“Kesadaran” adalah salah satu tema perdebatan dalam ilmu pengetahuan yang telah berlangsung selama berabad-abad. Merupakan aspek yang paling akrab dan paling misterius dalam hidup kita.
Ada beragam pendapat berbeda tentang apa yang sebenarnya perlu dipelajari dan dijelaskan tentang kesadaran. Terkadang diidentikkan dengan ‘pikiran’, di lain waktu hanya merupakan aspek pikiran. Di masa lalu, dimaknai sebagai aspek “kehidupan batiniah” seseorang, seperti introspeksi, pemikiran pribadi, imajinasi dan kemauan. Jaynes, Julian (2000) [1976]
John Locke (1690) mendefinisikan kesadaran sebagai “persepsi tentang apa yang terlintas dalam pikiran seorang manusia” (“Science & Technology: consciousness”. Encyclopedia Britannica).
Juga didefinisikan pada tahun 1753 dalam karya Diderot dan d’Alembert ‘s Encyclopedie, sebagai “pendapat atau perasaan internal yang kita miliki dari apa yang kita lakukan“.
Agar pembahasan tulisan ini tidak melebar, saya ingin membatasi pengertian kesadaran sebagaimana yang dijabarkan dalam dua paragrafi di atas.
Terkait dengan definisi “kesadaran” sebagai “persepsi tentang apa yang terlintas dalam pikiran seorang manusia” atau pun “pendapat atau perasaan internal yang kita miliki dari apa yang kita lakukan” – kita dapat beranjak lebih maju dengan memikirkan seperti apa landasan filosofis yang ideal dalam menilai atau menjustifikasi hal-hal yang terlahir atau yang ditimbulkan dari “kesadaran” tersebut.
Untuk hal ini, saya melihat ungkapan Sokrates yang mengatakan : “Hanya ada satu kebaikan yaitu pengetahuan, dan hanya ada satu kejahatan yaitu ketidaktahuan,” rasanya adalah yang paling esensi.
Dari memaknai kutipan Sokrates ini, kita dapat bijak melihat bahwa apa yang sering kita vonis sebagai kesalahan yang lalu kita labeli “tindak kejahatan” pada dasarnya berasal dari “ketidaktahuan”.
Pemahaman ini sebenarnya telah dapat sukses kita terapkan dalam toleransi kita terhadap kesalahan yang dilakukan orang gila atau orang tidak waras, sayangnya, bagi kesalahan yang dilakukan orang yang kita kategorikan “orang waras”, pemahaman itu umumnya belum berhasil kita lakukan.
Ada memang sedikit toleransi bagi kesalahan yang dilakukan orang waras, biasa kita sebut sebagai tindakan “khilaf”, biasanya kita identifikasi sebagai tindakan yang tidak sempat ternalar secara semestinya akibat dorongan emosi ataupun napsu.
Namun, bagi tindak kejahatan yang didasari suatu “prinsip” ataupun “arah berpikir” yang keliru, kita sama sekali tidak memberi toleransi. Di sini kita gagal melihat kesalahan atau kejahatan sebagai akibat dari ketidaktahuan.
Padahal secara pribadi, kita memiliki refleksi atau cerminan yang dapat kita lihat dalam pengalaman hidup masing-masing, bahwa: terkadang, suatu prinsip atau apapun yang kita anggap benar akan kita jalani dan perjuangkan selama bertahun-tahun, hingga akhirnya, pada suatu titik kita menyadari jika itu adalah pilihan yang salah. Jadi, ketidaktahuan memang butuh waktu untuk berproses mencapai pencerahan.
Dalam pemahaman yang lebih holistik, kita dapat melihat bahwa perjalanan hidup sesungguhnya adalah tentang membawa berbagai ketidaktahuan ke arah pencerahan.
Lihatlah, ketika terlahir ke dunia kita semua tidak tahu apa-apa, lalu, tahun demi tahun, seiring bertambahnya usia, kita memulai perjuangan mencerahkan satu demi satu “ketidaktahuan” kita. Ada yang berproses secara cepat, ada pula yang lambat.
Jadi, setelah memahami bahwa tindakan kesalahan atau kejahatan sesungguhnya adalah akibat ketidaktahuan, apakah kamu masih merasa perlu marah terhadap individu pelaku yang belum beruntung itu?
Kutipan Sokrates “Kesadaran akan ketidaktahuan adalah awal dari kebijaksanaan” pada dasarnya tidak hanya untuk melihat ke dalam tapi juga untuk keluar, bahwa “ketika kamu telah sadar bahwa ketidaktahuan adalah aspek mendasar sesamamu manusia, maka saat itu adalah awal kamu memiliki kebijaksanaan.”
Sekian. Semoga bermanfaat.