Upaya identifikasi letak Holing di Nusantara dengan merujuk kronik Cina kuno telah banyak dilakukan oleh para Ahli. Pembahasan mengenai hal ini oleh sejarawan modern bisa dikatakan telah berlangsung lebih dari seratus tahun.
Misalnya yang dibahas Junjiro Takakusu (1866-1945) dalam bukunya A Record of Buddhist Practices Sent Home from the Southern Sea, yang memuat terjemahan Nanhai Jigui Neifa Zhuan, yakni catatan perjalanan biksu yijing (I-Tsing) dari Dinasty Tang, yang merinci dua puluh lima tahun masa ia tinggal di India dan Nusantara antara tahun 671 – 695 M. Buku ini diterbitkan oleh Junjiro Takakusu pada tahun 1896.
Dalam rentang waktu pembahasan lebih dari seratus tahun tersebut, telah banyak pendapat yang muncul dari berbagai ahli terkait letak Holing atau She-po yang dalam kronik Cina dinyatakan sebagai sebutan untuk suatu wilayah yang sama.
Berbagai perbedaan pendapat para ahli mengenai letak Holing atau She-po telah saya urai dalam tulisan sebelumnya Hipotesis Ini Buktikan Kerajaan Holing Terletak di Sulawesi, jadi dalam kesempatan ini saya hanya akan fokus pada hipotesis yang ingin saya sampaikan saja.
Dalam upaya penyusunan hipotesis ini tentu saja saya sangat memperhatikan pendapat yang diajukan oleh para ahli sebelumnya. Dengan demikian harapan seperti sebagaimana yang disampaikan O.W. Wolters bahwa “Suatu usaha untuk mencari She-po… di tempat lain selain dari Jawa haruslah didasarkan atas bukti baru dan meyakinkan,” (Early Indonesian Commerce – A Study of The Origins of Sriwijaya: 1967; 2011, hlm. 261) semoga saja dapat terpenuhi dalam hipotesis ini.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia II – Zaman Kuno (2008, hlm. 119), diungkap rincian letak Holing dengan merujuk berita dari zaman dinasti Tang, sebagai berikut: Holing yang juga disebut She-po, terletak di laut selatan. Di sebelah timurnya terletak Po-li dan di sebelah baratnya tertelak To-po-teng. Di sebelah selatannya adalah lautan, sedang di sebelah utaranya terletak Chen-la… – informasi ini menjadi fokus pembahasan saya dalam tulisan ini dengan mengidentifikasi nama-nama wilayah yang disebutkan bersempadan dengan Holing.
Sebelum membahas satu persatu toponim (nama wilayah) tersebut, saya akan kembali mengulas toponim kuno yakni karatuan yang saya identifikasi merupakan bentuk lain dari kata Kadatuan. dan bahwa persamaan kata karatuan dan kadatuan dapat kita lihat pada persamaan kata kdaton dan kraton, yang merupakan sebutan kompleks pusat pemerintah raja pada masa lalu.
Toponim “Karatuan” Saya temukan digunakan di 3 tempat di Sulawesi Selatan, yaitu: pertama, terdapat toponim “karatuan” di kecamatan basse sang tempe – kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan; kedua, toponim “karatuang” di Tappalang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat; ketiga, toponim “karatuang” di kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Selain ketiga titik ini, sebenarnya masih ada satu lagi, yakni kampung Karataun di kecamatan Kalumpang, Mamuju, Sulawesi Barat. Saya pikir, bentuk sebenarnya dari Karataun ini adalah Karatuan.
Bagi para Arkeolog nama Kalumpang tentu tidak asing lagi. Karena di wilayah ini ditemukan banyak peninggalan budaya Neolitik.
Perhatian dunia Internasional terhadap wilayah Kalumpang telah berlangsung sejak 1935. Ketika P.V. Van Stein Callenfels mempresentasikan hasil ekskavasinya di Bukit Kamasi pada 1933 dalam The Second Congress of Prehistorians of the Far East di Manila (Callenfels 1951).
