Pada tanggal 11 Desember 2009, terbit artikel ilmiah berjudul “Mapping Human Genetic Diversity in Asia” di jurnal Science. Artikel tersebut berisi hasil riset yang dilakukan oleh lebih dari 90 ilmuwan dari konsorsium Pan-Asian SNP (Single-Nucleotide Polymorphisms) dinaungi Human Genome Organization (HUGO) yang meneliti 73 populasi etnik Asia di 10 negara (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, India, China, Korea, Jepang, dan Taiwan) dengan total sekitar 2.000 sampel.
Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa Asia Tenggara merupakan sumber geografis utama dari populasi di Asia yang kemudian menyebar ke utara.
Gerak migrasi dari selatan ke utara ini kemudian menjadi semacam terminologi teori baru yaitu “South to North route” yang bisa dikatakan membantah teori “Out of Taiwan” yang menyebutkan bahwa nenek moyang bangsa Melayu berasal dari Cina-Taiwan (utara ke selatan). Dalam tahun-tahun berikutnya, Istilah “South to North route” terlihat digunakan pula dalam artikel riset proyek genom Vietnam dari Vingroup Big Data Institute.
Menurut Prof. Dr. Sangkot Marzuki (Direktur Lembaga Biologi Molekuler eijkman, 1992 hingga 2014) yang menjadi pemrakarsa riset, kesimpulan terbaru ini membantah teori sebelumnya yang menyebut bahwa ada jalur majemuk migrasi nenek moyang bangsa Asia, yakni melalui jalur utara ke selatan, serta membantah bahwa bangsa Asia Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari Taiwan. Hal itu terlihat pula dari keanekaragaman genetik yang makin ke selatan semakin tinggi, sedangkan etnik-etnik di kawasan Asia lebih utara lebih homogen.
“Nenek-moyang bangsa-bangsa Asia yang keluar dari Afrika sekitar 200.000 hingga 100.000 tahun yang lalu itu menyusuri sepanjang pesisir selatan ke arah timur dan lebih dulu berpusat di Asia Tenggara sekitar 60 ribu tahun lalu, baru kemudian menyebar ke berbagai kawasan di utara Asia,” kata Prof. Dr. Sangkot Marzuki.
“Jadi temuan ini menyebutkan, secara genetik nenek moyang kita justru lebih tua dari Cina,” katanya. “Dengan kata lain, ras Austronesia lebih tua dari Sino-Tibetan (Cina-Tibet).”
Tentu saja penemuan yang dihasilkan konsorsium Pan-Asian SNP tersebut bertentangan dengan keyakinan lama dunia sains yakni teori Out of Taiwan yang telah diterima arus utama dan dominan selama lebih dari 2 dekade terakhir.
Tapi tampaknya, seiring semakin canggihnya teknologi penelitian di bidang biomolekuler dan semakin masifnya pengambilan sampel penelitian, teori Out of Taiwan yang pertama kali dicetuskan Peter Bellwood yang basis analisis awalnya lebih kepada tinjauan linguistik dan produk budaya manusia seperti tembikar, suatu saat akan menemui titik usangnya dan menjadi tidak relevan lagi untuk digunakan.