Hilang dalam kabut waktu, namun terekam dalam bahasa. Begitulah kira-kira nasib fakta tersebut. Walau demikian, dengan metode penelusuran etimologi suatu toponim, kita dapat mengekstraksi banyak hal terkait riwayat dari masa kuno.
Hal Ini setidaknya dibuktikan oleh hasil penelusuran saya terhadap etimologi nama Luwu dan Bugis. Saya menemukan bahwa dalam bahasa Philipina, kata look (bunyi penyebutan luwu’ atau luwuk) artinya “teluk”, sementara dalam bahasa Uzbek, kata Bo’gi’z (bunyi penyebutan bugis) juga artinya ” teluk”.
Dari hal ini kita dapat melihat bahwa nama “Luwu” dan “Bugis” besar kemungkinannya berarti “teluk” – kita dapat berasumsi bahwa kemungkinan pada masa kuno, orang-orang di sekitar teluk bone menyebut diri mereka orang teluk.
Etimologi Luwu yang berarti “teluk”, di sisi lain, terkonfirmasi dengan keberadaan terminologi “deluge” dalam rumpun bahasa Indo-Eropa.
“Deluge” adalah sebuah kata dalam bahasa Inggris yang sangat kuno (Old English), yang kemunculannya di dalam Alkitab, umumnya terkait mengenai pembahasan banjir bah di zaman nabi Nuh – Bentuknya latinnya: “diluvium”, sementara bentuk Yunani kuno: (loeo).
Dapat kita lihat bahwa kaitan nama Luwu dan teluk, tersaji nyata dalam etimologi kata deluge; dimana bunyi penyebutan kata “teluk” identik dengan kata “deluge” (Old English), sementara bunyi penyebutan kata “luwu” identik dengan kata “loeo” (Yunani kuno) – masing-masing pasangan tersebut memiliki susunan fonetik yang identik.-
Pada kata teluk dan deluge, fonetis t dan d pada suku kata te- dan de- dalam banyak kasus umum kita temukan saling bertukar, misal: the dan de, lalu akhiran -luk pada “teluk“, dan -luge pada “deluge” pun juga memiliki bunyi penyebutan yang sama.
Sementara itu, kata luwu dan loeo, jelas juga memiliki bunyi penyebutan yang sama.
Keberadaan termiologi “deluge” (Inggris kuno) atau dalam bentuk yunani kuno-nya “loeo” – yang menunjukkan kesamaan fonetis dengan kata “teluk” dan “luwu”, adalah jejak sejarah kuno manusia yang hilang dalam kabut waktu setelah berlalu dalam kurun waktu ribuan tahun.
Untuk lebih jelasnya, mohon mencermati gambar berikut ini…
Nama “Luwu” terkait dengan peristiwa Banjir Bah zaman Nabi Nuh
“Deluge” sebagai kata dalam bahasa Inggris yang sangat kuno, yang kemunculannya di dalam Alkitab, umumnya terkait mengenai pembahasan banjir bah di zaman nabi Nuh, secara tersirat menunjukkan bahwa persebaran dari Nusantara ke dunia barat terjadi setelah atau akibat terjadinya banjir bah pada masa Nabi Nuh.
Variasi bentuk leksikon “loeo – dluvium – deluge” yang maknanya berkisar pada: Great flood (banjir besar / air bah), wash (mencuci), wash away (membasuh / mencuci bersih) purify (memurnikan), cleanse (menjernihkan) – dapat pula ditemukan korelasinya pada sebuah toponim wilayah di Luwu, yaitu sebuah kampung tua bernama sassa’ yang memiliki arti “mencuci”. (dapat pembaca temukan pembahasan rincinya dalam buku luwu bugis: the antediluvian world).
Demikianlah, dari menelusuri etimologi bahasa di dunia yang pada dasarnya saling terkait, kita akhirnya dapat mengurai suatu sejarah manusia yang telah sangat kuno.
Kesamaan leksikon bahasa Yunani kuno dan bahasa Tae
Berikut ini beberapa leksikon bahasa Yunani kuno dan bahasa Tae (bahasa tradisional di Sulawesi selatan) yang saya temukan memiliki keidentikan fonetis dan kesamaan makna, yang saya rangkum dalam buku luwu bugis: the antediluvian world.