Kemudian Callenfels melakukan penggalian di Situs Palemba yang juga terletak di Desa Kalumpang, tepatnya di sisi selatan, pada sudut pertemuan antara Sungai Karataun dan Sungai Karama.( “Petutur Austronesia Sudah Ada Sejak Sekitar 4000 Tahun Lalu di Sulawesi“. Posted on Februari 12, 2016).
Penelitian di Situs Kamasi kemudian dilanjutkan oleh Heekeren pada 1949, dengan membuka kotak ekskavasi di sekitar kotak gali Stein Callenfels. Selain di Kamasi, Heekeren (1972) melakukan survei di Minanga Sipakko yang letaknya di tepi utara Sungai Karama, sekitar 4 km di selatan Desa Kalumpang dan memperoleh temuan yang serupa dengan temuan dari Kamasi.
Temuan dari hasil penelitian Stein Callenfels dan Heekeren itulah yang menjadi tonggak awal penelitian arkeologi di wilayah Kalumpang, sehingga memunculkan istilah budaya Neolitik Kalumpang. (ibid)
Truman Simanjuntak melakukan penelitian ulang terhadap Situs Minanga Sipakko pada 2004-2005, dan menemukan sisa pemukiman Neolitik awal yang masih in situ pada kedalaman 80-100 cm dari permukaan sekarang.
Penelitian intensif di situs Neolitik Minanga Sipakko dilakukan kembali pada 2007-2008. Hasil ekskavasi di Minanga Sipakko pada 2004-2005 dan 2007, dan di Kamasi pada 2008 menunjukkan adanya lapisan hunian Neolitik dengan karakteristik relatif sama, yang dimulai sekitar 3600 tahun yang lalu. (ibid)
Dengan menimbang berbagai hal terkait Karataun di Kecamatan Kalumpang, maka dalam pembahasan selanjutnya, Karataun (kalumpang) akan dimasukkan dalam hipotesis sebagai toponim yang menunjukkan jejak sebagai pusat kedatuan di masa kuno.
Dan berikut ini peta letak keempat titik daerah bernama karatuan di pulau Sulawesi…
To-po-teng di sebelah barat Holing
Untuk mengidentifikasi letak geografis To-po-teng sebagai daerah yang berbatasan dengan Holing di sebelah barat, saya melihat bahwa jalan terbaik yang mesti dilakukan terlebih dahulu adalah dengan mengindentifikasi sebuah berita Cina yang menyebutkan bahwa: raja Holing tinggal di kota She-p’o (She-p’o-tch’eng), tetapi leluhurnya yang bernama Ki-yen telah memindahkan pusat kerajaan ke timur, ke kota P’olu-chia-ssu.
Menurut Berita dalam Ying-huan-tchelio perpindahan itu terjadi dalam masa T’ien-pao, yakni disekitaran tahun 742-755 M (BEFEO/ 4/ 1904 – Paul Pelliot, “Deux itineraires…“, hlm 225).
L-C. Damais menyebutkan bahwa berita perpindahan itu termuat dalam Yuan-che-lei-pin yang ditulis pada tahun 1669 M, dan bahwa perpindahan itu terjadi dalam masa T’ien-pao, antara tahun 742 dan 775 M atau tahun 664 dan 667 Saka (L-C. Damais, BEFEO, LII, fasc. 1, 1964, hlm. 138).
Yang menarik karena nama Po-lu-chia-sseu dan T’ien-pao kuat dugaan saya ada keterkaitan dengan Raja/Datu kelima dalam silsilah kedatuan Luwu, yakni: Tampa Balusu. Nama “T’ien-pao” identik dengan “Tampa“; sementara, “Po-lu-chia-sseu” identik dengan “Balusu“.
Jadi, dapat diduga bahwa nama “Tampa Balusu” dapat diurai terdiri dari: tampa = nama panggilan, gelar atau julukan; sementara, Balusu = nama wilayah.
