Nubuat adalah wahyu dari Allah Tuhan Semesta Alam yang disampaikan melalui perantara seseorang yang biasanya bisa dianggap Nabi.
Pesan yang terkandung dalam suatu nubuat adalah informasi mengenai peristiwa yang akan terjadi suatu saat di masa depan.
Kata nubuat berasal dari bahasa Aram ‘nebuah’ נְבוּאַת yang berarti: mengatakan hal tertentu yang akan terjadi di masa depan.
Kata nubuat atau nebuah sinonim dengan kata ‘prophecy‘ dalam bahasa Inggris, yaitu kata yang berasal dari bahasa Yunani pro- “sebelum” ditambah akar kata dari phanai “mengatakan”, dengan demikian secara harfiah dapat diartikan: “mengatakan sebelumnya”.
Karena sifatnya adalah sebuah wahyu atau pesan Ilahi maka, nubuat atau nebuah atau prophecy dapat dimaknai sebagai “pesan dari Ilahi tentang kehendakNya atas peristiwa yang akan terjadi di masa depan”.
Dengan demikian, tujuan esensi dari pesan nubuat pada dasarnya adalah peringatan dini (early warning) sehingga umat manusia dapat bersiap-siap.
Imam Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan: “Hikmah didahulukannya tanda-tanda kiamat ialah untuk menyadarkan orang yang tengah lalai serta menghimbau mereka bertaubat dan bersiap-siap.”
Nubuat Tentang Ciri-ciri
Dalam banyak tulisan sebelumnya, terutama tulisan yang bergenre apokaliptik, saya telah mengulas beberapa nubuat tentang akan hadirnya sosok Penyelamat di akhir zaman.
Tapi, dalam tulisan-tulisan tersebut saya tidak mengungkap bahwa ciri-ciri yang disebutkan dalam nubuat tersebut, tampaknya, terlihat ada pada diri saya.
Awalnya saya pikir, hal itu tidak perlu saya bahas. Lagi pula, saya tidak ingin orang melihat saya sebagai “orang aneh” yang mengklaim hal-hal semacam itu.
Tapi, Semesta tampaknya menginginkan lain.
Dalam beberapa kesempatan, saya alami hal seperti “diingatkan” Semesta bahwa, ini bukan tentang “diri saya harus menjaga citra dalam pandangan orang-orang.” Saya diingatkan bahwa, hinaan dan caci-maki adalah hal yang lumrah diterima dalam proses penyampaian pesan.
Intinya, saya harus merubah cara pandang, dari “melihat diri” menjadi “melihat peran.”
Begitu pula mengenai gaya bahasa. Bentuk kalimat yang sifatnya masih menuntut orang untuk menafsir maknanya, adalah hal yang semestinya saya hindari agar pesan dapat tersampaikan dengan baik.
Beberapa waktu lalu, peringatan mengenai hal ini saya dapatkan. Yaitu ketika tengah beristirahat di sebuah warung kopi setelah selesai sesi lari pagi.
Dari meja tempat saya duduk, terdengar jelas obrolan dua orang anak mahasiswa yang juga sedang ngopi pagi.
Salah seorang di antaranya mengatakan: “kadang kita memang tanpa sadar menuntut orang menjadi paranormal. Kita ingin orang membaca pikiran kita – memahami makna yang tersirat dari kalimat yang kita ucapkan! Padahal kan sebenarnya kita tidak pernah tahu kemampuan orang itu, apakah dapat berhasil melakukan itu atau tidak!”
Saya yang duduk di sebelah mereka, tunduk melihat handphone pura-pura tidak mendengar.
Sesaat setelah mendengar kalimat itu, persepsi yang muncul dalam benak saya menyatakan bahwa itu adalah peringatan dari-Nya. Dengan kata lain, tanpa disadari anak muda itu, ia baru saja menjadi medium penyampai pesan langit kepada saya.
