-->

Kumara Sang Dewa Perang yang Disebut Jayabaya


Menarik untuk mencermati penyebutan nama ‘Kumara’ dalam wangsit Jayabaya, bait 164 dan bait 165. Sebagaimana kita ketahui, wangsit Jayabaya bergaya bahasa metafora, di mana suatu figur, karakter ataupun situasi yang disampaikannya sebagian besar (kalau tidak semuanya) adalah bentuk analogi.

Berikut ini bunyi bait 164 dan 165 dalam wangsit Jayabaya:

Bait 164: putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu / hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti / mumpuni sakabehing laku / nugel tanah Jawa kaping pindho / ngerahake jin setan / kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo / kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda / landhepe triniji suci / bener, jejeg, jujur / kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong (putra kesayangan almarhum yang bermukim di Gunung Lawu / yaitu Kyai Batara Mukti, ya Krisna, ya Herumukti / menguasai seluruh ajaran (ngelmu) / memotong tanah Jawa kedua kali / mengerahkan jin dan setan / Pemuda Prewangan (KBBI, Prewangan = penghubung dengan dunia roh) seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu / membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda / tajamnya tritunggal nan suci / benar, tegak lurus, jujur / didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)

Bait 165: pendhak Sura nguntapa kumara / kang wus katon nembus dosane / kadhepake ngarsaning sang kuasa / isih timur kaceluk wong tuwa / paringane Gatotkaca sayuta (Artinya: ketemu bulan Sura sambutlah kumara / yang sudah tampak menebus dosa / dihadapan sang Maha Kuasa / masih muda sudah dipanggil orang tua / warisannya Gatotkaca sejuta)

Kata Kumara yang disebut dalam bait 164 merujuk pada makna “pemuda”. Dalam bahasa sanskerta, kumara artinya “Anak laki-laki / pemuda / pangeran”.

Arti ‘kumra’ dalam bahasa sanskerta (dokpri)

Sementara itu, Kumara yang disebut dalam bait 165, memiliki dua arah pemaknaan: pertama, bermakna pemuda, yang secara jelas diisyaratkan dalam kalimat “masih muda sudah dipanggil orang tua” ; kedua, sangat mungkin merujuk pada, Kumara sang Dewa Perang (dalam tradisi Hindu), putra sulung Dewa Siwa.

Pertimbangan bahwa sebutan nama ‘kumara’ (dalam bait 165) merujuk pada dewa perang dalam tradisi Hindu, dikuatkan adanya kalimat “Bergelar pangeran perang” dalam bait sebelumnya (bait 163). Di sisi lain, sebutan “pangeran perang” sejalan pula dengan makna kata ‘kumara’ dalam bahasa sanskerta yaitu: Pangeran (prince). [lihat lampiran gambar di atas]

Berikut ini kutipan bait 163:

apeparap pangeraning prang / tan pokro anggoning nyandhang / ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang sing padha nyembah reca ndhaplang / cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang (bergelar pangeran perang / kelihatan berpakaian kurang pantas / namun dapat mengatasi keruwetan orang banyak yang menyembah patung yang membentangkan kedua tangan / cina ingat suhu-suhu (leluhur) dan pesan yang diberi, lalu melompat ketakutan)

Dalam tradisi Hindu

Dalam teks-teks kuno tradisi India, Kumara dikenal dengan banyak nama, tapi yang paling populer di antara semua nama itu adalah: Muruga, Skanda, Karttikeya, dan Subrahmanya.

Ia adalah putra sulung dewa Siwa. Sebagian besar versi cerita tentang Kumara menyebutkan bahwa, para dewa berharap Kumara dilahirkan ke dunia untuk menghancurkan iblis Taraka, yang telah diberikan anugerah bahwa hanya akan bisa dibunuh oleh seorang putra Siwa.

Ia adalah salah satu dewa terpenting dan merupakan figur dewa yang populer dari sejak zaman kuno.  Jejaknya dapat ditelusuri hingga ke zaman weda (pertengahan milenium kedua sampai pertengahan milenium pertama SM).

Referensi kuno mengenai Kumara dapat ditemukan dalam Rig Veda, Purana, Natyashastra, Vyakarana, dan masih banyak lainnya.

Term Kumara yang muncul dalam himne Rig Veda (RV 5.2.1-3) dapat diartikan sebagai Skanda (pangeran), dan juga “anak laki-laki”.

(dokpri)

Berikut ini makna Skanda dalam bahasa Sanskrit, yang dapat berarti: penyerang / pangeran / raja.

(dokpri)

Jadi, jika ditinjau menurut maknanya dalam bahasa Sanskrit, Kumara dan Skanda, sama-sama berarti “pangeran”.