Masa pemerintahan T’ien-pao (tampa balusu) yang disebutkan antara tahun 742-755 M, selisih sekitar 68 tahun dari masa penobatan Ratu Sima (674 M). Untuk hal ini, dapat diduga bahwa rentang waktu 68 tahun tersebut adalah terdiri dari masa pemerintahan Ratu Sima (simpurusiang) dan putranya Anakaji (datu ke-4 dalam silsilah kedatuan Luwu).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, rekonstruksi perpindahan ibu kota She-po lebih ke Timur (ke wilayah Po-lu-chia-sseu) pada masa T’ien-pao (Tampa Balusu), saya perkirakan, diantara dua pilihan yakni dari karatuang (wilayah tappalang, mamuju, Sulawesi Barat hari ini) atau Karataun (wilayah Kalumpang, Mamuju, Sulawesi Barat), ke wilayah Balusu (wilayah Toraja Utara hari ini).
Dengan demikian, To-po-teng yang dalam kronik Cina disebutkan sebagai negeri yang berbatasan denga Holing di sebelah barat mestilah berada di sebelah barat wilayah Karatuang (tappalang), Karataun (Kalumpang) dan wlayah Balusu. Dan hal ini dibuktikan dengan keberadaan toponim buttu Tabating di sebelah barat wilayah-wilayah tersebut.
Buttu atau buntu adalah sebutan gunung dalam bahasa daerah lokal di Sulawesi Selatan, jadi Buttu Tabating adalah sebuah gunung bernama Tabating.
Jika kita amati, bentuk toponim Tabating tentu saja sangat identik dengan toponim To-po-teng yang disebutkan dalam kronik Cina.
Saya memperkirakan bahwa toponim Tabating bentuk aslinya adalah To Boting. Dalam bahasa lokal di Sulawesi Selatan, To artinya “orang”, sementara Boting adalah suatu nama negeri di langit (negeri dewa) dalam tradisi kepercayaan orang di wilayah ini. nama Boting dapat kita temukan disebutkan dalam kitab I La Galigo.
Po-li atau Ma-li di sebelah Timur Holing
Menurut Prof. Slamet Muljana Po-li juga disebut Mali (Sriwijaya: 2006, hlm. 84) dengan merujuk pendapat Pelliot yang berdasarkan pada keserupaan bunyi [antara poli dan mali] dan berita dari Hsin-T’ang-Shu.
Dengan konsisten pada hipotesis sebelumnya bahwa wilayah dengan toponim karatuan adalah sebagai pusat kedatuan Holing pada masa lalu, maka pencarian letak po-li atau Ma-li mestilah dilakukan di sebelah timur wilayah Karatuan (Tappalang); Karataun (Kalumpang); Balusu (kota tempat dipindahkannya pusat kerajaan di masa T’ien-pao atau Tampa Balusu; Karatuan, Bastem (Wilayah yang menunjukkan ciri khusus yang disebutkan dalam kronik Cina, yakni: Air Garam di pegunungan dan Batu pasui yang merupakan mitologisasi batu gnomon).
Pembuktian untuk hal ini bisa dikatakan terpenuhi dengan keberadaan wilayah malili (Luwu Timur, Sulawesi Selatan) yang identik dengan “ma-li“, dan keberadaan suku Mori (bermukim di wilayah Luwu Timur hingga Sulawesi tengah) yang di masa lalu adalah sebuah kerajaan, dimana dengan metode pencermatan morfologi Bahasa menggunakan pendekatan fonetik altikulatoris, kita dapat melihat bahwa variasi bentuk yang dapat muncul dari morfologi kata “Mori” adalah: poni – poli – pori – podi – poti – boni – boli – bori – bodi – boti – woni – woli – wori – wodi – woti – moni – moli – mori – modi – moti. Dari hasil ini terlihat jelas jika “mori” ada keterkaitan dengan Po-li ataupun Bo-ni.
Prof. Liang Liji Dalam bukunya “Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis – 2000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia“, 2012, hlm. 42, mengatakan bahwa dalam kitab sejarah tiongkok kuno, negeri Po Li juga disebut Bo Ni atau F0 Ni.
