Ketika kita mencari tahu asal-usul nama ‘Jawa’, di Wikipedia kita dapat temukan sajian narasi bahwa “hal itu dapat dilacak pada kronik berbahasa Sanskerta yang menyebut adanya pulau bernama Yavadvip(a) (dvipa berarti “pulau”, dan yava berarti “jelai” atau juga “biji-bijian”).
Penjelasan tersebut merujuk pada apa yang disampaikan Thomas Stamford Raffles dalam bukunya “The History of Java” (1965: hlm. 3). Dan tampaknya ini adalah argumen asal usul nama ‘Jawa’ yang paling banyak tersebar luas selama ini.
Ron Hatley memberikan dugaan lain bahwa kata ‘Jawa’ berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia yang berarti “rumah” (“Mapping cultural regions of Java” in: Other Javas away from the kraton. pp. 1–32)
Selama itu, sebutan ‘Jawa’ oleh para ilmuwan sejarah biasanya dianggap terkait dan merupakan bentuk perubahan fonetis dari kata “saba” yang memang banyak ditemukan dalam catatan-catatan kuno.
Kata ‘saba’ dianggap transliterasi dari sebutan ‘She-po’ yang merupakan sebuah toponim dalam kronik cina kuno untuk suatu negeri di wilayah laut selatan (nan hai) yang kita kenal sebagai nusantara atau Indonesia pada hari ini.
Senada dengan hal ini, Giovanni de Marignolli, seorang musafir katolik terkemuka dari Eropa yang berkelana ke Cina pada abad-14 Masehi, menyampaikan dalam catatan perjalanannya bahwa, ketika ia dalam perjalanan pulang dari Cina untuk kembali ke Avignon (Italia), ia memutuskan menggunakan jalur laut, setelah sebelumnya menggunakan jalur darat untuk memasuki wilayah Cina, yang dengan demikian, memungkinkan ia untuk dapat mampir di Nusantara dan India.
Dalam perjalanan pulang ini ia mengatakan menyempatkan diri mengunjungi negeri Saba yang disebut dalam kitab suci, yang ia temukan masih dipimpin oleh seorang ratu.
Ia menyebut kerajaan itu terletak di pulau paling indah di dunia. Dinding istana dihiasi dengan gambar-gambar historis yang bagus; kereta dan gajah banyak digunakan, terutama untuk para wanita; ada gunung yang sangat tinggi, yang disebut Gybeit atau “Yang Terberkati.”
Ratu memperlakukan dengan baik para pelancong dengan menghadiahkan mereka ikat pinggang emas; ada beberapa orang-orang Kristen di sana.
Mencermati catatan Marignolli ini, dapat diduga bahwa negeri ‘saba’ yang ia datangi tersebut adalah jawa, dan kerajaan yang ia kunjungi adalah majapahit yang pada saat itu dipimpin oleh Tribhuwana Tunggadewi segera setelah Raja Jayanagara mangkat.
Hal ini sejalan dengan fakta yang ditunjukkan dalam piagam Berumbung yang dikeluarkan oleh Rani Tribhuwana Tunggadewi pada tahun Saka 1251 bulan Bhadra atau sekitar Agustus-September 1329 Masehi. Waktu ini sesuai dengan kisaran tahun perjalanan Marignolli di asia. (Piagam Berumbung, 1329, disinggung oleh N.J. Krom _dalam “Epigraphisce Aanteekeningen XIII”, T.B.G. LVIII, hlm. 161; diumumkan pada tahun 1915 dalam O.V., no. 2, hlm. 68; dibahas oleh F.H. van Naerssen dalam B.K.I. 1933, hlm. 239-258).
Dr. Maharsi dalam kamus Jawa Kawi Indonesia (Pura Pustaka, 2009) menganggap bahwa kata “Saba” berasal dari kata bahasa Jawa kawi yaitu ‘Saba’ yang berarti “pertemuan” atau “rapat”. Dengan demikian kata itu menurutnya dapat diartikan sebagai “tempat bertemu”.
Senada dengan pernyataan Dr. Maharsi, Fahmi Basya dalam bukunya “Indonesia Negeri Saba”, lebih menginterpretasikan bahwa kata tersebut berarti “tempat bertemu”, “tempat berkumpul”, atau “tempat berkumpulnya bangsa-bangsa”.
Demikianlah informasi yang sejauh ini mengemuka dalam khasanah literatur kita terkait asal usul nama ‘Jawa’.
