-->

Jejak 3 Putra dan 16 Cucu Nabi Nuh (Bagian 2)


Javan Putra Yafet

Javan adalah putra keempat Yafet. Javan adalah putra keempat Yafet. Nama cucu nabi Nuh ini dalam Alkitab digunakan sebagai istilah yang dianggap mengacu pada Yunani. Oleh karena itu,  banyak kalangan yang percaya bahwa Javan adalah bapak leluhur bangsa Yunani, terutama bangsa Ionia, salah satu bangsa Yunani pertama.

Javan disebut memiliki empat orang putra, yaitu; Elisa, Tarsis, Kittim , dan Dodanim (Kejadian 10:4).

Tarsis Putra Javan

Dari keempat orang putra Javan, nama Tarsis (Tarshish) bisa dikatakan yang “paling populer” banyak disebut dalam Alkitab. Namanya dikaitkan dengan nama bangsa Tarsis – yaitu bangsa yang di dalam Alkitab digambarkan sebagai sumber kekayaan terbesar Raja Sulaiman dalam hal logam – terutama perak, emas, timah, dan besi (Yehezkiel 27).

Tarsis juga digambarkan memiliki kapal dagang yang besar. Kitab 1 Raja-raja ( 1 Raja-raja 10:22), mencatat bahwa Raja Sulaiman memiliki “armada kapal Tarsis” di laut dengan armada sekutunya Raja Hiram dari Tirus. Dan bahwa “Setiap tiga tahun sekali armada kapal Tarsis datang membawa emas, perak, gading, kera, dan burung merak.”

Sementara dalam 1 Raja-raja 22:48 dinyatakan bahwa “Yehosyafat membuat kapal-kapal Tarsis untuk pergi ke Ofir untuk mendapatkan emas, tetapi mereka tidak pergi, karena kapal-kapal itu karam di Ezion-geber.

Para komentator Alkitab menganggap bahwa “Kapal Tarsis” digunakan untuk menyebut kapal dagang besar yang ditujukan untuk perjalanan jauh ke mana pun tujuannya, dan beberapa terjemahan Alkitab, termasuk NIV (New International Version), memaknai kapal Tarsis sebagai “kapal dagang”.

Penentuan letak negeri bangsa Tarsis hingga hari ini masih kontroversi. Flavius ​​Josephus sejarawan Yahudi abad ke-1 M mengidentifikasinya sebagai kota Tarsus di selatan Asia Kecil (Turki).

Catatan Asyur dari masa pemerintahan Esarhadon (681–669 SM), berbunyi: “Semua raja dari tanah yang dikelilingi oleh laut – dari negara Iadanana dan Iaman, sejauh Tarsisi (Tarsis) – bersujud di kakiku.” Di sini, Tarsis jelas merupakan pulau besar, dan tidak bisa disamakan dengan Tarsus (Thompson dan Skaggs 2013).

Keberadaan Tarsis di Mediterania barat, bersama dengan kehadiran bangsa laut Fenisia di Mediterania barat sebelum sekitar 800 SM, telah dipertanyakan oleh beberapa sarjana di zaman modern, karena tidak ada bukti langsung. Kurangnya bukti kekayaan yang ditemukan di Israel dan Fenisia (wilayah Lebanon hari ini) selama pemerintahan Raja Sulaiman dan Hiram, mendorong beberapa sarjana untuk berpendapat bahwa periode arkeologi di prasejarah Mediterania antara 1200 dan 800 SM adalah ‘Zaman Kegelapan’.

Iaman = Yaman

Yang luput dari penelitian para ahli selama ini adalah identifikasi nama “Iaman” dalam catatan Kekaisaran Asyur dari masa pemerintahan Esarhadon (681–669 SM) – sebagai bentuk yang identik dengan Yaman. Pembacaan ‘Ia’ di depan Ia-man jelas memiliki bunyi fonetis ‘y’ di situ.

Yaman yang saya maksud di sini, bukan Yaman yang sekarang merupakan nama negara di selatan jazirah Arab, tapi bangsa Yaman yang menjadikan Dewa Yama sebagai pelindungnya.