Antara wilayah Malili di Sulawesi Selatan dengan wilayah Morowali, Lore hingga Poso di Sulawesi Tengah, secara historis, bisa dikatakan memang telah terjalin hubungan sejak ratusan tahun bahkan mungkin ribuan tahun lalu.
Hal ini setidaknya dibuktikan ketika masa pemberontakan DI/TII, tempat pilihan pengungsian orang-orang di wilayah Malili dan sekitarnya adalah wilayah Sulawesi tengah. Yang bisa kita asumsikan bahwa daerah tujuan pengungsian mereka didasari adanya sanak keluarga di wilayah tujuan tersebut.
Selain itu, asumsi ini dikuatkan pula dengan jejak sejarah bahwa sebagian besar wilayah di Sulawesi tengah hari ini, pada masa lalu, merupakan wilayah kedatuan Luwu. Klaim ini dapat pembaca simak dalam peta berikut ini…
Rujukan fakta lain bahwasanya negeri Po-li memang berada di kawasan tengah pulau Sulawesi dapat kita cermati dari catatan I-Tsing “Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-chu’an ” yang merinci negeri-negeri yang dilaluinya dalam perjalanan dari India ke Nusantara. Bunyinya sebagai berikut:
Di negara-negara laut selatan-terdiri dari sepuluh negara lebih-pada umumnya penduduknya menganut Mulasarwastiwadanikaya, meskipun ada kalanya ada yang juga memeluk Sammitinikaya; sekarang ada juga sementara pengikut kedua aliran lainnya (meskipun hanya sedikit jumlahnya).
Dihitung dari barat, yang pertama ialah negeri P’o-lu-shi, lalu negeri mo-lo-yeu, yang sekarang menjadi negeri Shih-li-fo-shih, Mo-ho-sin, Ho-ling, Tan-tan, Pem-pen, P’o-li, K’u-lun, Fo-shih-pu-lo, I-shan dan Mo-chia-man. Masih ada beberapa pulau kecil-kecil lagi; tidak dapat disebut semuanya di sini. (Prof. Dr. Slamet Muljana. Sriwijaya: 1960; 2006, hlm. 49)
Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-chu’an,” yang diterjemahkan J. Takakusu (1896) ke dalam bahasa Inggris dengan judul “A Record of the Buddhist Religion as Practiced in India and the Malay Archipelago“. |
Nama Wilayah yang disebutkan setelah Ho-ling yakni Tan-tan, Pem-pen, Po-li dan K’u-lun, sejauh ini telah saya identifikasi sesuai dengan nama beberapa wilayah di Sulawesi tengah. Bukan hanya secara fonetis sama, tetapi juga urutan posisi wilayah tersebut sesuai dengan yang dirincikan oleh I-Tsing.
Berikut ini peta letak wilayah-wilayah tersebut.
Peta Hipotesis letak toponim di Nusantara yang disebutkan dalam kronik Cina. (Dokumen Pribadi) |
Pada peta hipotesis ini saya mengidentifikasi Tan-tan sebagai Tentena, Pem-pen sebagai Pompangeo, Po-li dengan kawasan yang luas meliputi Malili hingga Malino di wilayah Mori, dan K’u-lun sebagai kolonodale hingga kolono di wilayah bungku.
Prof. Dr. Slamet Muljana dalam buku Sriwjaya (1960; 2006, hlm. 54-103) banyak merinci nama-nama wilayah lainnya yang disebutkan dalam kronik Cina. Ia mengumpulkannya dari berbagai sumber catatan cina kuno. Kesemua data yang beliau rangkum tersebut tentu sangat penting sebagai bahan rujukan bagi peneliti-peneliti selanjutnya, termasuk saya dalam hal ini.
Berikut ini beberapa data nama wilayah yang disebutkan dalam kronik Cina yang dirangkum Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya. Hanya Saya kutip bagian-bagian yang saya anggap penting terkait pembahasan tulisan ini.
Berita dari Sui-Shu, susunan Wei Cheng: Negeri Po-li dapat dicapai melalui Chih-tu dan Tan-tan (…) Di sebelah selatan Po-li terletak negeri Tan-tan dan Pem-pen. Dua negeri itu memberikan hasilnya sebagai upeti. Baik adat-istiadatnya maupun hasil buminya sama.
