-->

Geoglyph di Luwu Timur berbentuk Kuda, Seluas 160 Hektar



Geoglyph di Luwu Timur yang berbentuk kuda, terlihat dipetak-petak menjadi lahan tambak atau empang oleh masyarakat setempat. Tapi aliran sungai yang membentuk formasi bentuk kuda tampaknya tidak berubah. 

Ini terutama disebabkan oleh karena aliran sungai Ussu adalah sungai yang dikeramatkan dalam tradisi Kedatuan Luwu. Di sini ada sumber air suci yang disebut ‘wai mami’, yang digunakan ketika kedatuan Luwu mengadakan ritual adat di istana.

Sungai Ussu dan sekitarnya yang dipercaya sebagai pusat kedatuan Luwu di masa lalu (sebelum pindah ke Malangke lalu kemudian ke kota Palopo dan masih eksis hingga hari ini), kini di bawah pengawasan masyarakat adat cerekang. Mereka adalah komunitas adat yang sangat berdedikasi menjaga kelestarian wilayah adatnya. 

Jangankan berpikir untuk merubah arah aliran sungai, menebang pohon pun sangat diawasi di wilayah ini. Di sekitar tahun 1997-2000 misalnya, ketika project OXIS (Proyek Penelitian Asal Usul Masyarakat Kompleks di Sulawesi Selatan ) – penelitian multi-disiplin internasional yang dipimpin oleh David Bulback dan Ian Caldwell – ingin masuk ke kawasan itu untuk melakukan ekskavasi, beberapa spot tertentu tidak dapat mereka akses karena tidak mendapat izin dari masyarakat adat.

Dedikasi tinggi dari masyarakat adat cerekang menjaga kawasan hutan adatnya, diganjar dengan pengakuan dari negara pada tahun 2019. Beritanya bisa dibaca di artikel ini: Pertama di Indonesia, Hutan Adat Cerekang Terima Pengakuan Kearifan Lokal.

Bisa dibayangkan, aliran sungai yang membentuk Geoglyph berbentuk kuda di tepu sungai Ussu tidak berubah dari waktu ke waktu. Terus terjaga seperti itu dalam jangka waktu ratusan atau bahkan ribuan tahun. 

Jika manusia yang hidup di sekitarnya “tidak berani” mengubah bentuk aliran sungai maka, aliran airnya yang tenang, dalam artian tidak ber-arus deras (sifat sungai yang dekat muara memang demikian), jelas tidak dapat memberi pengaruh yang signifikan untuk terjadinya berubahan arah aliran sungai. 

Demikianlah, luasnya  yang lebih dari 160 Hektar menjadikan bidang tanah di tepi sungai Ussu sebagai geoglyph  terbesar di dunia. Sementara itu, figurnya yang  terbentuk dari aliran sungai menjadikannya sebagai geoglyph terunik di dunia. 

Apa itu Geoglyph?

Geoglyph adalah desain atau motif besar yang dibuat di permukaan tanah. Metode pembuatannya bermacam-macam. Ada yang terbentuk dari susunan batu, goresan atau galian pada tanah, serta ada juga motif geoglyph yang terbentuk dari gundukan tanah.

Geoglyph yang terbentuk dari susunan batu misalnya The Desert kites (layang-layang gurun) yang tersebar beberapa tempat di Timur tengah. Menurut seorang antropolog Prancis Remy Crassard; ada kemungkinan bahwa ” layang- layang gurun ” di Yordania termasuk yang tertua di dunia.

Geoglyph yang berupa gundukan tanah yaitu Serpent Mound di Ohio. Berukuran 411-419 m. Geoglyph yang berbentuk ular raksasa ini diduga berusia lebih dari 2000 tahun. Dugaan ini mengacu pada data radiokarbon yang diterbitkan oleh The Ancient Earthworks Project pada tahun 2014.

