Kaum Madyan, Aikah dan Rass adalah kaum yang diriwayatkan mendapat azab di dalam Al Quran.
Kepada kaum Madyan dan kaum Aikah, Al Quran secara jelas menyebutkan Syuaib sebagai nabi yang diutus untuk memberi peringatan.
Sementara itu, untuk kaum Rass meskipun Al Quran tidak menyebut siapa nabi yang diutus kepada mereka, tetapi ada banyak riwayat dalam tradisi Islam yang menyebutkan jika nabi Syuaib yang diutus kepada mereka, sebagian lagi menyebutkan seorang nabi bernama Hanzhalah bin Shafwan.
Mengenai letak wilayah ketiga kaum ini, pada umumnya para ahli berpendapat jika kaum Madyan dan kaum Aikah adalah sama atau setidaknya letak wilayahnya berdekatan, yaitu di wilayah semenanjung Arabia barat laut, di pantai timur Teluk Aqaba di Laut Merah (“Hejaz”).
Sementara itu untuk wilayah komunitas Rass, hingga saat ini tidak jelas, terutama karena begitu banyak pendapat yang berbeda yang muncul terkait mereka.
Menurut Ibnu Jurayj dari Ibnu ‘Abbas, komunitas Rass adalah penduduk negeri Tsamud (yang berarti merujuk pada kawasan pegunungan semenanjung Arab bagian utara, antara Hijaz dan Tabuk. Karena negeri Tsamud oleh banyak cendikiawan diperkirakan berada di kawasan tersebut, setelah sebelumnya bermigrasi dari semenanjung Arab Selatan).
Menurut pendapat Yunus bin Abdul A’la, komunitas Rass terletak di Yamamah yang lebih dikenal dengan nama Falaj, sedangkan menurut pendapat Ibnu Abi Hatim dan cendikiawan muslim lainnya mengatakan, bahwa penduduk itu terletak di Azerbaijan. (sumber di sini)
Kita mendapat gambaran profil komunitas Rass yang cukup informatif dari penjelasan Ali bin Abu Thalib mengenai Ashabur Rass, yang mengatakan bahwa:
“Kaum Rass adalah sebuah kaum yang menyembah pohon sanobar, yang diberi nama Syah Dirakht, secara bahasa memiliki arti “Raja Pohon”. Dikatakan bahwa yang pertama kali menanam pohon itu adalah Yafith bin Nuh pasca badai topan di tepian mata air, mata air tersebut dikenal dengan sebutan Rowsyan Oub.
Kaum Rass memiliki dua belas desa yang makmur di tepian sungai yang dinamakan Sungai Rass. Desa-desa tersebut bernama Oban, Odzar, Die, Bahman, Isfand, Farwadin, Ordi Bahsyt, Khordad, Murdad, Tiir, Mihr, dan Syahriwar, kemudian nama-nama desa tersebut oleh Bangsa Persia dijadikan nama-nama bulan dalam sistem penanggalan mereka.
Penduduk desa tersebut menanam pohon sanobar di setiap desa. Mereka mengairinya dengan irigasi yang berpusat di pohon sanobar tersebut. Mereka juga mengharamkan diri untuk minum dari air tersebut, baik untuk diri mereka atau ternak mereka. Mereka membuat aturan siapa yang meminumnya, maka akan dibunuh. Mereka meyakini, bahwa pohon sanobar tersebut dianggap sebagai Hayat al-Ilahiyah (Kehidupan Ketuhanan), maka terlarang bagi siapapun untuk mengambil kehidupannya.
Dijelaskan juga bahwa komunitas Rass mengadakan perayaan sehari pada setiap bulan sebagai event dimana persembahan dari masing-masing desa dilangsungkan. Puncak hari raya mereka disebut Isfandr.
Ada seorang nabi dari Bani Israil dari keturunan Yahuda kemudian diutus kepada kaum Rass. Nabi itu mengajak kepada kaum Rass untuk menyembah Allah, dan meninggalkan kesyirikan. Namun mereka tetap tidak beriman.
Nabi tersebut kemudian mendoakan keburukan terhadap pohon tersebut, yang hasilnya, pohon tersebut menjadi kering dan layu. Kaum Rass yang marah menyaksikan hal tersebut lalu sepakat membunuh nabi tersebut. Mereka kemudian menggali sebuah sumur lalu membuang sang nabi ke dalamnya, kemudian menutup lubang dengan batu besar.
Namun demikian, nabi tersebut tidak mati, dikarenakan ada seorang budak yang diam-diam sering memberinya makan. Diceritakan bahwa setiap budak itu selesai mengumpulkan kayu bakar di hutan lalu menjualnya ke pasar, hasilnya ia belikan makan kemudian mendatangi sumur tempat nabi tersebut dimasukkan.
