-->

Kepopuleran Sanat Kumara di Kalangan Mistikus Teosofi


Dalam tulisan sebelumnya (Kumara Sang Dewa Perang yang Disebut Dalam Wangsit Jayabaya) telah saya bahas mengenai adanya penyebutan nama ‘Kumara’ dalam wangsit Jayabaya dan, penjelasan mengapa Prabu Jayabaya menyebutnya “dewa perang” dan juga “kumara prewangan”. Dalam bagian ini saya akan mengulas sosok Sanat Kumara yang juga populer di kalangan mistikus teosofi.

Teosofi adalah filsafat keagamaan yang dibentuk pada tahun 1875 oleh mistikus Rusia Helena Blavatsky. (sosok Helena Petrovna Blavatsky telah saya bahas dalam tulisan: Koneksi Okultisme Nazi, Tibet, dan Rosicrucian)

Secara umum Teosofi berpandangan bahwa setiap agama yang hadir di dunia sejak masa kuno mempunyai kepingan kebenaran. Mereka percaya bahwa kesemua agama tersebut pada dasarnya berasal dari satu sumber, karena itu, mencoba memulihkan kembali pengetahuan agama-agama kuno adalah salah satu concern mereka. Dalam hal ini, study perbandingan agama adalah hal yang akrab mereka lakukan.

Pemuda Abadi (Sanat Kumara) dan Teladan Kebenaran Realitas

Menurut publikasi teosofi (setidaknya setelah memasuki abad 20), Sanat Kumara adalah “Advance Being” pada tingkat inisiasi Kosmik, dianggap sebagai “Raja dunia” dan “pemimpin umat manusia”. Dia dipercaya berdiam di tanah murni Shamballa.

Penyebutan kalangan teosofi, Sanat Kumara sebagai guru pencerahan spiritual (ascended master), tampaknya, bersumber dari teks hindu Chandogya Upanishad Prapathaka VII yang menyajikan dialog Sanat Kumara dan Narada. Dalam bagian ini Sanat Kumara muncul sebagai Resi tempat Narada meminta petunjuk.

Dalam bahasa Sanskerta, “Sanat Kumara” berarti “Pemuda Abadi”. (lihat lampiran berikut)

Arti kata ‘sanat’ dalam bahasa Sanskerta (dokpri)
Arti kata ‘kumara’ dalam bahasa sanskerta (dokpri)

Dalam pemahaman yang lebih luas, kata ‘sanat’ dianggap terkait dengan kata ‘sant’ dalam tradisi Hinduisme, Jainisme, Sikhisme dan Budha, yaitu: manusia yang dihormati karena pengetahuannya tentang “diri, kebenaran, realitas” dan sebagai “teladan kebenaran”. Dalam Sikhisme, kata ini digunakan untuk menggambarkan makhluk yang telah mencapai pencerahan spiritual dan kekuatan ilahi melalui persatuan dengan Tuhan.

Deskripsi ‘Sanat’ sebagai “manusia yang dihormati karena pengetahuannya tentang “diri, kebenaran, dan realitas”, sejalan dengan dialog antara Sanat Kumara dan Narada dalam Chandogya Upanishad.

Dalam dialog tersebut, Narada berkata kepada Sanat Kumara: ajari aku, Tuan, pengetahuan Jiwa, karena aku mendengar bahwa siapa pun yang mengenal Jiwa, berada di luar penderitaan dan kesedihan”.

Sebelum Narada menyampaikan keinginannya tersebut, Sanat kumara sempat bertanya kepada Narada apa saja yang telah ia pelajari sejauh ini. 

Narada menjawab, dia mengetahui Rig Veda, Sama Weda, Yajur Weda, Atharva Veda, epos dan sejarah, mitos dan cerita kuno, semua ritual, tata bahasa, etimologi, astronomi, pengatur waktu, matematika, politik dan etika, peperangan, prinsip-prinsip penalaran, pengetahuan ilahi, pengetahuan doa, pesona ular, pengetahuan hantu dan seni rupa.

Narada mengakui kepada Sanat kumara bahwa tidak satupun dari ini yang membawanya pada pengetahuan-Diri, dan dia ingin mengetahui tentang Diri dan Pengetahuan-Diri.

Sanat kumara kemudian menyatakan kepada Narada bahwa semua yang telah ia pelajari itu adalah ilmu duniawi yang, selama ini hanya terfokus pada nama.

Dalam bagian dialog selanjutnya, Sanat Kumara kemudian menyajikan penjelasan tentang hierarki meditasi progresif (dari pengetahuan duniawi ke pengetahuan batin) – sebagai sebuah perjalanan yang bijaksana, untuk pengetahuan Diri, dan untuk pencapaian kebahagiaan tak terbatas.

***

Demikianlah, Kumara yang dalam pemahaman kalangan teosofi dipandang sebagai “Pemuda Abadi”, “guru pencerahan spiritual” dan “teladan kebenaran realitas”, sangat sejalan dengan penggambaran Kumara dalam wangsit Jayabaya:  

  • masih muda sudah dipanggil orang tua (bait 165)
  • tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati / bijak, cermat dan sakti / mengerti sebelum sesuatu terjadi / (bait 167)
  • di hadapan Begawan, bukan pendeta disebut pendeta (bait 170)
  • para pendeta juga pada memuja (bait 173)

Atas semua penjelasannya tentang sosok Kumara, Prabu Jayabaya mewanti-wanti dalam bait 172: “inilah jalan bagi yang ingat dan waspada pada zaman kalabendu Jawa / jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa / yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga / jangan keliru mencari dewa / carilah dewa bersenjata trisula wedha (tegak dalam “kebenaran, keadilan, dan kejujuran”) / itulah utusan dewa”.

LihatTutupKomentar