Menurut Wilhelm von Humboldt : “…karakter dan struktur suatu bahasa mengekspresikan kehidupan batin dan pengetahuan dari para penuturnya (…) Suara-suara tidak menjadi kata-kata sampai sebuah makna dimasukkan ke dalamnya, dan makna ini mewujudkan pemikiran suatu komunitas.”
Humboldt juga mengatakan: “Language is the formative organ of thought… Thought and language are therefore one and inseparable from each other.” ( Humboldt: “On Language”: On the Diversity of Human Language Construction and its Influence on the Mental Development of the Human Species. Edited by: Michael Losonsky, Translate by: Peter Heath (Cambridge University Press, 1999)
Dari dua pernyataan Humboldt di atas, kita dapat memiliki gambaran bahwa, dalam bahasa yang kita warisi hari ini terekam alam pikiran orang-orang sebelum kita dari semenjak ribuan tahun yang lalu.
Dengan demikian, kegiatan penggalian asal usul suatu kata, pada dasarnya merupakan upaya untuk dapat menemu-kenali seperti apa alam pemikiran leluhur kita di masa kuno tentang kehidupan dunia yang mereka tinggali.
Masalahnya, bahasa yang kita gunakan pada hari ini sebagai warisan dari masa lalu, kenyataannya, dalam perjalanan ribuan tahun terus mengalami morfologi, yakni perubahan bentuk secara fonetis maupun pergeseran makna.
Terkait masalah morfologi yang terjadi dalam bahasa, semestinya, kita pun harus menimbang pula fakta bahwa sesungguhnya, kita mewarisi banyak “ketidakjelasan”.
Memang tak dapat dipungkiri, meskipun ada banyak “ketidakjelasan” dalam bahasa yang kita warisi, tetapi sejauh ini dengannya, kita tetap dapat merintis dan menjalani abad demi abad yang tercerahkan.
Tapi bagaimana jika seandainya bagian-bagian yang tidak jelas dalam bahasa yang kita warisi itu dapat kita ketahui makna sebenarnya dari semenjak awal? kemungkinannya, kita memiliki kehidupan dunia yang jauh lebih tercerahkan. Bukan saja secara duniawi tetapi juga secara spiritual.
Dalam kesempatan ini, terkait pembahasan saya mengenai adanya ketidakjelasan dalam bahasa, saya ingin mengulas mengenai etimologi kata ‘semesta’ yang ternyata memiliki makna yang jauh lebih dalam dari yang kita ketahui selama ini.
Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal kata ‘Semesta’ yang dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bermakna: seluruh; segenap; semuanya, dan kesemestaan= keuniversalan .
Sebagaimana kosakata dalam bahasa Indonesia lainnya, kata ‘semesta’ dapat pula kita telusuri keberadaannya dalam bahasa Sanskrit dengan bentuk “samasta”, yang artinya: semua; seluruh; segala.
Jadi, makna kata ‘semesta’ yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia sejalan dengan makna kata ‘samasta’ dalam bahasa Sanskerta.
Sebenarnya, makna kata ‘semesta’ yang kita kenal hari ini adalah merupakan suatu bentuk pergeseran makna.
Untuk mengetahui makna awal dari kata ‘semesta’ kita harus mencari kata dasarnya terlebih dahulu.
Upaya ini dapat dimungkinkan, oleh karena dalam tata bahasa Indonesia kita masih dapat menemukan banyak contoh di mana bentuk ‘se’ kita ketahui bermakna “satu”. Contoh “sebuah” berarti: satu – buah. Jadi, dapat diduga jika suku kata ‘se’ pada kata ‘se-mesta’ adalah bentuk imbuhan yang bermakna “satu”.
Mengenai bentuk ‘mesta’ atau ‘masta’, memang kita tidak menemukannya ada dalam khasanah bahasa Indonesia, tetapi, dalam bahasa lain di dunia bentuk kata ini masih dapat kita temukan.
Dalam rumpun bahasa Indo-Eropa terdapat kata ‘masta’ yang bermakna : tuan/ majikan. Ini merupakan bentuk awal untuk kata “master” dalam bahasa Inggris modern.
Dalam bahasa Jepang, terdapat pula kata “masta” atau “masuta” yang kurang lebih berarti: pemilik atau yang menguasai.
Saya menduga kata ‘masta’ ini juga terkait dengan “Ahura Mazda” yakni sebutan untuk Tuhan dalam tradisi Avestan di Iran kuno, sayangnya, etimologi yang berkembang hari ini menyebutkan ahura= tuan, mazda= kebijaksanaan.
