-->

Sejarah Berhala Uzza Sang Dewi Fajar


Jika kita membandingkan etimologi kata “sejarah” dalam bahasa indonesia yang berasal dari bahasa Arab “sajaratun” yang artinya: pohon, dengan kata sejarah dalam bahasa Arab, “tarikh” yang artinya: penentuan tanggal, atau kronologi. Lalu juga dengan kata sejarah dalam bahasa Yunani, “historia” yang artinya: pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian.

Maka pada dasarnya pemilihan kata sejarah dalam bahasa Indonesialah yang paling menggambarkan situasi sifat sejarah yang sesungguhnya. Karena pada kenyataannya, sejarah manusia memang tumbuh dan terus berkembang dari waktu ke waktu layaknya sebuah pohon.

Hari ini, kita menjumpai “pohon sejarah manusia” dengan kondisi telah tumbuh begitu sangat besar dan sangat lebat. Banyak bagian dahannya yang subur ditumbuhi benalu, seakan telah menyatu dengan pohon itu sendiri. Nyaris sulit membedakan mana pohon yang asli, mana yang hanya merupakan tumbuhan menumpang.

Agar memahami kondisi ini, kita harus melihat kenyataan bahwa dalam perjalanannya dari waktu ke waktu, manusia dan sejarahnya terus berkelindan.

Beberapa di antara manusia itu ada yang berhasil merintis berdirinya sebuah peradaban besar. Kesuksesan ini akan tumbuh menjadi sebuah dahan besar yang dari sana akan tumbuh ranting-ranting kecil yang memiliki potensi untuk tumbuh menjadi dahan yang besar pula di masa mendatang. Situasi seperti ini banyak berlangsung di berbagai wilayah di dunia dan telah berlangsung dalam kurun waktu ribuan tahun.

Ada banyak bangsa besar yang silih berganti muncul di masa lalu. Masing-masing melalui tahap perkembangan yang dapat dimungkinkan oleh kondisi zaman dan potensi yang dimilikinya.

Peradaban baru biasanya akan tetap melanjutkan tatanan sosial budaya yang diwariskan generasi sebelumnya, dengan memberi pengembangan di beberapa bagian dengan tujuan dapat sesuai dengan kondisi zamannya.

Di sisi lain, pengaruh budaya dari bangsa lain adalah hal yang tidak terelakkan. Karena suatu bangsa akan tumbuh menjadi besar hanya jika ia membuka diri untuk berinteraksi dengan bangsa lainnya.

Di titik inilah dinamika “difusi inovasi” (teori difusi inovasi dipopulerkan oleh Everett Rogers dalam bukunya “diffusion of innovations“, 1962) berkembang meramaikan aspek intelektual para pemikir dari setiap bangsa tersebut. Mereka akan bekerja mengadopsi konsep budaya bangsa lain yang dianggapnya menarik, dengan meraciknya sedemikian rupa hingga dapat selaras dengan karakteristik budaya yang dimiliki bangsanya.

Praktek inilah yang menyebabkan para peneliti di masa kini kesulitan untuk menggali sejarah dan budaya dari peradaban bangsa-bangsa di masa kuno. Ada banyak aspek yang mesti diamati. Seperti asal usul konsep, variasi yang diberikan, dan sejauh mana hasil “difusi inovasi” itu berkembang.

Contoh kasus yang dapat dilihat untuk hal ini adalah sebagai berikut: Dalam tradisi Hindu, pada mitologi veda dewa Surya (dewa matahari dalam agama Hindu) digambarkan setiap hari bergerak bersama kereta kudanya melintasi langit ke arah barat. Jalur matahari disiapkan untuknya oleh varuna. 

Dalam mitologi Mesir kuno Dewa Ra (Dewa Matahari Mesir) diilustrasikan setiap hari berlayar dengan “perahu siang” melintasi perairan langit, dan pada malam hari berpindah ke “perahu malam” untuk berlayar melewati Duat (wilayah misterius yang terkait dengan kematian dan kelahiran kembali). 

Sementara dalam mitologi Yunani kuno, diilustrasikan Helios (Dewa Matahari Yunani) mengendarai kereta kuda melintasi langit setiap hari (menuju barat pada siang hari, dan menuju timur pada malam hari). 

Demikianlah, pergerakan matahari diilustrasikan ketiga bangsa besar di dunia ini dengan caranya masing-masing. India dan Yunani kuno memilih mengillustrasikan dewa mataharinya menunggangi kereta dikarenakan budaya dan peradaban mereka bercorak daratan/ kontinental.

Sementara Mesir kuno mengillustrasikan dewa mataharinya berlayar menggunakan kapal melintasi langit dikarenakan budaya dan peradaban mereka bercorak maritim. Namun intinya, mereka sama-sama mengadopsi konsep yang sama yaitu tentang pergerakan matahari.

Contoh kasus lainnya, dan pada dasarnya menjadi tema utama tulisan ini adalah dewi fajar atau dewi pagi yang dalam tradisi Hindu dikenal sebagai “Ushas”, dalam mitologi Yunani dikenal sebagai “Eos”, dalam mitologi Romawi dikenal sebagai “Aurora”, sementara orang Arab pra-Islam menyembahnya dengan nama “Uzza”.

