-->

Tanda-tanda yang Dinubuatkan


Dalam banyak tulisan sebelumnya, terutama tulisan yang bergenre apokaliptik, saya telah mengulas beberapa nubuat yang menginformasikan tentang akan hadirnya sosok Penyelamat di akhir zaman. Tapi, dalam tulisan-tulisan tersebut saya tidak mengungkap bahwa ciri atau tanda-tanda yang dinubuatkan itu, tampaknya, terlihat ada pada diri saya. 

Awalnya saya pikir, hal itu tidak perlu saya bahas. Lagi pula, saya tidak ingin orang melihat saya sebagai “orang aneh” yang mengklaim hal-hal semacam itu.

Tapi, Semesta tampaknya menginginkan lain.

Dalam beberapa kesempatan, saya alami hal seperti “diingatkan” Semesta bahwa, ini bukan tentang “diri saya harus menjaga citra dalam pandangan orang-orang.” Saya diingatkan bahwa, hinaan dan caci-maki adalah hal yang lumrah diterima dalam proses penyampaian pesan.

Intinya, saya harus merubah cara pandang, dari “melihat diri” menjadi “melihat peran.”

Begitu pula mengenai gaya bahasa. Bentuk kalimat yang sifatnya masih menuntut orang untuk menafsir maknanya, adalah hal yang semestinya saya hindari agar pesan dapat tersampaikan dengan baik. 

Beberapa waktu lalu, peringatan mengenai hal ini saya dapatkan. Yaitu ketika tengah beristirahat di sebuah warung kopi setelah selesai sesi lari pagi.

Dari meja tempat saya duduk, terdengar jelas obrolan dua orang anak mahasiswa yang juga sedang ngopi pagi.

Salah seorang di antaranya mengatakan: “kadang kita memang tanpa sadar menuntut orang menjadi paranormal. Kita ingin orang membaca pikiran kita, memahami makna yang tersirat dari kalimat yang kita ucapkan! Padahal kan sebenarnya kita tidak pernah tahu kemampuan orang itu, apakah dapat berhasil melakukan itu atau tidak!”

Setelah mendengar kalimat itu, persepsi yang muncul dalam benak saya menyatakan bahwa itu adalah peringatan dari-Nya. Dengan kata lain, tanpa disadari anak muda itu, ia baru saja menjadi medium penyampai pesan langit kepada saya.

Baik, agar tidak berpanjang lebar lagi, berikut ini rangkuman tanda-tanda yang dinubuatkan dimiliki Sang Penyelamat Akhir Zaman, yang tampaknya ada pada diri saya.

  • 1. Nama

Dalam Jangka Jayabaya bait 160, Prabu Jayabaya menyebut Satria Piningit sebagai “putra Batara Indra”. Untuk mencermati Frase ini, mencari tahu siapa nama putra Batara Indra menjadi solusinya.

Dalam kisah Ramayana disebutkan, “Vali” adalah putra spiritual Dewa Indra. 

Nama Vali ini bisa dikatakan persis sama dengan nama kecil saya. Untuk pembaca ketahui, dalam aksen Bugis, orang yang bernama Fadly biasanya dipanggil: falli/ fali, palli/pali, valli/vali.

  • 2. Tanggal Lahir

Tanggal Lahir saya senin, 12 / 06/ 1978. Jika ditinjau menurut aksara Ibrani, huruf L (Lamed) berada di urutan ke 12, sementara huruf V (Vav)  berada di urutan ke 6. Jadi, tanggal dan bulan kelahiran saya pun menunjukkan inisial nama saya: VL (Va-Li)

Tanggal lahir ini, rupa-rupanya juga diisyaratkan Nostradamus untuk sosok yang dijulukinya “Pria dari Timur”, yaitu pada bagian Century : 50, yang berbunyi: From the three water signs will be born a man who will celebrate Thursday as his holiday…. (Terjemahan: Dari ketiga tanda air akan lahir seorang pria yg merayakan kamis sebagai hari liburnya…)

Makna “the three water signs”  (tiga tanda yang berhubungan dengan air) merujuk pada simbol dalam zodiak yang berhubungan dengan unsur air, yaitu: Aquarius (air) Pisces (ikan), dan Cancer (kepiting).

