-->

Istilah 'Candi' dari Nama 'Candika' Sang Dewi Kematian


Ada banyak pendapat yang muncul terkait etimologi ‘candi’, tetapi dugaan bahwa istilah ‘candi’ berasal dari kata “Candika” yang merupakan salah satu manifestasi dari Durga sebagai dewi kematian (Soekmono, Dr R., 1973) tampaknya adalah pendapat yang paling senada dengan status sundaland (pulau jawa khususnya) sebagai pusat “negeri selatan”, “dunia bawah” dan atau “alam kematian” di masa kuno.

Selama ini, istilah ‘candi’ dipahami secara umum – merujuk kepada bangunan peninggalan era Hindu-Buddha. Dan bisa dikatakan istilah ‘candi’ ini umumnya hanya dikenal dan digunakan di wilayah Indonesia dan Malaysia saja. Di India dan negara-negara seperti Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Vietnam, istilah ini tidak digunakan.

Di Kamboja dan Thailand istilah ‘wat‘ (angkor-wat misalnya) dan ‘prasat‘ (berasal dari bahasa Sansekerta prāsāda)  adalah istilah yang lebih umum digunakan untuk menyebut bangunan kuno “benteng”, “istana”, atau pun “kuil”.

Pertanyaannya, mengapa istilah ‘candi’ hanya digunakan di wilayah nusantara saja?

Saya melihat bahwa pendapat yang menyatakan istilah ‘candi’ berasal dari nama ‘candika’ (salah satu dari nama dewi Durga sebagai dewi kematian) adalah merupakan pintu jawabannya.

Dalam banyak artikel sebelumnya saya telah membahas bahwa Nusantara (khususnya pulau Jawa), pada masa kuno, adalah pusat dari negeri selatan. Dan bahwa sebutan ‘sunda’ sesungguhnya berarti: selatan.

Dalam konsep kosmologi di masa kuno, wilayah selatan dianggap sebagai “dunia bawah” dan dimaknai sebagai “alam kematian”.

Dalam konsep keagamaan suku Maya misalnya, terlihat bahwa sumbu utara-selatan memiliki arti yang sangat penting. Utara dimaknai “surgawi”, dan selatan dimaknai “dunia bawah” atau “alam kematian”.

Capture buku “Human Sacrifice, Militarism, and Rulership: Materialization of State Ideology at the Feathered Serpent Pyramid, Teotihuacan” (Saburo Sugiyama, 2005: 35)

Dalam konsep Lokapala (tradisi Hindu kuno), empat wilayah menurut arah mata angin dikuasai dan dijaga oleh empat figur dewa: Dewa Indra sebagai dewa penjaga arah timur, Dewa Kubera sebagai dewa penjaga arah utara, Dewa Varuna sebagai dewa penjaga arah barat, dan Dewa Yama sebagai dewa penjaga arah selatan.

Dalam artikel “Ini Asal-Usul Nama Jawa Menurut Konsep Lokapala (bagian 2)” saya telah menjelaskan bahwa dalam agama Hindu, Yama atau Yamaraja, dikenal sebagai penguasa alam kematian.

Status Dewa Yama dalam Lokapala sebagai “penjaga selatan” dan sebagai “penguasa alam kematian”, bisa dikatakan selaras dengan selatan yang dalam konsep kosmologi kuno merepresentasi alam bawah atau alam kematian atau neraka. Bahkan, banyak sejarawan menganggap Yama merupakan analogi dari Hades, dewa Yunani yang menguasai dunia bawah. 

Dalam artikel tersebut saya juga menyatakan pendapat bahwa wilayah selatan yang menjadi wilayah kekuasaan dewa Yama, mestinya tidak hanya dimaknai sebagai “dunia bawah”, lebih dari pada itu, ia merujuk suatu wilayah geografis tertentu, sebagaimana dewa Kubera yang menempati negeri Cina di Utara, dan Dewa Varuna yang menempati Bharat yang kita kenal sebagai India pada hari ini.

Dalam artikel tersebut saya juga telah memberi kesimpulan bahwa wilayah selatan sebagai wilayah Dewa Yama sang dewa kematian berpusat di pulau Jawa, yang di masa yang sangat kuno pernah lebih dikenal dengan sebutan ‘sunda’ yang berarti: selatan.

Pertimbangan “sunda” kemungkinan berarti “selatan”, didasari adanya kata “sunthaz” dalam bahasa Proto-Germanic, yang berarti: selatan. Di sisi lain, dalam bahasa Iceland, terdapat kata “sund” yang berarti “selat”.

Demikianlah, jika pada masa sekarang kita menemukan istilah ‘candi’ hanya dikenal dan digunakan di wilayah Nusantara saja, itu tampaknya karena kata ‘candi’ memang berasal dari ‘candika’ dewi kematian yang di dunia kuno dikenal sebagai penguasa “alam kematian” yang berpusat di Nusantara (khususnya pulau Jawa).

Jadi, di masa kuno, ada dua figur dewa yang pernah berkuasa di wilayah selatan/ negeri selatan/ atau “alam kematian”, yaitu: Yama sang dewa kematian, dan Candika atau Durga sang dewi kematian. (kedua figur ini sebenarnya telah banyak saya ulas dalam beberapa artikel saya)

Kata ‘Negara’ berasal dari kata ‘negev’ dan ‘nigir’ yang berarti: selatan

Kata ‘negara’ yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia atau pun bahasa Melayu, sebenarnya, juga berarti: selatan.

kata ‘negev’ atau ‘negeb’ adalah kata dalam bahasa Hebrew (juga digunakan dalam Alkitab) yang berarti: selatan/ wilayah selatan. (lihat di sini)

Kata ‘niger’ oleh kalangan barat dianggap asal usul untuk kata ‘negro’ yang berarti “hitam”, tetapi sumber yang lebih kuno, yakni dari Claudius Ptolemy, mengisyaratkan bahwa niger atau nigir mestinya berarti: selatan. Dalam bagian di mana Ptolemy menjelaskan interior Afrika Utara, dia ada penyebutan kata ‘nigir’ untuk wadi (lembah) di sebelah selatan.

Demikianlah, tempat atau wilayah di mana kita tinggal atau berasal (dan menjadi anggota masyarakat di situ) – yang pada hari ini kita sebut dengan istilah “negeri” atau “negara”, sesungguhnya merupakan sebuah kata yang berasal dari pemahaman masyarakat kuno di Nusantara untuk menyebut daerah asalnya, yaitu: selatan. Saya pikir, inilah etimologi kata negeri atau negara.

Memang, ada dalam bahasa Sanskerta kata ‘Nagara‘ नगर yang berarti “kota”, tetapi tampaknya kata tersebut lebih merupakan hasil morfologi dari suatu bentuk yang lebih awal atau lebih kuno. Buktinya, kata nagara dalam bahasa Sanskerta itu secara spesifik menyatakan makna “kota” saja, tidak memiliki penjelasan lingustik historis, yang dapat menjelaskan dari mana kata ‘Nagara‘ नगर itu berasal mula.

Seperti kata Wilhelm von Humboldt : “…karakter dan struktur suatu bahasa mengekspresikan kehidupan batin dan pengetahuan dari para penuturnya (…) Suara-suara tidak menjadi kata-kata sampai sebuah makna dimasukkan ke dalamnya, dan makna ini mewujudkan pemikiran suatu komunitas.” Saya pikir, kata ‘Nagara‘ नगर dalam bahasa Sanskerta tidak memenuhi kaidah ini.

LihatTutupKomentar