-->

Sejarah Pengetahuan Spiritual: Gnosis Hingga Tasawwuf



Gnosis adalah kata dalam bahasa Yunani yang berarti “pengetahuan” atau “kesadaran.” Salah satu bentuk derivasinya adalah kata sifat ‘gnostikos‘ yang menurunkan kata ‘Cognitive’ (kognitif).

Kata sifat ‘gnostikos‘ ini cukup umum dalam bahasa Yunani Klasik dan, tampaknya tidak menunjukkan makna mistik, esoteris, tetapi sebaliknya menyatakan makna kecerdasan dan atau kemampuan yang lebih tinggi.

Hal ini misalnya dapat disimak dalam Plato The Statesman 258e:

Orang Asing: Dengan cara ini, kemudian, terbagi semua ilmu pengetahuan menjadi dua seni, sebutan pertama praktis ( praktikos ), dan yang lainnya murni intelektual ( gnostikos ). 

Socrates Muda: Mari kita asumsikan semua sains adalah satu dan ini adalah dua bentuknya.

Lebih jauh kita dapat pula melihat bahwa sepertinya ‘gnosis’ yang menyandang makna ilmiah, ada keterkaitan erat dengan ‘gana‘ dalam bahasa Sanskerta, seperti: gaNanA गणना – perhitungan; gaNanAtha गणनाथ – menghitung; gaNanIya गणनीय – dapat dihitung. Bahkan dalam bahasa Tae’ (bahasa daerah di Sulawesi Selatan) terdapat kata Ganna’ yang menunjukkan makna: “hitungan yang telah pas/ sesuai/ tercukupi/ lengkap/ sempurna,” yang dalam bahasa Indonesia kita temukan sinonimnya pada kata “genap”.

Dalam perjalanan waktu, kata Gnosis kemudian kita temukan penggunaannya dalam bentuk terminologi ‘Gnostisisme‘ yaitu istilah yang umum digunakan dalam studi agama  dan filsafat Helenistik untuk menyatakan pengetahuan spiritual atau wawasan tentang sifat asli manusia yang bersifat ilahiah – yang mengarahkan tujuannya pada upaya pembebasan percikan ilahi dalam diri manusia dari keberadaan batasan duniawi.

Makna pada terminologi Gnostisisme tersebut muncul dari pemahaman interpretasi bahwa, makna “pengetahuan” pada kata Gnosis mengacu pada pengetahuan berdasarkan pengalaman atau persepsi pribadi, oleh karenanya dalam konteks agama, gnosis dilihat sebagai pengalaman mistis atau pengetahuan esoteris berdasarkan adanya partisipasi atau hubungan dengan Tuhan secara langsung. 

Jadi, tampak bahwa makna harfiah Gnosis, “pengetahuan,” mendapat dorongan menjadi lebih ke arah makna “pengetahuan batiniah.”

Dalam perkembangan selanjutnya, Gnostik (penganut Gnostisisme) dianggap sebagai: mereka yang berorientasi pada pengetahuan dan pemahaman – atau persepsi dan pembelajaran – sebagai modalitas tertentu untuk “hidup.” Ini tentu saja dapat kita lihat senada dengan pemahaman kegiatan “bertarekat untuk mengenal hakikat” dalam tradisi tasawwuf.

Istilah “Gnostisisme” tidak muncul dalam sumber-sumber kuno. Beberapa kalangan berpendapat bahwa istilah ini pertama kali diciptakan pada abad ke-17 oleh Henry More dalam sebuah komentarnya tentang tujuh surat dari Kitab Wahyu, di mana More menggunakan istilah “Gnostisisme” untuk menggambarkan bid’ah di Thyatira (sebuah kota Yunani kuno di Asia kecil).

Namun demikian, Gnostisisme dianggap berakar pada kumpulan ide-ide keagamaan dan sistem yang berkembang di antara sekte Yahudi dan Kristen awal pada sekitar abad ke-1 akhir.

Beberapa sarjana lebih suka menyebut “gnosis” ketika mengacu pada gagasan abad pertama (yang nantinya kemudian berkembang menjadi Gnostisisme), dan menggunakan istilah “Gnostisisme” untuk sintesis gagasan-gagasan tersebut menjadi gerakan yang koheren pada abad kedua.

