Mihrab
Dalam tradisi agama Samawi, Mihrab dikenal sebagai tempat paling rakral dan suci dalam Baitul Maqdis (bait suci atau kadang juga disebut kuil Solomo). Ini adalah tempat di mana Maryam putri Imran (ibu Nabi Isa AS) melewatkan masa-masa kecilnya di dalam pengawasan Nabi Sakaria yang merupakan Imam Bani Israel kala itu.
Sebagai tempat paling suci di dalam kuil, Mihrab dijadikan sebagai tempat penyimpanan benda-benda sakral nan suci kaum Bani Israil. Sangat terbatas orang yang dapat mengakses tempat ini.
Istri Imran (dalam beberapa riwayat disebut bernama Hannah) yang melahirkan Maryam, pada awalnya bernazar bahwa bila ia memperoleh anak lelaki, ia akan membawanya ke rumah suci Baitul Maqdis. Anaknya akan mengabdi kepada Tuhan.
Hal ini terekam dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 35: (Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Pada saat tiba masanya Hannah melahirkan, ia tidak melahirkan anak laki-laki melainkan anak perempuan. Sesuai janjinya, Hannah lalu mengantar Maryam ke Baitul Maqdis.
Ketika itu, semua pemuka agama Bani Israel ingin mengasuh Maryam. Dalam riwayat diceritakan, untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan mengasuh Maryam, mereka bersepakat mengundinya dengan cara membuang pena (alat tulis) ke sungai. Pemilik pena yang tidak tenggelam adalah orang yang mengasuh Maryam.
Ternyata, hanya pena Nabi Zakaria yang tidak tenggelam. karena itu, Nabi Zakaria mengasuh Maryam. Kebetulan, Hannah (Ibu Maryam) dan istri Nabi Zakaria (Elisabet/ Elisyeba) adalah kakak beradik. Nabi Zakaria menempatkan Maryam di dalam Mihrab Baitul Maqdis.
Di dalam Mihrab ini Maryam banyak mendapat mukjizat salah satunya adalah mendapatkan kiriman buah-buahan dari Allah melalui perantara malaikatNya.
Hal ini terekam dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 37 yang berbunyi: Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab, dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.
Cella
Dalam budaya Hellenistik pada masa kerajaan Ptolemeus di Mesir kuno, ‘Cella’ merujuk pada apa yang tersembunyi, dirahasiakan, dan merupakan tempat paling suci pada sebuah kuil. Hanya para imam yang memiliki akses ke bagian dalam cella.
Kuil-kuil di Yunani ataupun Romawi kuno juga menyebut ‘Cella’ untuk ruangan kecil, yang dianggap paling suci tempat ibadah para pertapa atau pun biarawan. Umumnya letaknya berada di tengah bangunan, dan biasanya dihiasi gambar atau patung dewa tertentu yang dikultuskan di kuil tersebut, serta juga ditempatkan meja altar tempat meletakkan persembahan.
Pada Arsitektur kristen di masa Bizantium awal, Cella atau naos di tempatkan di area pusat gereja yang disediakan untuk melakukan liturgi. Dalam periode selanjutnya, sebuah kapel kecil atau sel biarawan juga disebut cella.
Dalam bahasa Latin di awal abad ke-12, kata cella berarti “biara kecil”, lalu kemudian dimaknai “ruangan kecil untuk seorang biarawan atau biarawati” atau “tempat tinggal seorang pertapa” di sekitar tahun 1300-an.
Para ahli bahasa menganggap kata ‘cella’ bertalian dengan kata ‘celare’ yang berarti ‘menyembunyikan’ atau ‘merahasiakan’, juga terkait dengan kata Proto-Indo-Eropa “kel” yang artinya “untuk menutupi; menyembunyikan; menyelamatkan.” (sumber di sini)
***
Lalu dari manakah sesungguhnya kata ‘Mihrab’ dan ‘Cella’ ini berasal?
