Dalam artikel ini saya akan membahasa filosofi nama angka (satu, dua, tiga, empat, dst…) dalam bahasa Indonesia.
Bahasa dan fitur bahasa seperti nama angka dan aksara merupakan warisan kebudayaan manusia yang telah berusia ribuan tahun. Tapi tahukah kamu jika di dalam fitur bahasa tersebut (khususnya yang digunakan dalam bahasa Indonesia) ternyata terkandung pesan filosofis yang sangat tinggi. Umumnya pesan filosofis tersebut adalah tentang esensi manusia dan kehidupannya.
Misalnya, dalam tulisan saya sebelumnya (Makna Sakral di Balik Nama-nama Angka) telah saya urai bahwa setelah mencermati penamaan nama angka dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, terungkap bahwa terdapat pesan filosofis yang sangat tinggi, yang susunan ringkasnya kurang lebih berbunyi: “Satu takdir kemudian dituangkan/ ditempatkan ke dalam wadah yang terbuat dari unsur udara, air, tanah, dan api.“
Sangat jelas bahwa ungkapan rahasia yang tersimpan rapat dan tersamarkan dalam penamaan angka beberapa bahasa daerah di Indonesia ini bercerita tentang eksistensi manusia sebagai entitas yang sepanjang hidup dibayangi takdirnya, sekaligus sebagai entitas materi yang tersusun dari empat unsur utama. (selengkapnya baca di sini)
Filosofi yang terkandung dalam nama angka bahasa Indonesia pun tak kalah luar biasanya. Bahkan, formasi penyusunannya yang unik, sebenarnya telah menyiratkan jika ia menyimpan sesuatu makna khusus.
Mari kita cermati…
- Satu (1) dan Sembilan (9), sama-sama huruf awalan S. Jika dijumlahkan, hasilnya: 10
- Dua (2) dan Delapan (8), sama-sama huruf awalan D. Jika dijumlahkan, hasilnya: 10
- Tiga (3) dan Tujuh (7), sama-sama huruf awalan T. Jika dijumlahkan, hasilnya: 10
- Empat (4) dan Enam (6), sama-sama huruf awaln E. Jika dijumlahkan, hasilnya: 10
- Lima (5), huruf awalan L. Lima (5) ditambahkan Lima (5), hasilnya: 10.
Formasi unik yang ditunjukkan pada nama angka dalam bahasa Indonesia ini, pada dasarnya sudah ramai diketahui publik. Hanya saja berhenti pada titik itu saja, tidak mengalami penelusuran lebih jauh ke dalam.
Untuk melanjutkan penelusuran lebih jauh agar dapat memahami makna filosofi yang dikandungnya, memang butuh sedikit kreatifitas.
Hal pertama yang harus dicermati, yaitu huruf awalan yang digunakan pada susunan formasi tersebut, yakni: S, D, T, E, dan L.
Berikutnya, adalah mencermati huruf-huruf tersebut dalam format abjad Yunani. Kenapa mesti begitu? karena jenis abjad latin yang kita gunakan di Indonesia hari ini, bentuk dasarnya adalah dari abjad Yunani. Pada Abjad Yunanilah dimulainya transisi sistem penulisan, yang dari sebelumnya menggunakan sistem penulisan abjad piktograf.
Hasilnya adalah: S = Sigma, D = Delta, T = Tau, E = Epsilon, L = Lambda.
Huruf Yunani, meskipun dapat digunakan layaknya sistem penulisan abjad Latin, tetapi masing-masing hurufnya merupakan suatu simbol yang mengandung makna tersendiri. Jadi, bisa dikatakan huruf Yunani ini tetap memiliki genetik aksara pendahulunya, yaitu piktograf.
Makna Filosofis yang terkandung dalam huruf S, D T, E, dan L, menurut aksara Yunani
S (Sigma)
S (Sigma), mengandung makna: sinkronisasi (synchronized) dan kontraksi (contraction). Webster mendefinisikan synchronized: “menyebabkan dapat melanjutkan, memindahkan, beroperasi/ bekerja dengan kecepatan yang sama dan secara bersamaan.” Lalu, contraction didefinisikan sebagai “suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang ditentukan.” Bentuk Sigma menyerupai gerbang awal di arena pacuan kuda. Gerbang start ini berfungi untuk menyinkronkan awal lomba, sehingga semua kuda memulai pada saat yang sama.
Makna yang terkandung di tahap “Sigma” ini adalah tentang simbolisasi proses “sinkronisasi aspek ilahiah dalam diri manusia” dan “pembuatan kontrak perjanjian antara manusia dan Sang Pencipta sebelum manusia dilahirkan ke dunia“.