Ia lalu mengangkat batu penutup mulut sumur dengan pertolongan dari Allah, kemudian menurunkan makanan dan minuman untuk sang nabi. Setelah itu ia memasang kembali batu penutup tersebut seperti semula.
Hingga suatu hari, budak tersebut mengalami perasaan sangat ngantuk saat hendak membawa kayu bakarnya ke pasar. Akhirnya ia merebahkan diri dan tertidur. Allah lalu menidurkan budak tersebut selama tujuh tahun dengan posisi semula, lalu dia bergerak berpindah posisi ke sisi lain selama tujuh tahun pula.
Setelah terbangun, budak itu bergegas mengangkut kumpulan kayu bakarnya, menyangka hanya tidur sejenak saja. Setelah ia menjual kayu bakarnya ke pasar serta membeli makan dan minuman sebagaimana biasa, ia mendatangi sumur, namun ternyata dirinya tidak lagi menemukan nabi tersebut.
Diriwayatkan bahwa sebelum itu (tatkala sang budak lagi tertidur) telah terjadi sebuah peristiwa yang menimpa kaum Rass, hal yang kemudian menyadarkan mereka, lalu sepakat mengeluarkan nabi dari dalam sumur serta beriman dan membenarkan ajarannya. [sumber di sini]
Dalam tafir Tafsir Ibnu Katsir (6/111), Al Alusi (14/97), At Thobari (19/269), Al Qurthubi (13/32), dikutip sebuah hadist nabi Muhammad yang bersabda: “Lalu nabi kaum tersebut menanyakan keberadaan budak tentang apa yang dilakukannya? Kaumnya menjawab: Kami tidak tahu. Sampai Allah mencabut ruh nabi tersebut. Setelah wafatnya nabi tersebutlah Allah membangunkan si budak hitam tersebut dari tidurnya. Rasulullah bersabda: Budak hitam tersebut adalah orang yang pertama kali masuk surga.”
Demikianlah sekelumit informasi tentang kaum Rass, Madyan, dan Aikah yang umumnya beredar selama ini.
***
Pendapat saya pribadi mengenai identifikasi letak wilayah dan jati diri sesungguhnya dari kaum Madyan, telah saya bahas dalam tulisan sebelumnya: Jejak Orang Madyan, Kaum Nabi Syu’aib yang Mendapat Azab.
Dalam tulisan tersebut, saya memilih mengidentifikasi letak wilayah dan jati diri orang Madyan melalui hasil penerjemahan makna sebutan ‘madyan’.
Jika selama ini, sebutan negeri ‘madyan’ dianggap para ahli berasal dari nama anak nabi Ibrahim, yaitu Madyan bin Ibrahim, dari istrinya yang bernama Qanthura (Ketura), yang kemudian dianggap menjadi nama kabilah yang terdiri dari keturunan anak cucu Madyan, maka saya secara pribadi berpendapat jika nama itu berasal dari kata ‘Madya’ yang berarti: “tengah”.
Sehingga, berdasarkan asumsi tersebut, sebutan negeri madyan mestilah bermakna ‘negeri tengah’.
Dalam literatur barat, negeri madyan biasanya kita temukan disebut ‘Midian’. Madyan atau Midian pada dasarnya sama. Madyan berasal dari bentuk Madya yang berarti “tengah”, sedangkan Midian tampaknya berasal dari bentuk kata ‘mid’ yang dalam bahasa orang Eropa juga berarti “tengah” atau “pertengahan”. Demikianlah, sebutan negeri madyan atau pun negeri Midian jelas berarti “Negeri tengah”.
Untuk mengonfirmasi kebenaran pendapat ini, saya dapat memberikan penjelasan bahwa orang-orang pada masa kuno memang pernah mengenal dan menerapkan konsep pembagian wilayah di muka bumi menurut zona waktu posisi matahari di langit.
Pembagian wilayah di muka bumi tersebut terdiri dari zona waktu pagi yang kemudian disebut ‘negeri pagi’, zona waktu tengah hari yang kemudian disebut ‘negeri tengah’ atau ‘negeri tengah hari’, zona waktu sore yang kemudian disebut ‘negeri sore’, dan zona waktu terbenamnya matahari yang kemudian disebut ‘negeri maghriby’.
Yang menarik karena pembagian waktu ini dilakukan secara presisi, di mana setiap pusat negeri atau wilayah dari zona waktu tersebut senantiasa berada di lintasan garis bujur yang tepat.
Dengan kata lain, dapat diasumsikan bahwa jauh sejak di masa kuno, konsep garis bujur telah untuk membagi wilayah di muka bumi telah dikenal.