Adakah kaitan antara Sebutan ‘Cella’ yang umumnya digunakan sebagai nama tempat paling suci dalam kuil pada tradisi Yunani kuno dan Romawi kuno, dengan sebutan ‘Mihrab’ sebagai nama tempat paling suci dalam kuil/ bait suci pada tradisi Semitik (akrab terlihat dalam keagamaan Yahudi maupun Islam)?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, saya akan terlebih dahulu membawa pembaca mencermati nama lain atau bentuk sinonim dari kata cella, yaitu: naos dan shrine. Ya, dalam bahasa Indo-Eropa, kata cella, naos, dan shrine, pada dasarnya merujuk pada satu makna yang sama, yaitu: kuil.
Yang menarik, etimologi ketiga kata ini (cella, naos, dan shrine) menunjukkan ada kemungkinan berakar dari makna kuno: “kapal” dan juga “pulau”.
Informasi dari wikipedia di bawah ini misalnya, menjelaskan bahwa kata ‘naos’ dalam bahasa Yunani memiliki makna “kapal”…
Di sisi lain, juga dapat diduga bahwa kata ‘naos’ merupakan derivasi dari kata Yunani ‘nesos’, ‘nisos’, atau ‘nisi’ yang berarti “pulau”. Ini terkait pula dengan kata ‘nusa’ yang dalam bahasa Indonesia juga berarti pulau.
Mengapa kata ‘naos’ memiliki makna ganda, dapat berarti “kapal” dapat pula berarti “pulau”? hal ini ada keterkaitan dengan pemahaman orang di masa kuno bahwa, terkadang mereka melihat kapal sebagai sebuah pulau (tanah atau negeri) yang terbawa angin di lautan. Hal ini dapat kita cermati dalam ungkapan melegenda “land below the wind” (tanah dibawa/terbawa angin).
Dalam kesempatan ini saya ingin pula memberi revisi pemaknaan ungkapan “land below the wind”, yaitu ungkapan yang akrab diberikan pada pelaut dari Nusantara di wilayah perairan laut Eritrea pada masa kuno. Bahwa makna kalimat tersebut bukan “tanah di bawah angin” tetapi “tanah dibawa angin” atau “tanah terbawa angin”. Dalam kasus ini, penggunaan bentuk ‘di’ yang keliru pada ‘di bawah’ dan ‘dibawa’ menghasilkan perbedaan makna yang besar.
Jadi, orang-orang di wilayah Eritrea pada saat itu, melihat kapal yang dilayari pelaut-pelaut dari Nusantara bagaikan melihat tanah atau negeri yang terbawa angin.
Kesan ini timbul karena menyaksikan segala hal yang umumnya dibutuhkan orang-orang yang bermukim di daratan, terbawa serta di atas kapal-kapal pelaut dari nusantara. Mereka tidak saja membawa bahan makanan tapi juga hewan ternak seperti ayam.
Kehidupan orang laut yang demikian tentu merupakan hal yang “masif bin epic” sehingga menimbulkan kesan mendalam bagi orang-orang yang umum hidup di daratan. Dari kesan inilah kemudian muncul ungkapan “land below the wind” (negeri terbawa angin).
Di sisi lain, tinjauan perubahan fonetis antara kata ‘pulau’ dan ‘perahu’ (di mana antara fonetis r dan l kita ketahui seringkali bertukar satu sama lain) juga pada dasarnya menunjukkan keterkaitan; pulau = purau = perahu.
Adapun mengenai sebutan “Cella” dan “shrine” saya melihat ada kemungkinan merujuk pada nama sebuah pulau yang dikenal pada masa lampau.
Dalam tulisan berjudul “Lombok Merah (Cella Passe), Nama Kuno Pulau Sulawesi” telah saya bahas hipotesis mengenai nama “lombok merah” sebagai sebutan kuno bagi pulau Sulawesi. Nama ini terekam pada pupuh 14 kakawin Nagara Kretagama, berikut ini kutipannya:
“Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantalayan di wilayah Bantayan beserta Kota Luwuk, Sampai Udamaktraya dan pulau lain-lainnya tunduk.“
Bantayan dalam kalimat tersebut merujuk pada kabupaten Bantaeng, sementara Luwuk merujuk pada wilayah tana Luwu yang kini terdiri dari empat daerah tingkat II (Luwu, Palopo, Luwu Utara, dan Luwu Timur).