D (Delta)
D (Delta), mengandung makna: mengarahkan (direct) dan lintasan (trajectory). Webster mendefinisikan direct sebagai “untuk mengelola atau memandu; untuk mengatur arah; “dan trajectory sebagai “jalan atau perkembangan”. Delta yang berbentuk anak panah dianggap simbol yang menunjukkan arah. (sumber rujukan: di sini)
Makna yang terkandung di tahap “Delta” ini adalah tentang pernyataan bahwa “setelah dilahirkan ke dunia, manusia diberikan arahan (direction) untuk menjalani lintasan (trajectory) usianya”.
T (Tau)
T (Tau), mengandung makna: regangkan (stretch) dan rentangkan (extend). Webster mendefinisikan stretch sebagai “untuk menarik atau memperluas – untuk memperluas jarak atau area atau ke arah tertentu. . . ” dan extend didefinisikan sebagai “tindakan meregangkan atau menegangkan.” Yang menarik karena konsep spiritual Tao yang menganggap yin dan yang sebagai kekuatan penyeimbang yang membentuk ketegangan sempurna. Dapat kita lihat jika kedua nama ini (Tau dan Tao) bukan saja memiliki kemiripan secara fonetis, tetapi mengandung konsep makna yang kurang lebih sama.
Makna yang terkandung di tahap “Tau” ini adalah tentang peringatan dan atau pengingat bahwa: “Dalam hidupnya, manusia diharapkan mampu menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh hingga mengalami kegagalan“. Hal ini disimbolisasi dengan kata rentangkan (extend), merupakan tindakan yang secara naluri kita lakukan – merentangkan tangan selebar-lebarnya ketika berupaya menjaga keseimbangan saat meniti lintasan sempit agar tidak terjatuh, misalnya meniti seutas tali. Bentuk huruf T (tau) pada dasarnya menunjukkan simbol seorang yang sedang merentangkan lengan.
Pemain akrobatik lintas tali biasanya terlihat mentaktisi upayanya menjaga keseimbangan dengan memanfaatkan sebuah bilah panjang sebagai pemberat, sehingga keseimbangannya memiliki “ketegangan sempurna”. Hal sama kiranya terdapat pada konsep spiritual Tao yang menganggap yin dan yang sebagai kekuatan penyeimbang yang membentuk ketegangan sempurna.
E (Epsilon)
E (Epsilon), mengandung makna: esensi (essence) dan intisari (quintessence). Webster mendefinisikan essence sebagai “sifat dasar, nyata, dan tidak berubah….” dan mendefinisikan quintessence sebagai “esensi murni”.
Makna yang terkandung di tahap “Epsilon” ini adalah tentang “target yang harus dicapai manusia dalam perjalanan hidupnya“. Bahwa, dari kondisi manusia yang lemah dan rentan mengalami banyak kegagalan (masa kanak-kanak hingga remaja), Manusia harus terus berproses. Ia harus terus belajar dari pengalaman, hingga pada akhirnya dapat mencapai kemampuan di mana ia menyeimbangkan segala aspek pada dirinya. Masa dewasa ditentukan sebagai saat di mana manusia diharapkan telah berada pada kondisi idealnya, yaitu tingkat esensi.
L (Lambda)
L (Lambda), mengandung makna: melonggarkan/ melepaskan (loosen) dan membebaskan (liberate). Simbol Lambda yang menyerupai panah menunjuk ke atas, seolah-olah menyarankan kebebasan dari gravitasi; menentang gravitasi.
Makna yang terkandung di tahap “Lambda” ini adalah tentang “mencapai titik akhir perjalanan manusia dalam hidupnya“. Bahwa, setelah mencapai tingkat esensi berarti mencapai tingkat tertinggi. Maka melepas kefanaan adalah tahapan akhir yang mesti dilalui. Disimbolisasi dengan simbol Lambda yang menyerupai panah menunjuk ke atas, yang seolah-olah menyarankan kebebasan dari gravitasi; menentang gravitasi (menyiratkan kembali ke langit, ke Sang Pencipta).
***
Dengan mencermati uraian di atas, rasanya dapatlah kita memahami jika makna yang dikandung formasi unik penyusunan angka dalam bahasa Indonesia, adalah tentang tahapan yang dilalui manusia dari awal hingga akhir hidupnya.
Demikianlah, leluhur kita di masa lalu senantiasa menempatkan pesat-pesan sakral dalam medium yang diyakininya tidak akan hilang, rusak, atau terbongkar susunannya. Medium itu adalah bahasa dan fitur-fiturnya.
Dengan memanfaatkan fitur gramatikal (sistem angka) yang secara tradisional merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan selain itu memiliki aturan susunan yang baku, maka kepingan-kepingan pesan dari informasi yang ingin disamarkan dapat dijaga urutan susunannya secara tepat.
Demikian ulasan ini, semoga bermanfaat. Salam.