Hal menarik lainnya, adalah karena orang di masa kuno konsisten menamai wilayah di setiap pusat zona waktu tersebut sesuai dengan kondisi waktu posisi matahari di langit (yakni: negeri pagi, negeri tengah hari, negeri sore, dan negeri maghrib).
Di sisi lain, teridentifikasinya keberadaan toponim-toponim tersebut bisa dikatakan sebagai fakta bahwa memang pernah ada konsep pembagian waktu tersebut pada masa kuno.
Berikut ini rincian penjelasannya…
Pembagian Zona Waktu di Masa Kuno
Formasi pembagian zona waktu disusun berurutan dari timur ke barat. Metodenya adalah dengan menyelaraskan waktu fajar di zona tertentu dengan waktu yang ditunjukkan wilayah paling timur pada saat yang sama.
Misalnya jika terbit fajar (06.00) di wilayah Indonesia bagian tengah (WITA) berarti di waktu yang sama di ujung timur bumi di garis bujur 180 derajat (yaitu pada wilayah Tuvalu) telah menunjukkan pukul 10 pagi (selisih 4 jam). Ini dikarena WITA terletak di garis bujur 120 derajat atau berjarak 60 derajat dari wilayah tuvalu. (Perhitungan ini dilakukan dengan mengacu pada konsep modern bahwa titik meridian (0 derajat) berada di Greenwich, dan Anti meridian (titik garis bujur 180 derajat) berada di ujung timur, yakni di wilayah Tuvalu (sebuah negara di samudera pasifik).
Zona Pagi – Letak Negeri Pagi
Zona pagi adalah zona waktu yang terentang dari sejak terbit fajar hingga sebelum tengah hari (yaitu dari jam 6 sampai jam 12). Jam 8, 9, dan 10, adalah posisi jam yang tepat berada di tengah rentang waktu ini.
Dengan pertimbangan bahwa matahari terbit pada ujung timur muka bumi (di wilayah Tuvalu) tepat pada pukul 06:00, dan bahwa 1 jam = 15 derajat (180 derajat = 12 jam),
Maka, Matahari membutuhkan waktu 3 jam bergerak ke arah barat untuk mencapai wilayah Indonesia Bagian Timur (WIT) yakni di wilayah Papua, di garis bujur 135 derajat. Hal ini berarti, ketika terbit fajar di Papua pada pukul 06:00, pada saat yang sama di Tuvalu telah menunjukkan pukul jam 9 pagi.
Matahari membutuhkan waktu 4 jam untuk mencapai wilayah Indonesia Bagian Tengah (WITA) yakni di sekitar wilayah pulau Sulawesi, di garis bujur 120 derajat. Hal ini berarti ketika terbit fajar di wilayah ini pada pukul 06:00, pada saat yang sama di Tuvalu telah menunjukkan pukul 10 pagi.
Matahari membutuhkan waktu 5 jam untuk mencapai wilayah Indonesia Bagian Barat (WIB) yakni wilayah Jawa dan Sumatera, di sekitar garis bujur 105 derajat. Hal ini berarti ketika terbit fajar di wilayah ini pada pukul 06:00, pada saat yang sama di Tuvalu telah menunjukkan pukul 11 pagi.
Demikianlah, dari uraian ini, dapat kita lihat jika pada masa lalu sebagian besar wilayah Indonesia masuk wilayah zona pagi, yang berarti wilayah Nusantara dapat diduga kuat disebut “Negeri Pagi” pada masa kuno.
Memang sebutan ini tidak akrab dengan kita, karena bukan sebutan ‘pagi’ yang digunakan pada masa kuno, tetapi sebutan “Sabah” (dalam bahasa Arab ‘sabah’ berarti: pagi), yang pada hari ini lebih kita kenal dalam bahasa Indonesia dengan sebutan ‘Subuh’ (morfologi dari bentuk ‘sabah’).
Sementara itu, di pulau Sulawesi ada nama wilayah yang hingga saat ini menggunakan makna ‘pagi’, yaitu ‘Makale’ ibukota kabupaten Tana Toraja. Dalam Bahasa Tae’ ‘makale’ artinya: pagi.
Penjabaran dengan metode ini, bisa dikatakan menjadi kunci penentu untuk menyatakan klaim wilayah Nusantara sebagai ‘negeri Saba yang sesungguhnya.
Zona Tengah Hari – Letak Negeri Tengah atau Negeri Madyan
Zona siang atau zona tengah hari berada pada wilayah teluk benggala, dikarena titik garis bujur 90 derajat tepat berada di wilayah ini. Matahari membutuhkan waktu 6 jam untuk mencapai wilayah ini. Yang berarti ketika terbit fajar di wilayah ini pada pukul 06:00, pada saat yang sama di Tuvalu telah menunjukkan pukul 12 siang atau tepat tengah hari.