Selama ini, keberadaan nama “sasak” dalam kalimat pupuh 14 telah mendasari spekulasi sebagian kalangan bahwa pulau gurun merujuk pada wilayah Nusa Tenggara tetapi, sebenarnya di wilayah tana Luwu terdapat pula daerah bernama Sassa’ yang hingga kini masih dikenal sebagai salah satu daerah di Luwu yang sangat kental dengan tradisi kunonya.
Di Desa Sassa’ terdapat Suku Limolang yang percaya bahwa mereka berbicara bahasa To Manurung (To Manurung= orang yang tiba-tiba muncul, biasanya dianggap diturunkan dari langit), yang berfungsi sebagai sejarah lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi di komunitas Sassa’.
Hal ini sebagaimana yang diungkap dalam buku “The Dynamics of Decentralization in the Forestry Sector in South Sulawesi” disusun oleh Putu Oka Ngakan, Dkk (Bogor: Center for International Forestry Research, 2005: hlm. 56) . Berikut ini kutipannya: “…The Limolang tribe, who live in Sassa village, believe they speak the To Manurung language, which functions as aspoken history passed from generation to generation in Sassa communities. Balaelo is the term used in Sassa for the leader of a Limolang tribe.”
Lalu, dalam tulisan “Pulau Serendip Asli, Letak Gua Adam Sesungguhnya” telah saya bahas jika sebutan pulau serendip atau ceylon besar kemungkinan merujuk pada pulau Sulawesi pula.
Hal yang paling menguatkan untuk hipotesis bahwa sebutan ceylon ataupun serendip sesungguhnya merujuk pada pulau Sulawesi, terdapat pada etimologi nama pulau ceylon atau Serendip. Hal ini merujuk pada Pendapat M. Ramachandran dalam bukunya “The spring of the Indus civilisation” ((1991 :34) yang mengatakan bahwa Pada masa lalu Srilanka dikenal sebagai “Cerantivu” (bentuk awal dari serendip) yang artinya “pulau Cera”.
Kata ‘tivu’ artinya “pulau” dalam bahasa Tamil, sementara kata ‘Cera’ dianggap M. Ramachandran merujuk pada Dinasti Chera yang berkuasa di India Selatan pada masa kuno. Tapi, yang menarik karena dalam bahasa lokal di sulawesi selatan, ‘cera’ dapat berarti “darah” dan lebih jauh dapat pula dimaknai “warna merah”. Lagi pula, antara bentuk ‘cera’ dan ‘cella’ dapat diduga ada terjadi perubahan fonetis antara r dan l. Kata ‘Cella’ sendiri berarti “merah” dalam bahasa lokal di Sulawesi Selatan. Jadi, Cerantivu atau pulau Cera dapat dikatakan bermakna sebagai “pulau merah”.
Demikianlah, dari penjelasan di atas, dapat kita lihat jika kata ‘cella’ merujuk pada nama sebuah pulau, sementara kata ‘shrine’ dapat diduga merupakan bentuk derivasi dari kata “seren”-dip, yang juga merupakan nama pulau, yaitu nama pulau Sulawesi di masa kuno.
***
Interpretasi filosofis yang dapat dibangun dalam mencermati fenomena sebutan “kuil” (cella, naos, dan shrine) terlahir dari makna “pulau” atau pun “kapal” pada masa kuno, adalah bahwa, bisa jadi orang di masa kuno melihat kehidupan di dunia ini analoginya seperti berada dalam sebuah lautan samudera yang luas. Kehidupan yang ada di luar kuil (di luar “pulau atau kapal”) adalah kehidupan yang liar layaknya gelombang laut yang ganas. Sementara kehidupan di dalam kuil terutama di dalam ‘cella’ adalah simbolisasi inti kesadaran yang merupakan sumber ketenangan hidup.