Berita Hsin Tang Shu: Po-li terletak di sebelah tenggara Huang-wang (…), Dapat di capai (…) melalui Chi-tu dan Tan-tan. Lebar dan panjangnya beberapa ribu li. Di situ banyak kudanya. Negeri itu juga disebut Mali. Di sebelah timurnya terletak negeri Lo-tha. (Untuk negeri Lo-tha, saya mengidentifikasinya sebagai daerah Routa dekat danau Towoti. Pada peta diatas dapat dilihat bahwa Routa tepat berada di sebelah timur Malili).
Berita dari T’ung Tien, susunan Tu you: Berita tentang negeri Tan-tan kita kenal pada masa pemerintahan rajakula Sui. Letaknya di sebelah barat laut To-lo-mo dan di sebelah tenggara Chen-chow. (Saya mengindentifikasi Tan-tan sebagai Tentena dan To-lo-mo sebagai daerah beteleme. Pada peta, dapat kita lihat jika letak tentena tepat berada di barat laut beteleme).
Berita dari Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-chu’an, karangan I-Tsing: Tan-tan termasuk salah satu negeri laut selatan yang memeluk agama Budha, dan disebut setelah letak Holing.
Berita dari Chiu-T’ang-Shu: Negeri To-lo-po-ti berbatasan di sebelah selatan dengan Pem-pen. (untuk To-lo-po-ti saya mengindentifikasinya sebagai Lepati yaitu nama sebuah gunung/bukit. suku kata to di depan to-lo-po-ti adalah sebutan “orang” dalam bahasa daerah di Sulawesi selatan, jadi To-lo-po-ti bisa diasumsikan orang lopoti atau lepati. Pada peta dapat kita lihat lepati berdekatan wilayah dengan Pompangeo/ Pem-pen yang juga merupakan nama pegunungan).
Berita dari Ch’ang-Chun: Pada bulan 10 tahun 607 ia berlayar dari Kanton dengan angin baik. Sesudah lebih dari 20 hari perjalanan, ia sampai di bukit Tsio-shih yang membujur ke tenggara, lalu berlabuh di Ling-Chia-po-pa-to, yang berhadapan dengan Lin-i. kemudian berlayar lagi menuju selatan, sampai Shih-tze-shih. Dari sini, setelah berlayar dua atau tiga hari melalui banyak pulau, tampak di sebelah barat gunung-gunung kerajaan Lang-ya-shu.
Dari sini berlayar lagi ke selatan meninggalkan pulau Chi-lung, lalu sampai di pantai Chih-tu. Perahu di tambatkan; sesudah sebulan lebih, bau sampai di ibu kota. (Chih-tu saya identifikasi sebagai Katu yakni sebuah desa di kecamatan Lore Tengah, Poso, Sulawesi Tengah. letak Katu yang di pedalaman sejalan dengan informasi bahwa butuh perjalanan kurang lebih sebulan untuk tiba di wilayah tersebut. Daerah ini dekat dari situs megalitik Pokekea yang masuk dalam kawasan Lore lindu National Park).
Chen-la di sebelah utara Holing
Pada umumnya para ahli sejarah mengidentifikasi Chen-la atau Zhen-la terletak di wilayah Kamboja. Namun jika merujuk pada hasil penelusuran saya yang menunjukkan jika semua nama wilayah yang disebutkan dalam kronik Cina fakta cukup berdekatan, maka saya berpikir letak Chen-la mestilah juga demikian. Pandangan umum para ahli selama ini yang mengidentifikasi Chen-la sebagai Kamboja saya pikir terlalu meluas.
Jika merujuk Deskripsi Cina tentang Chen-la sebagai “barat daya kerajaan Lin-i” (“What and Where was Chenla?”, Recherches nouvelles sur le Cambodge. Publies sous la direction de F. Bizot. cole franaise d’Extrme-Orient, Paris, 1994, pp. 197-212.), yang mana diketahui bahwa Lin-i atau Lin-yi adalah kerajaan yang eksis di wilayah yang ditempati kerajaan Champa (Vietnam: Cham pa) kemudian, membuat saya menduga jika selama ini telah terjadi kesalahpahaman di antara para ahli sejarah dalam mencermati data yang tersaji dalam kronik Cina.