Ketika Kekristenan berkembang dan menjadi lebih populer, begitu pula Gnostisisme – dengan kelompok Kristen proto-ortodoks dan Kristen Gnostik sering ada di tempat yang sama. 

Keyakinan Gnostik tersebar luas di dalam agama Kristen sampai komunitas Kristen proto-ortodoks mengusir kelompok tersebut pada abad kedua dan ketiga (AD). Gnostisisme menjadi kelompok pertama yang dinyatakan sesat. 

Ada tahun-tahun yang hilang (Lost Years) dari catatan kehidupan Yesus dalam Alkitab, di mana tidak ada catatan tentang dia antara umur 12 tahun hingga umur 30 tahun. Ada banyak kalangan yang berpendapat bahwa tahun-tahun yang hilang itu adalah saat ketika Yesus mengunjungi India dan belajar spiritual di sana. Pada waktu itu, India memang sedang menjadi rumah besar bagi perkembangan ajaran spiritual di Asia bahkan dunia.

Ketika Yesus tengah menjalani Lost Years-nya, Di tanah Israel, Yohanes (Nabi Yahya) tengah berjuang bersama komunitas asketiknya, Eseni, menghadapi otoritas Yahudi dari kaum bangsawan Saduki yang korup dalam mengelola bait suci. Komunitas Eseni ini yang oleh kalangan sarjana disebut sebagai orang-orang Yahudi yang menjalani tradisi Gnostik.

Cara hidup Komunitas Eseni yang mengucilkan diri dalam bentuk komunal dan menjalani rutinitas dengan aturan yang sangat ketat, dan terutama tata cara ibadah doa yang terisolasi (menyepikan diri) untuk menempuh jalan penyatuan langsung dengan Ilahi, tentu saja mengingatkan kita dengan praktik para Suluk dalam dunia Tasawwuf Islam.

Ketika Yesus kembali muncul di tanah Israel di usia 30 tahun, ia mendatangi Yohanes untuk dibaptis. Dalam perjalanan selanjutnya, perjuangan Yesus mendapat dukungan sepenuhnya dari Yohanes dan komunitas Eseni. Untuk hal ini, beberapa kalangan ada yang berspekulasi bahwa  Yohanes Pembaptis dan Yesus sendiri berasal dari kultus Eseni.

Spekulasi ini sebenarnya sangat berdasar, oleh karena pada saat itu, Tanah Israel dikuasai Romawi yang masih beragama pagan sementara kaum Zaduki yang diberi otoritas mengelola bait suci dan mengontrol kaum Yahudi telah menjadi korup dan jauh menyimpang dari tuntunan agama.

Sehingga, dalam situasi seperti itu rasanya sulit membayangkan perjuangan Yohanes atau pun Yesus dapat berhasil jika dilakukan seorang diri tanpa mendapat dukungan dari satu komunitas yang kuat seperti komunitas Eseni.

Saya mengatakan Eseni sebagai komunitas yang kuat oleh karena, jejak literatur menunjukkan jika mereka sesungguhnya berasal dari kaum bangsawan tinggi Yahudi, yakni Zaduki, yang memisahkan diri setelah pemberontakan Makabe (168-164 SM). Teori ini pun kenyataannya telah banyak diamini oleh para sarjana di dunia barat.

Dan satu lagi, jika Yohanes adalah bagian penting dari kaum Eseni, maka ayah Yohanes, Nabi Zakaria, kita ketahui adalah bangsawan tinggi dan sangat disegani oleh bangsawan Yahudi lainnya karena kesalehannya. Ia adalah pemegang kunci bait suci, tempat di mana ia merawat bunda Maria semasa kecilnya.

Demikianlah, kelangsungan komunitas Eseni yang bertahan hingga berabad-abad tampaknya tertolong oleh latar belakang mereka yang berasal dari bangsawan tinggi Yahudi. Sehingga otoritas bangsa Israel pada saat itu memiliki rasa segan terhadap mereka.

Mengenai Komunitas Eseni, saya telah membahasnya di tulisan ini: Eseni, Komunitas Asketik Yahudi Kuno yang Menentang Otoritas Israel.

LihatTutupKomentar