Pada bagian 1 telah saya ulas informasi yang sejauh ini mengemuka dalam khasanah literatur kita terkait asal usul nama “Jawa”. Seperti pendapat yang mengusung sumber kronik berbahasa Sanskerta yang menyebut adanya pulau bernama Yavadvip(a) (dvipa berarti “pulau”, dan yava berarti “jelai” atau juga “biji-bijian”), dan beberapa lagi pendapat lainnya. Di bagian ke 2 ini, saya akan fokus membahas asal usul nama Jawa menurut konsep Lokapala (penjaga mata angin).
Dalam tradisi Hindu dikenal konsep “Lokapala” yaitu tentang dewa-dewa penjaga arah mata angin. Dewa-dewa tersebut adalah:
- Indra (Timur)
- Kubera (Utara)
- Varuna (Barat)
- Yama (Selatan
Dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya banyak menekankan bahwa yang disebut sebagai dewa dalam banyak mitologi kuno, sesungguhnya adalah merupakan bentuk personifikasi orang-orang besar, orang suci, atau bahkan para nabi yang hidup di masa kuno.
Upaya pengidentifikasian atau penafsiran Personifikasi semacam ini, bahkan telah mulai dilakukan sejak masa Yunani kuno. Hal itu dikenal dengan periode sinkretisme – atau “interpretatio graeca” artinya “terjemahan Yunani” atau “interpretasi dengan menggunakan [model] Yunani”.
Yang pada dasarnya merupakan upaya menafsirkan atau mencoba memahami mitologi dan agama dari budaya lain, dengan membandingkannya dengan konsep Yunani kuno dalam hal praktik keagamaan, dewa, dan mitos, untuk melihat kesetaraan dan karakteristik yang sama. [Mark S. Smith: God in Translation: Deities in Cross-Cultural Discourse in the Biblical World, 2008: 39]
Interpretasi semacam ini telah pula saya bahas dalam artikel “Sosok Nabi Idris di Berbagai Tradisi Agama dan Mitologi, serta Rahasia yang Meliputinya”.
Dalam artikel tersebut saya mengulas bahwa pada masa kuno, Nabi Idris dikenal sebagai Changjie dalam mitologi Cina, Dewa Varuna dalam mitologi India, Dewa Thoth dalam mitologi Mesir kuno, dan Dewa Hermes dalam mitologi Yunani kuno.
Interpretasi kesamaan tersebut, salah satunya disampaikan oleh Abu’l-Faraj (Abulpharagius) Seorang uskup Syria, filsuf, penyair, sejarawan, dan teolog, yang mengatakan dalam bukunya Ta’rih muhtasar ed-duwal (ed. Salhani, hal. 11) bahwa, Henokh (Idris) adalah identik dengan Hermes Trismegistus, yang oleh sementara orang Arab menyebutnya Idris. (Untuk lebih lengkapnya silahkan membaca artikel ini “Sosok Nabi Idris di Berbagai Tradisi Agama dan Mitologi, serta Rahasia yang Meliputinya”).
Jika Dewa Varuna adalah personifikasi nabi Idris, lalu siapakah yang diinterpretasi sebagai Indra, Kubera, dan Yama?
Dewa Indra Penjaga Arah Timur
Dalam konsep lokapala disebutkan bahwa Graha (benda langit) yang diduduki oleh Dewa Indra adalah Matahari (Surya).
Sementara itu, dalam banyak literatur Surya disebut sinonim atau terkait dengan Batara Guru, dan bahwa Batara Guru adalah sebutan lain dari Dewa Siwa.
Dalam Himne tertua Veda, seperti himne 1.115 dari Rgveda, disebutkan, Surya sebagai penghormatan khusus untuk “matahari terbit” dengan simbolismenya sebagai penghilang kegelapan, orang yang memberdayakan pengetahuan, kebaikan dan semua kehidupan. (Samuel D. Atkins, A Vedic Hymn to the Sun-God Surya. 1938, hlm. 419).
Bisa dikatakan bahwa filosofi “bagai matahari pagi yang datang menghilangkan gelap malam” inilah sebenarnya mendasari prinsip konsep spiritual bangsa matahari atau wangsa surya di masa kuno.
Rajeshwari Ghose dalam bukunya Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period (1966, hlm. 129-131), mengatakan bahwa dalam kitab Jawa kuno, Tantu Panggelaran, Bhattara Guru digambarkan sebagai guru pertama kali dari sekolah yang paling awal (paling tua), ia dikatakan sebagai guru para dewa (divine teachers). Dia direpresentasikan sebagai guru berbicara (speech) dan guru bahasa (language).