Untuk menjadikan susunan zodiak sebagai instrumen pembaca isyarat yang nubuatkan Nostradamus, susunan simbol dalam Zodiak harus disusun dari simbol yang merepresentasi bulan januari hingga simbol yang merepresentasi bulan desember. Hasilnya sebagai berikut… 

Angka 1 kita dapat dari simbol Aquarius (Air) yang merepresentasi periode 20 jan – 18 Feb; angka 2 dari simbol Pisces (ikan) yang merepresentasi periode 19 Feb – 20 Mar; dan angka 6 dari simbol Cancer (kepiting) yang merepresentasi periode 21 jun – 22 Jul.

Jadi, dari kalimat “tiga tanda air” yang diisyaratkan Nostradamus kita mendapatkan angka: 1, 2, 6. Inilah deretan angka tanggal lahir pria dari Timur yang dimaksud Nostradamus.

  • 3. Tempat Lahir

Di bagian lain, yakni pada Century V – 84, Nostradamus mengatakan bahwa “Pria dari Timur” akan terlahir di kota kecil yang terletak di sebuah teluk. 

Berikut ini bunyi kalimat dalam Century V – 84: He shall be born of the gulf and measureless city… (Terjemahan: Ia akan lahir dari teluk dan [kota] tak terukur…. )

Kota yang “tidak terukur” atau “tidak diperhitungkan,” dapat dimaknai merujuk pada sebuah kota kecil. Hal ini sesuai dengan kota Palopo di mana saya terlahir, sebuah kota kecil di salah satu sudut teluk bone.

  • 4. Nama Orang Tua

Dalam Kalki Purana disebutkan, Kalki dilahirkan dalam keluarga Sumati (nama ibu) dan Wisnuyasha (nama ayah), di sebuah desa bernama Shambala, pada hari kedua belas….

Ayahnya, Wisnuyasha, adalah seorang Guru Brahmana yang terpelajar. Ini sama dengan Ayah saya yang berprofesi sebagai guru.

Sementara itu, nama ibunya, Sumati, jika ditinjau menurut bahasa Sanskerta: su सु berarti: baik/ bagus; dan mati मति yang berarti:  pikiran/ pertimbangan/ nalar/ pemahaman/ persepsi. Jadi, nama Sumati kurang lebih berarti: arif atau bijak.

Makna ini persis sama dengan nama gelar ibu saya yakni Daeng Baji’ yang berarti “bagus/ baik/ bijak” dalam bahasa Bugis. Kata baji’ dalam bahasa Bugis ini sama dengan kata bajik (kata dasar ‘ke-bajik-an’) dalam bahasa Indonesia.

Yang menarik, dalam naskah Bhagavata Purana, disebutkan bahwa Sumati adalah istri dari Sagara. Sagara dikatakan adalah nama raja dari Dinasti Surya. Jika ditinjau menurut bahasa Sanskerta, Sagara berarti “laut”, makna ini persis sama dengan makna nama ayah saya, Bahari, yang juga berarti laut.

Dalam buku ini disebutkan Sumati adalah istri raja Sagara. [Sumber: Encyclopaedia of the Hindu World Volume 2 by. Gaṅgā Rām Garg (1992)]
  • 5. Domisili dan tempat kemunculan

Dalam tradisi Buddha, disebutkan bahwa Maitreya, Sang Buddha masa depan, akan muncul di sebuah kota bernama ‘ketumati’. 

Jika ditinjau maknanya menurut bahasa Sanskerta: ketu berarti “obor/ lampu/ intelek”; mati berarti “persepsi/ pikiran/ kepercayaan/ pandangan.”

Jadi, kota ketumati dapat dimaknai sebagai kota “obor pikiran.” Makna ini bisa dikatakan identik dengan predikat kota Jogja sebagai “kota pendidikan” atau “kota pelajar.”

arti kata ‘ketu’ dalam sanskrit (dokpri)
arti kata ‘mati’ dalam sanskrit (dokpri)

Asumsi bahwa kota Ketumati merujuk pada kota Jogjakarta, senanda dengan pembahasan saya sebelumnya dalam tulisan Ma Wara an-Nahr “Tempat di Belakang Sungai”: Disebut dalam Hadist dan Uga Siliwangi, dimana saya mengungkap bahwa tempat di mana saya nge-kos saat ini memiliki lima poin petunjuk yang disampaikan oleh Prabu Jayabaya dan Prabu Siliwangi, yakni: 

  1. Rumah di belakang Sungai (disampaikan dalam Uga Siliwangi dan juga dalam hadist nabi)
  2. Pintu setinggi batu (disampaikan dalam Uga Siliwangi)
  3. Tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang (disampaikan dalam Uga Siliwangi)
  4. Seperti rumah burung merpati ((disampaikan dalam Jangka Jayabaya)
  5. Rumah tiga lantai (disampaikan dalam Jangka Jayabaya)

Silakan baca rincian ulasannya dalam artikel ini: Ma Wara an-Nahr “Tempat di Belakang Sungai”: Disebut dalam Hadist dan Uga Siliwangi.

