Terdapat banyak literatur tentang Bugis yang ditulis oleh para peneliti dari Eropa setidaknya mulai dari abad ke-18 hingga ke-19, yang saya pikir cukup objektif mengurai profil kesejarahan Bugis sebagaimana adanya.
Salah satu yang menarik adalah yang ditulis oleh Thomas Stamford Raffles dalam buku “The History of Java” Volume II (1817: Hlm. clxxxiii-clxxxiv) yang bercerita tentang pelaut dan pedagang dari Celebes.
Dalam buku yang ia susun selama masa tugasnya di Nusantara tersebut, Raffles menggambarkan kekagumannya terhadap suku Bugis, bukan saja dalam hal pelayaran dan perniagaan, tapi juga dalam hal karakter yang menurutnya memiliki kesamaan dengan klan-klan dari Inggris utara.
Mengenai ‘orang-orang Waju’ yang disebut Raffles sebagai pelaut yang mendominasi perdagangan luar negeri, yang membentuk kru hampir semua perahu-perahu orang Bugis yang menavigasi Laut Timur, sepertinya, yang dimaksudkannya itu, tak lain adalah orang Bajou atau Bajoe (penyebutan Bugis).
Terkait hal ini, James Cowles Prichard dalam Researches Into the Physical History of Mankind: History of the Oceanic and of the American Nations. Vol. V (1847: hlm. 90) menjelaskan sebagai berikut:
‘Biaju’ mungkin sama dengan ‘Baju’ atau ‘Badju’ dan ‘Waju’, istilah yang dipergunakan di pesisir Makassar di Sulawesi, dan juga untuk orang-orang tidak umum yang hidup di atas laut di prahu, dan yang resor utamanya adalah pantai timur Kalimantan dan pantai barat pulau Sulawesi.
Orang-orang yang disebutkan terakhir ini biasanya disebut ‘Badju Laut’, atau ‘Badju dari laut’. Orang Waju dari Sulawesi adalah orang-orang yang lebih terpelajar daripada Biaju dari Kalimantan, dan peradaban mereka tampaknya sezaman dengan orang-orang Bugis Celebes, yang mana adalah tidak mungkin untuk membedakan mereka.
Di Singhapore orang-orang Waju umumnya disebut Bugis. Marsden mengatakan bahwa mereka disebut Tuwaju. Saya tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa Biaju atau Baju Dayak, Badju atau Baju Laut, Waju atau Tuwaju, dan Bugis atau Ugi adalah satu dan orang yang sama, dengan hanya sedikit variasi dalam sopan santun yang merupakan hasil dari pemisahan dan hubungan dengan orang asing.
Dalam buku “Penjelajah Bahari” (2008: Hlm. 99) merupakan terjemahan dari judul asli: “The Phantom Voyagers“, Robert Dick mengungkap hal yang sama bahwa bahasa dan kebiasaan-kebiasaan orang Bajo, seperti halnya orang bugis yang merupakan “sepupu” mereka, mengalami perubahan secara konstan sebagai akibat dari hubungan mereka dengan bangsa-bangsa lain.
Lebih lanjut Robert Dick mengatakan bahwa Kemauan mereka untuk mengambil dan menggunakan bahasa-bahasa dari penduduk yang mendiami pulau-pulau merupakan bagian penting yang harus dicatat.
Hal tersebut bahkan berlaku hingga benda-benda yang penting bagi ke hidupan mereka, seperti istilah-istilah yang berhubungan dengan kapal, yang dianggap sebagian orang tidak akan mengalami perubahan.
Adrian Horridge, yang memahami permasalahan itu dengan baik pada 1970-an dan 1980-an, menulis: “Sebagai pelaut yang sering berkelana ke sana-kemari, mereka sangat cepat mengadopsi bahasa lokal dan mulai menggunakan kata-kata dalam bahasa tersebut untuk menyebut perahu dan peralatan mereka, dan hal itu sungguh amat mencengangkan.”