Adapun toponim yang tepat di garis bujur 90 derajat yang maknanya identik dengan zona waktunya, adalah toponim “Madhyanagar Bazar” yang berada di wilayah Bangladesh.
Madhya = tengah atau pertengahan; nagar = negeri atau kota; bazar = pasar. Dalam bahasa Sanskrit kata “madhyAhna” berarti: siang atau tengah hari. Sehingga, Madhyanagar Bazar dapat bermakna: “Pasar negeri tengah”.
Yang menarik karena sebutan “Bazar” atau pasar yang melekat pada toponim tersebut sejalan dengan riwayat dalam kitab suci yang mengatakan bahwa bangsa Madyan adalah bangsa yang menguasai kegiatan perdagangan. Nabi Syuaib diutus kepada mereka untuk memberi teguran atas kecurangan transaksi perdagangan yang mereka lakukan.
Hal lain yang menguatkan jika nama “negeri Madyan” berasal dari konsep pembagian wilayah di muka bumi menurut posisi matahari di langit, berasal dari nama lain sungai Brahmaputra yaitu “Siang River” (Sungai Siang, atau dengan kata lain “sungai tengah hari”).
“Sungai Siang” merupakan sebutan orang-orang di wilayah Arunachal Pradesh (negara bagian India di sisi timur laut) untuk Sungai Brahmaputra. (silahkan baca informasinya di sini: wikipedia)
Pembahasan secara khusus mengenai Sungai Brahmaputra telah saya ulas dalam artikel ini: “Siang River” (Sungai Siang) Nama lain Sungai Brahmaputra, Bukti Kaum Madyan Berasal dari Kawasan Benggala.
Demikianlah, fakta yang diungkap dalam uraian ini menunjukkan jika orang Madyan sesungguhnya adalah orang yang berasal dari wilayah Asia Selatan.
Adapun keberadaan jejak mereka yang ditemukan banyak tersebar di wilayah Timur Tengah pada masa sekarang, dapat diduga adalah jejak mereka setelah exodus meninggalkan kampung halaman mereka yang tertimpa azab Allah.
Saya membayangkan, Ketika mereka bersama nabi Syuaib eksodus karena kampung halaman mereka terkena azab, cukup lama mereka terlunta-lunta berbaur dengan banyak kaum di timur tengah, kondisi mereka bisa dikatakan persis seperti kaum pengungsi Rohingya saat ini, yang “tidak punya negeri”. Dan karena itu sangat memimpikan suatu saat punya tanah sendiri.
Dan ternyata, mereka memang berhasil mendapatkannya. wilayah yang mereka miliki itu kemudian mereka beri nama “ka-desh” yang berarti “negara yang hilang” – untuk menyatakan bahwa mereka akhirnya dapat menemukan kembali “negeri mereka yang hilang”.
Meskipun Herodotus menyebut Kadesh berasal dari bahasa Arab “Al Kads” yang artinya “suci”…
“The Arabian name is Al Kads, the Holy ; it is sometimes also called Kadesh. Herodotus again mentions it (Thalia, c. 5) as a city of Palaestine, not much less than Sardis” (The History of Herodotus vol. I – Explanatory and Critical from: Larcher, Rennell, Mitford, Schweighaeuser. 1824: 201)
Lalu dari sumber yang lain menganggap nama Kadesh berakar dari bahasa Semit Barat (Kanaan) QD-S yang artinya “suci”. Yang diterjemahkan sebagai “Qdsw” di Mesir, dan “Kades” di Hittite . Dengan varian ejaan Akkadian, seperti “Kinza”, “Kidsa”, “Gizza”.
Dalam hal ini, saya cukup yakin jika teori yang saya ajukan untuk hal ini memiliki landasan yang lebih kuat dari itu semua.
Dalam pandangan saya, sangat mungkin “Ka-desh” berasal dari bahasa India; “Gae Desh” yang artinya kurang lebih: “Negara yang hilang”. गए gae= pergi/ hilang; देश desh= Negara.
Menerjemahkan nama Kadesh sebagai berasal dari bahasa India atau pun Bengali, bersenyawa dengan bentuk hipotesis bahwa orang-orang Madyan ini berasal dari wilayah teluk Benggala pada mulanya.
Begitu juga profil mereka yang disebut di dalam Al Quran sebagai kaum pedagang, sesuai dengan toponim “pasar negeri tengah” (Madhyanagar Bazar) yang teridentifikasi sebagai kampung halaman mereka, yang dapat diduga kuat merupakan pusat perdagangan di masa kuno – melayani pedagang dari wilayah timur dan maupun barat.