Dalam konsep kuno Lokapala, yaitu tentang dewa-dewa penjaga arah mata angin dalam tradisi Hindu, disebutkan bahwa, Selatan adalah wilayah kekuasaan dewa Yama. Inilah alasan kenapa etimologi nama ‘Yaman’ (di Arab Selatan) berasal dari bentuk “YMNT,” yang berarti “Selatan” .

Yaman juga bisa berarti “Bangsa Yama”. Keberadaan huruf n di akhir kata “yaman” dapat diduga membentuk makna “orang-orang” atau “bangsa”. Ini persis sama dengan yang kita jumpai pada kata “Indian” (bangsa India), ataupun “Indonesian” (bangsa Indonesia). Jadi, “Yaman” selain bermakna “selatan,” juga bermakna: orang-orang Yama atau Bangsa Yama – yang berasal dari selatan.

Lalu apa hubungannya Iaman (Yaman) dengan Tarsis?

Dalam catatatan kuno Asyur yang telah saya kutip di atas, ada kalimat “Iaman, sejauh Tarsisi (Tarsis)” yang bermakna menyatakan bahwa negeri Iaman berdekatan Tarsis – dan kalimat awalnya… “Semua raja dari tanah yang dikelilingi oleh laut…” menguatkan, jika kedua negeri memang berada dalam satu kawasan. Perhatikan frase “tanah yang dikelilingi laut” yang jelas merujuk pada makna “pulau.” [Apakah ini merujuk pada kepulauan di Nusantara? cermati uraian berikut ini…]

Setelah mengidentifikasi ‘Iaman’ yang disebut dalam catatan Asyur sebagai Bangsa Yaman (yang menjadikan Dewa Yama sebagai pelindung), yang perlu dicermati lebih jauh adalah kenyataan bahwa dewa pelindung bangsa Phonecia yaitu Dewa Melqart, adalah sebutan lain untuk Dewa Yama. Kedua tokoh mitologi ini (Yama dan Melqart), dalam legendanya masing-masing, disebut sebagai Raja atau penguasa dunia bawah (wilayah selatan).

Frase “tanah yang dikelilingi laut” yang dialamatkan pada negeri Iaman (Yaman) kenyataannya memiliki korelasi dengan makna yang dikandung nama Melqart jika kita cermati menurut abjad Fenesia.

Nama Melqart dalam abjad bahasa Fenisia ditulis MLK QRT, yang berarti “Raja Kota”. dengan pengertian demikian, dapat diduga jika bentuk QRT merujuk pada kata “Qarta” yang memang berarti “kota”.

Adapun MLK, kemungkinan merujuk pada kata “malaka” atau Molokh ( juga ditulis sebagai Moloch, Molech, Molekh, Molok, Molek, Molock, atau Moloc) yang juga memang berarti “raja”.

penulisan MLK QRT dalam abjad Fenesia. Untuk diketahui, aksara Fenesia ditulis dari arah kanan seperti penulisan Arab. (Dokumen pribadi)
penulisan MLK QRT dalam abjad Fenesia. Untuk diketahui, aksara Fenesia ditulis dari arah kanan seperti penulisan Arab. (Dokumen pribadi)

Dari etimologi nama Melqart menurut abjad Fenesia ini, kita mendapatkan sebutan ‘Qarta’ atau ‘Karta’ yang berarti “kota” – yang kenyataannya pada hari ini nyaris tidak kita temukan digunakan dalam bahasa mana pun di dunia ini.

Etymologi Kartago (Carthage) diidentifikasi berasal dari bahasa Fenesia ‎ (qrt-ḥdšt) yang berarti “kota baru”. Jadi, sejauh ini, ahli bahasa dunia mendapatkan kata ‘karta’ yang bermakna “kota” hanya pada bahasa kuno bangsa Fenesia, dan tentu saja, dalam bahasa di Nusantara – yang sampai hari ini dapat kita temukan banyak digunakan sebagai toponim (nama wilayah), seperti Ja-karta, Yogya-karta, Purwa-karta, karta-sura, dan masih banyak lagi.