Sebaliknya, ada pula fakta bahwa orang-orang Bajo, Bugis, Makassar, Mandar, dan kelompok-kelompok lain yang masih memiliki kekerabatan yang mendominasi “dunia perahu”, masing-masing memiliki istilah yang sangat berbeda untuk bagian-bagian dari perahu.
Adanya perbendaharaan kata khusus untuk bagian-bagian tertentu dari perahu, dan juga beragamnya nama jenis kapal, menunjukkan fakta adanya pengembangan secara bertahap dalam periode yang sangat lama.
Selain keahlian bahari mereka, bangsa Bugis mempunyai reputasi sebagai pedagang dan juga prajurit yang setia sekaligus kejam. Selama berabad-abad mereka merupakan pemain utama dalam pengangkutan rempah-rempah, kayu cendana, mutiara, ambergris, damar, sarang burung walet yang dapat dimakan, sagu, dan sirip ikan hiu yang dikeringkan, untuk diperdagangkan di Cina bagian selatan.
Ketika Portugis datang pada awal 1500-an, bangsa Bugis juga telah dikenal sebagai bajak laut yang menjual hasil rampasan mereka hingga ke Malaka (baca pembahasan mengenai Malaka, terutama di masa Portugis di sini dan di sini).
Bahkan pada 1970-an, sekitar dua ratus kapal yang dikenal sebagai kapal pinisi milik bangsa Bugis yang beratnya antara 120-200 ton, masih bisa ditemukan memenuhi pelabuhan Sunda Kelapa di dekat Jakarta, dan lebih banyak lagi di Surabaya atau Ujung Pandang. Dan pada 1980-an, armada yang terdiri dari 800 pinisi masih membawa kayu dalam rute reguler dari Kalimantan ke Jawa.
Bangsa Bugis juga merupakan koloni bahari yang sukses, yang berhasil mendirikan pos-pos perdagangan hampir di setiap pelabuhan Indonesia. Pada abad ke-l7, mereka bahkan mengambil alih kerajaan Johor, dan dalam kurun waktu 1820-1830, pada masa masa pembentukan Singapura, bangsa Bugis sudah memiliki tempat tinggal di sana.
William Marsden (1754-1836) seorang orientalis berkebangsaan Inggris, dalam bukunya The History of Sumatra (1784: hlm. 172) mengatakan:
“Orang-orang Bugis Makassar yang datang tiap tahun untuk berdagang di Sumatra dianggap para penduduk setempat sebagai teladan dalam cara bersikap, bangsa Melayu meniru gaya berpakaian mereka, serta membuat pantun-pantun yang memuji pencapaian mereka. Reputasi mereka tentang keberanian, yang melebihi semua pelaut di perairan bagian timur, mendapat sanjungan khusus.
Mereka juga memperoleh rasa hormat dari barang-barang mahal yang mereka datangkan, serta semangat yang mereka tunjukkan ketika membelanjakannya dalam permainan sabung ayam dan opium”.
Menurut H. Kahler (1975); Di Afrika Selatan, Cape Melayu disebut Slameiers, yang terkontaminasi oleh Selam (istilah Melayu untuk Islam) dan Maleier (nama Afrika untuk Melayu).
Pada abad 17 dan 18, mereka rupanya disebut Bugis, Bougise atau Bugunesen, nama penduduk bagian selatan Celebes(Sulawesi). [H. Kahler. “Der Islam Bei Den Kap-Malaien” – Handbook of Oriental Studies. Section 3 Southeast Asia, Religions, Religionen, Leiden, E. J. Brill, 1975, hlm. 127]
Kontroversi Pelras dalam Buku “Manusia Bugis”
Uraian Thomas Stamford Raffles, James Cowles Prichard, William Marsden, hingga Robert Dick di atas tentang profil orang Bugis sebagai pelaut ulung sejak berabad-abad yang lalu tentu saja sangat kontras dengan apa yang diungkap Pelras dalam bukunya Manusia Bugis:
Orang Bugis sejak berabad-abad lamanya sebenarnya merupakan salah satu suku bangsa yang paling tidak dikenal di Nusantara. Ironisnya, dari sedikit “pengetahuan” yang beredar mengenai mereka, sebagian besar di antaranya justru merupakan informasi yang keliru.
