Dalam tulisan Asal Usul Kata “Bahtera” Menyimpan Gambaran Kapal Nabi Nuh yang Sesungguhnya telah saya ungkap bahwa kata ‘bahtera’ berasal dari penggabungan dua kata: baha dan tera.
Melalui tinjauan perubahan fonetis, dapat diidentifikasi jika kata ‘baha’ terkait dengan kata ‘waka‘ yang dalam bahasa Bugis kuno berarti “kapal”. Kasus perubahan fonetis antara b dan w umum, misalnya dapat kita lihat pada: Banua, panua, dan wanua.
Ada pun kata ‘waka’ sebagai makna ‘perahu’ dalam bahasa Bugis kuno, dapat kita temukan dalam kamus bahasa Bugis – Belanda yang disusun oleh B. F. Matthes (1874) “Boegineesche – Hollandsch woordenboek …“.
Sementara itu, kata ‘tera‘ dapat diduga terkait kata dalam bahasa Latin, yaitu terra yang berarti bumi, atau terrain yang berarti tanah.
Sehingga dari etimologi ini, bahtera dapat berarti: perahu bumi atau perahu tanah.
Bentuk etimologi kata ‘bahtera’ ini dikuatkan dengan adanya keidentikannya pada frase ‘wakka-tanette‘ atau ‘wakka-tana‘ yang ditemukan Matthes dalam kitab kuno I La Galigo, yang menurutnya “bermakna kapal yang sangat besar, dan mengingatkan [padanannya] pada seluruh punggung gunung (tanette) dan ke suatu negeri (tana).”
Interpretasi Matthes ini dapat dipaham, karena memang secara harfiah wakka-tanette berarti “perahu – punggung gunung”; wakka-tana berarti “perahu – negeri”.
Demikianlah, kata bahtera yang pada awalnya digunakan secara khusus untuk menyebut bahtera Nabi Nuh, bentuk etimologinya akhirnya dapat kita pahami melalui bahasa Bugis kuno, dan ditemukan padanan katanya dalam kitab I La Galigo yang merupakan karya sastra Bugis kuno.
Yang menarik, sebutan untuk banjir bah di zaman Nabi Nuh dalam bahasa Yunani kuno adalah : λοέω (loéō) atau λόω (lóō) yang berarti: Mencuci atau mandi., memiliki bunyi penyebutan yang sangat dekat dengan bentuk nama kedatuan Luwu yang merupakan kerajaan tertua di pulau Sulawesi. Bukan itu saja, jika dalam bahasa Yunani kuno banjir Nabi Nuh disebut ‘loeo’ maka dalam bahasa Middle English atau pun Old French disebut: ‘deluge’, yang artinya membanjiri, banjir besar dan/ atau air bah.
Uniknya, kata ‘deluge’ ini memiliki kesamaan bunyi penyebutan dengan kata ‘teluk’ yang mana merupakan makna untuk kata ‘look’ (bunyi penyebutan luwu’ atau luwuk) dalam bahasa Philipina.
Jadi, jika nama ‘Luwu’ ditemukan maknanya sebagai “teluk” pada kata ‘look’ dalam bahasa Philipina, maka, makna nama ‘bugis’ pun dapat ditemukan dalam bahasa Uzbek “bo’g’iz” (yang terdengar sebagai “Bugis”) yang juga berarti “teluk”.
Keidentikan ‘Deluge’ dengan ‘teluk’, dan ‘loeo’ dengan ‘luwu’ membuat saya berpikir jika kata ‘deluge’ dan ‘loeo’ yang dalam Al Kitab berbahasa Yunani kuno digunakan khusus untuk pembahasan banjir bah di zaman Nabi Nuh, pada dasarnya menyiratkan bahwa peristiwa tersebut terjadi di Sulawesi. Atau dengan kata lain, kaum yang diisyaratkan “dicuci” atau “dimurnikan” oleh banjir bah tersebut adalah kaum yang bermukim di pulau Sulawesi.
Dari keseluruhan uraian sejauh ini, setidaknya ada dua hal di Luwu, Sulawesi Selatan, yang bisa dikatakan terkait erat dengan peristiwa Banjir Nabi Nuh. Pertama, pada kata ‘bahtera’ yang penjelasan etimologinya dapat ditemukan dalam bahasa Bugis kuno atau bahasa Luwu. Kedua, kata ‘deluge’ atau pun ‘loeo’ yang dalam Alkitab kuno umumnya digunakan secara khusus untuk pembahasan banjir bah Nabi Nuh, terindikasi berasal dari nama wilayah Luwu di Sulawesi Selatan.