  • 6. Tanda fisik

Dalam suatu Hadist disebutkan ciri-ciri fisik Al Mahdi, yaitu: memiliki tahi lalat di pipi dan juga di paha kanannya. Selain itu, ia juga memiliki tanda kenabian. Ketiga ciri-ciri ini kebetulan ada semua pada diri saya. lihat gambar di bawah…

Mengenai tahi lalat di paha, saya tidak tunjukkan karenaaa… repot, males buka-buka… hehehe

Mengenai tanda kenabian yang biasa disebut “Khatam an-Nubuwwah,” yang dalam riwayatnya digambarkan berbentuk gumpalan daging berwarna merah yang terletak di bahu sebelah kiri nabi Muhammad, pada diri saya, letaknya berada di lengan sebelah kanan. tidak merah tapi berwarna hitam. Dalam bahasa Bugis hal semacam ini disebut pa’ bate’ yang artinya: tanda/ penanda.

  • 7. Keturunan Waliullah

Dalam Kitab Musasar Jayabaya disebutkan bahwa Satrio Piningit atau Ratu Adil adalah “Raja keturunan waliyullah.” Hal ini pun bisa dikatakan ada pada diri saya. 

Seorang paman memberitahu bahwa kakek buyut saya, Daeng Paradja, adalah seorang yang “Dirahmati Allah.” 

Nama Lengkap beliau Andi Pasanga Opu Daeng Paraja. Rumah kediamannya dikenal dengan sebutan Banua Sappa’ (Banua= Rumah, Sappa= Mencari) yang dapat diartikan sebagai “rumah tempat bertanya dan mencari jawaban.” 

Di masa lalu, di Luwu khususnya dan Sulawesi pada umumnya,  sangat jarang rumah yang memiliki sebutan nama atau gelar. Biasanya yang memiliki nama hanya bangunan Istana kerajaan saja, dan atau rumah tempat berkumpulnya suatu rumpun keluarga besar  seperti Tongkonan di Toraja. Karena itu, rumah yang memiliki nama dapat diduga adalah milik seseorang yang terkenal, memiliki pengaruh dan reputasi yang kuat.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan paman saya, bahwa di masa hidupnya, Opu Gawe (demikian paman saya menyebut Daeng Paraja) banyak didatangi orang untuk bertanya berbagai hal. Menurutnya, Daeng Paraja adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan. Perkataannya lurus. Apa yang telah ia ucapkan maka itulah yang akan terjadi.

Yang menarik, saya menemukan nama kakek buyut saya ini tercantum dalam katalog naskah lontara berbahasa Bugis yang kini menjadi koleksi KITLV (inventaris 187), di Leiden, Belanda. Pada index katalog Rol 16 no 10, tertulis keterangan: ….Dialog antara Sunan Pajung dengan Daeng Paraja.

Petunjuk Langsung dari Allah

Dari semua tanda-tanda yang saya sebutkan di atas, peristiwa yang saya alami di sekitar tahun 2018 lah yang paling berkesan bagi saya.

Di suatu siang di pertengahan tahun 2018, di saat lagi duduk sendiri, katakanlah lagi tengah asik berkontemplasi, perhatian saya yang pada saat itu tengah sibuk mengamati kilasan sejarah dalam ruang waktu, tiba-tiba dikagetkan dengan hadirnya suatu arahan yang tercetus dari kedalaman batin untuk mengamati tanggal lahir saya menurut Al Quran.

Saya masih ingat waktu itu saya cukup terkejut. Lalu bergerak cepat membuka Al Quran. Saya lahir pada hari senin 12 Juni 1978, jadi, jika mengikuti arahan tersebut untuk mengamatinya dalam Al Quran, maka, ini maksudnya merujuk pada surat ke 12 (Surat Yusuf) ayat ke-6.

