa Yama – yang berasal dari selatan.

Kedudukan Yama sebagai penguasa wilayah selatan (dunia bawah, atau alam kematian) – yang nampaknya menjadikan Pulau Jawa (sunda ) sebagai pusatnya – memiliki korelasi yang kuat dengan sejarah kuno wilayah Yaman di semenanjung Arab Selatan. Ini memberi gambaran kepada kita bahwa telah terjadi migrasi di masa kuno, dari Nusantara (khususnya dari Jawa) ke semenajung Arab Bagian selatan.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa; bangsa laut Bajo yang kita temui di masa sekarang adalah turunan bangsa laut Phoenicia yang dikenal di masa kuno. Mereka sama-sama menganggap sebagai keturunan Sam bin Nuh, dan bahwa pulau Jawa atau dataran Sunda atau dataran kedu (atau ‘kidul’) yang berarti selatan, adalah pusat wilayah Sam bin Nuh di masa kuno.

Secara tradisional, sosok Sam bin Nuh dikenal sebagai SEMAR dalam tradisi Jawa

Mengenai Sinkronisme Yima/Yama, Semar, dan Sem bin Nuh, telah saya tuang pembahasannya dalam artikel: Identifikasi Jati Diri Semar sebagai Analogi Sem bin Nuh

Dan berlanjut pada artikel berjudul: Asal Kata “Baka” dalam Frasa “Alam Baka” dan Kisah Kuno yang Menyertainya – di mana dalam artikel ini saya mengulas bahwa frasa “alam baka” yang umumnya kita temukan sinonim dengan frasa “alam kubur” atau “alam kematian” atau “dunia bawah” ada kemungkinan, untuk dapat dimaknai pula sebagai “alam / negeri Yama, atau Sama, atau Semar, atau Sam bin Nuh.” 

Karena di masa kuno Yama (sebagai personifikasi Sam bin Nuh) dikenal sebagai penguasa wilayah selatan (kadang disebut dunia bawah, atau pun alam kematian), ini berkorelasi dengan riwayat yang mengatakan Yafet bin Nuh dan keturunannya dianugerahi Nabi Nuh untuk menguasai wilayah utara.

LihatTutupKomentar