Hanya saja makna “anak laki-laki / pemuda” untuk kata Kumara tidak kita temukan ada untuk kata Skanda. Begitu juga sebalikanya, makna “penyerang” untuk kata Skanda, tidak kita temukan dalam makna kata Kumara.

Dalam Natyashastra (teater dan dramaturgi)

Kumara (कुमार) mengacu pada “pangeran”, yang berjenggot (smasru) – yang merepresentasikan “vicitra” atau “kecerdasan di tingkat terbaik / apa yang disajikan terlihat sangat tidak biasa / sangat aneh / dan menimbulkan rasa penasaran karena keluarbiasaanya”.

Dalam Naṭyasastra bab 35, ia yang mengacu pada peran “pangeran” didefinisikan sebagai, “aktor dari jenis terbaik yang memiliki mata dan alis yang indah, dahi, hidung, bibir, pipi, wajah, leher, dan setiap anggota tubuh lainnya terlihat indah, memiliki penampilan yang menyenangkan, gaya berjalan yang bermartabat, tidak gemuk atau kurus, berperilaku baik, bijaksana dan teguh secara kodrati.

Menurut Lontar Tutur Kumara Tattwa (tradisi Bali)

Dalam Lontar Tutut Kumara Tattwa, Kumara dapat dimaknai sebagai: suatu kehidupan yang tidak mengalami perkembangan atau tetap menjadi anak-anak.

Menurut apa yang disampaikan dalam buku Pendidikan Agama Hindu dalam Lontar Tutur Kumara Tattwa (Oleh: I Putu Febriyasa Suryanan), Lontar Tutur Kumara Tattwa bersumber dari teks Siwagama, khususnya dari episode kelahiran Bhatara Kala.

Episode ini bercerita tentang ketika Bhatara Kala lahir, Bhatara Siwa memberikan anugerah kepada Bhatara Kala, yaitu boleh memangsa setiap orang yang lahir bertepatan dengan wuku atau Tumpek Wayang. Kemudian tanpa terduga lahir BhataraKumara yang bertepatan dengan Tumpek Wayang (yang berarti bahwa Bhatara Kala boleh memangsa BhataraKumara).

Ketika Bhatara Kala hendak memangsa BhataraKumara, muncul Bhatara Guru (Dewa Siwa) yang memberi nasihat, menyarankan kepada Bhatara Kala untuk menangguhkan keinginannya memangsa BhataraKumara karena usianya masih kecil, dan menunggu BhataraKumara hingga tumbuh dewasa. Dalam masa penantian tersebut Bhatara Guru menitahkan Bhatara Kala turun ke dunia. Bhatara Kala menerima saran tersebut.

BhataraKumara sendiri tetap tinggal di alam para dewa yang, dimanfaatkan Bhatara Guru untuk mengutuk BhataraKumara agar tidak dapat tumbuh dewasa sehingga, ia tidak dimangsa Bhatara Kala.

Menurut I Putu Febriyasa Suryanan, Cerita teks Siwagama di atas kemudian dikembangkan ke dalam Lontara Tutur Kumara Tattwa – di mana BhataraKumara dikisahkan dalam representasinya sebagai seorang “gembala”. Dalam perjalanannya, Bhatara Kumara akan sadar atas hakikat dirinya yang terikat akan sumpah Bhatara Guru bahwa ia tidak akan pernah tumbuh dewasa (akan menjadi musuh Bhatara Kala), dan bahwa dirinya terikat oleh eksistensi dirinya sebagai gembala

Dengan menimbang bahwa Kumara yang disebut Prabu Jayabaya dalam wangsitnya merujuk pada Satria Piningit atau Ratu Adil, dan di sisi lain berkorelasi pula dengan sosok Budak Angon yang disebutkan dalam wangsit Prabu Siliwangi, maka, Saya pribadi melihat ada kemungkinan bahwa, dua hal yang ditakdirkan pada diri Kumara dalam narasi Lontara tutur Kumara Tattwa, yaitu sebagai: seorang yang tidak pernah tumbuh dewasa, dan sebagai sosok gembala – tampaknya, memiliki keterkaitan dengan Budak Angon atau Anak Gembala dalam wangsit Prabu Siliwangi.

Jadi, sangat mungkin bahwa aspek “pemuda” yang melekat pada sosok Satria Piningit atau Ratu Adil dalam wangsit Jayabaya, Budak Angon (Anak Gembala) dalam wangsit Siliwangi, Pangeran Cahaya dalam naskah gulungan laut mati, Maitreya dalam tradisi Buddha, Kalki dalam tradisi Hindu, hingga Al Mahdi dalam tradisi Islam, diilustrasikan sebagai Bhatara Kumara yang dikutuk tidak pernah menjadi dewasa oleh Bhatara Guru dalam teks Siwagama ataupun Lontar Tutur Kumara Tattwa.