Geoglyph yang terbentuk dari galian pada tanah adalah The White Horse di Uffington, Inggris. Geoglyph ini dibentuk dengan membuat parit dalam yang kemudian diisi kapur putih yang dihancurkan. Diperkirakan kuda putih Uffington (Uffington White Horse) dibuat antara tahun 1380 dan 550 SM, pada akhir Zaman Perunggu atau awal Zaman Besi.

Satu-satunya Geoglyph di dunia yang motifnya dibentuk oleh aliran sungai adalah ‘Kuda Simapurusiang’ di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Indonesia. (lihat di google map).

Awal mula penemuan Geoglyph berbentuk kuda di tepi sungai Ussu

Geoglyph berbentuk kuda di sungai Ussu saya beri nama ‘Kuda Simapurusiang’ karena, saya menemukannya setelah menerjemahkan nama Simapurusiang menggunakan aksara Hanzi. 

Tentang pertanyaan; mengapa saya menerjemahkan nama Simapurusiang menggunakan aksara Hanzi? apa yang mendasarinya? adalah hal yang saya pikir butuh artikel khusus untuk menjelaskannya. Panjang ceritanya. Untuk saat ini saya hanya bisa katakan bahwa saya, alhamdulillah, dikaruniai Allah ketajaman intuisi dan senantiasa mendapat bimbingan-Nya. 

Ada pun kata kunci yang muncul dari hasil penerjemahan tersebut, sebagai berikut….

kata kunci yang muncul dari nama si-ma-pu-ru-si-an (dokpri) 

Saya kemudian memaknainya dalam bentuk kalimat: Menjadi pengurus – kuda – [di] tepi sungai – susu (anagram= ussu) – kematian atau kuburan – [yang] dirahasiakan/ disembunyikan.

Dalam penerjemahan semacam ini, Mengetahui kata kunci (suatu enigma) belum tentu dapat memecahkan makna yang ada di baliknya. Kadang ini bagian di mana orang menemui jalan buntu.

Ketika saya menerjemahkan nama Simapurusiang, Kata kunci ‘tepi sungai – susu’ adalah bagian yang membuat saya cukup termenung, tapi tidak lama. Segera saya mendapat petunjuk (intuisi) bahwa kata ‘susu’ bentuk anagramnya adalah: ‘ussu’.

Jadi kata kunci ‘tepi sungai – susu’ merujuk pada frase ‘tepi sungai ussu’ – sebuah nama sungai yang saya tahu terletak di Luwu Timur.

Di titik ini, pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya adalah: “Apa benar ada tanah berbentuk kuda di tepi sungai Ussu? Jika ada, hasil penerjemahan nama Simapurusiang, terbukti akurat!”

Segera saya membuka google map. Tidak berapa lama, saya menemukan. memang ada!

Demikianlah, penemuan Geoglyph berbentuk kuda di tepi sungai ussu melalui nama Simapurusiang (salah seorang Raja perempuan yang kharismatik di Kedatuan Luwu) tentu suatu hal yang luar biasa.

Siapa sesungguhnya sosok Simapurusiang ini? 

Dalam beberapa artikel lain, saya sudah mengulas hasil pelacakan saya terhadap sosok Simapurusiang yang sangat fenomenal di Sulawesi selatan umumnya dan di Kedatuan Luwu pada khususnya.

Artikel tersebut antara lain:

Mengungkap Sosok Penguasa Dunia yang Diramalkan Sang Buddha
Fakta Ratu Sima sebagai Penguasa Dunia yang Diramalkan Sang Buddha
Chhatra (Payung) Sebagai Simbol Chakravarti, dan Kaitannya dengan Sebutan “Payung Ri Luwu”

Berikut ini ringkasan kesimpulan hasil pelacakan saya tersebut….

Pertama

Yang dikenal sebagai Datu Simapurusiang di Luwu (dan Sulawesi selatan pada umumnya) adalah Ratu Sima Lingji dari Cina. Ia adalah mantan permaisuri Kaisar Jing, kaisar terakhir dari Dinasti Zhou Utara. 

