-->

Diskursus 'Diaspora Yaman'



Seperti Jamur di musim hujan, pembahasan tentang “diaspora Yaman” kembali tumbuh mekar pada akhir-akhir ini. Tentu saja,  orang-orang pada umumnya melihat fenomena ini sebagai sebuah dinamika – konsekuensi majunya Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden RI di pemilu 2024 nanti.

Sayangnya, diskursus sejarah kedatangan diaspora Yaman di Nusantara tampaknya dilakukan separuh hati. Dalam artian tidak mengalami penggalian literatur yang signifikan.

Mengapa tidak ada pihak yang berani mengangkat diaspora Yaman di Nusantara dalam perspektif yang lebih radikal? Apakah karena para intelektual yang berjibaku dalam subjek ini tidak memilik jiwa explorer sebagai seorang sejarawan? 

Karena melihat sejarah Yaman di Nusantara hanya berdasar sejauh pandangan L.W.C van den Berg dalam bukunya yang membahas tentang Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara (Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien), jelas seperti mengobservasi ombak besar di samudera luas dari laguna.

Selama ini, kedatangan diaspora Yaman di Nusantara selalu hanya diasosiasikan dengan kedatangan Islam di Nusantara, dan sepertinya,  tidak ada orang yang cukup berani melihat lebih jauh apa sesungguhnya yang ada di balik frontier itu. Ya, di balik frontier itu ada ‘dunia kuno’ – Periode sejarah umat manusia yang minim sumber referensi tertulis. 

Penulisan sejarah dunia kuno memang sangat sulit, terutama karena sikap kritis masyarakat ilmiah yang senantiasa menuntut referensi teks dari sumber-sumber otentik dan terpercaya. Hal ini sering menyebabkan kebuntuan penelitian, konsekuensi yang dalam pandangan saya mestinya dihadapi oleh para peneliti sejarah dengan cara yang kreatif.

Salah satu cara kreatif tersebut adalah dengan menggunakan metode observasi fenomenologi linguistik (phenomenological linguistics), yang menurut John Langshaw Austin (filsuf bahasa dari Inggris), merupakan upaya untuk menjelaskan fenomena melalui analisis bahasa.



Heidegger, Merleau-Ponty, dan Gadamer sangat memperhatikan peran dan signifikansi bahasa dalam konteks penyelidikan fenomenologis. Ulasan Foucault tentang sifat bahasa dan diskursus – berkontribusi pada eksplorasi tertentu tentang hubungan antara pemahaman, budaya, historisitas, identitas, dan kehidupan manusia.

Dalam karya Jacques Derrida kita dapat menemukan pandangan fenomenologi linguistik yang relevan dengan penelitian sejarah dunia kuno. ‘Dekonstruksi’, salah satu tema dasar dalam fenomenologi linguistik merupakan konsep pendekatan yang dipelopori oleh Derrida.

Dekonstruksi  adalah konsep pemikiran yang berupaya mengamati kontradiksi yang ada di dalam teks dan mencoba untuk membangun kembali makna-makna yang sudah melekat dalam teks tersebut. Pemikiran dekonstruksi percaya bahwa suatu teks pasti memiliki makna-makna yang tersembunyi dan memiliki arti yang berbeda. 

Pemikiran dekonstruksi mendorong proses mencari makna secara struktural dari makna yang telah umum disepakati oleh para penggunanya (“pembaca ” dalam konteks tulisan dan “pembicara” dalam konteks lisan).

Gerak pemikiran dekonstruksi ini pada dasarnya satu semangat dengan kritik  Foucault dalam The Archaeology of Knowledge, bahwa: “Arkeologi tidak berusaha untuk menemukan kembali transisi yang berkelanjutan (..) yang menghubungkan diskursus – pada kemiringan yang landai – dengan apa yang mendahuluinya, mengelilinginya, atau mengikutinya.”

Seperti saran Foucault dalam The Archaeology of Knowledge: daripada menyajikan versi monolitik dari periode tertentu, adalah lebih baik berupaya agar bagaimana periode tertentu dapat mengungkap “beberapa masa lalu, beberapa bentuk hubungan, dst”.

Jadi, di titik mana pada literatur yang kita miliki hari ini – kita mencari ‘kemiringan yang landai’ di mana kita dapat menghubungkan diskursus diaspora Yaman hari ini dengan periode dunia kuno?