Demikianlah, betapa cerita perjalanan orang-orang Midian atau Madyan ini sungguh berliku dalam skenario dan pada rentang waktu yang sangat panjang.
William J. Dumbrell dalam bukunya Who Were the Early Israelites and Where Did They Come From? (2003: 34) menyebut orang Midian sebagai orang yang tidak jelas, membingungkan, dikarenakan terkait dengan banyak kelompok masyarakat pada masa itu, lebih karena sepak terjang mereka yang banyak terlibat dalam pergumulan politik dan perebutan kekuasaan yang terjadi di antara penguasa-penguasa kawasan Timur Dekat pada saat itu.
Pernyataan William J. Dumbrell tersebut menyiratkan pemikiran bagi saya bahwa kondisi semacam itu umumnya hanya terjadi pada orang-orang pendatang atau semacam kaum pengungsi. Tindakan seperti itu bisa dikatakan upaya mereka meleburkan diri atau memberdayakan dirinya di tempat yang baru.
Demikianlah, peliknya upaya para ahli selama ini dalam mengidentifikasi asal usul orang Midian atau Madyan dalam pandangan saya lebih karena selama ini nama tersebut hanya ditinjau sebagai berasal dari nama Madyan bin Ibrahim saja, tidak ada upaya dalam bentuk lain dalam menganalisa asal usul nama tersebut.
Bentuk telaah alternatif yang saya ajukan dalam tulisan ini bisa dikatakan merupakan terobosan baru yang menjanjikan. Terutama terkait teori konsep pembagian waktu di masa kuno yang secara umum bisa dikatakan telah memperkenalkan suatu bentuk arah berpikir, konsep, atau gagasan di dalam alam pikiran orang di masa kuno dalam menata peradabannya.
Setelah mendapat bencana dari Allah, Negeri Tengah selanjutnya — saya perkirakan — dipindahkan ke wilayah Lahore (Pakistan), tepat berjarak sekitar 15 derajat arah barat dari teluk benggala.
Opsi kota kuno Lahore (Pakistan) sebagai alternatif negeri siang atau negeri tengah hari selain dikarenakan pergesarannya yang tepat 15 derajat atau berinterval tepat 1 jam dari Madyanagar (artinya ini adalah bentuk pergeseran yang terencana), juga karena nama Lahore yang memiliki keidentikan dengan kata lohor (waktu shalat dalam islam yang dimulai ketika matahari tepat berada di atas kepala).
Dalam bukunya, Reinaud menyebut Lahore sebagai ‘Lauhaour’ yang dikatakannya merupakan pelafalan dari bahasa arab. [Joseph Toussaint Reinaud. Mmoire gographique, historique et scientifique sur l’Inde antrieurement au milieu du xi# sicle de l’re chrtienne; d’aprs les crivains Arabes, Persans et Chinois, 1849: 155 dan 275], sementara itu dari sumber catatan cina kuno disebutkan bahwa Hiuen-thsang menyebut kota ini “lohoulo”.
Zona Sore – Letak Negeri Sore
Zona Sore adalah zona waktu yang terentang dari sejak tergelincirnya matahari dari titik zenit hingga terbenamnya matahari (yaitu dari jam 12 siang sampai jam 6 sore). Jam 3 sore adalah posisi jam yang tepat berada di tengah rentang waktu ini.
Dengan mengacu pada konsep modern bahwa titik meridian (0 derajat) berada di Greenwich, dan Anti meridian (titik garis bujur 180 derajat) berada di ujung timur, yakni di wilayah Tuvalu (sebuah negara di samudera pasifik), maka posisi negeri sore dapat diketahui tepat berada di garis bujur 45 derajat.
Zona Negeri Sore saya perkirakan berada di kota Samawah (Irak). Kota ini tepat berada titik 45 derajat, sehingga Samawah berinterval waktu sekitar 9 jam dengan Tuvalu, yang berarti saat terbit fajar di wilayah Samawah pada pukul 06:00 pagi, dalam waktu yang bersamaan di tuvalu telah menunjukkan pukul 15:00 sore.
Etimologi Samawah saya perkirakan berasal dari kata Sanskirt “samApana” yang berarti: akhir / akan segera berakhir. Dengan makna ini, Samawah merepresentasi posisi matahari di langit yang akan segera menuju titik akhir perjalanan hariannya. (tinjauan etimologi sanskritnya dapat dilihat di sini)
Kota Samawah sebagai tempat reruntuhan kota kuno Sumeria, Uruk, yang diperkirakan berasal dari 4000 tahun sebelum masehi, jelas memiliki catatan sejarah yang sangat penting.