Itulah mengapa dalam naskah Lontara Luwu, Simapurusiang dijuluki ‘DATU CINA’, karena memang, sebelum menjadi Raja di Luwu, ia adalah seorang permaisuri di negeri Cina. Tapi tidak lama.

Tahun 579 Kaisar Xuan mengambilnya menjadi istri putranya (Kaisar Jing). Usia Sima Lingji saat itu tidak tercatat dalam sejarah (diperkirakan sekitar 9 – 11 tahun), namun Kaisar Jing saat itu berusia enam tahun. 

Pernikahan dini semacama ini umum terjadi dalam tradisi xianbei. Ini seperti pernikahan Temujin atau Jenghis Khan yang berusia 9 tahun dengan istri pertamanya Borte yang berusia 10 tahun.

Tahun 580 Kaisar Xuan meninggal. Yang Jian (Ayah dari istri Kaisar Xuan atau kakek dari Kaisar Jing) bergerak merebut takhta. Tahun 581 Yang Jian berhasil – lalu menghukum mati Kaisar Jing dan seluruh anggota dari klan Yuwen kekaisaran Zhou Utara.

Sima Lingji sendiri tidak dihukum mati tapi status kebangsawanannya dicabut menjadi orang biasa. Naskah Zhou Shu mencatat, Sima Lingji kemudian menikah dengan gubernur Li Dan. Juga mencatat bahwa ia masih hidup di masa kaisar kedua dinasti Tang, Taizong (626-649 M).

Kemunculan Sima Lingji tiba-tiba di Luwu tentu menjadi tanda tanya, tetapi, itu dijelaskan dalam naskah Lontara Luwu bahwa ia menikah dengan Patianjala, Seorang Pangeran Suku laut Bajou. Tampaknya Pangeran pelaut inilah yang membawanya ke Luwu.

Bisa jadi, Pangeran Patianjala inilah yang disebut dalam kronik Cina sebagai gubernur Li Dan, karena di Bastem, di kaki gunung Sinaji, wilayah yang sudah saya hipotesiskan dalam artikel lain (baca di sini) sebagai pusat kedatuan Luwu di masa Simapurusiang, terdapat nama wilayah bernama Ledan.

Dan juga bisa jadi, keturunan Sima Lingji-lah yang pada masa sekarang menggunakan nama family “Linggi” (dari nama Lingji). Informasi yang saya dapatkan dari beberapa sumber mengatakan; rumpun ‘Linggi’ memang berasal dari wilayah bastem (perbatasan Luwu dan  Toraja).

Beberapa orang yang saya kenal menggunakan nama family ‘Linggi’, semuanya  tampak berwajah etnis Cina (tampaknya diwariskan oleh Sima Lingji).

Kedua

Ratu Sima atau Datu Simapurusiang adalah Chakravarti (penguasa perempuan) yang diramalkan Buddha Sakyamuni (Siddhartha Gautama).

Buddha Sakyamuni mengatakan bahwa akan hadir seorang Chakravarti perempuan yang akan memerintah Jambudvipa sebagai reinkarnasi Vimalaprabha.

Dalam buku Ancient India (1968: 166), Mahajan V.D, Seorang sejarawan terkenal dari India, menjelaskan bahwa pemerintahan penguasa seperti Chakravarti (Sanskrit: Chakravartin) disebut Sarvabhauma, yaitu sistem kekaisaran utama. 

Sementara dalam kamus Sanskrit Monier-Williams, sArvabhauma kurang lebih didefinisikan sebagai “kekuasaan atas seluruh bumi”, “kedaulatan atas seluruh bumi”, atau “kerajaan universal”. Kata ‘bhauma’ sendiri bermakna: bumi, terestrial, duniawi, dan beberapa bentuk sinonim lainnya. 

