Dalam tradisi Buddhisme disebutkan, Mara adalah raja iblis yang datang menggoda Pangeran Siddhartha (Buddha Gautama) yang duduk di bawah pohon Bodhi, untuk menghalanginya mencapai pencerahan.
Sebagai pribadi yang nyata, Mara dianggap sebagai dewa yang menguasai surga tertinggi dari alam indria (kamavacara), dan juga disebut sebagai dewa yang memegang kekuasaan atas hal yang bukan ciptaannya (dewa paranimmitavasavatti).
Selama 7 tahun Iblis Mara mengikuti Sang Buddha untuk mencari kelemahan dalam dirinya. 6 tahun sebelum Pencerahan dan 1 tahun setelahnya.
Upaya Iblis Mara dalam menentang Buddha sebelum dan selama pencerahannya banyak dikisahkan dalam kitab Buddhis. Misalnya, diceritakan dengan sangat rinci dalam Buddhacarita , yang ditulis sekitar 100 M oleh penulis Buddhis Ashvagosha.
Dalam Buddhacarita, diceritakan bahwa ketika Buddha duduk di bawah pohon bodhi, Iblis Mara waspada terhadap pencerahan yang akan datang ini. Sebagai penguasa kematian dan kenikmatan indria, Iblis Mara menyadari kesuksesan Buddha akan berarti akhir dari pemerintahannya. Meskipun sia-sia, dia memutuskan untuk mencoba mengganggu Buddha dan mencegah pencerahannya.
Iblis Mara memulainya dengan mencoba menggoda Buddha dengan janji kemuliaan dan kesenangan, yang dengan mudah ditolak Buddha, yang mengetahui bahwa itu tidak ada artinya.
Mara lalu menggunakan kekuatan untuk melawan Buddha. Ia muncul sebagai iblis yang mengerikan dan mengirimkan pasukan makhluk jahat yang mengerikan, bertekad untuk menghancurkan tubuh Buddha. Mereka meluncurkan tembakan panah ke arah Buddha yang berubah menjadi bunga dan jatuh ke tanah tanpa membahayakan Buddha. Buddha kemudian meminta bumi menyapu kesemua iblis itu dengan banjir – bumi menuruti.
Kegagalan juga dialami tiga putri Mara yang juga mencoba merayu Buddha. Buddha mengenali mereka sebagaimana adanya, dan tidak terpengaruh oleh mereka.
Akhirnya Mara mengolok-olok Buddha, dan mengatakan kepadanya bahwa pekerjaannya tidak ada artinya, karena tidak akan ada orang yang mengakui pencapaiannya. Buddha menjawab bahwa bumi akan menjadi saksinya, dan setelah menyentuh tanah, bumi bergetar karena setuju. Mara mengakui kekalahannya, namun, dia bertekad untuk terus mengganggu Buddha dan para pengikutnya.
Asal Usul Mara
Beberapa kalangan mengajukan pandangan bahwa, Mara mungkin memiliki lebih dari satu preseden dalam mitologi pra-Buddha. Misalnya, mungkin saja dia didasarkan pada beberapa karakter yang sekarang terlupakan dari cerita rakyat populer.
Guru Zen Lynn Jnana Sipe dalam “Reflections on Mara” menunjukkan bahwa gagasan tentang makhluk mitologis yang bertanggung jawab atas kejahatan dan kematian ditemukan dalam tradisi mitologis Veda Brahmana dan juga dalam tradisi non-Brahmana, seperti tradisi Jain. Dengan kata lain, setiap agama di India tampaknya memiliki karakter seperti Mara dalam mitosnya.
Mara juga tampaknya didasarkan pada setan kekeringan atau kemarau (drought) dari mitologi Veda bernama Namuci, kata Jnana Sipe.
Meskipun Namuci awalnya muncul dalam Kanon Pali sebagai sosok tersendiri, ia kemudian diubah dalam teks Buddhis awal menjadi sama dengan Mara, dewa kematian.
Dalam demonologi Buddha, sosok Namuci, dengan asosiasi “permusuhan yang menyebabkan kematian,” dianggap sebagai penyebab “kekeringan,” hal ini kemudian diambil dan digunakan untuk membangun simbol Mara.
Jadi, ‘Namuci’ (penahan, atau penentang pembebasan) sebagai aspek Mara yang mengancam kesejahteraan umat manusia, diinterpretasikan bukan menahan hujan musiman (dalam makna sebenarnya) tetapi dalam artian menahan atau mengaburkan pengetahuan tentang kebenaran.
Menurut Ananda W.P. dalam “The Buddha’s Encounters with Mara the Tempter” hampir tidak mungkin untuk mencoba mengumpulkan narasi yang koheren mengenai Mara.
Senada dengan hal ini, dalam “Dictionary of Paali Proper Names” Profesor GP Malalasekera menyatakan bahwa “legenda tentang Mara, di dalam buku, sangat rumit dan menentang segala upaya untuk mengungkapnya.”
Ananda W. P. Guruge menulis bahwa Mara memainkan beberapa peran berbeda dalam teks-teks awal dan terkadang tampak menjadi beberapa karakter yang berbeda. Terkadang dia adalah perwujudan kematian; kadang-kadang ia mewakili emosi yang tidak terampil atau keberadaan atau godaan yang terkondisi. Terkadang juga disebutkan sebagai sosok dewa.
Kata “Mara” Dalam Tinjauan Bahasa
Kata “Mara” dianggap berasal dari bentuk Sansekerta dari akar kata kerja ‘mr’. Ini terkait pula dengan kata kerja dalam bahasa Indo-Eropa ‘mer‘ yang berarti “mati, menghilang”. Kenyataan bahwa kata ini sangat tersebar luas dalam bahasa Indo-Eropa menjadi dasar untuk anggapan bahwa kata ini berasal dari masa yang sangat kuno.
Bentuk kata ini misalnya ditemukan dalam Old English: maere, Old Dutch: mare, Proto-Slavia: mara, Old High German: mara, Old Norse: mara , dan Swedish: mara.
Dalam cerita rakyat di Jerman dan Slavia, nama ‘mara’ terkait tentang entitas berbahaya yang naik di dada ketika orang sementara tidur, membawa orang itu pada suatu mimpi buruk. Karena itu, ‘mara’ dianggap sebagai asal dari frasa “nightmare” yang berarti “mimpi buruk”.
TO Ling menyatakan bahwa Mara adalah perpanjangan dari kerangka demonologi Hinduisme ke dalam tradisi Buddhis. Dia menyatakan bahwa Mara memenuhi syarat sebagai yakkha, kata Pali untuk roh alam (Sanskrit yaksha).
Ling mencatat bahwa yakkha dan Mara menyerang korban mereka di malam hari, berusaha untuk mengalihkan perhatian spiritual orang-orang. Ia dapat mengubah bentuk menjadi semua perilaku makhluk yang menakutkan, dan secara rohani dapat merasuki makhluk fana.
Demikianlah, cerita rakyat mengenai sosok ‘mara’ yang demikian menyebar luas, serta juga menghadirkan bentuk-bentuk ungkapan baru dalam perbendaharaan bahasa di dunia, menunjukkan ia adalah hal yang telah sangat lama mengiring kehidupan manusia. Dalam artian ia berasal dari masa yang sangat kuno.
Momok menakutkan yang dihadirkan ‘Mara’ dalam rentang panjang sejarah umat manusia mungkin dalam beberapa hal dapat disejajarkan dengan ‘Lilith’.
Pertanyaannya, mengapa sosok paling menakutkan dalam sejarah umat manusia senantiasa berjenis kelamin wanita?