Jawabannya adalah pada titik: ‘istilah’ dan ‘makna’. Ini adalah sisa-sisa serpihan dari masa lalu yang sangat jauh, yang dapat kita  gunakan untuk merekonstruksi kesejarahan dunia kuno.

Kita dapat memulai analisa istilah dan makna pada sebutan ‘yaman’ itu sendiri yang, pada kenyataannya, sangat terkait dengan identitas Nusantara pada masa dunia kuno. Bukti jejak ini dapat kita temukan dalam literatur tradisi Hindu, Yunani kuno, hingga bangsa Phoenicia.



Etimologi Yaman

nama ‘Yaman’ berasal dari bentuk “YMNT,” yang berarti “Selatan” .

Etimologi Yaman

Yaman juga kadang diartikan “sisi tangan kanan” atau “sisi kanan”, bisa juga berarti “selatan.”

Makna “sisi kanan” untuk nama ‘Yaman’ mengacu pada situasi ketika orang menghadap ke timur (sisi kanan= selatan, sisi kiri= utara).

Istilah “sisi kanan” ini terkait dengan praktik kepercayaan kosmologi orang-orang di barat pada masa kuno yang mengatur hal tertentu agar menghadap ke timur”. 

Kebiasaan ini masih bisa kita temukan hingga masa sekarang, yaitu pada nisan pekuburan orang-orang di Eropa yang umumnya menghadap ke timur. Kebiasaan ini bahkan terbawa sampai ke benua Amerika.

Praktik menghadapkan pekuburan (atau apa pun hal yang dianggap sakral) ke arah timur dapat ditelusuri kembali ke Mesir dan Yunani kuno. 

Ini menunjukkan bahwa praktik ini telah berlangsung sangat lama. Ribuan tahun. Tidak mengherankan jika kemudian dalam rumpun bahasa Indo-Eropa ada kata ‘orient’ atau ‘orientation’ yang berarti: mengatur (sesuatu) agar menghadap ke timur.

Dalam bahasa Indonesia kita juga memiliki kata yang sejenis dengan kata ‘orient’ dalam bahasa Indo-Eropa , yaitu: utarakan atau mengutarakan (dari akar kata ‘utara’) – tapi makna kata ini tidak seperti kata ‘orient’ di barat.

Kita dapat mengetahui makna kata ‘meng-utara-kan’ dengan mengamati makna bentuk sinonimnya, yaitu kata: ‘menyatakan’, ‘mengungkapkan’, dan ‘menerangkan’.

‘menyatakan’ berarti: membuat sesuatu menjadi nyata, dari yang sebelumnya tidak nyata, semu, atau maya. Jadi kontradiksi dari utara yaitu ‘selatan’ dianggap sebagai sisi yang tidak nyata, semu, atau maya.

‘mengungkapkan’ berarti: membuka sesuatu yang sebelumnya tertutup atau terselubung. Makna kontradiksi yang ingin dibangun adalah bahwa selatan sebagai sisi yang ‘tertutup’, ‘terselubung’ atau ‘tidak diketahui’.



‘menerangkan’ berarti: membuat sesuatu menjadi terang dari yang sebelumnya gelap. Makna kontradiksi yang ingin dibangun adalah bahwa selatan sebagai sisi yang ‘gelap’.

Demikianlah, dari pendekatan kontradiksi yang dianjurkan Derrida dalam konsep pemikiran Dekonstruksi, kita mengetahui bahwa ‘selatan’ – yang merupakan makna dari nama ‘Yaman’ – pada masa lalu menyandang makna sebagai sisi dunia yang semu atau maya, terselubung, dan gelap.

Asal Usul Bangsa Yaman

Yang menarik, sifat sisi selatan sebagai dunia yang maya, terselubung dan gelap – yang kita ketahui setelah mencermati kontradiksi makna kata ‘meng-utara-kan’ -ternyata dapat kita temukan sesuai dengan status dunia selatan dalam konsep mitologi India kuno dan Yunani kuno, bahkan, dapat juga kita temukan pada bangsa laut Phoenicia.

Dalam konsep Lokapala (mitologi India kuno), empat wilayah menurut arah mata angin dikuasai dan dijaga oleh empat figur dewa: Indra sebagai dewa penjaga arah timur, Kubera sebagai dewa penjaga arah utara, Varuna sebagai dewa penjaga arah barat, dan Yama sebagai dewa penjaga arah selatan. 