Setidaknya ada dua hal yang melekat pada kesimpulan kedua ini yang penting untuk mendapat perhatian, yaitu: etimologi kata ‘Chakravarti’ dan kata ‘Sarvabhauma’.

salah satu tanda seorang cakravarti sebagai penguasa adalah Chhatra atau ‘payung’. Ini sejalan dengan pendapat DG Sircar dalam “Political Ideas in the Puranas” (1977: 69), bahwa: kata cakra- vartin berarti sebuah kekaisaran… eka-Chatra secara harfiah berarti; seorang diri menikmati payung atau lencana kedaulatan.

Fakta ini jelas berkorelasi dengan identitas Kedatuan Luwu yang identik dengan simbol ‘payung’. Dalam tata pemerintahan Kedatuan Luwu, sebutan ‘Pajung’ adalah nomenkelatur yang mengacu pada Raja atau Datu Luwu.

Adapun mengenai kata ‘bhauma’ (pada kata ‘sArva-bhauma’), saya melihat ini identik dengan kata ‘Beuma’, yaitu sebuah nama wilayah yang berada di kaki gunung Sinaji, kecamatan Basse Sang tempe, Kabupaten Luwu (Sulawesi selatan).

Wilayah ini (sekitar kaki gunung Sinaji) dalam beberapa tulisan sebelumnya telah saya identifikasi sebagai pusat kerajaan Holing (ini salah satu tulisan saya yang membahas hal tersebut: Hipotesis Ini Buktikan Kerajaan Ho-ling Terletak di Sulawesi). 

Dan memang, terdapat cerita turun temurun yang berkembang di Luwu, Toraja, serta beberapa wilayah lainnya di Sulawesi bahwa, leluhur kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi, berasal dari kaki gunung Sinaji ini.

Daerah Ledan yang saya identifikasi terkait dengan nama Li-dan suami Ratu Sima, berada di wilayah Beuma ini.

Desa Ledan di Kabupaten Luwu. Masuk dalam wilayah yang akrab disebut ‘Beuma’ oleh masyarakat setempat. (dokpri) 

Hari ini, toponim ‘Beuma’ tidak digunakan lagi oleh pemerintah setempat sebagai nama wilayah administrasi secara resmi (apakah itu untuk nama desa atau pun kecamatan), tetapi masyarakat lokal masih menggunakan nama ‘Beuma’ untuk menyebut wilayah sekitar kaki gunung Sinaji ini, meliputi beberapa desa yang ada disekitarnya. 

Ketiga

Nubuat yang diucapkan Buddha Sakyamuni (Siddhartha Gautama), bahwa akan hadir seorang Chakravarti perempuan yang akan memerintah Jambudvipa sebagai reinkarnasi Vimalaprabha, terekam dalam Mahameghasutra (di Cina dikenal sebagai Dayun jing, dan oleh sejarawan hari ini dikenal dengan sebutan ‘The Great Cloud Sutra’). 

Ucapan Buddha bahwa Chakravarti perempuan tersebut akan hadir sekitar seribu tahun setelah ia parinirvana (kematiannya), menjadi acuan bahwa masa kedatangan Chakravarti perempuan tersebut berada di sekitar abad ke 6 M, oleh karena kisaran tahun kematian Buddha menurut negara-negara Theravada adalah 544 atau 545 SM. 

Dalam tradisi Buddhis Burma misalnya, tanggal kematian Buddha adalah 13 Mei 544 SM, sedangkan dalam tradisi Thailand adalah 11 Maret 545 SM. (Eade, JC:  The Calendrical Systems of Mainland South-East Asia, 1995) 

Di sekitar masa itu (abad ke 6 hingga abad ke 7), ada permaisuri Wu Zetian yang mengklaim dirinya sebagai sosok Chakravartin yang diramalkan sang Buddha. Namun, dengan mencermati rekam jejak Wu Zeitan yang dipenuhi intrik dan tindakan-tindakan keji selama hidupnya, maka saya pikir sangat tidak mungkin untuk menganggap Wu Zetian sebagai sosok Chakravarti sekaligus Bodhisattva yang dimaksudkan Buddha Sakyamuni.