Riset linguistik yang saya tunjukkan di atas, dapat dikatakan telah memenuhi kaidah ilmiah metode komparatif linguistik, dengan membandingkan sistem fonologi yaitu terutama pada struktur fonetis yang menunjukkan keidentikan, dan sistem morfologi – dimana makna dari leksikon kedua bahasa yang dikomparasi juga menunjukkan keidentikan.
Fakta ini tentunya dapat menjadi dasar untuk mempertimbangkan keberadaan bahasa sebagai artefak sejarah yang sangat otentik.
Hal ini didasari pengejawantahan ungkapan Wilhelm von Humboldt : “…karakter dan struktur suatu bahasa mengekspresikan kehidupan batin dan pengetahuan dari para penuturnya (…) Suara-suara tidak menjadi kata-kata sampai sebuah makna dimasukkan ke dalamnya, dan makna ini mewujudkan pemikiran suatu komunitas.”
Penuturan Humboldt bahwa “suara-suara tidak menjadi kata-kata sampai sebuah makna dimasukkan ke dalamnya..” jelas dapat diartikan bahwa dalam bahasa tersimpan berita-berita tentang masa lalu yang tentunya dapat ditelusuri. Dan sejauh ini, penelusuran yang saya lakukan membuktikan hal tersebut benar adanya.
Di sisi lain, saya berpikir bahwa adalah hal yang tidak bijak untuk senantiasa menghadapkan penuntutan fakta sejarah pada keberadaan bukti arkeologis semata-mata… yang kita sangat pahami merupakan wujud materi yang rentan mengalami pengrusakan alami dalam kurun waktu tertentu, lenyap oleh bencana alam, serta bahkan pula rentan dimanipulasi ataupun dihilangkan oleh manusia itu sendiri.
Untuk kasus terakhir, kita dapat melihat contohnya, dilakukan oleh Diego de Landa (12 November, 1524 – 29 April, 1579), seorang uskup Spanyol dari Keuskupan Agung Katolik Roma yang bertugas di Yucatan (merupakan wilayah suku Indian Maya).
Beberapa kalangan sejarawan dunia menggambarkannya sebagai seorang pendeta yang kejam dan fanatik yang memimpin kampanye kekerasan. Tindakannya yang sangat disesalkan hingga hari ini adalah membakar puluhan naskah kuno dan ribuan patung Maya, tindakan yang oleh beberapa sarjana percaya sebagai upaya Diego de Landa untuk menghancurkan budaya Maya. Golongan yang membelanya, mengatakan tindakan itu sebagai tindakan melawan penyembahan berhala.
Diego de Landa diyakin telah mengatakan: “We found a large number of books, and as they contained nothing in which were not to be seen as superstition and lies of the devil, we burned them all, which they (the Maya) regretted to an amazing degree, and which caused them much affliction.”
Demikianlah, Rentetan pemikiran-pemikiran inilah yang mendasari saya untuk mendorong prinsip pemikiran bahwa bahasa adalah artefak sejarah yang sangat otentik, karena riwayat-riwayat masa lalu yang tersimpan dalam bahasa, secara alamiah terproteksi, karena Bahasa adalah organ formatif dari pemikiran yang berarti tersimpan dalam “dimensi mental”.
Ini sejalan dengan ungkapan humboldt : “Language is the formative organ of thought… Thought and language are therefore one and inseparable from each other.” ( Humboldt: “On Language“: On the Diversity of Human Language Construction and its Influence on the Mental Development of the Human Species. Edited by: Michael Losonsky, Translate by: Peter Heath (Cambridge University Press, 1999) hal. 54). Noam Chomsky banyak mengutip pendapat Humboldt terkait hubungan bahasa dan pikiran.
Jadi, mungkin satu-satunya cara menghilangkan riwayat yang tersimpan dalam sebuah bahasa adalah melakukan genosida atau pembunuhan massal penutur bahasa tersebut. Walaupun hal ini tidak sepenuhnya menjamin memberi hasil yang maksimal, karena tidak ada satu pun cara konkrit yang dapat membantu mendeteksi di mana saja keberadaaan individu penutur bahasa yang ditarget… demikianlah, bisa dikatakan, hampir tidak ada jalan untuk menghilangkan riwayat yang tersimpan dalam sebuah bahasa.
Bermigrasi ke Barat dengan membawa nama daerah asal
Yang tak kalah menarik, nama semenanjung Peloponnese di Yunani, identik dengan nama Palopo (salah satu daerah tingkat II di bekas wilayah kedatuan Luwu, Sulawesi Selatan).