Dugaan ini, Di sisi lain, sinkron dengan pembahasan saya dalam tulisan-tulisan sebelumnya yang menunjukkan bahwa Pulau Sulawesi sebagai tempat awal semua bermula.
Misalnya, dalam tulisan berjudul “Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong” saya mengulas fakta-fakta yang dapat menjawab mengapa letak batu hajar aswad atau pun tawaf dimulai dari sisi timur laut Ka’bah. Bahwa nilai-nilai filosofis yang dikandungnya terkait erat dengan berbagai hal tentang gunung Latimojong.
Lalu, dalam tulisan “Gua Kuno di Latimojong dan Kaitannya dengan Tanah Suci “Shambala” juga telah saya ulas jika tanah suci Shambala yang disebut dalam naskah-naskah suci tradisi hindu dan Buddha, besar kemungkinan letaknya berada di puncak gunung Latimojong.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah pembahasan saya dalam tulisan “Pulau ‘Serendip Asli’, Letak Gua Adam Sesungguhnya” bahwa Pulau Serendip asli adalah pulau Sulawesi, dengan kata lain, gua tempat Adam dan Hawa bermukim ketika pertama kali keluar dari Surga, sesungguhnya berada di Pulau Sulawesi, dan, jika pembaca jeli, sebenarnya telah dapat menyimpulkan jika gua tersebut berada di gunung Latimojong.
Demikianlah, jika Adam dan Hawa memulai kehidupan awalnya di pulau Sulawesi maka, dapat diduga jika Nabi Nuh pun awalnya bermukim di pulau Sulawesi sebelum banjir Bah terjadi. Kesimpulan ini merujuk pada suatu riwayat yang mengatakan bahwa ketika banjir bah terjadi, salah satu yang diselamatkan Nabi Nuh ke atas bahteranya adalah jasad Nabi Adam.
Perintah untuk menyelamatkan jasadnya dari banjir bah diberikan Nabi Adam ke putranya Nabi Seth karena ia telah diperlihatkan oleh Allah bahwa akan terjadi banjir bah setelah kematiannya. Pesan tersebut lalu disampaikan Nabi Seth kepada putranya, berlanjut ke beberapa generasi selanjutnya, hingga akhirnya tiba pada Nabi Nuh.
Riwayat ini dikisahkan dalam buku The Forgotten Books of Eden (1926), edited by Rutherford H. Platt, Jr. Berikut ini kutipan pesan tersebut…
Jika merujuk pada informasi yang diberikan Irving Finkel yang didapatkannya dari tablet tanah liat beraksara cuneiform (diperkirakan berusia 3.700 tahun), yang berisi instruksi terperinci untuk membuat Bahtera atau tabut, bahwa agar bahtera tersebut tanah air, maka ia dilapisi bitumen (sejenis aspal) di sisi dalam dan luar.
Dengan hipotesis bahwa bahtera Nuh dibuat di pulau Sulawesi maka dapat diperkirakan material aspal kemungkinan besar ia ambil dari wilayah pulau Buton, Sulawesi Tenggara, yang kita ketahui merupakan daerah penghasil aspal terbaik dan terbesar di Indonesia.
Adapun wilayah yang sejauh ini saya identifikasi merupakan tempat pembuatan Bahtera Nabi Nuh, adalah wilayah bernama Nuha di Luwu Timur. Pertimbangan ini bukan saja karena nama wilayah ini identik dengan nama Nuh, tetapi juga karena wilayah ini pernah menjadi daerah penghasil kayu kualitas terbaik dan terbesar di Sulawesi Selatan.
Selain itu, ada cerita rakyat yang beredar dalam tradisi masyarakat Luwu tentang Bulu’ Poloe artinya “gunung patah” (kini merupakan pulau di dekat Malili, Luwu Timur), yang dimitoskan bahwa gunung tersebut terbelah diakibatkan tertabrak kapal welenrange (kapal besar milik Sawerigading) ketika melintas. Namun ada juga yang mengatakan jika gunung tersebut terbelah akibat tertimpa pohon welenrange ketika ditebang untuk dibuat menjadi kapal.
Dalam kitab I La Galigo disebutkan bahwa pohon welenrange adalah pohon terbesar di dunia, menjulang tinggi hingga mencapai negeri langit. Hanya dapat ditebang menggunakan kapak manurung yang diturunkan dari boting langi’ (negeri langit).
Demikianlah, keberadaan kisah epic pembuatan kapal welenrange dalam tradisi kuno masyarakat Luwu (yang terekam dalam kitab I La Galigo) bisa jadi merupakan wujud metafora untuk mengisahkan peristiwa sakral pembuatan bahtera Nabi Nuh.
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.