-->

Asal Mula Bahasa: Kapan Mulai dan Bagaimana Perkembangannya?


Asal mula bahasa telah menjadi subjek spekulasi selama beberapa abad. Jika saja kita merujuk pada sumber-sumber yang tertera dalam kitab-kitab suci, maka dapat dikatakan bahwa spekulasi tersebut bisa terselesaikan, dengan kesimpulan bahwa manusia diciptakan dengan kemampuan unik ini. 

Tetapi, tentu ada saja pihak-pihak yang berusaha menjelaskan fenomena asal mula bahasa tanpa merujuk kepada Tuhan, yang mana pola pendekatannya dengan menggunakan kerangka evolusi. Dalam perjalanannya kemudian, muncullah deskripsi yang mengatakan bahwa studi tentang asal mula bahasa sebagai “tantangan terberat bagi sains”. 

Kekurangan bukti Empiris (pada asal-usul bahasa) telah menyebabkan banyak sarjana menganggap seluruh topik sebagai hal yang tidak sesuai untuk studi serius. Pada tahun 1866, Linguistic Society of Paris melarang segala perdebatan yang ada atau yang akan datang mengenai masalah asal-usul bahasa, suatu larangan yang tetap berpengaruh di sebagian besar dunia barat hingga akhir abad keduapuluh. Hari ini ada banyak hipotesis tentang bagaimana, mengapa, kapan, dan di mana bahasa mungkin telah muncul. (Edgar Andrews. 2018: 260-261)

Dalam buku Approaches to the Evolution of Language (James R. Hurford. 1998: 30-43) dikemukakan teori asal mula bahasa, yang dikelompokkan berdasarkan asumsi model evolusi, disebut sebagai “Teori Kontinuitas,” yang mana teori ini dibangun di atas gagasan bahwa bahasa menunjukkan begitu banyak kompleksitas sehingga orang tidak dapat membayangkannya muncul begitu saja dari ketiadaan dalam bentuk akhirnya; karena itu ia harus berevolusi dari sistem pra-linguistik sebelumnya di antara leluhur primata kita.

“Teori diskontinuitas” mengambil pendekatan sebaliknya – bahasa tidak dapat dibandingkan dengan apa pun yang ditemukan di antara non-manusia, pasti muncul secara tiba-tiba selama evolusi manusia. Noam Chomsky adalah pendukung terkemuka teori Teori diskontinuitas ini.  

Yuval Noah Harari dalam buku Sapiens: Riwayat Singkat Ummat Manusia (2017: 22) mengatakan: “Homo Sapiens menaklukkan dunia terutama berkat bahasanya yang unik”. Lebih lanjut pembahasam Yuval terkait hal ini dapat kita simak dalam kutipan buku Yuval Noah Harari: “Sapiens: Riwayat Singkat Ummat Manusia”. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017. hlm. 25-26, berikut ini:

kemunculan cara-cara baru berpikir dan berkomunikasi, antara 70.000 dan 30.000 tahun silam, merupakan Revolusi Kognitif. Apa yang menyebabkannya? Kita tidak tahu pasti. Teori yang paling banyak dipercaya berargumen bahwa mutasi-mutasi genetik tanpa sengaja mengubah sambungan-sambungan di dalam otak Sapiens, memungkinkan mereka berpikir dengan cara-cara yang tak pernah ada sebelumnya dan berkomunikasi menggunakan jenis bahasa yang sepenuhnya baru. 

Kita bisa menyebutnya mutasi Pohon pengetahuan. Mengapa mutasi itu terjadi dalam DNA Sapiens, bukan dalam DNA Neandertal? Sejauh yang bisa kita tahu, itu masalah kebetulan semata. Namun yang lebih penting adalah memahami akibat mutasi pohon pengetahuan, ketimbang penyebabnya. Apa yang sedemikian istimewa mengenai bahasa baru Sapiens yang memungkinkan spesies manusia tersebut menaklukkan dunia?

Bahasa tersebut bukanlah bahasa pertama. Setiap hewan memiliki semacam bahasa. Bahkan serangga, seperti lebah dan semut, tahu bagaimana berkomunikasi dalam cara-cara yang canggih, saling memberi informasi mengenai letak makanan. Bahasa Sapiens juga bukan bahasa vokal pertama. Banyak hewan, termasuk semua spesies kera dan monyet, memiliki bahasa vokal. 