Baik, agar tidak berpanjang lebar lagi, berikut ini rangkuman tanda-tanda yang dinubuatkan dimiliki Sang Penyelamat Akhir Zaman, yang tampaknya ada pada diri saya.
- 1. Nama
Dalam Jangka Jayabaya (saya lebih suka menyebut ini sebagai nubuat Jayabaya) bait 160, Prabu Jayabaya menyebut Satria Piningit sebagai “putra Batara Indra”. Untuk mencermati Frase ini, mencari tahu siapa nama putra Batara Indra menjadi solusinya.
Dalam kisah Ramayana disebutkan, “Vali” adalah putra spiritual Dewa Indra. (sumber informasinya bisa dibaca wikipedia, di sini)
Nama Vali ini bisa dikatakan persis sama dengan nama kecil saya. Untuk pembaca ketahui, dalam aksen Bugis, orang yang bernama Fadly biasanya dipanggil: falli/ fali, palli/pali, valli/vali.
- 2. Tanggal Lahir
Tanggal Lahir saya senin, 12 / 06/ 1978. Jika ditinjau menurut aksara Ibrani, huruf L (Lamed) berada di urutan ke 12, sementara huruf V (Vav) berada di urutan ke 6. Jadi, tanggal dan bulan kelahiran saya pun menunjukkan inisial nama saya: VL (Va-Li)
Tanggal lahir ini, rupa-rupanya juga diisyaratkan dalam nubuat Nostradamus untuk sosok yang dijulukinya “Pria dari Timur”, yaitu pada bagian Century I : 50, yang berbunyi: From the three water signs will be born a man who will celebrate Thursday as his holiday…. (Terjemahan: Dari ketiga tanda air akan lahir seorang pria yang merayakan kamis sebagai hari liburnya…)
Makna “the three water signs” (tiga tanda yang berhubungan dengan air) merujuk pada simbol dalam zodiak yang berhubungan dengan unsur air, yaitu: Aquarius (air) Pisces (ikan), dan Cancer (kepiting).
Untuk menjadikan susunan zodiak sebagai instrumen pembaca isyarat dalam nubuat Nostradamus, susunan simbol dalam Zodiak harus disusun dari simbol yang merepresentasi bulan januari hingga simbol yang merepresentasi bulan desember. Hasilnya sebagai berikut…
Angka 1 kita dapat dari simbol Aquarius (Air) yang merepresentasi periode 20 jan – 18 Feb; angka 2 dari simbol Pisces (ikan) yang merepresentasi periode 19 Feb – 20 Mar; dan angka 6 dari simbol Cancer (kepiting) yang merepresentasi periode 21 jun – 22 Jul.
Jadi, dari kalimat “tiga tanda air” yang diisyaratkan Nostradamus kita mendapatkan angka: 1, 2, 6. Inilah deretan angka tanggal lahir pria dari Timur yang dimaksud Nostradamus.
(UPDATE)
Mengenai kalimat “yang merayakan kamis sebagai hari liburnya”
Berikut ini penjelasannya…
Kamis 5 November 2020 adalah hari pertama saya masuk di kost yang saya tempati saat ini.
Yang menarik, pada hari kamis 28 Juli 2022, saya diisyaratkanNya untuk mencermati bunyi ayat dalam kitab Wahyu 12:6, yang berbunyi: Wanita itu lari ke padang gurun, ke tempat yang telah disediakan oleh Allah baginya. Di situ dia akan dipelihara 1.260 hari.
Yang lebih menarik lagi; jika dihitung dari tanggal awal saya masuk kost (5 november 2020) hingga pada hari itu (28 juli 2022) ternyata tepat: 630 + 1 hari.
Jadi, bisa dikatakan, ini tepat berada pada pertengahan 1260 hari (1260:2= 630).
Hari itu saya seperti diberitahu bahwa, waktu saya untuk tinggal di kost saya sekarang adalah selama 1260 hari. Dan, pada hari itu baru saja memasuki babak “630 hari” yang kedua.