Nama dewa Yama sebagai penjaga arah selatan, sangat identik dengan nama Yaman yang berarti selatan bukan?

Keberadaan huruf n di akhir kata ‘Yaman’ dapat diduga membentuk makna “orang-orang” atau “bangsa”. Ini persis sama dengan yang kita jumpai pada kata “Indian” (bangsa India), ataupun “Indonesian” (bangsa Indonesia). Jadi, ‘Yaman’ pada hakikatnya berarti: ‘pengikut Yama’; ‘orang-orang Yama’; atau ‘Bangsa Yama’ – yang berasal dari selatan.

Dalam agama Hindu, Yama atau Yamaraja, juga dikenal sebagai penguasa alam kematian. Jadi, wilayah selatan dalam kosmologi India kuno juga memiliki predikat sebagai “alam kematian”. Yang menarik, status selatan ini juga dipresentasikan secara simbolis oleh Hijr Ismail di Ka’bah.



Hijr Ismail adalah bangunan sederhana berbentuk setengah lingkaran di sisi barat Ka’bah. Tapi bangunan yang sederhana ini sesungguhnya memiliki makna filosofis yang sangat dalam.

Kata ‘Hijr’ dalam bahasa arab dan bahasa urdu artinya: perpisahan / perbedaan / Keberangkatan dari. Kata Hijrah yang berarti migrasi atau berpindah berasal dari kata Hijr ini.

Dari memahami makna ‘hijr’, dan dengan mencermati bangunan Hijr Ismail yang berbentuk setengah lingkaran (180 derajat) dan letaknya berada di sisi paling barat ka’bah, maka, dapat diperkirakan jika makna filosofis hijr ismail adalah tentang titik paling barat sebagai titik perpisahan antara siang (sisi terang – utara) dan malam (sisi gelap – selatan). 

Hal inilah yang dimaksudkan makna kata hijr: “perpisahan”, yaitu perpisahan antara siang dan malam; “perbedaan”, yaitu perbedaan gelap dan terang; dan “keberangkatan dari”, yaitu keberangkatan dari sisi siang belahan bumi menuju sisi malam belahan bumi.

Yang menarik, bentuk sinonim kata hijr yaitu firaaq mengandung makna: kecemasan, kesedihan, penyesalan.

Saya melihat makna ini lebih mengarah kepada simbolisasi sisi barat – tempat tenggelamnya matahari – sebagai “sisi akhir kehidupan”. Bahwa orang yang mencapai titik ini akan dilanda rasa cemas, sedih dan penyesalan karena sudah mendekati akhir hidupnya.

Status Dewa Yama dalam Lokapala sebagai “penjaga selatan” dan sebagai “penguasa alam kematian”, bisa dikatakan selaras dengan selatan yang dalam konsep kosmologi kuno merepresentasi alam bawah atau alam kematian atau neraka. 

Beberapa sejarawan menganggap Yama terkait dengan sosok Melqart (dewa pelindung bangsa Phoenicia).  William F. Albright misalnya, menyarankan; Melqart adalah dewa dunia bawah. Di sisi lain, di Yunani, Melqart juga dianggap identik dengan Herakles (Hercules).



Yang menjadi pertanyaan penting adalah: di manakah ‘wilayah selatan’ yang dalam mitologi Hindu dianggap sebagai wilayah kekuasaan dewa Yama, atau ‘dunia bawah’ yang menjadi wilayah kekuasaan dewa Melqart dalam kepercayaan bangsa laut, Phoenicia?

Tidakkah itu merujuk pada suatu wilayah geografis tertentu, sebagaimana dewa Kubera yang menempati negeri Cina di Utara, dan Dewa Varuna yang menempati Bharat yang kita kenal sebagai India pada hari ini?

Bharat atau Bharata adalah nama asli India. Sementara itu, wilayah utara atau yang disebut Uttarakuru dalam  mitologi Hindu dan Budha kuno serta kosmologi Jain, sebagian kalangan menempatkan letak geografisnya di sekitar kawasan Asia tengah, seperti Tarim Basin di Xinjiang-China, bahkan, beberapa penulis menegaskan bahwa Uttarakuru adalah nama untuk wilayah luas yang terletak di utara Himalaya dan membentang hingga Lingkar Arktik.