Salah satu contohnya adalah anggapan bahwa orang Bugis adalah pelaut sejak zaman dahulu kala. Anggapan itu bersumber dari banyaknya perahu Bugis yang pada abad ke-19 terlihat berlabuh di berbagai wilayah Nusantara — dari Singapura sampai ke Papua, dan dari bagian selatan Filipina hingga ke pantai barat laut Australia.
Ada pula yang mengatakan, orang Bugis pernah berhasil menyeberangi samudra Hindia sampai ke Madagaskar. Orang pun lalu beranggapan bahwa orang Bugis mungkin pelaut paling ulung yang ada di wilayah Asia Tenggara. Padahal, dalam kenyataan sebenarnya, orang Bugis pada dasarnya adalah petani. Sedangkan aktivitas maritim mereka baru benar-benar berkembang pada abad ke-18 Masehi.
Adapun perahu pinisi’ yang terkenal dan dianggap telah berusia ratusan tahun, bentuk dan model akhirnya sebenarnya baru ditemukan antara penghujung abad ke-19 hingga decade 1930-an. Demikian pula halnya dengan predikat bajak laut yang diberikan kepada orang Bugis, sama sekali keliru dan tidak mendasar. [Christian Pelras, “Manusia Bugis,” Jakarta: Nalar bekerja sama Forum Jakarta-Paris, EFEO, 2005, hlm. 3-4]
Pernyataan Pelras yang saya kutip di atas sulit untuk tidak bisa dianggap memiliki maksud-maksud tertentu. Terlepas dari dugaan saya ini, tentu saja saya sangat mengapresiasi tinggi upaya Pelras dalam menyusun buku Manusia Bugis yang kaya akan berbagai sumber literatur, tapi, pencapaian baik tersebut, saya pikir, tentu saja tidak boleh membuat kita lalai dalam memberi kritik terhadap hal-hal yang memang sudah sepatutnya mendapatkan kritik.
Sejujurnya, menjadi hal yang mengherankan bagi saya bahwa dengan materi literatur sedemikian banyak itu, pada akhirnya, malah mengantarkan Pelras tiba pada keputusan membuat pernyataan demikian.
Saya pikir, mengatakan aktivitas maritim orang Bugis baru benar-benar berkembang pada abad ke-18 Masehi, yang sementara dalam buku “The History of Java” yang ditulis Raffles pada tahun 1817 (awal abad ke 19), tergambar bagaimana telah mapannya sistem perdagangan dan pelayaran lintas benua orang-orang Bugis – hal yang bisa dikatakan membutuhkan hingga ratusan tahun untuk dapat terbentuk secara mapan seperti itu.
Dengan demikian, ini jelas menunjukkan kurangnya kedalaman analisa Pelras. Bagaimana pun juga, kemampuan navigasi dan berbagai hal terkait pelayaran bukanlah sesuatu yang dapat dikuasai secara instant, setidaknya di masa itu yang belum ada sekolah khusus pelayaran seperti masa sekarang ini. Di masa itu, kemampuan melaut adalah kemampuan yang diturunkan secara alami dari orang tua ke anak-anaknya.
Sebagai contoh kasus, dapat kita lihat pada kisah tentang Nabi Sulaiman yang meminta orang-orang Phoenicia untuk membantunya membangun sebuah armada laut dan mengajarkan orang-orangnya menguasai teknik pelayaran.
Kerjasama itu berhasil. Namun, pada akhirnya, ketika masa Nabi Sulaiman berakhir dan hubungan kerjasama pelayaran tidak lagi berlangsung dengan orang-orang Phoenicia, maka berakhir pula-lah sejarah pelayaran bangsa Ibrani.