Sejujurnya saya cukup tertegun ketika membaca kalimat bagian awal pada ayat tersebut, yang berbunyi: “Demikianlah Tuhanmu memilih dirimu, serta Dia mengajar dirimu tentang penyingkapan berbagai peristiwa [sejarah] …” Bunyi Terjemahan Surat Yusuf ayat 6 ini saya baca di wikipedia (di sini).

Bunyi terjemahan yang lain untuk ayat ini adalah: “Dan demikianlah, Tuhan memilih engkau (untuk menjadi Nabi) dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi…”

Tentu saja kalimat dalam tanda kurung yang berbunyi “untuk menjadi nabi” merupakan tambahan sebagai bentuk tafsir dari para mufassir, karena dalam ayat aslinya kalimat itu jelas tidak ada.

Apa pun itu, saya pribadi tidak ingin berpikir jauh mengenai bunyi ayat tersebut, walaupun tidak bisa memungkiri jika poin kalimat “penyingkapan berbagai peristiwa [sejarah]” atau pun dalam bentuk terjemahan lain berbunyi “takwil mimpi” (tafsir mimpi), adalah dua hal yang memang akrab dengan saya selama ini.

Bagi saya mendalami sejarah adalah sebuah passion. Saya betah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan mendekam di dalam kamar ketika sedang fokus mendalami suatu subjek sejarah.

Sementara mengenai takwil mimpi, saya tidak pernah membaca atau belajar mengenai hal ini, namun, saya dapat menafsir suatu mimpi (milik saya atau mimpi milik orang lain) oleh karena selalu ada di dalam diri saya yang memberi tahu maksud dari mimpi tersebut.

Terkhusus untuk mimpi saya, ketika saya dapat berpikir atau sadar dalam mimpi yang sedang saya alami, saya paham betul bahwa dalam mimpi itu ada sebuah petunjuk yang mesti saya cermati secara seksama lalu menginformasikannya kepada yang bersangkutan ((jika sekiranya mimpi saya itu menyangkut seseorang).

Demikianlah, arahan yang saya dapatkan di sekitar tahun 2018 itu seakan memberi saya sebuah cermin untuk melihat diri sendiri.

Jika arahan itu saya terapkan dengan mengecek tanggal lahir saya menurut kalender hijriah, maka, itu merujuk pada tanggal 6 rajab (Rajab adalah bulan ke 7 dalam kalender Islam), jadi acuannya yaitu surat Al-Anam ayat 7, yang bunyinya: 

“Dan sekiranya Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, sehingga mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, niscaya orang-orang kafir itu akan berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” 

Bagi saya, bunyi surat Al-Anam ayat 7 pun, pada dasarnya seakan menggambarkan apa yang selama ini saya alami, bahwa, sebaik apa pun saya menyajikan pembahasan suatu hal, dengan data jelas, dan argumentasi yang logis, orang yang memang tidak niat untuk percaya akan menepis semua itu. Dan biasanya penolakan itu mereka sampaikan dengan gaya sarkastis (mengejek).

Ini yang tampaknya disinggung firman Allah dalam ayat tersebut bahwa, meskipun informasi itu disampaikan berupa tulisan di atas kertas yang diturunkan dari langit, dan tangan mereka dapat memegangnya, mereka tetap tidak akan percaya! jadi, memang tidak ada gunanya untuk berupaya membuat yakin dan percaya orang-orang seperti itu.

***

Demikian sebagian hal yang saya pikir perlu saya sampaikan untuk saat ini. Silakan, boleh percaya boleh nggak… 🙂

Yang terpenting bagi saya adalah bahwa hal ini telah saya sampaikan, yang berarti sudah tidak ada tuntutan bagi saya kelak di kemudian hari, seperti tuduhan; menyembunyikan suatu amanah yang mestinya saya sampaikan secara terbuka.

Baca Artikel Terkait (dengan nubuat dari berbagai tradisi agama dan kepercayaan), di bawah ini:

Lamed Vav Tzadikim: 36 Orang Saleh yang Mengembara di Bumi

Ramalan Newton Kiamat di 2060 dan Angka 126 yang Misterius

Kesamaan Sosok ‘Shilo’ Dalam Alkitab Ibrani Dengan ‘Maitreya’ Dalam Tradisi Buddha – Dan Kaitannya Dengan Sepuluh Suku Israel Yang Hilang

Ma Wara an-Nahr “Tempat di Belakang Sungai”: Disebut dalam Hadist dan Uga Siliwangi

LihatTutupKomentar