Dari uraian ini, dapat diduga jika Indra atau Surya atau Siwa atau pun Batara Guru, adalah personifikasi dari Nabi Adam, Nabi terawal yang dihadirkan Allah di muka bumi. Pembahasan lebih detail mengenai interpretasi ini telah saya bahas dalam tulisan berjudul “Interpretasi Kesamaan Adam, Fuxi, dan Batara Guru”.
Mengenai Penempatan Nabi Adam sebagai penjaga arah timur, ada banyak hal yang dapat menjadi pertimbangan.
Salah satunya adalah bahwa karena ia diturunkan di timur. Kehadirannya yang pertama kali membawa cahaya (pencerahan atau ilmu pengetahuan) di sisi timur inilah yang dimaknai secara metafora oleh wanga Surya dengan ungkapan: “bagai matahari pagi yang datang menghilangkan gelap malam”.
Kemunculan atau terbitnya ilmu pengetahuan atau peradaban manusia di sisi paling timur ini, dimaknai secara filosofi seperti matahari yang terbit di timur lalu bergerak ke arah barat.
Jadi, ketika Wangsa Surya atau Bangsa Matahari melakukan migrasi atau penyebaran ke barat untuk membawa peradaban, itu memang didasari oleh semangat spiritualitas yang mereka usung sebagai bangsa yang pertama mendapatkan pencerahan, dan mereka percaya mengemban tanggung jawab untuk menyebarkan pencerahan tersebut ke barat seperti arah gerak matahari.
Fakta bahwa Wilayah pagi sebagai wilayah awal terbitnya matahari, pada dasarnya sangat terkait dan bisa dikatakan merupakan etimologi dari kata “Timur”.
Kuat dugaan saya jika kata “Timur” atau “Timor” atau “Temor” sesungguhnya berasal dari kata “Mori” yang berarti: Pagi. Hal ini telah saya bahas dalam tulisan berjudul: Jejak Dewi Fajar di Pegunungan Latimojong,
Sementara itu, suku kata “ti” atau “te” di depan kata “ti (te) – mor” pada dasarnya sama dengan bentuk “the” dalam bahasa Inggris, atau “de” dalam bahasa Belanda, yang fungsinya digunakan untuk merujuk pada seseorang, tempat, atau hal yang unik.
“Te-luk” adalah kata dalam bahasa Indonesia yang juga menggunakan atribut “te” seperti yang terdapat pada kata “Te-mor”. Kita ketahui, kata “teluk” dalam bahasa Indonesia hari ini didefinisikan sebagai: bagian laut yang menjorok ke darat – atau dapat pula dideskripsikan sebagai lengkungan atau cekungan yang terbentuk diantara sisi daratan dan lautan. Kata lengkung atau cekung ini bentuk sinonimnya adalah “luk”. kata “Luk” adalah kata yang sudah sangat kuno. Pada hari ini penerapan kata “luk” umumnya hanya dapat kita temukan ketika menyebut lengkungan pada keris. Demikianlah, kata “teluk” berasal dari kata dasar “luk” yang mendapat bentuk “te” atau “the” atau “de” di depannya.
Kita lanjut…
Kata “mori” yang berarti “pagi” adalah kata yang sudah sangat kuno. hadir di masa-masa awal peradaban manusia di muka bumi. Makna “mori” yang berarti “pagi” dapat kita temukan jejaknya pada kata “Murai” yang artinya adalah burung yang berkicau pagi hari, atau pun pada ucapan “Mrena” yang merupakan ucapan selamat pagi dalam bahasa orang Maori (penduduk asli Selandia Baru).
Bahkan, kata “morning” dalam bahasa Inggris bisa dikatakan berasal dari bentuk “mori” ini. Dalam situs merriam-webster.com dijelaskan bahwa bentuk dasar kata “morning” adalah: “morn” yang mendapat suffix -ing.
Melalui metode pencermatan morfologi Bahasa dengan menggunakan pendekatan fonetik altikulatoris, kita dapat melihat bahwa variasi bentuk yang dapat muncul dari morfologi kata “Mori” adalah: poni – poli – pori – podi – poti – boni – boli – bori – bodi – boti – woni – woli – wori – wodi – woti – moni – moli – mori – modi – moti. (Metode pendekatan fonetik altikulatoris telah saya ulas dalam tulisan lain. di artikel “Formula Kunci Mengurai Sejarah” dan juga di artikel Genetik Aksara Nusantara, Formula Kunci Mengurai Sejarah)
Salah satu variasi tersebut adalah “poni” yang merupakan bentuk dasar dari nama bangsa Phonecia.