Seperti halnya Samawah, kota kuno Uruk pun memiliki makna “akhir” — ini dengan mempertimbangkan bahwa ia memiliki bentuk lain yakni “hulu” yang dalam bahasa Austronesia pada umumnya memiliki makna “ujung” atau “akhir”. Jadi, nama Samawah dan Uruk pada dasarnya memiliki makna yang sama.
Seperti yang terjadi di negeri tengah hari, Negeri Sore hari pun memiliki opsi kedua dengan kata lain, kemungkinan mengalami perpindahan.
Pertimbangan ini jatuh pada wilayah Mesir yang identik dengan kata azhar, yang merupakan waktu shalat bagi umat Islam di sore hari – juga merupakan salah satu bentuk nama dari “Osiris” dewa maut Mesir Kuno, yang dalam beberapa literatur mesir kuno, ia disebut juga dengan: Asar, Asari, Aser, Ausar, Ausir, Wesir, Usir, Usire atau Ausare.
Wilayah Mesir berada pada lintas garis bujur 30 derajat atau berinterval waktu 10 jam dengan Tuvalu, yang berarti saat terbit fajar di wilayah Mesir pada pukul 06:00, dalam waktu yang bersamaan di tuvalu telah menunjukkan pukul 16:00 sore.
Zona Maghrib – Letak Negeri Terbenamnya Matahari
Zona Maghrib tentunya mesti berada di wilayah lintasan garis bujur 0 derajat. Dan di titik ini, Maroko yang dikenal dalam Bahasa Arab sebagai “Al-Mamlakah Al-Maghribiyah,” yang berarti kerajaan Barat atau negeri terbenamnya matahari, kiranya adalah pilihan yang paling tepat.
Wilayah Maroko berinterval waktu sekitar 12 jam dengan Tuvalu, yang berarti saat terbit fajar di wilayah Maroko pada pukul jam 06:00, dalam waktu yang bersamaan di tuvalu telah menunjuk pukul 18:00 petang.
Demikianlah rincian ulasan pembagian waktu di masa kuno beserta identifikasi toponim atau nama wilayah yang letaknya saya perkirakan menjadi titik pusat dari setiap zona waktu tersebut.
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, peletakan titik pusat di setiap zona waktu yang ditandai dengan penamaan wilayah yang maknanya sesuai dengan waktu yang dimaksud, terbukti dilakukan secara tepat.
Identifikasi Kesamaan Kaum Aikah dengan Kaum Rass
Beberapa cendikiawan mengatakan jika Orang Madyan adalah sama saja dengan orang Aikah. Namun beberapa hal yang akan saya urai berikut ini menunjukkan jika hal tersebut besar kemungkinan tidak benar. Dalam beberapa hal, malah orang Aikah dan orang Rass yang sepertinya menunjukkan adanya persamaan.
Seperti misalnya orang Rass yang menyembah pohon sanobar yang mereka anggap memiliki ruh atau spirit atau yang dalam penjelasan Ali bin Abu Thalib disebut sebagai Hayat al-Ilahiyah (Kehidupan Ketuhanan), memiliki kesamaan dengan makna nama ‘aikah’ yang berarti: hutan, atau sebutan ‘A-ab al-Aykah’ yang berarti: sahabat hutan.
Satu hal yang tampaknya terkait antara orang aikah dan orang Madyan adalah bahwa wilayah mereka besar kemungkinan berdekatan.
Bahkan jika merujuk pada Al Quran surat Asy-Syu’araa ayat 176-182 yang membahas teguran nabi Syuaib kepada kaum Aikah yang melakukan kecurangan dalam kegiatan jual beli, seperti teguran nabi Syuaib kepada kaum Madyan yang melakukan hal serupa, maka saya memperkirakan jika wilayah negeri kaum Aikah pun berada di wilayah negeri tengah seperti halnya kaum madyan.
Bunyi surat Asy-Syu’araa ayat 176-182 yang berisi teguran nabi Syuaib kepada kaum Aikah:
Penduduk Aikah telah mendustakan rasul-rasul; ketika Syu’aib berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertakwa?, Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku; dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.
Bunyi surat Al-A’raaf ayat 85 yang berisi teguran nabi Syuaib kepada kaum Madyan:
Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”.
Dugaan ini setidaknya mendapat angin dengan keberadaan toponim Aikhari Billar Pathar, di distrik Barpeta, Assam, India – sebelah utara wilayah Madhyanagar Bazar. Berikut ini petanya…
Jejak Kaum Aikah pada hari ini
Ada beberapa hal pada kelompok etnis Akha, yang menghuni desa-desa kecil di dataran tinggi pegunungan Thailand, Myanmar, Laos, India Timur Laut dan Yunnan Provinsi di Cina, yang memunculkan dugaan saya bahwa ada kemungkinan mereka adalah kaum Aikah dan kaum Rass yang hilang.