Karena Bodhisattva sesungguhnya adalah seorang yang suci. Dikenal memiliki sifat welas asih dan sifat tidak mementingkan diri sendiri dan rela berkorban. Ia mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan makhluk selain dirinya di alam semesta. Ia dapat juga diartikan “calon Buddha”.

Sebagai sosok alternatif untuk figur Chakravarti sekaligus Bodhisattva yang dimaksudkan Buddha Sakyamuni dalam nubuatnya, saya mengajukan sosok Ratu Sima yang juga merupakan pemimpin wanita yang hebat Di masa itu. 

Ratu Sima dari kerajaan Holing, oleh para sejarawan dianggap sebagai cikal bakal berdirinya dinasti Sailendra, yang menguasainya Nusantara hingga sebagian wilayah Indocina. 

Penobatan Ratu Sima sebagai raja di kerjaan Holing terekam dalam kronik Cina. Disebutkan bahwa pada tahun 674 M rakyat kerajaan Holing menobatkan seorang perempuan sebagai ratu yaitu ratu Hzi-mo [Sima]. Dalam saat yang sama, di Cina yang berkuasa saat ini adalah Kaisar Gaozong (Dinasty Tang).

Yang menarik karena ada banyak silang pendapat di antara para sejarawan mengenai asal usul Ratu Sima sebagai Ratu kerajaan Holing yang disebut dalam kronik Cina. Karena rupa-rupanya asal muasal Ratu Sima sulit terlacak.

Ada yang menyebutkan Sima adalah putri seorang pendeta di wilayah kerajaan Sriwijaya. Dilahirkan pada tahun 611 M di sekitar wilayah yang disebut banyuasin. Yang ketika beranjak dewasa kemudian menyeberangi laut jawa, melewati pantai utara jepara, hingga menetap di daerah yang dikenal sebagai wilayah Adi Hyang (Leluhur Agung), atau dieng sekarang. Ada juga pendapat lain yang menduga bahwa Ratu Shima berasal dari kerajaan Kalingga di India.

Dalam pandangan saya, hal yang perlu mendapat perhatian khusus terkait kronik Cina tentang Ratu Sima, adalah mengenai Pengangkatan Sima sebagai raja oleh rakyat kerajaan Holing. Ini mesti dipandang sebagai suatu hal yang unik, karena umumnya seorang raja diangkat berdasarkan pewarisan tahta secara turun temurun.

Namun yang menarik karena kejadian serupa sebenarnya pernah terjadi di kedatuan Luwu dan terekam dalam banyak catatan Lontara. Pada saat itu, yang diangkat pun juga seorang perempuan, dan namanya bisa dikatakan memiliki kesamaan dengan Sima, yaitu simapurusiang (pada hari ini orang-orang di Sulawesi selatan biasanya menyebut datu simpurusiang).

Terlebih lagi dalam catatan Lontara,  Simapurusiang biasa juga disebut sebagai ‘DATU CINA’, gelar lengkapnya:  Simapurusiang Manurungnge Ri Lompo Datu Cina.

Dalam berbagai catatan lontara, juga dikisahkan bahwa Simpurusiang adalah sosok to manurung yang tidak diketahui asal muasalnya. Sosoknya yang kharismatik serta berilmu Pengetahuan menjadi pilihan alternatif sebagai pemimpin utama bagi sekalian anang (rumpun keluarga, atau bisa juga kerajaan-kerajaan kecil di tana Luwu dan sekitarnya) yang pada akhirnya lelah juga saling berperang.