Bentuk nama Phoenicia dalam Yunani kuno adalah “Phoinikes”, sementara dalam Latin adalah “Poeni”. Dari kedua bentuk ini, dapat kita asumsikan bentuk sederhananya adalah “Poni”.
Identitas Bangsa Phoenicia yang terkait dengan “citra matahari pagi” tergambar jelas pada pengistilahan nama kawasan mereka bermukim di ujung timur Laut Mediterranean, yang menghadap ke arah barat, yang disebut sebagai “Sea of the Rising Sun” (Laut Matahari Terbit).
Teluk Boni yang terletak di pulau Sulawesi pun pada dasarnya terkait dengan makna “pagi”. Namun untuk lebih lengkapnya silahkan anda baca dalam artikel saya yang lain: “Negeri Pagi”, Identitas Nusantara di Masa Kuno.
Demikianlah, Nabi Adam atau dalam tradisi Lokapala dipersonifikasi sebagai Dewa Indra, sebagai dewa penjaga arah timur, sisi “pagi hari” peradaban manusia di muka bumi.
Dewa Kubera Penjaga Arah Utara
Dalam tradisi Lokapala Dewa Kubera menduduki Graha (benda langit) atau planet Mercury. sementara di sisi lain, dalam mitologi Mesir kuno dikenal ada nama Dewa Set, yang menurut astronomi Mesir kuno, umumnya dikaitkan dengan planet Merkurius. Sama-sama menempati Mercury atau Merkurius ini mengindikasikan kesamaan antara Kubera dan Set.
Adapun mengenai nama Set ini, saya perkirakan terkait dengan nama putra Nabi Adam, yaitu Nabi Seth.
Yang menarik karena jika saya mengidentifikasi nama Seth menurut aksara Hanzi, hasilnya terdiri dari tiga huruf yaitu: “se” artinya “warna”; “tu” artinya “bumi”; dan “huang” yang artinya “kuning”. (lihat image berikut)
Identifikasi nama “Seth” yang kurang lebih menunjukkan makna “bumi warna kuning” setidaknya memiliki keterkaitan dengan identitas Dewa Kubera yang dalam mitologinya akrab dengan identitas warna kuning atau emas.
Bahkan dalam buku Vettam Mani “Puranic Encyclopaedia: A Comprehensive Dictionary With Special Reference to the Epic and Puranic Literature (1975: 434) disebutkan bahwa Kubera memiliki nama Ekaksipingala yang artinya “orang yang memiliki satu mata kuning”.
Dari beberapa fakta ini, saya menduga jika Dewa Kubera adalah personifikasi dari Nabi Seth (putra Nabi Adam).
Dengan mempertimbangkan bahwa Kubera adalah penguasa atau penjaga arah utara, lalu, arti nama Seth (yakni “bumi warna kuning”), serta arti nama lain kubera (Ekaksipingala = “orang yang memiliki satu mata kuning”), maka, kuat dugaan saya jika negeri di utara yang dimaksud adalah Negeri Cina. Karena kita ketahui, kaisar pertama, atau kaisar mitologis Cina, dikenal dengan sebutan “Huang Di” artinya “kaisar kuning”.
Dari nama Kaisar Kuning inilah muncul sebutan Yellow River (sungai kuning). Dan nampaknya, besar kemungkinan jika Kaisar Huang Di ini gelar lain dari Kubera atau Nabi Seth.
Dewa Varuna Penjaga Arah Barat
Sebagaimana telah saya sebutkan di atas, Varuna adalah personifikasi Nabi Idris. Hal ini telah saya bahas panjang lebar dalam artikel “Sosok Nabi Idris di Berbagai Tradisi Agama dan Mitologi, serta Rahasia yang Meliputinya“, karena itu untuk pembahasan mengenai Varuna atau Nabi Idris silahkan membaca artikel tersebut.
Dalam bahasa Indonesia, kata “barat” kita kenal sebagai salah satu arah mata angin. Namun sebenarnya, “bharat” merupakan nama kuno untuk wilayah yang berada di asia selatan, yang hari ini kita kenal dengan sebagai India.