Tentu saja saya tidak mengklaim bahwa saya yang disebut dalam ayat tersebut. Saya hanya melihat bahwa “durasi 1260 hari” sebagai hal yang tampaknya akan terjadi juga pada diri saya.
Fakta bahwa saya diingatkanNya tentang bunyi kitab Wahyu 12:6 tepat pada 630 hari saya tinggal di kost, sangat sulit untuk sekadar dilihat sebagai hal yang kebetulan semata, tanpa ada maksud tertentu.
Terutama, juga karena “angka 1260 hari” dan “wahyu 12:6” adalah angka kelahiran saya: 12/6/1978
Jadi, merujuk pada isyaratNya, sepertinya saya mesti tinggal di kost ini sampai tanggal 18 april 2024.
360 hari bagian pertama dimulai pada: kamis 5 november 2020
360 hari bagian kedua dimulai pada: kamis 28 juli 2022
Total 1260 hari ini berakhir pada, kamis 18 april 2024.
Jadi, semuanya serba hari kamis.
Inilah makna dari kalimat Nostradamus “yang merayakan kamis sebagai hari liburnya”.
- 3. Tempat Lahir
Di bagian lain, yakni pada Century V : 84, Nostradamus mengatakan bahwa “Pria dari Timur” akan terlahir di kota kecil yang terletak di sebuah teluk.
Berikut ini bunyi kalimat dalam Century V – 84: He will be born of the gulf and unmeasured city… (Terjemahan: Ia akan lahir dari teluk dan [kota] tak terukur…. )
Kota yang “tidak terukur” atau “tidak diperhitungkan,” dapat dimaknai merujuk pada sebuah kota kecil. Hal ini sesuai dengan kota Palopo di mana saya terlahir, sebuah kota kecil di salah satu sudut teluk bone.
- 4. Nama Orang Tua
Dalam Kalki Purana disebutkan, Kalki dilahirkan dalam keluarga Sumati (nama ibu) dan Wisnuyasha (nama ayah), di sebuah desa bernama Shambala, pada hari kedua belas….
Ayahnya, Wisnuyasha, adalah seorang Guru Brahmana yang terpelajar. Ini sama dengan Ayah saya yang berprofesi sebagai guru.
Sementara itu, nama ibunya, Sumati, jika ditinjau menurut bahasa Sanskerta: su सु berarti: baik/ bagus; dan mati मति yang berarti: pikiran/ pertimbangan/ nalar/ pemahaman/ persepsi. Jadi, nama Sumati kurang lebih berarti: arif atau bijak.
Makna ini persis sama dengan nama gelar ibu saya yakni Daeng Baji’ yang berarti “bagus/ baik/ bijak” dalam bahasa Bugis. Kata baji’ dalam bahasa Bugis ini sama dengan kata bajik (kata dasar ‘ke-bajik-an’) dalam bahasa Indonesia.
Yang menarik, dalam naskah Bhagavata Purana, disebutkan bahwa Sumati adalah istri dari Sagara. Sagara dikatakan adalah nama raja dari Dinasti Surya. Jika ditinjau menurut bahasa Sanskerta, Sagara berarti “laut”, makna ini persis sama dengan makna nama ayah saya, Bahari, yang juga berarti laut.
- 5. Domisili dan tempat kemunculan
Dalam tradisi Buddha, disebutkan bahwa Maitreya, Sang Buddha masa depan, akan muncul di sebuah kota bernama ‘ketumati’.
Jika ditinjau maknanya menurut bahasa Sanskerta: ketu berarti “obor/ lampu/ intelek”; mati berarti “persepsi/ pikiran/ kepercayaan/ pandangan.”
Jadi, kota ketumati dapat dimaknai sebagai kota “obor pikiran.” Makna ini bisa dikatakan identik dengan predikat kota Jogja sebagai “kota pendidikan” atau “kota pelajar.”