Jika kita mencermati bentuk lain dari Ahura Mazda yakni ‘hormazd‘ atau ‘ohrmazd‘, sebenarnya kita dapat melihat jika bentuk ‘hor’ atau ‘ohr’ di depan mazd ada kemungkinan terkait dengan kata ‘all’ yang berarti “semua” dalam bahasa Inggris. Ini dengan merujuk pada pertimbangan adanya perubahan fonetis r ke l (atau sebaliknya) pada suku kata tersebut.
Dengan demikian, jika kata ‘mazda‘ bermakna “tuan” maka, ohr-mazda mestinya berarti: tuan semuanya atau segalanya.
Sampai di sini, tentunya pembaca dapat melihat adanya kesamaan etimologi kata ‘semesta’ dalam bahasa Indonesia dengan makna ohr-mazda, yaitu sama-sama menyandang makna: semuanya/ segalanya.
Hanya saja, pada makna ‘ohr-mazda’ masih terdapat kata “tuan” sementara pada makna ‘semesta’ dalam bahasa Indonesia dan Sanskerta makna “tuan” telah hilang.
Sepintas, hilangnya makna “tuan” dari kata “semesta” mungkin kita akan kita anggap tidak terlalu berpengaruh, tetapi sebenarnya, ditataran pemahaman spiritual, hal ini sangat luar biasa besar pengaruhnya.
Perlu pembaca pahami bahwa, bentuk awal dari kata ‘tuhan’ adalah ‘tuan’. Hal ini telah dibahas bapak Remy Sylado dalam tulisannya “Bapa Jadi Bapak, Tuan Jadi Tuhan, Bangsa jadi Bangsat” (Kompas, 11 September 2002). Jadi yang dimaksud “tuan” dalam etimologi kata ‘semesta’ dan ‘ohr-mazda’ di atas adalah “Tuhan Penguasa Alam Semesta”.
Etimologi Universe (alam semesta) dalam bahasa Inggris dan bahasa rumpun Indo-Eropa lainnya
Aspek Spiritualistik pada makna kata ‘semesta’ dan ‘ohr-mazda’ yang secara jelas merujuk pada Allah, Tuhan Penguasa Tunggal Alam Semesta, sebenarnya juga terdapat pada etimologi kata ‘universe’ (alam semesta) dalam bahasa Inggris. Hanya saja, lagi-lagi penyimpangan makna telah terjadi di sini.
Pada hari ini, asal usul kata ‘universe’ umumnya Dianggap berasal dari kata ‘univers’ (Old French) dan dari ‘universum’ (Latin), yang berarti: semua hal/ secara keseluruhan/ utuh/ kolektif.
Bentuk ‘uni‘ dianggap berasal dari ‘unus’ – oi-no (Proto Indo Eropa), yang berarti “satu”. Sementara bentuk ‘verse‘ dianggap berasal dari kata ‘versus’ atau ‘vertere’, yang berarti: kembali/ berbalik/ memutar.
Etimologi ‘universe’ yang demikian ini, yang secara umum dapat kita temukan dalam banyak literatur di barat, saya melihatnya sebagai kenyataan bagaimana pemahaman sekuler telah diterapkan, yang menafikan keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, dengan beranggapan bahwa alam semesta ini berada dalam proses siklus yang tiada henti.
Jika saja etimologi ‘universe’ berasal dari: uni = satu kesatuan, dan verse = ayat, yang berarti “kesatuan ayat-ayat” maka pemaknaan yang dihasilkan menjadi sangat religius. Makna ini akan selaras dengan pemahaman dalam Islam bahwa alam semesta adalah “Ayat Kauniyah” (ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya).
Mengapa orang di barat begitu jauh mengambil bentuk ‘versus’ untuk dijadikan sebagai akar kata ‘verse’? sementara, sesungguhnya mereka akrab dengan kata ‘verse’ untuk mengatakan ‘ayat’ dalam Alkitab? Saya pribadi melihat hal ini tidak lain merupakan bentuk “pembajakan” paham sekuler.
Demikianlah, kata ‘semesta’ yang pada awalnya menggambarkan pemahaman monoteis leluhur kita di masa kuno, dalam perjalanan ribuan tahun kemudian, entah di titik mana telah “dibajak” maknanya, sehingga di masa sekarang kita mewarisinya dalam bentuk makna yang tidak lagi utuh.