Jawi dan Jawa
Mengenai sebutan ‘jawi’, William Edward Maxwell memberi penjelasan dalam “A Manual of the Malay Language: With an Introductory Sketch of the Sanskrit Element in Malay” bahwa, ‘jawi’ berasal dari bahasa Arab, dibentuk sesuai dengan aturan tata bahasa Arab dari kata benda Jawa / Java. Sama seperti ‘Makkah’, ‘Meccah’, yang memunculkan derivasi ‘Makk-i’ atau ‘maki’.
Yang menarik, terkait fenomena sebutan ‘Jawi’, William Edward Maxwell mengatakan bahwa di masa kuno ada koloni Melayu dan Jawa yang cukup besar di Mekah, di mana semua orang Mekah dikenal tanpa pandang bulu sebagai Jawi. Ini selaras dengan hipotesis saya dalam banyak tulisan sebelumnya – misalnya dalam artikel: Diskursus ‘Diaspora Yaman’ – yang mengungkap bahwa di masa kuno, orang-orang dari wilayah timur (spesifiknya dari Nusantara) yang merupakan bangsa pelaut ulung, telah melakukan migrasi dan membuat koloni-koloni di wilayah barat.
Selain jejak mereka dapat ditemukan di wilayah timur tengah hari ini (seperti yang disampaikan Maxwell di atas), jejak lainnya dapat pula ditemukan di Asia tengah, dan terutama di Madagaskar. Hal ini telah saya bahas dalam artikel “Jejak Pedagang Nusantara di Asia Tengah pada Masa Kuno”.
Keberadaan koloni Melayu dan Jawa yang cukup besar di Mekkah pada masa kuno yang disebut Maxwell, kuat dugaan saya terkait dengan hipotesis yang saya bahas dalam artikel “Ini Beberapa Catatan Kuno yang Menyebut Nusantara sebagai Negeri Saba”.
Dalam artikel tersebut saya mengulas bahwa klaim Nusantara sebagai “Negeri Sabah” yang hanya didasari pertimbangan adanya beberapa toponim di Nusantara yang dianggap mirip dengan nama “Saba atau Sabah”, seperti “Wonosobo, sabah, dan masih banyak lagi,” akan menemukan kesulitan serius ketika dihadapkan pada sanggahan dan klaim serupa bahwa terdapat pula toponim atau etnonim yang identik dengan Saba di wilayah belahan bumi lain, yang “bahkan” didukung dengan bukti-bukti yang lebih konkrit berupa manuskript kuno dan berbagai artefak lainnya.
Contohnya “kebra nagast”. Sebuah catatan kuno dari abad ke-14, yang berisi penjelasan tentang bagaimana Ratu Syeba (Ratu Makeda dari Ethiopia) bertemu Raja Salomo dan tentang bagaimana Tabut Perjanjian datang ke Etiopia dengan Menelik I (Menyelek). Terkait hal ini, David Allan Hubbard menjelaskan Dalam tulisannya “The Literary Sources of the Kebra Nagast” (Dissertation. University of Saint Andrews,1956).
Juga terdapat temuan arkeologis di wilayah Yaman (Arab selatan) mengenai eksistensi kerajaan Saba di wilayah tersebut pada masa kuno. Sebagaimana yang dijelaskan Israel Finkelstein dan Neil Asher Silberman (2007) dalam buku “David and Solomon: In Search of the Bible’s Sacred Kings and the Roots of the Western Tradition” yang menegaskan negeri Saba letaknya di Arabia Selatan.
Menghadapi fakta-fakta yang lebih kronkrit seperti itu, akan menyebabkan klaim “Nusantara sebagai Negeri Sabah” rentan dipandang sebelah mata, atau pun dianggap sebagai “pseudosains” yang secara sarkastis biasanya disebut dengan istilah “cocokologi” oleh netizen di dunia maya.
Dan hal ini pula yang saya lihat membuat para ilmuwan sejarah di Indonesia “terkesan” tidak terlalu tertarik untuk membahas tema ini. Bisa dikatakan bahwa mereka ada di posisi yang menganggap bahwa klaim “Nusantara sebagai Negeri Sabah” adalah hal yang tidak ilmiah, pseudosains, dan bahwa membahas hal itu berpotensi dapat menyebabkan rusaknya “reputasi keilmiahan atau reputasi scientist” mereka… 🙂
Tapi sebenarnya, klaim “Nusantara sebagai Negeri Sabah” bukanlah sebuah klaim yang lemah. Ada banyak sumber literatur dari masa kuno yang menunjukkan Nusantara sebagai negeri Sabah.