Aspek “awet muda” pun secara nyata diisyaratkan pada kalimat terakhir dalam Rig Veda Himne 5.2. 4 “They who were grey with age again grow youthful”, artinya: Mereka yang menguban/kelabu seiring bertambahnya usia (akan) kembali tumbuh awet muda.

Berikut ini bunyi selengkapnya Rig Veda Himne 5.2. 4:

I saw him moving from the place he dwells in, even as with a herd, brilliantly shining. These seized him not: he had been born already. They who were grey with age again grow youthful. (Rig Weda yang diterjemahkan dalam bentuk bahasa Inggris oleh Ralph T.H. Griffith)

Kumara sebagai Dewa Perang

Kumara adalah nama lain dewa Kartikeya, yang banyak dibahas dalam teks-teks tradisi Hindu sebagai Dewa Perang yang memimpin tentara para dewa dalam perang besar melawan golongan iblis yang dipimpin oleh Taraka.

Taraka atau Tarakasura adalah Asura (setan) yang diberi anugerah hanya akan dapat dibunuh oleh seseorang yang sekuat Dewa Siwa, dan hanya Putra Dewa Siwa saja yang akan dapat sekuat Dewa Siwa. 

Dalam satu riwayat disebutkan, Taraka meyakini kemungkinan bahwa Siwa akan memiliki anak tidak akan terjadi setelah kematian Sati.

Dalam riwayat lain disebutkan, karena Dewa Siwa adalah seorang pertapa maka, Taraka berkeyakinan Siwa tidak akan menikah yang berarti tidak akan memiliki anak. Karena itu, Taraka meyakini dirinya tidak akan terkalahkan. 

Dalam Riwayat yang paling populer, dikisahkan bahwa ketika para dewa cemas dengan angkara murka yang disebabkan oleh iblis Taraka, mereka mengirim Parvati untuk membujuk Siwa menikahinya. 

Shiva, yang telah larut dalam meditasi, pada awalnya tidak tertarik pada Parvati sampai dia terkena panah dari busur Kama, dewa cinta. 

Karena telah bertahun-tahun berpantang, benih Siwa menjadi begitu kuat sehingga para dewa, karena takut akan hasilnya, mengirim Agni, dewa api, untuk menghentikan permainan asmara Siwa dengan Parvati. 

Agni menerima benih dari Siwa dan lalu menjatuhkannya ke Sungai Gangga, tempat Skanda atau Kumara terlahir. Jadi, Kumara tidak terlahir dari rahim Parvati, tetapi terlahir dengan cara yang diluar kebiasaan.

Dalam Shaivisme, Karttikeya atau Kumara dinarasikan sebagai dewa tingkat tinggi. Dibandingkan dengan dewa-dewa lain, posisinya sangatlah penting. Bahkan, Indra yang berusaha berperang dengannya pun dapat dikalahkan. 

Kumara menerima gelar Jenderal perang dari pasukan dewa dan akan menjalani takdirnya untuk membunuh Iblis Taraka.

Demikianlah, Nama “Kumara” dan juga sebutan “pangeran perang” dalam wangsit Jayabaya, merujuk pada “Kumara sang dewa perang” yang akan memimpin pasukan bangsa manusia, bangsa jin, dan semua kekuatan kosmis yang berdiri di sisi kebenaran”.

Jadi, ungkapan “Kumara prewangan” atau “pemuda prewangan” atau secara harafiah berarti “dukun muda” (dalam bait 164) yang dapat memerintah bangsa Jin, tidak dapat serta merta dinilai sebagai suatu hal yang buruk.

Karena secara jelas dalam kalimat bait 164 tersebut dinyatakan bahwa: ” (…) seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu / membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda / tajamnya tritunggal nan suci / benar, tegak lurus, jujur / (…)

Artinya, makhluk yang ada di barisan Satria Piningit atau Ratu Adil adalah makhluk halus yang berdiri di sisi kebenaran. Hal ini ditegaskan pula dalam bait 162 dalam frase “berebut garis yang benar”

” (…) banyak suara aneh tanpa rupa / pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar / tak kelihatan, tak berbentuk (…) “

Demikian “narasi pengantar” perang akhir zaman ini saya sampaikan, agar dicermati sebaik mungkin… 🙂

Artikel terkait: Kepopuleran Sanat Kumara di Kalangan Mistikus Teosofi

LihatTutupKomentar