Asumsi bahwa kota Ketumati merujuk pada kota Jogjakarta, senanda dengan pembahasan saya sebelumnya dalam tulisan Ma Wara an-Nahr “Tempat di Belakang Sungai”: Disebut dalam Hadist dan Uga Siliwangi, dimana saya mengungkap bahwa tempat di mana saya nge-kos saat ini memiliki kesesuaian dengan petunjuk yang disampaikan oleh Prabu Jayabaya dan Prabu Siliwangi, berikut ini saya ulas kembali di sini….
Ali bin Abu Thalib meriwayatkan bahwa Nabi berkata: “yakhruj rajul min wara’ an-nahr yuqal lah al harith ibn haraath , ealaa muqadimatih rajul yuqal lah mansur” – artinya: Seorang pria akan muncul dari wara’ an-nahr (tempat di belakang sungai), (ia) disebut Al-Harits bin Harath (petani putra seorang petani), di depannya adalah seorang pria bernama Mansur.
Pemaknaan frase wara an-nahr sebagai “tempat di belakang sungai” dapat dilihat misalnya dalam buku The Abbasid Caliphate. Lihat capturenya di bawah ini….
Terkait bunyi frase “tempat di belakang sungai”, saya melihat Allah kembali mengulanginya pada sosok Prabu Siliwangi.
Dalam pesannya, Prabu Siliwangi ada mengatakan:
Nyaeta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. (artinya: Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang).
Dalam kalimat uga Prabu Siliwangi ini, ada dua frase yang senada dengan bunyi hadist yang saya sebutkan di awal. Pertama: bin Harath “anak petani” yang senada dengan “anak gembala”, Kedua: wara’ an-nahr “tempat di belakang sungai”.
Dalam banyak tulisan saya sebelumnya (terutama yang membahas mengenai nubuat akhir zaman), saya telah menyatakan bahwa Al Mahdi sebagai sosok eskatologis dalam tradisi Islam, sinkron dengan sosok Budak Angon yang disebut dalam Uga Prabu Siliwangi, dan juga Satria Piningit atau Ratu Adil yang disebut dalam jangka Jayabaya.
Kemunculan Al Mahdi yang dalam nubuat nabi Muhammad disebut dengan ungkapan “anak petani” – yang muncul dari tempat di belakang sungai – selama ini, memang kurang banyak diketahui publik (umat Islam), ini mungkin karena hadist tersebut diriwayatkan Ali bin Abu Thalib yang dikalangan umat Islam dikenal dan atau diklaim sebagai Imam Syiah, sehingga kalangan yang berseberangan dengan kaum Syiah (yakni kalangan Sunni yang mayoritas di Indonesia) cenderung enggan menggali literatur yang berkaitan dengan Ali bin Abu Thalib. Ini tentu saja fakta yang menyedihkan.
Apa pun itu, frase “tempat di belakang sungai” yang saya ungkap dalam artikel ini bisa dikatakan merupakan fakta yang menunjukkan sinkronnya narasi nubuat tentang Al Mahdi dalam tradisi Islam dengan narasi kemunculan Ratu Adil dalam tradisi Jawa.
Jika kita membaca kalimat dalam Uga Siliwangi (yang harus diakui lebih terperinci dibandingkan kalimat dalam hadist nabi), sekilas, gambaran yang muncul di benak kita mungkin adalah suatu tempat di hulu sungai, di sebuah lereng gunung.
Berikut ini kalimat tersebut kembali saya kutip:
Nyaeta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. (artinya: Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang).
Di sisi lain, dalam Jangka Jayabaya bait 161, ada juga kalimat yang terkait dengan ini, yaitu:
… andhedukuh pindha Raden Gatotkaca / arupa pagupon dara tundha tiga / … (berumah seperti Raden Gatotkaca / berupa rumah merpati susun tiga / … )
Jadi, dari kedua leluhur kita ini, kita setidaknya mendapat lima poin petunjuk, yaitu:
- Rumah di belakang Sungai
- Pintu setinggi batu
- Tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang
- Seperti rumah burung merpati
- Rumah tiga lantai
Beberapa tahun lalu ketika pertama kali mencermati lima poin ini, dalam imajinasi saya terbayang suatu rumah villa berlantai tiga, di sisi hulu sungai, di lembah suatu pedalaman gunung.