Situasi pengangkatan Simpurusiang sebagai Datu di Luwu yang dideklarasi para bangsawan yang memimpin masing-masing anang dapat dikatakan sebagai hasil pertimbangan primus inter pares (yang utama dari yang sederajat). Bahwa para bangsawasan tersebut melihat simpurusiang pada dasarnya merupakan bangsawan yang sederajat dengan mereka. Penampilan Simpurusiang yang kharismatik dan berilmu pengetahuan merupakan keunggulan tersendiri yang kemudian pada akhirnya menjadi pertimbangan utama untuk mengangkatnya sebagai pemimpin.

Situasi pengangkatan simpurusiang sebagai datu Luwu yang berasaskan primus inter pares, identik dengan pandangan Herman Kulke terhadap pengangkatan Ratu Sima di kerajaan holing yang menurutnya berasaskan primus inter pares juga. Karena sesungguhnya yang mendeklarasi Sima sebagai raja Holing atau She po, adalah para bangsawan penguasa 28 kerajaan kecil yang berada disekitarnya.

Hal ini sebagaimana yang dikutip W. P. Groeneveldt dalam Historical Notes : Di sekeliling She-po [holing] ada 28 kerajaan kecil, dan tidak ada diantaranya yang tidak tunduk. Ada 32 pejabat tinggi kerajaan, dan yang terutama di antara mereka ialah ta-tso-kan-hsiung (W. P. Groeneveldt, Historical Notes, hlm. 12-15).

Demikianlah, bagian depan nama Simapurusiang yang persis sama dengan nama Sima, serta salah satu gelar penyebutannya adalah ‘DATU CINA’ menguatkan dugaan saya jika Simapurusiang dan Ratu Sima adalah orang yang sama, dan bahwa ia sesungguhnya berasal dari negeri Cina serta juga merupakan seorang keturunan bangsawan tinggi. 


Demikianlah, Sima menambahkan suku kata pu-ru-si-an di belakang namanya untuk “MEMBANGUN KATA KUNCI ISYARAT” (atau membangun persandian)  yang mesti diterjemahkan menggunakan aksara hanzi untuk mengetahui maknanya. Dia berasal dari Cina dan karena itu dia tahu betul metode persandian seperti ini.

Setelah berlalu ribuan tahun nama si-ma-pu-ru-si-an (diucapkan dalam aksen Bugis menjadi Simpurusiang) lah yang menjadi populer. Nama Sima Lingji sudah dilupakan. 

Apa sebenarnya yang ada di ‘Tanah berbentuk Kuda’ di tepi sungai Ussu?

Selama ini, orang-orang umumnya beranggapan, Adam dan Hawa diturunkan di Sri Lanka atau pun di India. Tetapi, saya menemukan fakta lain mengenai hal ini. Yaitu, kesimetrisan posisi Jabal Rahmah di Arab dan suatu tempat di Hawaii. Keduanya sejajar dalam satu garis lintang yang sama. Saya pikir ini memberi kita pertimbangan lain terkait tentang di mana tepatnya Adam dan Hawa turun pertama kali.

Dalam tradisi Islam diriwayatkan, Hawa turun di Jabal Rahmah (Arab). Di sisi lain, Nama pulau hawaii identik dgn nama Hawa. Yang menarik, kedua tempat ini sejajar. lebih menarik lagi, titik tengah keduanya ada di pulau Sulawesi. Mengapa ada fenomena semacam ini?

Geoglyph berbentuk kuda di titik center antara titik Jabal Rahmah di Arab dengan suatu titik di Hawaii. Pengukuran menggunakan Google Earth. Yang luar biasa adalah bahwa, Geoglyph berbentuk kuda ini berada di titik pusat antara titik Jabal Rahmah di Arab dengan suatu titik di Hawaii (Pengukuran menggunakan Google Earth).Kedua titik ini (Jabal Rahmah di jazirah Arab dan suatu tempat di Honolulu, Hawaii, pada dasarnya, terkait dengan HAWA.(dokpri)

Dalam gambar di atas, saya memperlihatkan “mirror line” (atau garis cermin) antara titik Jabal Rahmah dan titik Hawaii posisinya terletak di tana Luwu, sehingga, jika kita melipat peta dengan garis lipatan tepat berada di tana Luwu maka titik Jabal Rahmah di Mekkah akan ketemu secara tepat dengan suatu titik di Honolulu Hawaii.