Ushas dalam mitologi Hindu

Ushas adalah dewi yang paling mulia di Rig Veda. Ia dianggap setara dengan dewa (laki-laki) utama Veda. Ia dihormati sebagai yang menghidupkan kembali bumi setiap hari, mengusir kekacauan dan kegelapan, menggerakkan semua hal, mengirim semua makhluk hidup untuk melakukan tugas mereka. 

Dalam “family books” dari Rig Veda, Ushas disebut sebagai putri ilahi. Menurut Sri Aurobindo (1872 – 1950), seorang filsuf, yogi, guru, penyair, dan nasionalis India, Ushas adalah medium kebangkitan, aktivitas dan pertumbuhan dewa-dewa lain; ia adalah kondisi pertama dari realisasi “Veda” (sanskerta: pengetahuan dan kebijaksanaan). Ushas berasal dari bahasa Sanskerta “usa” yang berarti “fajar”. Karena itu ia dikenal sebagai dewi fajar dalam tradisi Hindu.

Eos dalam mitologi Yunani

Dalam mitologi Yunani, Eos adalah seorang Titaness (generasi para dewa sebelum Olympians), dan dikenal sebagai dewi fajar. Eos adalah putri Titans Hyperion, dan saudara perempuan dari Helios (dewa matahari). Eos menikah dengan Titan Astraeus (“Bintang-bintang”) dan menjadi ibu dari Anemoi (“angin”) yaitu Zephyrus (angin barat), Boreas (angin utara), Notus (angin selatan), dan Eurus (yang menurut beberapa orang adalah angin tenggara, tetapi menurut yang lain angin timur. Di Menara Angin di Athena, Euro menempati sisi tenggara, sedangkan Apeliotes di timur). 

Aurora dalam mitologi Romawi

Aurora adalah kata Latin untuk fajar, dan merupakan nama dewi fajar dalam mitologi Romawi. Ia memperbarui dirinya setiap pagi dan terbang melintasi langit, mengumumkan kedatangan Matahari. Aurora adalah putri Hyperion. Ia memiliki dua saudara kandung, seorang saudara laki-laki “Sol” (dewa matahari), dan seorang saudara perempuan “Luna” (dewi Bulan). 

Uzza dalam kepercayaan Arab pra Islam.

Uzza adalah salah satu dari tiga dewi utama dari agama Arab pra-Islam, dipuja bersama dengan Allat dan Manat. 

Penyembahan Al-Uzza berasal dari budaya Sabean (Kerajaan Saba atau Sheba di Semenanjung Arab selatan). Tempat ibadatnya kemudian menyebar ke seluruh Arab. Uzza kemudian dikenal sebagai dewi pelindung kota Mekah. Uzza adalah personifikasi dari planet Venus atau bintang pagi.

Nama Uzza disebut dalam Al Quran pada Surah An-Najm (53) ayat 19-20 : “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” 

Dalam perang Uhud, orang-orang Quraisy pra Islam menyerukan “wahai orang-orang Uzza, orang-orang Hubal!” untuk memanggil sesama kaumnya. (al-Tawil, Hashim, 1993. Early Arab Icons: Literary and Archaeological Evidence for the Cult of Religious Images in Pre-Islamic Arabia)

Al Uzza juga dikenal sebagai al-Zuhara, yang dalam bahasa Arab berarti “venus” atau “bintang pagi”. (Philip K. Hitti: “History of the Arabs”, 1937)

Kuil Arab paling terkenal untuk Uzza berada di tempat yang disebut Nakhlah dekat Qudayd, sebelah timur Mekah. Altarnya berupa tiga pohon akasia yang tumbuh berdekatan satu sama lain.

Kuilnya yang lain terletak di dalam kota dan disebut Buss. Kuil tersebut dibangun dari batu bata dan di dalamnya ada patung granit di mana suku-suku Arab meninggalkan hadiah pengorbanan untuk dewi.

Dari beberapa fakta terkait Uzza yang diungkap di atas, kiranya dapat disimpulkan jika orang Arab pra Islam juga mengenal dewi fajar dengan nama “Uzza”. 

Dapat kita lihat jika nama “Uzza” secara fonetis identik dengan “Ushas” dewi fajar dalam tradisi Hindu. Jika Uzza dianggap dewi paling terkemuka dalam tradisi orang Arab pra Islam maka demikian pula Ushas merupakan dewi fajar yang paling terkemuka dalam tradisi Hindu. Keduanya juga dianggap sebagai putri Ilahi, baik dalam tradisi Arab pra Islam maupun tradisi Hindu.

Jika nama Ushas berasal dari bahasa Sanskerta “usa” yang berarti “fajar”. maka Uzza juga dikenal sebagai Al-Zuhara yang berarti venus atau bintang pagi. Jadi, dapat kita lihat jika kedua sosok dewi ini secara jelas merepresentasikan aspek “fajar” atau “pagi”.

Demikianlah, dalam rentang waktu ribuan tahun konsep penyembahan dewi fajar menyebar ke seantero dunia. Mengalami banyak perkembangan dan variasi yang disesuaikan dengan tradisi budaya dari bangsa yang mengadopsi. Dikenal sebagai Eos di Yunani, Eostre di Jerman, Ushas di India, Aurora di Romawi, Uzume Di Jepang, dalam mitologi Indian Sioux dikenal sebagai Anpao, roh dengan dua wajah yang mewakili fajar, sementara dalam tradisi Arab pra Islam disembah dengan nama Uzza.

Sekian. Semoga bermanfaat. salam.

LihatTutupKomentar