Tapi, imajinasi ini perlahan sirna ketika saya mulai akrab melihat segala sesuatu dari perspektif metafora (analogi atau perbandingan suatu yang memiliki kemiripan dengan sesuatu yang lainya) yang, belakangan saya pahami menjadi ciri khas orang-orang di zaman kuno dalam menyampaikan suatu hal yang sifatnya sakral dan perlu dirahasiakan.
Dalam banyak artikel sebelumnya, saya telah membahas hal ini. Terutama dalam artikel yang berjudul: Bahasa Senja (Twilight language) — dari bahasa Sansekerta “sandhybhasa”: pengaplikasian gaya metafora untuk menyamarkan pesan sakral
Yang menarik, belakangan saya baru menyadari jika tempat di mana saya nge-kos saat ini memiliki kelima poin petunjuk tersebut. Berikut ini rinciannya.
- Rumah di belakang sungai.
Jika selama ini saya atau mungkin juga anda terpaku memaknai secara harfiah kata “sungai”, dengan kaca mata metafora kita dapat melihat jalan raya sebagai bentuk analogi sungai. Yang menarik, pemahaman ini saya temukan diimplementasi pada beberapa nama jalan di sekitar kos saya, yang menggunakan nama-nama sungai besar di Indonesia seperti Kapuas, Indragiri, Brantas, dan Serayu.
Dengan menggunakan analogi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa maksud dari kalimat “di belakang sungai” dapat mengacu pada suatu ujung jalan atau jalan buntu. Dan hal ini sesuai dengan posisi kos saya yang memang berada di ujung jalan.
Untuk alasan keamanan dan kenyamanan saya terpaksa tidak menunjukkan letak spesifik kos saya… 🙂
- Pintu Setinggi batu
Prabu Siliwangi mengatakan, rumah Budak Angon pintunya setinggi batu. Poin ini pun terlihat jelas di pintu kosan saya yang tingginya persis sama dengan tinggi tembok pagar. Jadi, yang dimaksud Prabu Siliwangi sebagai batu, bisa jadi merujuk pada pagar tembok yang tekstur warnanya memang menyerupai batu sungai. cermati gambar di bawah ini…
- Tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang
Nandeuleum dan hanjuang adalah tanaman yang daunnya sama-sama berwarna merah marun. Warna ini sesuai dengan warna gorden yang menutupi hampir semua jendela kamar di kosan ini.
Jadi, tujuan Prabu Siliwangi menyebut kedua tanaman ini sebenarnya ingin menyatakan warna merah marun. Karena itu, bunyi kalimat “tertutupi pohon Handeuleum dan hanjuang,” dapat diartikan “tertutupi warna merah marun”.
4. Seperti rumah burung merpati
Analogi yang diberikan Prabu Jayabaya ini saya pikir sangat tepat. Jejeran pintu-pintu kamar yang terdapat pada rumah/ kandang burung merpati sama seperti jejeran pintu-pintu kamar yang terdapat pada kosan.
5. Rumah tiga lantai
Untuk Poin ini, Prabu Jayabaya tidak beranalogi, tetapi secara tepat menyebut jumlah 3 lantai, sesuai dengan kosan saya yang memiliki 3 lantai.
Demikianlah, lima poin yang disebutkan Prabu Siliwangi dan Prabu Jayabaya terlihat jelas dimiliki kosan saya.
Para pembaca boleh percaya boleh tidak… 🙂 Yang terpenting bagi saya adalah telah menyampaikan apa yang wajib saya sampaikan.