Antropolog Gene Ammarell (direktur Southeast Asia Studies di Ohio University) dalam bukunya “Navigasi Bugis” mengatakan bahwa: tradisi melaut orang Bugis mungkin yang terbesar di dunia, aktor utama diaspora Austronesia. Gene Ammarell juga mengatakan bahwa capaian navigasi tersebut merentang setidaknya sejak 5 milenium lalu dan melingkupi dua per tiga bumi, sebelum perahu-perahu Eropa berlayar melampaui Samudera Atlantik. [Gene Ammarell, Navigasi Bugis, Makassar, Ininnawa, 2014; 2016, hlm. xiii]
Tidak ketinggalan Yuval Noah Harari mengungkap pula hal yang senada dalam buku “sapiens“:
Teori yang paling masuk akal mengajukan bahwa sekitar 45.000 tahun lalu, Sapiens yang hidup di Nusantara (sekelompok pulau yang terpisah dari Asia dan dari satu sama lain hanya oleh selat-selat sempit) mengembangkan masyarakat-masyarakat pelaut pertama. Mereka belajar bagaimana membangun dan mengendalikan perahu untuk mengarungi laut lalu menjadi nelayan, saudagar, dan penjelajah jarak jauh. [Yuval Noah Harari. Sapiens, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2017: hlm. 77]
Saya cenderung melihat bahwa apa yang diungkap Pelras tersebut di atas ada kemiripan dengan kasus Kontroversial terkait situs arkeologi Sriwijaya yang terjadi di tahun 1974 hingga beberapa tahun kemudian, yang diulas Pierre-Yves Manguin dalam tulisannya “Palembang dan Sriwijaya, Hipotesis Lama Penelitian Baru” yang terlampir dalam buku Kedatuan Sriwijaya -Seri Terjemahan Arkeologi No. 11- bahwa terjadi apa yang disebut Pierre-Yves Manguin sebagai “serangan yang paling parah”- yang datang dari sisi arkeologi lapangan pada tahun 1974.
Berikut kutipannya:
“Sebuah kerjasama gabungan antara University of Pennsylvania Museum dan Dinas Purbakala Indonesia, setelah tiga bulan penggalian di Palembang dan sekitarnya, membawa Bennet Bronson, kepala tim Amerika, pada kesimpulan-kesimpulan radikal atas persoalan itu, yang kemudian disebarkan secara luas: dalam hal apa pun, situs-situs Palembang tidak membuktikan keberadaan situs kota yang penting sebelum abad XIV atau abad XV; seluruh arca dan prasasti dari millennium pertama Masehi yang datang dari situs-situs tersebut hanyalah hasil “peletakan kembali” secara sistematis dan besar-besaran oleh sebuah Negara yang berdiri di kemudian hari dan yang berkeinginan untuk memperkuat kekuasaannya sendiri atas kawasan ini dengan memakai atribut-atribut dari luar kekuasaannya…” [Pierre-Yves Manguin. “Palembang dan Sriwijaya, Hipotesis Lama, Penelitian Baru (Palembang Barat)” dalam buku “Kedatuan Sriwijaya – Seri Terjemahan Arkeologi No. 11”, hlm. 202]
Dari sudut pandang tertentu, Statement semacam ini tentu saja bisa dilihat sebagai sesuatu hal yang sangat merugikan bagi catatan kesejarahan suatu bangsa.
Beruntung bagi Palembang/ Sriwijaya bahwa segera pada tahun 1979 ada tim yang ke Palembang untuk melakukan survey yang dikepalai Satyawati Suleiman dan O. W. Wolters, yang berhasil menetralisir keadaan tersebut.
Namun apa pun itu, dugaan terbaik yang bisa saya munculkan Terkait uraian Pelras di atas, adalah bahwa mungkin pernyataan itu didasari oleh pemahaman kelirunya yang membedakan antara orang Bugis dan orang Bajo, bahwa keahlian pelayaran adalah milik orang Bajo, sedangkan orang Bugis hanyalah seorang petani saja.
Mengenai kesamaan orang Bugis dan orang Bajo, serta seperti apa eksistensi mereka dalam pelayaran dan perniagaan di masa kuno, silakan baca pembahasannya dalam artikel ini: Jejak Pedagang Nusantara di Asia Tengah pada Masa Kuno