Orang Akha mengklaim bahwa tanah air asli mereka ada di perbatasan Tibet. Yang jika perbatasan Tibet yang dimaksud adalah perbatasan sebelah selatan maka dugaan di atas ada kemungkinan benar. [sumber di sini]
Nama etnis ini tidak saja identik dengan kaum Aikah yang dibahas dalam Al Quran, tetapi ada banyak hal tentang etnis Akha yang menunjukkan kemiripan dengan kaum Aikah dan terutama kaum Rass. Berikut ini beberapa keidentikan tersebut.
Kesamaan Siklus Ritual Perayaan 12 kali dalam Setahun
Jika dalam penjelesan Ali bin Abu Thalib disebutkan bahwa: Kaum Rass memiliki dua belas desa yang makmur ditepian sungai yang dinamakan Sungai Rass.
Desa-desa tersebut bernama Oban, Odzar, Die, Bahman, Isfand, Farwadin, Ordi Bahsyt, Khordad, Murdad, Tiir, Mihr, dan Syahriwar kemudian nama-nama desa tersebut oleh Bangsa Persia dijadikan nama-nama bulan dalam sistem penanggalan mereka.
Lalu dijelaskan juga bahwa komunitas Rass mengadakan perayaan sehari pada setiap bulan sebagai event dimana persembahan dari masing-masing desa dilangsungkan. Puncak hari raya mereka disebut Isfandr.
Maka, hal yang sama rupanya dapat pula kita temukan dalam etnis Akha, yaitu bahwa mereka memiliki tradisi siklus tahunan yang terdiri dari sembilan atau dua belas ritual persembahan.
Dalam perhitungan kalender mereka, satu minggu Akha adalah 12 hari; untuk setiap kegiatan desa, ada hari-hari yang menguntungkan dan tidak menguntungkan.
Kepercayaan yang sama pada pemujaan pohon
Jika kaum Rass disebut menyembah pohon sanobar yang mereka anggap memiliki ruh atau spirit atau yang dalam penjelasan Ali bin Abu Thalib disebut sebagai Hayat al-Ilahiyah (Kehidupan Ketuhanan), lalu sebutan ‘A-ab al-Aykah’ yang berarti: sahabat hutan, bagi kaum Aikah, maka etnis Akha dikenal sebagai etnis yang sangat tergantung pada hutan. Maka Orang etnis Akha pun memiliki kepercayaan persis seperti itu.
Suku Akha juga percaya bahwa pohon memiliki ruh atau spirit. Setelah membelah kayu, seseorang tidak diperbolehkan membuang kayu yang terbelah menjadi tumpukan karena itu akan melecehkan spirit kayu.
Kesamaan Sebagai Pengguna Candu
Jika kita cermati nama puncak hari raya kaum Rass yang disebut Isfandr, ada kemungkinan makna nama tersebut merujuk pada tumbuhan berbahasa latin “Peganum harmala ” yang dalam bahasa Persia dikenal dengan sebutan “espand” atau “ispand”, yaitu tanaman herbal yang mengandung zat halusinogen, sehingga pada masa lalu dapat dijual bagi penggunaan narkoba.
Telah diurai pula pada bagian awal jika nama isfand merupakan bagian dari dua belas nama desa kaum Rass (yakni: Oban, Odzar, Die, Bahman, Isfand, Farwadin, Ordi Bahsyt, Khordad, Murdad, Tiir, Mihr, dan Syahriwar) yang kemudian diadopsi bangsa Persia sebagai nama-nama bulan dalam sistem penanggalan mereka.
Jika puncak perayaan tahunan kaum Rass disebut ‘isfandir’ maka ada kemungkinan jika dalam puncak perayaan tersebut terdapat kegiatan penggunaan tanaman isfand atau sejenisnya yang menimbulkan halusinasi. Hal ini pun rupanya dapat pula kita temukan pada kebiasaan etnis Akha.
Suku Akha terkenal sebagai suku bukit dengan tingkat kecanduan opium yang sangat tinggi. Bahkan, sebagai suku perambah hutan, dalam membuka lokasi baru, selain memilih lokasi yang berada di ketinggian, lokasi yang dipilih itu harus pula berhutan, mendukung penanaman padi, jagung, dan poppy (tanaman opium), dan harus ada padang rumput untuk sapi.
Menurut pengacara hak asasi manusia internasional Jonathan Levy…
“Akha diidentifikasikan dengan para penanam opium yang hingga saat ini mendominasi bagian” Segitiga Emas “di Thailand. Thailand telah mengambil langkah-langkah untuk memberantas penanaman opium dengan menempatkan kembali Akha ke desa-desa permanen. Namun, teknik opium maupun teknik pertanian yang sudah lama tertanam adalah kunci bagi budaya Akha yang kompleks.