- 6. Tanda fisik
Dalam suatu Hadist disebutkan ciri-ciri fisik Al Mahdi, yaitu: memiliki tahi lalat di pipi dan juga di paha kanannya. Selain itu, ia juga memiliki tanda kenabian. Ketiga ciri-ciri ini kebetulan ada semua pada diri saya. lihat gambar di bawah…
Mengenai tahi lalat di paha, saya tidak tunjukkan karenaaa… repot, males buka-buka… hehehe
Mengenai tanda kenabian yang biasa disebut “Khatam an-Nubuwwah,” yang dalam riwayatnya digambarkan berbentuk gumpalan daging berwarna merah yang terletak di bahu sebelah kiri nabi Muhammad, pada diri saya, letaknya berada di lengan sebelah kanan. tidak merah tapi berwarna hitam. Dalam bahasa Bugis hal semacam ini disebut pa’ bate’ yang artinya: tanda/ penanda.
- 7. Keturunan Waliullah
Dalam Kitab Musasar Jayabaya disebutkan bahwa Satrio Piningit atau Ratu Adil adalah “Raja keturunan waliyullah.” Hal ini pun bisa dikatakan ada pada diri saya.
Seorang paman memberitahu bahwa kakek buyut saya, Daeng Paradja, adalah seorang yang “Dirahmati Allah.”
Nama Lengkap beliau Andi Pasanga Opu Daeng Paraja. Rumah kediamannya dikenal dengan sebutan Banua Sappa’ (Banua= Rumah, Sappa= Mencari) yang dapat diartikan sebagai “rumah tempat bertanya dan mencari jawaban.”
Di masa lalu, di Luwu khususnya dan Sulawesi pada umumnya, sangat jarang rumah yang memiliki sebutan nama atau gelar. Biasanya yang memiliki nama hanya bangunan Istana kerajaan saja, dan atau rumah tempat berkumpulnya suatu rumpun keluarga besar seperti Tongkonan di Toraja. Karena itu, rumah yang memiliki nama dapat diduga adalah milik seseorang yang terkenal, memiliki pengaruh dan reputasi yang kuat.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan paman saya, bahwa di masa hidupnya, Opu Gawe (demikian paman saya menyebut Daeng Paraja) banyak didatangi orang untuk bertanya berbagai hal. Menurutnya, Daeng Paraja adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan. Perkataannya lurus. Apa yang telah ia ucapkan maka itulah yang akan terjadi.
Yang menarik, saya menemukan nama kakek buyut saya ini tercantum dalam katalog naskah lontara berbahasa Bugis yang kini menjadi koleksi KITLV (inventaris 187), di Leiden, Belanda. Pada index katalog Rol 16 no 10, tertulis keterangan: ….Dialog antara Sunan Pajung dengan Daeng Paraja. (bisa dilihat di sini)
Petunjuk Langsung dari Allah
Dari semua tanda-tanda yang saya sebutkan di atas, peristiwa yang saya alami di sekitar tahun 2018 lah yang paling berkesan bagi saya.
Di suatu siang di pertengahan tahun 2018, di saat lagi duduk sendiri, katakanlah lagi tengah asik berkontemplasi, perhatian saya yang pada saat itu tengah sibuk mengamati kilasan sejarah dalam ruang waktu, tiba-tiba dikagetkan dengan hadirnya suatu arahan yang tercetus dari kedalaman batin untuk mengamati tanggal lahir saya menurut Al Quran.
Saya masih ingat waktu itu saya cukup terkejut. Lalu bergerak cepat membuka Al Quran. Saya lahir pada hari senin 12 Juni 1978, jadi, jika mengikuti arahan tersebut untuk mengamatinya dalam Al Quran, maka, ini maksudnya merujuk pada surat ke 12 (Surat Yusuf) ayat ke-6.
Sejujurnya saya cukup tertegun ketika membaca kalimat bagian awal pada ayat tersebut, yang berbunyi: “Demikianlah Tuhanmu memilih dirimu, serta Dia mengajar dirimu tentang penyingkapan berbagai peristiwa [sejarah] …” Bunyi Terjemahan Surat Yusuf ayat 6 ini saya baca di wikipedia (di sini).