Bisa dikatakan, pulau Jawa menjadi tempat di muka bumi ini di mana kata ‘karta’ untuk sebutan kota, paling banyak digunakan. Inilah jejak eksistensi MELQART atau “MALAKA QARTA” di Nusantara.

Sementara itu bentuk “malaka” dapat kita temukan pada nama selat malaka dan juga pulau Maluku.

Jadi apakah dengan fakta ini kita bisa menyimpulkan bahwa Iaman (yaman) dan Tarsis sebenarnya berada di Nusantara?

Sebelum memasuki kesimpulan ini, saya ingin menginformasikan kepada pembaca mengenai Bangsa Tirus yang disebut dalam Alkitab Yehezkiel 27, yang oleh para ahli diidentifikasi sebagai bangsa Fenisia.

Dalam Yehezkiel 27 ayat 12 dan 25 terungkap bahwa Tarsis selain berdagang dengan bangsa Fenisia, kapal-kapal mereka juga melayani ekspedisi barang-barang dagangan bangsa Fenisia.

Jadi, ada dua bangsa yakni Tirus dan Tarsis yang menjadi mitra andalan Raja Sulaiman. Bangsa Tirus telah diidentifikasi sebagai bangsa Fenesia oleh para ahli, sementara Tarsis masih menjadi misteri.

Jika pemahaman ini kita bahwa dalam mencermati Catatan Asyur dari masa pemerintahan Esarhadon (681–669 SM), yang berbunyi: “Semua raja dari tanah yang dikelilingi oleh laut – dari negara Iadanana dan Iaman, sejauh Tarsisi (Tarsis) – bersujud di kakiku.” maka, kita dapat melihat kemungkinan bahwa Iaman atau Yaman sangat mungkin adalah bangsa Fenesia.

Dan karena disebut dalam catatan tersebut bahwa Iaman dan Tarsis berada dalam kawasan yang sama “tanah atau negeri yang dikelilingi oleh laut” maka, kita bisa simpulkan Iaman atau Yaman atau Fenesia berada dalam kawasan atau berdekatan letaknya dengan Tarsis.

Dalam artikel “Siapa Sesungguhnya Orang Phoenicia?” sebenarnya telah saya bahas secara rinci hipotesis saya bahwa Bangsa Fenesia (Phoenicia) sesungguhnya berasal dari Nusantara.

Dalam tulisan tersebut saya memberi sanggahan pendapat para ahli yang memberikan hipotesis mengenai letak Tarsis.

Di antara mereka, ada yang menganggap Tarsis sebagai Carthage – Tartessos di Hispania kuno (Semenanjung Iberia) dekat Huelva dan Sevilla hari ini – Sarjana Yahudi-Portugis, Isaac Abarbanel (1447-1508) menggambarkan Tarsis sebagai “kota yang dikenal pada masa awal seperti Kartago dan hari ini disebut Tunis.”

Sarjana Prancis Bochart (1667) sepakat dengan sejarawan Romawi Flavius Josephus (100 AD) yang menentukan pilihannya pada kota Pedalaman Tarsus di Kilikia (Turki selatan-tengah).  William F. Albright (1891-1971) dan Frank Moore Cross (1921-2012) mengemukakan Tarshish adalah Sardinia karena penemuan Batu Nora (…) [sumber di sini]

Saya melihat bahwa kejanggalan dari kesemua pendapat mengenai lokasi Tarsis tersebut adalah karena tidak mempertimbangkan jarak tempuh pelayaran yang diungkap dalam Alkitab Ibrani, 1 Raja-raja 10:22 “Sebab di laut raja mempunyai kapal-kapal Tarsis bergabung dengan kapal-kapal Hiram; dan sekali tiga tahun kapal-kapal Tarsis itu datang membawa emas dan perak serta gading; juga kera dan burung merak.” 