Dewa Yama Penjaga Arah Selatan
Dalam agama Hindu, Yama juga disebut sebagai Yamaraja. Merupakan salah satu nama dewa dalam naskah Rigveda. Ia dikenal sebagai penguasa alam kematian.
Statusnya dalam Lokapla sebagai Penjaga Arah yang mewakili arah selatan, bisa dikatakan selaras dengan arah selatan yang dalam konsep kosmologi kuno merepresentasi alam bawah atau alam kematian atau neraka. Bahkan banyak sejarawan menganggapnya merupakan analogi dari Hades, dewa Yunani yang menguasai dunia bawah.
kuat dugaan saya jika wilayah selatan yang menjadi wilayah kekuasaan dewa Yama, tidak hanya dimaknai sebagai “dunia bawah”, lebih dari pada itu, ia merujuk suatu wilayah geografis tertentu, sebagaimana dewa Kubera yang menempati negeri Cina di Utara, dan Dewa Varuna yang menempati Bharat yang kita kenal sebagai India pada hari ini.
Untuk Mengidentifikasi wilayah Selatan milik Dewa Yama ini, ada beberapa informasi dari masa lalu yang bisa menjadi dasar pertimbangan kita.
Salah satunya adalah sebutan orang “Celate” atau “Cellate” yang diberikan oleh orang-orang di barat bagi pelaut-pelaut yang datang dari Nusantara pada masa kuno. Kata “celate” atau “Cellate” ini jelas identik dengan kata Selat.
Dalam Ilmu geografi kita mengenal istilah “Paparan Sunda” untuk nama landasan benua wilayah Indonesia bagian barat (meliputi Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera). Tapi tahukah anda apa arti nama “sunda” yang sebenarnya?
Dalam bahasa Norse Kuno (Bahasa Skandinavia Kuno atau bahasa Jermanik Utara yang dituturkan oleh orang-orang Skandinavia di sekitar abad ke-7 hingga abad ke-15. ), kata “sund” bisa berarti “sebuah selat”. (Penjelasannya bisa dibaca di sini), lalu, terdapat pula kata “sunthaz” dalam bahasa Proto-Germanic yang berarti “selatan”. (sumber di sini)
Di masa kuno, orang di Cina daratan menyebut wilayah nusantara dengan nama “nan-hai” yang berarti “laut selatan”.
Selain itu, nama dataran “kedu” di jawa tengah pun sebenarnya bermakna “selatan”. Kita dapat menelusurinya pada etimologi kata “ketu” ( Sansekerta : केतु , IAST : Ketú ) bermakna sebagai simpul bulan yang menurun, yang berarti “selatan” dalam tradisi astrologi Hindu yang terdapat dalam kitab Weda. (sumber di sini)
Demikianlah, kata “selatan” yang kita kenal hari ini sebagai salah satu nama arah mata angin, pada dasarnya berasal dari kata “selat” yang mendapat akhiran -an.
Dan nampaknya sebutan “Cellate” (bagi orang Portugis), ataupun “Saleeters” (bagi orang Inggris), merujuk pada “Orang-orang Selat”, yakni “orang laut”, atau “orang Bajou” yang memang banyak bermukim di berbagai perairan laut di wilayah Nusantara sejak masa kuno.
Kaitan antara Dewa Yama sebagai penguasa arah Selatan, dengan Orang Bajou yang mendapat sebutan “orang selat” di masa kuno, akan kita temukan hubungannya setelah kita menggali beberapa layer (lapisan) lebih dalam terkait jati diri keduanya.
Dalam bahasa Sanskrit, Yama berarti “kembar” atau bisa juga berarti “sama”. [Thomas Egenes. Introduction to Sanskrit – Part 2, 2000: hlm. 132]
Suku Bajo atau Bajau menyebut diri mereka “Orang Sama”. [Adrian B. Lapian. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, 2009: hlm. 80]
Salah satu alasan yang muncul diberikan atas asal usul nama “sama” tersebut, adalah bahwa mereka percaya merupakan keturunan dari Sam bin Nuh.
Demikianlah, Yama bisa jadi memang personifikasi dari Sam bin Nuh.
Dalam suatu riwayat, ketika Nabi Isa menghidupkan Sam bin Nuh, Isa bertanya mengenai usia hidup Sam. Sam menjawab bahwa ia hidup selama 4000 tahun, dan terangkat menjadi nabi di usia 2000 tahun. Sehingga dari riwayat ini, kita dapat mengetahui jika Sam bin Nuh juga adalah seorang nabi.