Misalnya, monyet hijau (Chlorocebus sabaeus) menggunakan berbagai jenis panggilan yang berarti “hati-hati! Elang!” panggilan lain yang agak berbeda memperingatkan “hati-hati! Singa!” Ketika para peneliti memutar rekaman panggilan pertama kepada sekelompok monyet, monyet-monyet itu menghentikan kesibukan mereka dan melihat ke atas dengan ketakutan. Ketika kelompok yang sama mendengar rekaman panggilan kedua, peringatan terhadap singa, mereka lekas-lekas memanjat pohon. 

Sapiens dapat menghasilkan jauh lebih banyak suara berbeda daripada monyet hijau, namun paus dan gajah memiliki kemampuan yang sama mengesankannya. Burung betet bisa mengatakan apapun yang dikatakan Albert Einstein, juga meniru dering telepon, bunyi pintu dibanting, dan raungan sirine. Apapun keunggulan Einstein dibanding betet, itu pastilah bukan keunggulan vokal. Kalau begitu, apa yang sedemikian istimewa mengenai bahasa kita?

Jawaban paling umum adalah bahasa kita luar biasa luwes. Kita bisa menyambungkan bunyi dan tanda dalam jumlah terbatas untuk menghasilkan kalimat dalam jumlah tak terbatas, masing-masing dengan makna sendiri. Karena itu kita bisa menelan, menyimpan, dan menyampaikan banyak sekali informasi mengenai dunia di sekeliling kita. Monyet hijau bisa meneriakkan kepada rekan-rekannya, “Hati-hati! Singa!” 

Namun manusia modern dapat memberitahukan kepada teman-temannya bahwa pagi ini, di dekat lekukan sungai, dia melihat singa melacak sekawanan bison. Dia kemudian menjabarkan di mana persisnya dia melihat kejadian itu, termasuk berbagai jalan yang mengarah ke sana. Dengan informasi itu, anggota-anggota kawanannya dapat berkumpul dan berembug apakah mereka harus mendekati sungai guna menghalau singa dan memburu bison.

Teori kedua setuju bahwa bahasa kita yang unik berevolusi sebagai cara berbagi informasi mengenai dunia. Namun informasi terpenting yang perlu disampaikan adalah tentang manusia, bukan tentang singa dan bison. Bahasa kita berevolusi sebagai cara bergosip. 

Menurut teori ini, Homo Sapiens utamanya merupakan hewan sosial. Kerja sama sosial adalah kunci kelestarian dan reproduksi kita. Tidak cukup bagi individu laki-laki dan perempuan untuk mengetahui di mana singa dan bison, jauh lebih penting bagi mereka untuk mengetahui siapa yang dibenci rekan sekawanan, siapa yang tidur dengan siapa, siapa yang jujur, dan siapa yang bohong.

Demikianlah Yuval menyampaikan ulasannya secara lugas layaknya maksud teori kedua di atas.

Nampak jelas dalam kutipan di atas bahwa Yuval mengulas keistimewaan bahasa manusia sebagai instrument berpikir dan berkomunikasi yang sangat efektif jika dibandingkan dengan bahasa yang ada pada hewan-hewan, yang memungkinkan spesies manusia mampu menaklukkan dunia.

Terlepas dari apapun teori atau argumentasi yang disampaikan Yuval mengenai keunikan bahasa manusia, berikut ini saya akan mencoba mengulas pendapat saya terkait hal tersebut.

Esensi Bahasa

Saya melihat bahwa hal terpenting dalam berbicara tentang bahasa adalah terlebih dahulu memaknai esensi dan tujuan Allah mengajarkan Nabi Adam semua nama, seperti yang diungkap Al Quran pada Surat Al-Baqarah Ayat 31: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam semua nama…”

Beberapa pendapat alim ulama terkait makna Surat Al-Baqarah Ayat 31 ini, adalah seperti berikut ini: 

Menurut Muhammad b. ‘Amr — Abu’ Aim (al-Nabil) — ‘Isa b. Maymun — Ibn Abi Najih — Mujahid, yang mengomentari firman Tuhan: “Dan Dia mengajarkan Adam semua nama,” — mengatakan: (Nama-nama) semua yang telah diciptakan Allah.

Menurut Ibn Waki — Sufyan — Khasif637 — Mujahid, yang mengomentari firman Allah: “Dan Dia mengajarkan Adam semua nama,” — mengatakan: Dia mengajarinya nama-nama segala sesuatu.