Fenomena ini berlanjut… pada fakta bahwa jika di Luwu terdapat sumber air suci (sungai dikeramatkan) bernama Wai Mami (letaknya di sekitar Sungai Ussu di mana Geoglyph berbentuk kuda berada), maka, di Pulau O’ahu, Honolulu-Hawaii, juga terdapat sungai yang bernama Wai Momi (juga sangat dikeramatkan masyarakat Honolulu), dipercaya sebagai rumah bagi dewa dewi mereka.

Yang paling menarik dari wai mami di Luwu (selain sebagai center antara titik jabal rahmah dan titik wai mami di honolulu) adalah keberadaan bidang tanah berbentuk kuda tepat di titik center itu.

Demikianlah, Geoglyph berbentuk kuda di Luwu yang menjadi titik center antara kesejajaran jabal rahmah di Arab dan wai mami di Honolulu Hawai tampaknya menyimpan atau lebih tepatnya merupakan tempat menguburkan sesuatu yang sangat sakral. 

Apakah rahasia tentang ibu Hawa yang tersimpan di situ? kuat dugaan saya demikian.

Setelah sekian lama melanglang buana ke penjuru dunia — dari timur ke barat (direpresentasi titik Hawaii di timur dan titik Jabal Rahmah di barat)- akhirnya Hawa mengakhiri perjalanannya di titik itu.

Demikian hal yang wajib saya sampaikan. Karena saya tidak diberi petunjuk untuk tahu hal ini selain bahwa menjadi tugas saya menyampaikan rahasia itu ke semua orang.

Dan saya meyakini, upaya saya ini sekadar melanjutkan tugas yang menjadi takdir Ratu Sima – yang tersirat dalam nama SIMAPURUSIANG yang artinya: MENJADI PENGURUS – [tanah berbentuk] kuda – [di] tepi sungai – susu (anagram= ussu) – kematian atau kuburan – [yang] dirahasiakan/ disembunyikan.

Sebagai seorang Chakravarti (penguasa dunia) yang dinubuatkan Buddha Sakyamuni, Ratu Sima pada akhirnya mengemban tugas rahasia dari “Sang Waktu” untuk menjaga bidang tanah berbentuk kuda, di mana rahasia awal mula manusia tersimpan.

Demikianlah, perjalanan hidup Sima Lingji, Ratu Sima, atau Simpurusiang, bisa dikatakan adalah kisah nyata perjalanan hidup anak manusia yang, Jika difilmkan, tentu bisa menjadi kisah kolosal yang sangat epic.

Terlahir dari garis keturunan bangsawan tinggi; menjadi permaisuri kaisar di usia belia; lalu dalam sekejap hidupnya berbalik, orang tua dan seluruh keluarganya terbunuh dan gelar bangsawannya dicabut menjadi orang biasa; Setelah itu hidup terlunta-lunta.

Lalu nasib mempertemukannya dengan satria bangsawan dari bangsa laut Bajou yang terkenal heroik. Hingga pada akhirnya, ia mencapai titik terpenting atau titik esensi kehadirannya di dunia, yaitu menjalani takdirnya sebagai seorang Chakravarti. 

Ia dinobatkan menjadi ratu, dan menjadi cikal bakal lahirnya dinasty sailendra yang berkuasa di wilayah Nusantara dan wilayah sekitarnya hampir mencapai masa 200 tahun. Inilah Tampaknya yang diramalkan Buddha Sakyamuni tentang akan lahirnya seorang Cakravarti perempuan.

LihatTutupKomentar