Perubahan fonetis antara bentuk ‘sama’ dan ‘saba’ memang sangat dimungkinkan, dimana m dan b adalah bagian dari kelompok fonetis artikulatoris labial yang dalam banyak kasus bahasa sering kita jumpai saling bertukar satu sama lain. Seperti nama Raja Namrud yang dalam bahasa Ibrani disebut Nimrod, sementara bentuk Yunaninya adalah Nebrod.
Perubahan fonetis antara ‘sama’ dan ‘yama’ pun dapat kita lihat berpeluang terjadi. Transisinya melalui fonem /s/ yang kadang dibunyikan /c/ dan /j/, dan /j/ yang kadang dibunyikan /y/.
Dengan demikian, variasi perubahan fonetis yang dapat terjadi pada kata ‘yama’ antara lain:
yama, jama, cama, sama
yaba, jaba, caba, saba
yawa, jawa, cawa, sawa
yapa, japa, capa, sapa
Diantara variasi di atas dapat kita lihat terdapat kata ‘saba’ dan ‘jawa’.
Dari hal ini, dapat kita simpulkan jika nama ‘jawa’ nampaknya berasal dari nama Dewa Yama. Status Dewa Yama sebagai penguasa selat-an, sejalan dengan kenyataan bahwa arti nama sunda di masa kuno sebenarnya adalah “selatan”. Sementara itu, kita ketahui pulau Jawa juga disebut “sunda besar”.
Salah satu bentuk variasi lain dari ‘yama’ yang perlu mendapat perhatian adalah ‘jama’. Saya melihat ada kemungkinan jika bentuk ‘jama’ adalah bentuk anagram dan terkait erat dengan bentuk kata ‘maja’. Ini bisa jadi jawaban mengapa ada banyak toponim di pulau Jawa yang menggunakan kata ‘maja’. Seperti: Majalengka, Majalaya, Mojokuto, Mojokerto, dan banyak lagi.
Toponim Mojokuto dan Mojokerto yang secara harfiah bermakna “kota maja”, tentunya menggelitik pemikiran kita untuk berasumsi bahwa bisa jadi wilayah di pulau Jawa yag bertoponim demikian, di masa yang sangat kuno mungkin merupakan tempat Yama atau Sam bertahta.
Adanya tokoh Yamadipati dalam pewayangan Jawa tentunya sejalan atau katakanlah mendukung asumsi tersebut. Kata ‘Dipati’ dapat berarti “penguasa”, Jadi Yamadipati kurang lebih berarti: Penguasa Yama.
Aspek lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah nama Yama yang berarti “kembar” dalam sanskerta, bisa dikatakan sinonim dengan makna kata ‘sama’ yang dalam bahasa Indonesia berarti “serupa”.
Yang jika kita tinjau dalam bahasa daerah di Nusantara, kata “sama” disebut “padha” dalam bahasa Jawa juga bahasa Tae yang digunakan orang Sulawesi Selatan.
Yang menarik karena kata “padha” terdapat dalam konsep mitologi Jawa yang menyebutkan bahwa ada 3 dunia, yaitu: Mayapada (dunia para dewa atau surga), Madyapada (dunia manusia atau bumi), Arcapada (dunia bawah atau neraka).
Makna Arcapada sebagai dunia bawah atau neraka tentunya sejalan dengan status Yama sebagai penguasa dunia bawah, alam kematian, atau Neraka dalam konsep Lokapala.
demikianlah, uraian makna kata “Yama, Sama, dan Padha” di atas, jelas menunjukan adanya terkaitan satu sama lain.
Siklus keterkaitan semacam ini bisa dikatakan sebagai sebuah fakta “kesatuan kosmologi”. Ini mengajarkan kepada kita bahwa: “Suatu puzzle mitologi yang berasal dari bangunan “kesatuan kosmologi” yang sama, akan senantiasa menunjukkan hubungan genetik dengan cara seperti ini.”
***
Demikianlah, dari kesemua uraian di atas dapat kita lihat jika empat Dewa dalam konsep Lokapala adalah personifikasi dari 4 orang nabi di masa kuno. Yang menarik karena susunan dari posisi Timur (Adam), Utara (Seth), Barat (Idris), dan Selatan (Sam), Selain searah siklus terbit matahari (berlawanan arah jarum jam), formasi tersebut juga terlihat tersusun menurut urutan generasi di antara mereka.
Sekian apa yang wajib saya sampaikan. Semoga bermanfaat. Salam.