Dalam dunia sastra dan seni dikenal arketipe karakter “Perempuan mematikan”, yang merupakan terjemahan dari bahasa Prancis “Femme Fatale“.
Ini adalah karakter tokoh perempuan yang biasanya digambarkan memiliki kecantikan, daya pesona yang kuat, yang dapat menjerat laki-laki sehingga takluk dalam kendali permainannya.
Kemampuannya yang dapat memikat “korbannya” (yang umumnya laki-laki) sedemikian rupa sehingga seperti terhipnotis, menyebabkan karakter perempuan seperti ini dianggap telah mengembangkan suatu kemampuan supernatural dalam dirinya, atau setidaknya akrab dengan penggunaan mantra sihir dan prilaku mistik.
Dalam karya fiksi, karakter “femme fatale” biasanya dapat kita temukan diterapkan pada sosok tokoh vampir, penyihir, atau iblis yang seksi, yang mampu menguasai korban-korbannya lantaran wibawa serta kecantikannya.
Menurut Virginia Allen, salah satu ciri paling umum dari femme fatale yaitu “promiscuity” (pergaulan bebas, atau, persetubuhan dengan siapa saja), dan “penolakan menjadi seorang ibu”. Ini dipandang sebagai salah satu kualitasnya yang paling mengancam karena penolakan “garis keturunan”, mengarah pada kehancuran akhir pria yang takluk olehnya.
Femme fatale biasanya jahat, atau setidaknya ambigu secara moral, dan selalu dikaitkan dengan rasa mistifikasi, dan kegelisahan.
Ambiguitas moral, kegelisahan, dan kesedihan, juga merupakan “drama” yang kerap mereka mainkan. Ini umumnya berhasil menaklukkan pria yang berniat ingin mengayomi.
Ini dilema. Sikap Gentlemen memang kode etik yang menghadirkan persepsi yang elegan bagi seorang laki-laki, tapi, di sisi lain, hal itu juga merupakan titik lemahnya.
***
Banyak kritikus dan penulis sastra telah menelusuri sejarah femme fatale. Virginia Allen misalnya, menggunakan bukunya “The Femme Fatale: Erotic Icon” untuk menempatkan Femme fatale dalam konteks global dan historis.
Secara umum, Allen mencatat perkembangan perempuan dalam seni sebagai ilustrasi proto-femme fatale. Khususnya, dia membahas bagaimana Salome, putri Herodias yang menari untuk Raja Herodes dan tamunya, lalu mengikuti arahan dari ibunya, ia meminta hadiah kepala Yohanes Pembaptis ketika Raja Herodes dalam keadaan mabuk mengatakan akan mengabulkan permintaan gadis itu sebagai imbalan atas hiburannya.
Salome digambarkan dalam tiga lukisan terpisah sepanjang waktu sebagai wanita yang sangat berbeda. Lukisan pertama adalah Salome dengan Kepala Yohanes Pembaptis (Gambar 1) oleh pelukis Barok Guido Reni. Di dalam lukisan itu dia digambarkan sebagai orang yang sederhana dan awet muda. Dia bahkan tidak mengangkat kepala itu, melainkan disajikan kepadanya di atas piring, dipegang oleh seorang pelayan.
Dalam lukisan selanjutnya oleh pelukis Simbolisme Prancis Gustave Moreau berjudul The Apparition (Gambar 2), Salome ditampilkan telanjang, meskipun detail alat kelaminnya tidak diilustrasikan. Di depannya adalah kepala Yohanes Pembaptis yang bersinar dari alam kubur. Salome berdiri kokoh dan jauh lebih aktif dalam lukisan ini jika dibandingkan lukisan sebelumnya.
Contoh terakhir dari transisi sejarah visualisasi artistik Salome yang dibahas Allen adalah J’ai Baise Ta Bouche, Iokanaan (“I have Kissed your Mouth, Iokanaan“) (Gambar 3) oleh pelukis Inggris Aubrey Beardsley, yang ia lukis untuk drama Oscar Wilde Salome. Dalam penggambaran ini, Salome telah sepenuhnya menyadari dirinya sebagai tipe femme fatale non-erotis. Dia memegang kepala Yohanes Pembaptis yang berdarah, amarah di matanya, bersiap untuk menciumnya, rambutnya berdiri seolah-olah terdiri dari ular.
Mohini, “Femme Fatale” yang Merampok Akal Sehat Dewa Siwa
Mohini adalah dewi Hindu. Dia adalah satu-satunya avatar wanita dari dewa Wisnu. Dia digambarkan sebagai femme fatale, seorang wanita yang menggunakan mantra sihir, terutama untuk membuat seseorang atau sesuatu di bawah pengaruh dan kendalinya. ia membuat gila kekasihnya, terkadang membawa mereka ke malapetaka.
Nama Mohini berasal dari akar kata kerja moha, yang berarti “mempesona, membingungkan, atau mengecewakan”, dan secara harfiah berarti “delusi yang dipersonifikasikan”. Dalam budaya Baiga di India Tengah, kata mohini berarti “sihir atau mantra erotis”. Nama tersebut juga memiliki konotasi tersirat dari “esensi kecantikan dan daya pikat wanita .”
Mohini memiliki sejarah aktif dalam penghancuran setan di seluruh teks Hindu. Dalam Wisnu Purana, Mohini mengalahkan Bhasmasura, “setan abu”.