Konsep tersebut kuat dugaan saya terlahir dari bangsa Phoenicia (Fenesia), sebuah bangsa berjiwa bahari yang dalam sejarah tercatat memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan terbukti memberi sumbangsih ilmu pengetahuan dan ajaran kehidupan keagamaan yang signifikan dalam perkembangan peradaban manusia. Hal ini telah saya bahas khusus dalam artikel berjudul: Tamsil Kebaharian dalam Dimensi Keagamaan.
Dalam artikel tersebut saya mengulas paparan Prof. Vladimir Braginsky dan Prof. Abdul Hadi W.M. yang mengungkap dominannya simbol tentang laut, kapal atau perahu, dan segala hal yang terkait dengan laut dan perahu, digunakan dalam puisi sufi Melayu untuk menggambarkan perjalanan ruhani atau pengalaman mistik.
Kata “merah” yang diserap untuk makna “pulau”, “negeri”, ataupun “kapal” dalam beberapa tradisi suku bangsa di dunia.
Entah apa yang merasuki beberapa bangsa di dunia sehingga mereka memilih menggunakan kata-kata yang sesungguhnya “bermakna merah” untuk menyebut kata “pulau, negeri, ataupun kapal” dalam perbendaharaan bahasa mereka.
Ini misalnya tersaji pada sebutan kata pulau dalam bahasa Icelandic yaitu “eyja” yang pada dasarnya bermakna “merah” dalam bahasa lokal di Sulawesi Selatan. Kata ‘eja’ yang berarti “merah” dapat kita temukan digunakan PSM dalam julukannya yaitu “Juku Eja” yang berarti: Ikan Merah.
Dalam bahasa Lydia (bahasa yang digunakan antara tahun 700-200 SM di Anatolia barat atau Turki pada hari ini) kata ‘Bira’ berarti: Rumah, yang kemungkinannya dapat pula bermakna ‘negeri’. Kata ‘Bira’ dapat diduga terkait dengan kata ‘Mira’ yang berarti “merah”.
Dalam bahasa Sanskerta/ India, khususnya di wilayah timur Uttar Pradesh, kata Beera berarti “berani”, yang kita ketahui merupakan perlambangan sifat dari warna merah. Di sisi lain, antara kata ‘beera’ dan ‘mera(h)’ terlihat identik secara fonetis, dapat diduga ada fenomena perubahan fonetis labial; b dan m.
Dalam tradisi orang Indian “Wyandot” yang menghuni kawasan Amerika Utara, kata ‘Myeerah’ memiliki hubungan erat dengan makna bahari. Dalam tradisi mereka Myeerah berarti “Berjalan di Air.” Karena itu nama ini biasa digunakan sebagai nama kapal (sumber di sini). Dalam tradisi suku Wyandot ini, dapat diduga jika sifat “merah berarti berani” mendasari makna ‘Myeerah’ dalam tradisi mereka yang menunjukkan sifat berani dalam tradisi bahari mereka, yaitu berani mengarungi lautan.
Mihra(b) yang berasal dari kata Merah
Ulasan di atas menunjukkan fakta bahwa, dengan cara yang luar biasa bahasa berkembang dalam peradaban manusia. “Cella” sebagai nama sebuah pulau, dan di sisi lain sebagai sebuah kata yang bermakna “merah” (dengan beberapa kata turunannya: mira, bira, cella, cera, eja) telah bermorfologi melahirkan kata-kata baru dalam tradisi bahasa pada berbagai suku bangsa di dunia.
Jika ‘Cella’ berarti “merah” dalam bahasa Tae (bahasa tradisional di sulawesi selatan) maka, susunan fonetis pada kata ‘Mihrab’ pun sebenarnya terlihat identik dengan susunan fonetis dengan kata “merah”. Mihra(b)= Mira (merujuk pada sebutan batu mira delima) = merah.
Dengan keseluruhan penjelasan di atas, semoga pembaca telah dapat melihat bahwa kata ‘Cella’ dan ‘Mihrab’ sebagai sebutan tempat paling suci dalam sebuah kuil sesungguhnya memiliki profil Linguistik historis yang sama persis.
SEKIAN.