Saya pikir, jika letak Tarsis benar terdapat di salah satu lokasi yang disebutkan di atas, rasanya tidak akan mungkin mereka datang sekali dalam tiga tahun. Itu jangka waktu yang sangat lama untuk suatu kegiatan perdagangan. Jelas sangat tidak menguntungkan untuk status kapal Tarsis sebagai “kapal perdagangan”. Jadi, Jelas ini waktu tempuh untuk jarak yang sangat jauh. Tidak berada di Timur dekat ataupun Timur tengah.

Untuk mengetahui jarak tempuh per-hari kapal-kapal kuno, saya mencermati jarak waktu pelayaran yang diberitakan Fa Hsien (biksu Cina yang melawat ke Asia Tenggara dan India pada abad ke-5) dalam catatannya, bahwa pelayaran dari Yeh-p’o-t’I (suatu tempat di Nusantara, para ahli biasa mengidentifikasinya dengan Jawadwipa) ke Kanton biasanya memerlukan waktu sekitar 50 hari pelayaran.

Yang mana, dapat disamakan dengan laporan pelayaran Tome Pires dari Malaka ke Kanton pada Juni sampai Agustus 1517, selama kurang lebih 45 hari. [O.W. Wolters. Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya hlm. 22]  Dan juga bahwa pada tahun 992 M para utusan dari Jawa sampai di Ningpo dalam 60 hari.  [Ibid. hlm. 37 pada catatan kaki no 24]

Hasilnya adalah; Jika dari Malaka menuju Kanton Tome Pires melalui laut Cina Selatan dan mampir di beberapa tempat untuk pengisian air minum dan perbekalan lainnya maka hitungan kasar untuk jarak yang ia tempuh adalah sekitar 3260 Km (perhitungan menggunakan Ruler pada Google Earth). Jika ia menempuh jarak ini selama 45 hari maka jarak tempuh kapalnya adalah sekitar 72 Km/hari.

Sementara itu, untuk perjalanan utusan Jawa yang menuju ke Ningpo — jika diasumsikan mereka berangkat dari pelabuhan kuno batang di Jawa tengah kemudian menyusuri selat Makassar — melintasi laut Sulu — mampir di pelabuhan Manila — untuk kemudian memotong laut Cina Selatan ke arah timur laut hingga tiba di Ningpo, maka hitungan kasar jarak tempuh tersebut adalah 4280 Km — sehingga jika waktu tempuh mereka untuk itu adalah 60 hari, maka jarak tempuh perharinya sekitar 71 Km/hari.

Dari kedua pelayaran ini, dapat kita lihat bahwa rata-rata jarak tempuh kapal di masa itu adalah sekitar 70-an km/hari. Bisa dikatakan bahwa kapal yang digunakan utusan Jawa di tahun 992 M tidak jauh berbeda dengan kapal yang digunakan Tome Pires pada tahun 1517, sama-sama mengandalkan Angin dan tenaga dayung manusia.

Setelah mendapatkan jarak tempuh perhari pelayaran kapal di masa kuno, selanjutnya saya menghitung jarak tempuh pelayaran dari salah satu titik di selat Makassar sebagai pelabuhan kapal-kapal orang Bajo (baca ‘Orang Laut, Raja Laut, Bajak Laut’ karya Adrian Lapian) ke levant (mediterania) — yang mana pelayaran ini saya asumsikan adalah pelayaran perdagangan yang tentunya lebih memilih menyisir pantai kontinen untuk mampir di berbagai pelabuhan melakukan barter barang dari pada melakukan pelayaran memotong/ melintasi tengah lautan lepas.

Jadi, pelayaran tersebut saya asumsikan akan mampir di beberapa pelabuhan. Seperti pelabuhan kuno Batang di Jawa tengah, pelabuhan Malaka, pelabuhan Kedah, beberapa Pelabuhan kuno di pesisir teluk benggala, juga tentunya mampir di Colombo, Srilanka, pelabuhan kuno Goa di pesisir pantai Malabar, pelabuhan kuno Karachi, pelabuhan kuno di teluk Chabahar, hingga kemudian memasuki teluk Persia, menuju pulau Bahrain.