Sebutan Nusantara sebagai Sabah atau Saba, Selain dapat kita temukan bentuk transliterasinya dalam banyak kronik Cina (yakni She-po atau Cho-po), dapat pula kita temukan dibahas dalam catatan “The Geography” Ptolemy yang menyebutkan wilayah ini sebagai Sabadeiba. Begitu pula dalam catatan perjalanan Giovanni de Marignolli (yang sudah saya bahas di atas).
Bahkan, dengan pertimbangan merujuk pada kisah yang diriwayatkan dalam kitab suci bahwa, negeri saba adalah negeri Ratu Balkis (istri Nabi Sulaiman), maka, keterkaitan Negeri Saba dengan wilayah nusantara dapat pula kita temukan diungkap dalam catatan “Tuhfat al-Nafis” Raja Ali Haji Ibn Ahmad, yang kemudian diterjemahkan oleh Virginia Matheson and Barbara Watson Andaya (1982) dengan judul “The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis) Raja Ali Haji Ibn Ahmad”.
Dalam buku tersebut terungkap bahwa ...Raja-raja Bugis yang melakukan perjalanan ke barat dari tanah Bugis berasal dari Sitti Mallangkik, Ratu dari sebuah negara bernama Luwu. Beberapa tradisi Bugis menduga bahwa ia berasal dari Puteri Balkis, Ratu Sheba, yang merupakan istri dari Nabi Sulaiman.
Penentuan Zona Waktu di masa kuno menguatkan klaim Nusantara sebagai Negeri Saba
Terlepas dari kesemua sumber literatur tersebut, saya pribadi menganggap bahwa hipotesis adanya pembagian zona waktu di masa kuno adalah fakta yang tak terbantahkan untuk klaim “Nusantara sebagai Negeri Sabah”. Pembahasan mengenai hal ini telah saya ulas dalam artikel “Ini Alasan Pada Masa Kuno Nusantara Disebut Negeri Sabah atau Negeri Pagi (Pembagian Zona Waktu di Masa Kuno)“.
Dalam tulisan tersebut saya mengurai hipotesis bahwa di masa kuno telah ada konsep pembagian zona waktu di muka bumi menurut posisi matahari di langit. Hal tersebut dbuktikan dengan adanya jejak toponim yang maknanya bisa dikatakan identik dengan nama waktu (pagi, siang, sore, dan maghrib), dan terletak pada posisi garis bujur yang terbagi rata, yakni masing-masing berjarak 45 derajat (atau berjarak 3 jam).
Dengan asumsi bahwa gerak semu matahari pada siang hari dari timur ke barat membentuk sudut 180 derajat (setengah sisi bola bumi), dan dengan merujuk pada penentuan titik meridian 0 derajat berada di Greenwich (sebagaimana kesepakatan yang berlaku di dunia modern sekarang ini), maka pembagian zona waktu di masa kuno tersebut dapat kita lihat tersusun sebagai berikut:
- Zona jam 06.00 (terbit fajar paling awal) berada di garis bujur 180 derajat – posisinya di negara Tuvalu di Pasifik;
- Zona jam 09.00 (pagi) berada di garis bujur 135 derajat – posisi Waktu Indonesia Timur;
- Zona jam 12.00 (siang) berada di garis bujur 90 derajat – posisi Bangladesh/ wilayah teluk Benggala, dan sekitarnya;
- Zona jam 15.00 (sore) berada di garis bujur 45 derajat – posisi Mesir, Irak, dan sekitarnya;
- Zona jam 18.00 (terbenam matahari) berada di garis bujur 0 derajat, posisi Maroko ataupun Greenwich dan sekitarnya.
Penjelasannya sebagai berikut…
Setelah matahari terbit di ujung timur, lalu bergerak ke arah barat, matahari butuh waktu 3 jam untuk tiba atau terbit di Wilayah Indonesia Timur (WIT), butuh waktu 4 jam untuk tiba dan terbit di Wilayah Indonesia Tengah (WITA), dan butuh waktu 5 jam untuk tiba dan terbit di Wilayah Indonesia Barat (WIB).
Jadi, ketika matahari terbit di ketiga wilayah Indonesia ini, pada saat yang bersamaan di ujung timur bumi (Tuvalu) jam telah menunjukkan pukul: 9, pukul 10, dan pukul 11. Hal inilah yang mendasari orang-orang di masa kuno menyebut wilayah Nusantara sebagai “Negeri Sabah”, yang berarti “Negeri Pagi”. Kita ketahui, dalam bahasa Arab “sabah” berarti “pagi, yang mana identik dengan kata Subuh dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, Sabah atau Subuh pada dasarnya sama-sama berarti: Awal Hari, atau pagi.