Chen-la atau Zhen-la adalah nama yang disebutkan dalam akun Cina tentang entitas yang mengirim upeti kepada kaisar Cina. Klaim bahwa Chen-la menaklukkan Funan (vietnam: Phu Nam; Khmer: Vnom atau nokor Phnom) sebelum muncul Kekaisaran Khmer pada dasarnya berasal dari sumber yang lemah. Kenyataannya, baik Chen-la ataupun Zhen-la tidaklah dikenal dalam bahasa Khmer lama. (Claude Jacques, “‘Funan’, ‘Zhenla’: The Reality Concealed by these Chinese Views of Indochina”, in R. B. Smith and W. Watson (eds.), Early South East Asia : Essays in Archaeology, History and Historical Geography, New York, Oxford University Press, 1979, pp.371-9, p.378.)
Dalam pandangan saya, dengan menimbang bahwa Chen-la adalah suatu nama wilayah di pulau Sulawesi, maka ada kemungkinan sebutan tersebut ada keterkaitan dengan sebutan cen-ra-na yakni sebutan lain untuk cendana dalam bahasa lokal di Sulawesi Selatan. Dan toponim Cendana saya temukan berada di wilayah Parigi Moutong, Sulawesi tengah. Ini setidaknya sesuai dengan info geografis letak Holing yang disebutkan I-Tsing bahwa di sebelah utara berbatasan dengan Chen-la.
Adapun toponim Lin-i atau Lin-yi yang disamakan dengan nama kerajaan Champa, saya duga merujuk pada toponim Cempaka di wilayah Pohuwato, Gorontalo.
Pada peta berikut ini dapat dilihat jika letak Cendana di Parigi Moutong, berada di sebelah barat daya Cempaka di Pohuwato. Yang mana sesuai dengan Deskripsi Cina tentang Chen-la (Cendana) sebagai barat daya kerajaan Lin-i (Cempaka).
Laut di sebelah selatan Letak Holing
Secara umum saya menduga bahwa wilayah Sulawesi selatan hari ini ditambah sebagian wilayah Sulawesi tengah sesungguhnya adalah letak Holing di masa lalu. Wilayah tersebut pada dasarnya juga merupakan bekas wilayah kedatuan Luwu pada masa lalu. dengan kata lain, bisa jadi Holing adalah sebuatan Kedatuan Luwu pada masa kuno.
Setidaknya hal ini dapat kita lihat pada fakta Raja Holing yakni T’ien pao (yang memindahkan pusat kerajaan ke wilayah Po-lu-chia-sseu) yang menunjukkan keidentikan dengan nama Tampa Balusu yakni raja kelima dalam Silsilah kedatuan Luwu.
Juga nama ta-tso-kan-hsiung yang dalam berita Cina dikatakan sebagai yang utama di antara seluruh pejabat tinggi kerajaan Holing, sangat identik dengan nama To Ciung yakni sebuah nama yang melegenda sebagai orang bijak dari Tana Luwu. Dapat kita lihat bahwa “hsiung” sangatlah identik dengan “Ciung“.
Karena itu, keberadaan toponim Karatuang di Bantaeng (pesisir selatan semenanjung Sulawesi Selatan) dapat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Holing, dan bisa jadi di wilayah tersebut pernah pula menjadi pusat kerajaan Holing ataupun Kedatuan Luwu.
Demikianlah Identifikasi keseluruhan toponim yang bersempadan dengan letak Holing dilakukan dengan juga merinci beberapa toponim lainnya yang juga disebutkan dalam beberapa sumber kronik Cina lainnya. Ini dengan sendirinya berfungsi sebagai penguji konsistensi sekaligus penguat Hipotesis yang diajukan.
Demikian ulasan ini. Semoga bermanfaat. Salam.