Dalam pewayangan Baladewa digambarkan sebagai sosok yang berwatak tegas, keras hati, mudah naik darah tetapi pemaaf dan arif bijaksana.
Mengapa Allah memilih al Mahdi, sosok keras hati dan temperamental seperti Baladewa sebagai pemimpin umat di akhir zaman? Adalah karena yang diurusi al Mahdi di akhir zaman nanti bukan hanya satu kaum saja seperti tugas para nabi dan rasul sebelumnya, tetapi umat manusia di seluruh dunia yang kita ketahui jumlahnya telah mencapai milyaran saat ini.
Jumlah umat manusia yang demikian banyak dan luasnya wilayah yang harus ia tangani, menjadikannya satu-satunya utusan yang diberi otoritas yang mana tidak ada seorang pun nabi yang pernah diberikan otoritas seperti itu. Otoritas yang hanya diberikan kepada al Mahdi tersebut yaitu membersihkan dunia dan tidak membiarkan orang-orang menentang agama Allah.
Tantangan yang dihadapinya bukan saja dunia yang keras penuh bencana alam, kekeringan, bencana kelaparan, hingga pandemi, tetapi juga manusia-manusia yg berwatak apatis dan super egois, dan yang utama ia akan terus dalam kondisi berperang dengan kekuatan-kekuatan jahat (dari dunia fisik maupun astral) yang menyatu padu untuk menghancurkannya.
Untuk menghadapi kondisi-kondisi sangat sulit seperti itu, pemimpin yang keras seperti Baladewa yang memiliki disiplin tinggi, tegas menjatuhkan hukuman dengan menjunjung tinggi keadilan, kiranya menjadi satu-satunya solusi terbaik.
Untuk memahami mengapa kisah nabi Musa dan kaumnya menjadi hikmah penting untuk perjuangan al Mahdi atau Ratu Adil di masa depan, berikut ini sedikit saya ungkap gambaran seperti apa dinamika yang terjadi antara nabi Musa dan kaumnya.
Salah satu penyebab utama nabi Musa dan kaumnya terpaksa terlunta-lunta di padang pasir selama 40 tahun, adalah karena dalam kaumnya banyak terdapat orang yang suka mengeluh dan menghasut.
Dalam Al Quran surat Al Ma’idah ayat 22-24 Allah mengisahkan hal ini.
Mereka berkata, “Wahai Musa! Sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat dan kejam, kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar dari sana, niscaya kami akan masuk.” (Al Ma’idah ayat 22)
Berkatalah dua orang laki-laki di antara mereka yang bertakwa, yang telah diberi nikmat oleh Allah, “Serbulah mereka melalui pintu gerbang (negeri) itu. Jika kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman.” (Al Ma’idah ayat 23)
Mereka berkata, “Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.” (Al Ma’idah ayat 24)
Demikianlah, atas pembangkangan ini, Musa berserah diri kepada Allah, sebagaimana terekam dalam surat Al Ma’idah ayat 25: Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, aku hanya menguasai diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.”
Atas permohonan Musa tersebut, (Allah) berfirman, “(Jika demikian), maka (negeri) itu terlarang buat mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan mengembara kebingungan di bumi. Maka janganlah engkau (Musa) bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” (Al Ma’idah ayat 26)
Doa yang dipanjatkan Musa tatkala tak berdaya lagi menghadapi kaumnya, senada dengan doa para Rasul lainnya. Seperti yang dilakukan Syu’aib (QS al-A‘rāf/7:89), Sāliḥ (QS al-Mu’minūn 23/29) atau Nabi Muhammad SAW(QS al-Anbiyā’/21:112).
Seperti halnya masalah yang dihadapai nabi-nabi lainnya, Nabi Musa pun dihadapkan pada umat yang suka mengeluh. Ini dikarenakan sudah menjadi kodrat manusia demikian, sebagaimana yang diungkap Allah dalam Al Quran Al Ma’arij ayat 19: “Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh.”
Mereka ini bukan saja melemahkan dirinya secara psikis, tapi juga mempengaruhi orang-orang disekitarnya, karena ketika mengeluh mereka mengutarakannya secara terbuka di depan publik, atau dengan kata lain (disadari atau tidak disadari) tindakan mereka sesungguhnya adalah suatu bentuk tindakan menghasut.
Kisah nabi Musa dan kaumnya Inilah yang menjadi hikmah penting untuk perjuangan al Mahdi atau Ratu Adil di masa depan.
Untuk menghadapi kondisi-kondisi sangat sulit di akhir zaman, pemimpin yang keras dan memiliki disiplin tinggi, tegas menjatuhkan hukuman dengan menjunjung tinggi keadilan adalah satu-satunya solusi terbaik.
Al Mahdi bukanlah sosok yang suka berbasa-basi. Tidak perlu pujian dan jangan coba-coba “menjilat”. Ia dikarunia kemampuan dapat “membaca” isi hati karena itu tidak akan dapat dibohongi ataupun dikelabuhi.
Ketegasannya digambarkan dalam jangka Jayabaya dalam bentuk ungkapan “ujung trisula wedhanya sangat tajam, membawa maut…” – Trisula yang dimaksudkan adalah analogi dari prinsip “benar, tegak lurus, jujur”. Sementara ungkapan “membawa maut” dapat dimaknai hukuman mati bagi yang tervonis bersalah.
Demikianlah, hikmah dibalik pilihan Allah memilih pemimpin umat akhir zaman dari sosok manusia yang berwatak tegas, keras hati, mudah naik darah tetapi pemaaf dan arif bijaksana, adalah karena watak seperti itu sesuai dan dibutuhkan dalam situasi dunia yang keras dan sangat dinamis.
Watak “mudah naik darah” bukanlah watak yang sepenuhnya buruk. Watak ini memungkinkan pemiliknya cepat bersikap tegas. Tidak memberi ruang bagi orang-orang yang lihai bersilat lidah untuk melakukan manuver.