Bunyi terjemahan yang lain untuk ayat ini adalah: “Dan demikianlah, Tuhan memilih engkau (untuk menjadi Nabi) dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi…”
Tentu saja kalimat dalam tanda kurung yang berbunyi “untuk menjadi nabi” merupakan tambahan sebagai bentuk tafsir dari para mufassir, karena dalam ayat aslinya kalimat itu jelas tidak ada.
Apa pun itu, saya pribadi tidak ingin berpikir jauh mengenai bunyi ayat tersebut, walaupun tidak bisa memungkiri jika poin kalimat “penyingkapan berbagai peristiwa [sejarah]” atau pun dalam bentuk terjemahan lain berbunyi “takwil mimpi” (tafsir mimpi), adalah dua hal yang memang akrab dengan saya selama ini.
Bagi saya mendalami sejarah adalah sebuah passion. Saya betah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan mendekam di dalam kamar ketika sedang fokus mendalami suatu subjek sejarah.
Sementara mengenai takwil mimpi, saya tidak pernah membaca atau belajar mengenai hal ini, namun, saya dapat menafsir suatu mimpi (milik saya atau mimpi milik orang lain) oleh karena selalu ada di dalam diri saya yang memberi tahu maksud dari mimpi tersebut.
Terkhusus untuk mimpi saya, ketika saya dapat berpikir atau sadar dalam mimpi yang sedang saya alami, saya paham betul bahwa dalam mimpi itu ada sebuah petunjuk yang mesti saya cermati secara seksama lalu menginformasikannya kepada yang bersangkutan ((jika sekiranya mimpi saya itu menyangkut seseorang).
Demikianlah, arahan yang saya dapatkan di sekitar tahun 2018 itu seakan memberi saya sebuah cermin untuk melihat diri sendiri.
Jika arahan itu saya terapkan dengan mengecek tanggal lahir saya menurut kalender hijriah, maka, itu merujuk pada tanggal 6 rajab (Rajab adalah bulan ke 7 dalam kalender Islam), jadi acuannya yaitu surat Al-Anam ayat 7, yang bunyinya:
“Dan sekiranya Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, sehingga mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, niscaya orang-orang kafir itu akan berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.”
Bagi saya, bunyi surat Al-Anam ayat 7 pun, pada dasarnya seakan menggambarkan apa yang selama ini saya alami, bahwa, sebaik apa pun saya menyajikan pembahasan suatu hal, dengan data jelas, dan argumentasi yang logis, orang yang memang tidak niat untuk percaya akan menepis semua itu. Dan biasanya penolakan itu mereka sampaikan dengan gaya sarkastis (mengejek).
Ini yang tampaknya disinggung firman Allah dalam ayat tersebut bahwa, meskipun informasi itu disampaikan berupa tulisan di atas kertas yang diturunkan dari langit, dan tangan mereka dapat memegangnya, mereka tetap tidak akan percaya! jadi, memang tidak ada gunanya untuk berupaya membuat yakin dan percaya orang-orang seperti itu.
Pesan Prabu Siliwangi tentang Budak Angon
Prabu Siliwangi berpesan: Suatu saat nanti akan datang “Budak Angon” (budak= anak; angon= gembala). Yang ia gembalakan ranting dan daun kering (analogi pena dan kertas). Ia terus lakukan kegemarannya menjelajah dan mengumpul apa yang ia temui, yakni sejarah umat manusia dari zaman ke zaman.
Berikut ini bunyi Uga Prabu Siliwangi tersebut (telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia):
Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula kucing ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai zaman yang satu datang lagi satu zaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap zaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.
Bertahun-tahun, jauh sebelum saya mengetahui ada pesan seperti ini dari Prabu Siliwangi, saya sudah melakukan hobi saya dalam menelusuri sejarah dan menulisnya.