Sementara penanaman opium tradisional telah ditekan, Heroin olahan, Crystal meth (the latest scourge), dan metamfetamin, tersedia secara bebas dari Burma. Dengan demikian Akha telah menjadi petani miskin dan dalam banyak kasus adalah sebagai pecandu narkotika. Ketika Akha dimukimkan kembali, mereka bersentuhan dengan budaya Thai arus utama, banyak wanita Akha tertarik pada uang industri seks yang “mudah” (Levy, Jonathan. “The Akha and Modernization; A Quasi Legal Perspective” )
Kebiasaan Prostitusi Sebagai Gambaran Tingkat Moralitas yang Rendah
Ada banyak kasus prostitusi di bawah umur di Thailand yang melibatkan orang Akha.
William Branigin menulis di Washington Post artikel berjudul “Children for sale in Thailand”, yang bercerita tentang Mii Chuu yang masih berusia 12 tahun ketika ayah tirinya, seorang pecandu opium, menjualnya ke pelacuran. Dia dibawa dari desanya di wilayah suku bukit Akha di Burma menuju rumah bordil di kota Chiang Rai, setelah ayah tirinya dibayar $ 192. Dia terpaksa berhubungan seks dengan tiga pria di hari pertamanya. ” [Sumber: William Branigin, “Children for sale in Thailand” Washington Post, 28 Desember 1993]
Ada pula cerita, Satu keluarga Akha ditawari televisi seharga $ 400 dan ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat membayarnya, seorang pedagang anak muncul yang bersedia meminjamkan $ 1.600 kepada keluarga tersebut dengan imbalan “putri kecil mereka yang sangat cantik.”
Kesamaan Pemujaan Pada ruh Air
Jika dalam beberapa riwayat kaum Rass dikisahkan sebagai kaum penyembah berhala yang bertempat tinggal dekat dengan telaga (di dalam kisah lain disebutkan sungai), maka hal ini pun ada kesamaan pada suku Akha.
Kepercayaan orang Akha pada roh air sangat kuat, dan merupakan sesuatu yang mereka takuti, akibatnya, tingkat kebersihan mereka sangat rendah. Suku Akha tidak disukai oleh suku-suku pegunungan di Thailand dan Burma, yang menganggap mereka kotor, tidak peduli, dan kejam.
Menjadi Kaum yang Direndahkan Sebagai Konsekuensi dari Prilaku yang Buruk
Para penutur bahasa Tai di Myanmar dan Thailand menyebutnya suku Akha sebagai “gaw” atau “ekaw” (ikaw / ikho), istilah yang dipandang Akha sebagai penghinaan.
Di Laos, istilah sehari-hari yang digunakan oleh penutur Tai untuk menyebut Akha adalah “kho” (ko), sering diawali dengan kata “kha”, yang berarti “budak.”
Sebutan ini pada dasarnya ada kemiripan dengan kata “kaw-nang” yang dalam bahasa Tae’ di Sulawesi berarti “budak”, atau “kawu-la” yang dalam bahasa Jawa juga berarti abdi, hamba atau budak.
Sulitnya Para Alim Ulama Dalam Upaya Memberi Pencerahan
Telah banyak misionaris Protestan maupun Katolik yang sangat aktif bergerak di desa-desa Akha. Sejumlah besar orang Akha dilaporkan telah masuk Kristen. Dalam banyak kasus seluruh desa bertobat dan mereka telah banyak yang meninggalkan kepercayaan agama tradisional.
Namun demikian, masih Banyak pula orang Akha yang mengeluh tentang para misionaris yang datang ke desa-desa untuk mempertobatkan mereka, yang kadang mereka anggap dilakukan secara paksa.
Banyak Akha merasa bahwa para misionaris menggeneralisasi sistem kepercayaan tradisional mereka sebagai “pagan”, karena itu mereka anggap telah merendahkan kepercayaan lama mereka.
Demikianlah, jika dugaan saya benar bahwa suku Akha adalah keturunan dari kaum Aikah ataupun kaum Rass yang disebut dalam Al Quran, maka bisa dikatakan bahwa selama ribuan tahun kaum ini masih saja berada dalam situasi akhlak yang memprihatinkan.
Fakta bahwa beberapa ciri-ciri kebiasaan yang secara spesifik dimiliki kaum Aikah dan kaum Rass yang terlihat tampak dimiliki suku Akha, dapat menguatkan asumsi jika kaum Aikah-lah yang ada kemungkinan sama dengan kaum Rass. Berbeda dengan pendapat sebagian kalangan cendikiawan yang mengatakan bahwa kaum Aikah dan kaum Madyan sebagai kaum yang sama.
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.