Historiografi Yunani mencatat jika nama semenanjung Peloponnese berasal dari kata Pelopo-nessos yang artinya “pulau Pelops”. Namun akan lebih tepat jika sekiranya diartikan “pulau pelopo”. Nama Pelops berasal dari nama raja Pelops yang berasal dari Anatolia (Turki hari ini).
Sementara itu, di wilayah Anatolia, pada masa kuno, terdapat bangsa Luwian yang tentu saja menunjukkan kemiripan fonetis dengan kata “Luwu”.
Hari ini, istilah “Luwian” sering digunakan untuk merujuk pada bangsa yang bermukim di ujung timur Mediterania selama abad ke 10 hingga abad ke-9 Sebelum Masehi. Namun, naskah hieroglif Luwian di barat dan selatan Asia Kecil juga menunjukkan dibuat pada awal 2000 SM, Oleh karena itu, istilah Luwian juga diterapkan pada masyarakat adat yang tinggal di Anatolia barat dan selatan – selain Hattians – sebelum kedatangan orang Het dan selama pemerintahan Het.
Bangsa Luwian juga seringkali dikaitkan dengan “sea peoples” atau orang laut yang secara ganas menginvasi wilayah mesir kuno dan wilayah lain dari Mediterania Timur yang mengakibatkan peradaban Zaman Perunggu Akhir runtuh untuk selamanya (1200-900 SM). Tulisan di dinding kuil kamar mayat Ramses III di Thebes kuno (Mesir) berbicara tentang sebuah invasi dari yang disebut sebagai Bangsa Laut.
“The Sea Peoples” hingga saat ini tetap tidak teridentifikasi di mata sarjana modern, dan sumber hipotesis tentang asal usul mereka banyak bersifat spekulasi.
Memasuki era iron age, di sekitar abad 7 SM, bekas wilayah Luwian kemudian dikenal sebagai Lydia. kemudian menjadi wilayah turki untuk masa sekarang ini.
Bahasa Lydian adalah bahasa Indo-Eropa di keluarga bahasa Anatolia, terkait juga dengan Luwian dan juga bahasa “orang laut”. Bahasa Lydian akhirnya punah pada abad 1 SM. Namun dari penerjemahan sebuah prasasti Lydian, berhasil diterjemahkan kata “Bira” yang berarti: rumah.
Dari semua informasi bangsa Luwian yang dikatakan terkait erat dengan “orang laut” (sea people), dan dengan mencermati bentuk penyebutan namanya, kuat dugaan saya bahwa bentuk dasar dari nama Luwian adalah “Luw” atau “Luwu”.
Pertimbangan ini merujuk pada kelaziman orang-orang Eropa ketika menyebut “orang dengan negeri asalnya” dengan memberi akhiran –an dibelakang nama bangsa orang tersebut. Misalnya orang India akan disebut “Indian” atau orang Indonesia disebut “Indonesian”. Jadi Luwian bisa jadi berarti “orang Luw” atau “orang Luwu” atau “bangsa Luwu”.
Sementara itu, kosa kata “Bira” dalam bahasa Luwian yang berarti “rumah”, mengarahkan dugaan saya pada pertimbangan bahwa ada kemungkinan kata tersebut keterkaitan dengan suatu daerah bernama Bira di ujung selatan pulau Sulawesi, yang merupakan pusat pembuatan perahu Phinisi.
Pemikiran ini didasari fakta adanya keterkaitan yang erat antara Bangsa Luwian dengan Bangsa Laut “The Sea People“, bahwa bisa jadi asal usul bangsa Luwian di Asia Kecil pada masa kuno berasal dari para Penjelajah Laut dari pulau Sulawesi yang kemudian menjadikan nama kampung halamannya sebagai sebutan untuk “rumah” di pemukiman baru mereka.
Bentuk yang identik dengan hal ini – dimana sebutan negeri juga memiliki makna “rumah”, dapat kita lihat pada kata “Banua” yang dalam bahasa tradisional di pulau Sulawesi bisa berarti “rumah” juga bisa berarti “kampung” ataupun “negeri”.
Demikianlah, “luwian” tidak saja identik dengan “Luwu” secara fonetis, tetapi juga identik pula pada sisi tradisi kebaharian yang sama-sama kental mereka miliki.