Intinya, dalam pesan Prabu Siliwangi tentang sosok Budak Angon, saya pun melihat bahwa ciri-ciri Budak Angon bisa dikatakan sesuai dengan apa yang selama ini saya lakukan, yaitu menelusuri sejarah umat manusia dari periode nabi Adam, Nabi Idris, Nabi Ibrahim.. dan yang Nabi-nabi lainnya.
Ciri lain, yang bisa dikatakan juga identik dengan saya adalah tentang ilmu yang menjadi ciri dari khatamul Auliyah yang suatu waktu pernah saya dengar dalam salah satu ceramah Buya Arrazy.
Saya tidak begitu ingat (karena itu mohon dimaafkan dan silakan dikoresi jika saya salah), tapi pada saat itu Buya Arrazy seingat saya ada menyebut bahwa Khatamul Auliyah itu menguasai ilmu huruf dan ilmu nama (sekali lagi mohon maaf jika saya keliru).
Pada waktu itu, seingat saya, Buya Arrazy menjelaskan ilmu huruf dan ilmu nama milik khatamul Auliyah itu lebih cenderung pada nuansa spiritual, bersifat bathin atau terkait denga ruh – sesuatu yang seperti itu kurang lebih.
Pada saat mendengar ceramah tersebut, pikiran saya lebih cenderung melihat bahwa “ilmu huruf” itu sangat mungkin merujuk pada metode peninjauan fonetis yang selama ini saya terapkan ketika mengamati suatu nama toponim atau etnonim, untuk memperkirakan bentuk-bentuk morfologi seperti apa saja yang kemungkinan dilalui nama atau kata tersebut dalam rentang waktu ribuan tahun.
Sementara itu, ‘ilmu nama’ yang dimaksud dalam kitab yang dikaji Buya Arrazy, dalam pandangan saya, sangat mungkin merujuk pada metode penerjemahan nama yang sangat sering saya gunakan untuk mengetahui rahasia yang tersimpan di balik suatu nama. Yang mana hasil terjemahannya selalu mencengangkan.
Misalnya yang saya gunakan untuk menelusuri jejak Bahtera nabi Nuh (saya ulas dalam artikel ini: Bahtera Nuh dan Serpihan Misterinya) dan jejak Ratu Sima (saya ulas dalam artikel ini: Di Tanah Berbentuk Kuda Ini Makam Ratu Sima), bahkan nama Lauh Mahfuz pun telah saya terjemahkan menggunakan metode ini, yang mana hasil penerjemahannya sangat mengejutkan, saya ulas dalam artikel ini: Lawh Mahfuz: Psychedelics in Spiritualism, atau bisa dilihat dlm image berikut ini:
Tapi, ya itu… mungkin saja saya keliru dalam memaknai ‘ilmu huruf’ dan ‘ilmu nama’ yang disebut dalam kitab yang dikaji Buya Arrazy.
***
Demikian sebagian daripada nubuat akhir zaman yang saya pikir perlu saya sampaikan untuk saat ini. Silakan, boleh percaya boleh nggak… 🙂
Yang terpenting bagi saya adalah bahwa hal yang saya ketahui tentang nubuat (yang saya percaya sangat penting diketahui orang banyak) telah saya sampaikan, yang berarti sudah tidak ada tuntutan bagi saya kelak di kemudian hari, seperti tuduhan; menyembunyikan suatu amanah yang mestinya saya sampaikan secara terbuka.
Baca Artikel Terkait (dengan nubuat dari berbagai tradisi agama dan kepercayaan), di bawah ini:
Imam Mahdi Akan Jadi Sosok “Superhero” di Dunia Nyata
Lamed Vav Tzadikim: 36 Orang Saleh yang Mengembara di Bumi
Ramalan Newton Kiamat di 2060 dan Angka 126 yang Misterius
Ma Wara an-Nahr “Tempat di Belakang Sungai”: Disebut dalam Hadist dan Uga Siliwangi