Kisahnya bermula ketika Bhasmasura berdoa kepada dewa Siwa dengan melakukan penebusan dosa yang parah. Siwa yang senang, lalu memberinya kekuatan untuk mengubah siapa pun menjadi abu dengan menyentuh kepala mereka.
Bhasmasura lalu memutuskan untuk mencoba kekuatan itu terhadap Siwa sendiri. Siwa lalu berdoa kepada Wisnu untuk meminta bantuan. Wisnu berubah menjadi Mohini dan memikat Bhasmasura.
Begitu terpikatnya Bhasmasura sehingga dia meminta Mohini untuk menikah dengannya. Mohini setuju, tapi hanya dengan syarat Bhasmasura mengikuti gerakannya dalam sebuah tarian. Saat menari, dia meletakkan tangannya di atas kepalanya. Bhasmasura meniru tindakan tersebut, dan pada gilirannya, mereduksi dirinya menjadi abu.
Legenda Bhasmasura ini diceritakan kembali dalam teks Buddha Satara Dewala Devi Puvata, dengan sedikit variasi. Dalam kisah ini, Wisnu mengambil wujud kewanitaannya (nama “Mohini” tidak digunakan) dan memikat Bhasmasura. Wisnu perempuan meminta Bhasmasura berjanji untuk tidak pernah meninggalkannya dengan cara meletakkan tangannya di atas kepalanya, seperti kebiasaan bersumpah di atas kepala. Dengan melakukan itu, Bhasmasura menjadi abu.
Mengenai cerita tentang Mohini dan Siwa, dikisahkan dalam versi India Selatan Bhagavata Purana bahwa, setelah Wisnu berhasil menipu setan Bhasmasura, Siwa melihat Mohini. Dia menjadi “kehilangan rasa malu dan dirampok oleh akal sehatnya,” berlari dengan gila di balik bentuk yang mempesona, sementara istrinya Parvati (Uma) melihat.
Siwa dikalahkan oleh Kama (cinta dan keinginan) dalam versi mitologi ini. Benih Siwa jatuh ke tanah menciptakan bijih perak dan emas. Wisnu kemudian menyatakan bahwa emosi sulit untuk diatasi, dan menyatakan bahwa Maya (ilusi) akan menjadi setengah dari aspek Ardhanarisvara Siwa. Siwa kemudian memuji kekuatan Wisnu.
Tripurarahasya, teks Shakta India selatan, menceritakan kembali ceritanya, memberi lebih banyak arti penting bagi Dewi Mohini. Ketika Siwa ingin melihat wujud Mohini Wisnu lagi, Wisnu khawatir ia akan dibakar menjadi abu seperti Kamadeva oleh pertapa tertinggi Siwa.
Jadi, Wisnu berdoa kepada dewi Tripura, yang memberikan setengah dari kecantikannya kepada Wisnu, melahirkan wujud Mohini. Saat Siwa menyentuh Mohini, benihnya tumpah, menunjukkan hilangnya pahala yang diperoleh melalui semua pertapaannya.
Dalam Brahmanda Purana ketika orang bijak yang mengembara ‘Narada’ memberi tahu Siwa tentang wujud Mohini Wisnu yang menipu setan, Siwa menolaknya. Siwa dan istrinya Parvati pergi ke rumah Wisnu. Shiva memintanya untuk mengambil bentuk Mohini lagi sehingga dia bisa melihat transformasi sebenarnya.
Wisnu tersenyum, sekali lagi bermeditasi pada Dewi dan mengubah dirinya menjadi Mohini. Dikuasai oleh keinginannya, Siwa mengejar Mohini sementara Parvati menundukkan kepalanya karena malu dan iri. Shiva meraih tangan Mohini dan memeluknya, tapi Mohini membebaskan dirinya dan berlari lebih jauh. Akhirnya, Siwa meraihnya dan “hubungan kekerasan” mereka mengarah pada keluarnya benih Siwa yang jatuh ke tanah dan dewa Maha-Shasta (Sang Penghukum Agung) lahir. Mohini menghilang, sementara Siwa kembali ke rumah dengan Parvati.
***
Karakter femme fatale bisa dikatakan hadir hampir di setiap masa dalam rentang panjang lintasan sejarah dan budaya umat manusia.
Contoh Mitos atau legenda kuno yang termasuk di antaranya adalah: Lilith, Mohini, Circe, Medea, Clytemnestra, Lesbia, Tamamo no Mae dan Visha Kanyas. Contoh dari zaman Klasik termasuk Cleopatra dan Messalina, serta tokoh-tokoh Alkitab Delilah, Izebel, dan Salome. Contoh dari sastra Cina dan sejarah tradisional adalah Daji.
Di masa modern sekarang pun, karakter seperti ini tetap hadir. Bahkan, budaya hedonis dan pergaulan bebas yang berkembang pesat dewasa ini bisa dikatakan merupakan masa keemasan mereka untuk tampil maksimal dengan segala potensi bawaannya.
Mereka ada hampir di setiap lapisan. Dari tukang goda level kelurahan hingga level celebriti jetset. Media sosial menjadi ladang garapan yang paling menjanjikan buat mereka. Saya tidak akan menunjukkan siapa-siapa saja contoh, karena saya cukup yakin pembaca sekalian bisa menebaknya sendiri.. 🙂