Selanjutnya, Matahari butuh 6 jam bergerak ke arah barat untuk tiba dan terbit di wilayah bergaris bujur 90 derajat (wilayah Bangladesh dan sekitarnya), sehingga pada saat yang sama, di Tuvalu telah menunjukkan tepat pukul 12 siang. Wilayah Bangladesh ini kemudian disebut sebagai “Negeri Siang” atau “Negeri tengah hari” oleh orang-orang di masa kuno.
Hal ini dibuktikan dengan adanya toponim “Madyanagar bazar” yang terletak tepat di garis bujur 90 derajat di wilayah Bangladesh.
Dalam bahasa Sanskrit kata “madhyAhna” berarti siang atau tengah hari. Dengan demikian dapat diduga bahwa bentuk etiomologi Madhyanagar berasal dari kata “madhyAhna” yang berarti “siang” atau “tengah hari”; dan “nagar” yang berarti “Negeri”. Jadi, kemungkinan pada masa lalu daerah ini disebut: “Negeri madhyAhna” atau “Negeri Siang” atau “Negeri Tengah Hari”.
Adapun kata ‘bazar’ pada toponim “Madyanagar bazar” adalah bermakna “pasar”. Jadi, secara keseluruhan, makna “Madyanagar bazar” kurang lebih adalah: “Pasar Negeri Tengah”.
Dalam ulasan artikel yang lain “Temuan Jejak (Terkini) Orang Madyan, Aikah, dan Rass yang Disebut dalam Al-Quran“, saya telah mengungkap pula jika kaum Nabi Syuaib yang bernama Madyan, yang dalam kitab suci diriwayatkan diazab oleh Allah akibat melakukan kecurangan dalam kegiatan perdagangan atau jual beli, sesungguhnya berasal dari wilayah ini. Strategisnya negeri mereka yang tepat berada di tengah antara timur dan barat, menjadikan wilayah mereka kemudian dijadikan pusat pasar yang melayani pedagang yang datang dari arah timur maupun barat.
Selanjutnya, matahari Butuh 9 jam bergerak ke arah barat untuk tiba dan terbit di wilayah bergaris bujur 45 derajat (wilayah Mesir, Irak, dan sekitarnya), sehingga pada saat yang sama, di Tuvalu telah menunjukkan jam 15 sore; dan, Butuh 12 jam bergerak ke arah barat untuk tiba dan terbit di garis bujur 0 derajat (wilayah Maroko, atapun Greenwich, dan sekitarnya), sehingga pada saat yang sama, di Tuvalu telah menunjukkan jam 18 petang/ Maghrib.
Agar lebih ringkas, untuk mendapatkan pembahasan lebih rinci mengenai wilayah bergaris bujur 45 derajat dan wilayah bergaris bujur 0 derajat, silahkan anda baca pada artikel “Ini Alasan Pada Masa Kuno Nusantara Disebut Negeri Sabah atau Negeri Pagi (Pembagian Zona Waktu di Masa Kuno)“, atau dalam artikel “Temuan Jejak (Terkini) Orang Madyan, Aikah, dan Rass yang Disebut dalam Al-Quran“.
Demikianlah, ada banyak fakta dari masa kuno yang dapat menjadi rujukan dan sekaligus penguat klaim “Nusantara sebagai Negeri Sabah” yang sesungguhnya.
Secara pribadi saya berpandangan bahwa keberadaan Kerajaan Saba di Yaman (Arab Selatan) dan Kerajaan Saba di Ethiopia, merupakan wujud dari migrasi atau penyebaran orang-orang Nusantara pada masa kuno ke wilayah barat, yang membangun koloni baru disana, dengan tetap menggunakan nama atau identitas awalnya.
Hal inilah sebenarnya yang diungkap Maxwell bahwa “di masa kuno ada koloni Melayu dan Jawa yang cukup besar di Mekah, di mana semua orang Mekah dikenal tanpa pandang bulu sebagai Jawi”. Koloni tersebut menduduki wilayah Yaman (Arab Selatan) di mana kerajaan Saba memang pernah berdiri.
Wilayah Arab Selatan ini adalah tempat bermukim “Orang Thay” orang-orang yang bermigrasi dari Asia Tenggara yang membawa budaya bertanam padi di jazirah Arab di masa kuno. Hal ini telah saya bahas dalam artikel “Thay, Suku Kuno di Asia Tenggara dan Jazirah Arab: Pionir Pertanian Padi”.