Menurut Sufyan (b. Waki ‘) — ayahnya — Sharik (b.’ Abdallah al-Nakha’i) — Salim al-Aftas — Sa’id b. Jubayr: Tuhan mengajarinya nama semuanya hingga ke unta (ba’ir), sapi, dan domba.

Menurut al-Hasan b. Yahya — ‘Abd al-Razzaq — Ma’mar — Qatadah, yang mengomentari firman Allah: “Dan Dia mengajarkan Adam semua Nama-nama,” — mengatakan: Dia mengajarinya nama segala sesuatu, ..seperti: Ini adalah gunung, ini adalah seperti itu, dan itu adalah seperti ini dan itu…

Dalam pandangan saya, beberapa pendapat di atas sangatlah jauh dari makna esensi yang ingin disampaikan firman tersebut. Hal ini jelas karena kurangnya pendalaman secara semestinya terhadap kandungan ayat tersebut.

Untuk mencermati kandungan makna ayat tersebut, pertanyaan kuncinya adalah: apakah yang dimaksudkan “nama” dalam ayat tersebut? – jawaban dari pertanyaan inilah yang akan membuka jalan untuk memahami esensi dari ayat tersebut.

Jawaban filosofis dari pertanyaan tersebut yaitu: “Nama adalah cara kita menyebut sesuatu… ” 

Misalnya, kita menyebut “minum” untuk tindakan menuangkan air ke dalam mulut lalu menelannya masuk ke tenggorokan. Dalam tata bahasa nama tindakan “minum” masuk dalam golongan kata kerja.

Contoh lain, kita menyebut seseorang “si polan” agar seseorang tersebut dapat mengetahui jika dirinya menjadi objek pembicaraan kita. Dalam tata bahasa “si polan” sebagai bentuk sebutan terhadap seseorang, masuk dalam golongan kata benda.

dan demikian seterusnya untuk kelas kata sifat atau kelas kata lainnya…

Dari uraian di atas, kita dapat melihat jika “nama” sesungguhnya sinonim dengan “kata”. Atau dapat disimpulkan “Bahasa sesungguhnya adalah kumpulan nama-nama”, yaitu: kumpulan nama-nama benda (kelas kata benda), kumpulan nama-nama tindakan/ kerja (kelas kata kerja), dan seterusnya…. (uraian ini selengkapnya dapat anda baca dalam tulisan ini: Esensi Bahasa Adam )

Jadi, makna dari firman Allah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 31: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam semua nama…” dapat dipahami sebagai tindakan Allah mengajarkan Adam berbagai kata-kata, atau sama dengan Allah mengajarkan Adam berbahasa.

Maksud dan tujuan Allah mengajarkan Nabi Adam berbagai “nama-nama” atau “kata-kata” telah pula saya urai dalam tulisan Esensi Bahasa Adam , yaitu bahwa dengan “Nama” atau “kata” inilah yang jika disusun sedemikian rupa dapat memunculkan “makna” -yang berwujud: sebagai sebuah pesan dalam kegiatan berkomunikasi; dan, sebuah struktur logika dalam kegiatan berpikir. Dengan kata lain, Bagi manusia, guna bahasa bukan hanya untuk berkomunikasi tapi juga untuk berpikir. 

Pendapat berapa tokoh pemikir berpengaruh dunia seperti Plato, Kant, Watson, Wittgenstein, dan Humboldt, yang tampil menunjukkan bahwa “pikiran dan bahasa” sebagai hal yang sama telah pula saya urai dalam tulisan Esensi Bahasa Adam .

Humboldt misalnya, mencatat bahwa “Language is the formative organ of thought… Thought and language are therefore one and inseparable from each other.” Yang kurang lebih artinya: bahasa adalah organ formatif pikiran… Karena itu pikiran dan bahasa adalah satu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Jerry Fodor dalam bukunya The Language of Thought (1975), untuk pertama kali, memperkenalkan The language of thought hypothesis (LOTH), yakni sebuah hipotesis bahwa representasi mental memiliki struktur linguistik, atau dengan kata lain, pemikiran itu terjadi dalam bahasa mental.