Dari pulau Bahrainm, lalu keluar kembali, mengambil arah selatan, menuju Pelabuhan kuno Bi’r `Ali dan pelabuhan kuno Aden di yaman, selanjutnya menyusuri pantai timur Afrika, mampir di Zanzibar lalu Kota Pelabuhan kuno di pulau  Ilha de Mocambique, Kota Pelabuhan kuno Cape Town di Afrika Selatan, Pelabuhan kuno Calabar di Nigeria, Kota Pelabuhan kuno Anfa (Casablanca) di Maroko, melintasi atau mampir di pelabuhan teluk Valencia, untuk kemudian menuju Pelabuhan kuno Hercules di Kota Pelabuhan Monaco.

Selepas dari pelabuhan kuno di Monaco, perhentian selanjutnya adalah di kota pelabuhan Pompeii di teluk Napoli, lalu mampir di pulau Sardinia (Italy), lalu memutari pulau Sisilia menuju Kota Pelabuhan kuno Patras di Yunani, untuk kemudian lanjut menuju pelabuhan kuno Piraeus yang terhubung langsung ke pusat kota Athena. Selanjutnya menuju kota pelabuhan kuno Antalya/ Anatolia Turki, untuk kemudian berakhir di Kota Pelabuhan kuno Byblos di Lebanon (Levant).

Total jarak pelayaran ini hitungan kasarnya (menggunakan Ruler pada Google Earth) adalah sekitar 36,500 Km. sementara jika pelayaran berupaya mempersingkat jarak dengan tidak mendatangi semua pelabuhan, maka jarak yang terpangkas sulit dibawah 27,000 Km. dengan kata lain, pelayaran dari pulau Sulawesi ke Mediterania adalah pelayaran berkisar 27,000 Km hingga 36,500 Km.

Jika diandaikan jarak pelayaran yang digunakan adalah 27,000 Km — Dengan kecepatan jarak tempuh pelayaran 70 Km/hari, maka untuk menyelesaikan keseluruhan jarak pelayaran tersebut membutuhkan waktu sekitar 385 hari atau sekitar 1 tahun lebih 20 hari.

Hasil perhitungan ini saya pikir cukup sesuai dengan yang diungkap dalam Alkitab Ibrani (1 Raja-raja 10:22) bahwa kedatangan kapal Tarsis adalah sekali dalam 3 tahun.

Jadi, ketika kapal Tarsis meninggalkan wilayah Levant menuju Nusantara (pulang ke asal mereka) mereka akan tiba setelah melakukan pelayaran di laut sekitar 1 tahun dan tambahan sekitar 6 bulan untuk nginap di beberapa pelabuhan yang disinggahi dalam rangka mengumpulkan bekal sekaligus melakukan perdagangan. Kembali ke sana pun membutuhkan sekitar waktu yang sama, sehingga hitungannya tepat yakni sekitar 3 tahun.

Demikianlah, hitungan-hitungan di atas membuat hipotesis nusantara sebagai titik asal kedatangan kapal-kapal Tarsis menjadi lebih masuk akal jika dihadapkan pada Informasi dari Alkitab bahwa kedatangan kapal-kapal Tarsis adalah sekali dalam tiga tahun.

Satu hal lagi, nama Bangsa Tarsis sangat mungkin terkait pula dengan nama hewan nokturnal, Tarsius, yang merupakan hewan endemik pulau Sulawesi. (baca di sini: Mengenal Tarsius, Primata Terkecil di Dunia Asal Sulawesi).


Demikianlah, jika jejak Tarsis putra Javan ternyata menunjukkan eksistensinya di wilayah Nusantara, maka, saya pikir Javan yang dianggap oleh para ilmuwan selama ini bereksistensi di Yunani, saya pikir, mungkin sebaiknya perlu dicermati kembali. Misalnya, nama Javan jelas lebih mirip secara fonetis dengan Jawa (Java) dibandingkan Greece (Yunani).

Bersambung ke: Jejak 3 Putra dan 16 Cucu Nabi Nuh (Bagian 3)

LihatTutupKomentar