Demikianlah, peran bahasa dalam alam pikiran manusia merupakan variabel utama dalam penyelenggaraan kegiatan logika oleh akal. Sebab, nama-nama benda, nama-nama tindakan, nama-nama sifat (dan nama-nama kategori kelas kata lainnya) itulah yang merupakan variabel-variabel yang diolah oleh akal, sehingga pada gilirannya membentuk suatu struktur berpikir yang bersifat sederhana maupun kompleks.

Terkait dengan hal ini, F. Max Muller, dalam bukunya The Science Of Language Vol.1 Chapter IV: The Classification Stage (1899: 123) mengatakan; “The division into nouns and verbs, articles and conjunctions, the schemes of declension and conjugation, were a merely artificial network thrown over the living body of language.” Struktur-struktur yang telah terbangun tersebut yang kemudian terekam dalam memory manusia – bersama dengan bahasa dalam wujudnya sebagai “kumpulan nama-nama” – yang untuk selanjutnya, kesemua itu dapat kita sebut sebagai “rekaman pengetahuan.” 

Dalam memori/ingatan, kesemuanya bukan saja terdokumentasi dengan rapi tapi juga terhubung sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat menjadi pemicu pengingat bagi satu sama lain ketika akal tengah bekerja menganalisa “rekaman pengetahuan”.

Menurut Wolfgang Schonpflug, di samping keberadaan Memori internal, neurofisiologis individu dapat dilengkapi dengan media teknis dan sosial, seperti catatan pribadi, magnetic tape, benda kenang-kenangan, dan orang lain sebagai pembisik yang mengingatkan. Kesemua hal ini dapat dinamai sebagai memori eksternal. [Wolfgang Schonpflug. “External Memory, Psychology of” – Neil J. Smelser, Paul B. Baltes “International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences.” (Elsevier, 2001) hlm. 5192-5195]

Terkait dengan pembahasan memori eksternal, ada baiknya kita menyimak riwayat berikut ini. 

Dalam Plato’s Phaedrus, Socrates menceritakan kisah tentang bagaimana Theuth, dewa Mesir yang merupakan penemu tulisan, menemui raja Mesir, Thamus, untuk mendesaknya menyebarluaskan kepada orang-orang Mesir apa yang dianggapnya sebagai cabang pembelajaran yang akan meningkatkan daya ingat. 

Namun, Thamus waspada terhadap implikasi dari ingatan dalam bentuk kata-kata tertulis. Dia percaya bahwa, jika orang-orang Mesir menulis, ketergantungan mereka pada memori internal mereka akan berkurang sebagai ganti memori eksternal. 

Dia berpendapat bahwa menulis bukan cara untuk meningkatkan daya ingat, tetapi untuk mengingatkan. Dan orang yang mengandalkan kata-kata tertulis hanya akan mengeluarkan ilusi dari seseorang yang memiliki pengetahuan. 

Berikut kutipannya:

SOCRATES: Saya dapat memberi tahu Anda apa yang saya dengar tentang orang-orang di masa kuno katakan, meskipun hanya merekalah yang lebih tahu yang sebenarnya. Namun, jika kita dapat menemukan diri kita sendiri, apakah kita masih peduli dengan spekulasi orang lain?

PHAEDRUS: Itu pertanyaan yang konyol. Sekarang, ayo beri tahu aku apa yang kamu katakan telah kamu dengar.

SOCRATES: Baiklah, inilah apa yang saya dengar itu. Di antara dewa-dewa kuno Naucratis di Mesir ada seseorang yang karenanyalah maka burung ibis itu dikatakan suci. Nama dewa itu adalah Theuth. Dialah yang pertama kali menemukan angka dan perhitungan, geometri, astronomi, permainan catur dan dadu, termasuk tulisan.

Raja Mesir pada waktu itu adalah Thamus, yang tinggal di kota besar di daerah atas yang oleh orang Yunani disebut Thebes Mesir; Thamus mereka sebut Amon. Theuth datang untuk memamerkan seninya kepadanya dan mendesaknya untuk menyebarluaskannya kepada semua orang Mesir.

Thamus bertanya kepadanya tentang kegunaan setiap seni, dan ketika Theuth sedang menjelaskannya, Thamus memujinya untuk apapun yang dia pikir benar dalam penjelasan tersebut dan mengkritiknya untuk apapun yang dia anggapnya keliru.

Menurut cerita, Thamus mengatakan banyak hal kepada Theuth, (…), yang akan membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengulanginya. ketika mereka tiba pada pembahasan tentang seni tulisan, Theuth berkata: “Oh Raja, ini adalah sesuatu yang, setelah dipelajari, akan membuat orang Mesir lebih bijak dan akan meningkatkan ingatan mereka; saya telah menemukan ramuan untuk ingatan dan kebijaksanaan.” 

Thamus, kemudian menjawab: “Wahai ahli yang paling ahli, setiap orang dapat saja melahirkan berbagai unsur-unsur seni, tetapi hanya orang lain yang dapat menilai bagaimana mereka dapat bermanfaat atau membahayakan mereka yang akan menggunakannya. Dan sekarang, karena Anda adalah ayah dari tulisan, kasih sayang Anda untuk itu telah membuat Anda menggambarkan dampaknya sebagai kebalikan dari apa yang sebenarnya. 

Bahkan, itu akan memperkenalkan kelupaan ke dalam jiwa mereka yang mempelajarinya: mereka tidak akan berlatih menggunakan ingatan mereka karena mereka akan menaruh kepercayaan mereka dalam tulisan, yang bersifat eksternal dan tergantung pada tanda-tanda milik orang lain, daripada mencoba mengingat dari dalam, sepenuhnya sendiri. Anda tidak menemukan ramuan untuk ingatan, tetapi untuk mengingatkan. 

Anda memberikan siswa Anda penampilan kebijaksanaan, tapi bukan dengan realitasnya. Penemuan Anda akan memungkinkan mereka untuk mendengar banyak hal tanpa diajarkan dengan benar, dan mereka akan membayangkan bahwa mereka telah mengetahui banyak hal, sementara sebagian besar mereka tidak akan tahu apapun. Dan mereka akan kesulitan lanjut dengan hal itu, karena mereka hanya akan “tampak bijaksana,” tapi tidak benar-benar demikian.”

Kutipan di atas menggambarkan kepada kita betapa sejak masa kuno manusia dengan secara sadar telah berupaya membangun ingatan kolektif yang tumbuh secara berkesinambungan, terutama yang tersaji dalam bentuk memori eksternal seperti catatan tertulis. Penggalan dialog antara Thamus dan Theuth bisa dikatakan bentuk dinamika pro kontra yang umum terjadi pada sebuah ide yang dimunculkan di tahap-tahap awal.

Demikianlah, dengan keseluruhan penjelasan di atas, saya berharap pembaca telah dapat melihat “benang merah” antara tujuan Allah mengajarkan Adam berbahasa… dengan pertumbuhan peradaban manusia dari masa kuno hingga hari ini. 

Secara holistik, dapat kita simpulkan bahwa hanya instrumen bahasalah yang memungkinkan manusia dapat membangun peradaban. Dengan Bahasa, Manusia dapat berpikir secara individu (proses internal), juga dapat berpikir secara kolektif – melibatkan beberapa pihak (proses ekternal).

Adapun mengenai temuan arkeologi seperti perkakas batu “manusia prasejarah” atau lukisan gua “super abstrak” yang berusia puluhan ribu tahun, seperti yang beberapa waktu yang lalu lalu heboh diberitakan di berbagai media online, yang oleh beberapa kalangan kemudian dijadikan landasan klaim telah ada manusia sebelum Nabi Adam, atau telah ada peradaban sebelum kedatangan Nabi adam, dalam pandangan saya tidak lebih dari bentuk proses pengenalan, penafsiran dan adaptasi lingkungan yang juga dapat ditunjukkan oleh seekor kera.

Misalnya, seperti itu seekor kera yang tertangkap kamera CCTV di sebuah kebun binatang sedang mencoba memecahkan kaca dengan sebuah batu tajam (lihat pada gambar di bawah)

(sumber: dailymail.co.uk)
(sumber: dailymail.co.uk)

Contoh lainnya, Seekor kera yang mampu memadukan alat-alat yang dibutuhkannya… menggunakan batu besar dan pipih sebagai landasan, dan batu lainnya yang berukuran lebih kecil digunakan sebagai alat palu pemukul (dapat dilihat pada gambar di bawah)

(sumber: elespectador.com)
(sumber: elespectador.com)
(sumber: https://www.sciencenews.org/ )
(sumber: https://www.sciencenews.org/ )

Sekian uraian ini, semoga dapat memberi pencerahan. Salam.

LihatTutupKomentar