Dapat pula untuk menjadi pertimbangan bahwa, kata ‘udara’ dalam bahasa Indonesia – sebelum kita maknai sinonim dengan ‘angkasa’ – pada masa lalu, sangat mungkin merujuk pada kata ‘utara’ yang berarti “wilayah atas”.

Demikianlah, jika Bharata (wilayah barat) merujuk pada Benua India, Uttarakuru (wilayah utara) merujuk pada dataran Cina, Siberia, hingga sejauh lingkar Arktik, maka Sundaland atau Nusantara tentulah merujuk pada wilayah selatan. 

Letak geografis Bharata (barat) di India, Uttara-kuru di dataran Cina, dengan sendirinya menunjukkan Sunda-land sebagai wilayah selatan (dokpri)

Hipotesis ini semakin dikuatkan oleh bukti bahwa kata ‘Sunda’ sesungguhnya berarti: “selatan”. Ini didasari adanya kata ‘sunthaz’ dalam bahasa Proto-Germanic, yang berarti: selatan. Serta kata ‘sund’ yang berarti “selat” dalam bahasa Iceland.

Kata ‘sunthaz’ dan ‘sund’ adalah dua kata yang homofon. Makna keduanya pun sangat dekat jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, yakni: selatan dan selat. 



Asumsi ini lebih dikuatkan lagi oleh tinjauan aspek historis tentang Nusantara di masa kuno, yaitu: ada banyak literatur yang mengatakan bahwa, di masa lalu, pelaut-pelaut yang datang dari Nusantara disebut ‘cellates’ atau ‘orang selat’ oleh orang-orang di barat. 

Ini mengarah pada dugaan selanjutnya bahwa, kata ‘selatan’ kemungkinan kita dapatkan dari kata ‘selat’. Dengan kata lain, kata ‘selatan’ adalah kata ‘selat’ yang mendapat akhiran -an, yang dalam ilmu tata bahasa berfungsi membentuk makna lokasi atau tempat, dan juga makna gugusan atau kumpulan selat – mengingat di Nusantara ada banyak selat. Bisa dikatakan terbanyak di dunia.

Bukti lain bahwa Nusantara khususnya pulau Jawa adalah ‘wilayah selatan’ yang menjadi wilayah kekuasaan Yama atau Melqart kita dapat temukan pada makna nama candi ratu Boko atau candi ratu Baka.

Kita dapat meninjau bahwa kata ‘boko’ atau ‘baka’ adalah kata yang digunakan dalam frase ‘alam baka’, yang merujuk pada makna “alam kematian”. Di bagian atas saya sudah menyampaikan bahwa dalam mitologi, Yama atau Melqart adalah penguasa dunia bawah atau dunia kematian. 

Di sisi lain, ini sejalan dengan makna nama ‘Hadramaut’ yang artinya: “kematian (pasti) hadir/ datang”. Makna ‘Hadramaut’ ini sangat identik semboyan (keagamaan) bangsa Phoenicia bahwa: “Kematian pasti datang dan akan ada kehidupan setelah kematian” (baca: The Phoenician Origin Of Britons…, L. A. Waddell, 1925)

Dalam legenda masyarakat setempat (di sekitar candi ratu baka), nama candi Ratu Boko berasal dari nama ‘Raja Boko’ yang berkuasa di wilayah itu pada masa lalu. 

Dalam bahasa Jawa, Secara harfiah, Ratu Boko artinya: “raja bangau”. Ini sangat terkait dengan fakta bahwa Melqart sangat dikaitkan dengan ‘Ibiza’, yaitu nama pulau di sebelah barat laut Mediterania, yang di masa lalu merupakan milik Bangsa Phoenicia, di mana Melqart dipuja. Nama Ibiza tentu saja mengingatkan kita dengan ‘ibis’ yaitu burung sejenis bangau.



Demikianlah, adalah menjadi sangat mungkin bahwa orang Yaman yang menghuni jazirah Arab selatan, adalah ‘orang-orang Yama’ atau ‘Bangsa Yama’ atau pemuja dewa Melqart dari selatan yaitu wilayah Nusantara pada hari ini.

Mereka tidak lain adalah bangsa Phoenicia pemuja dewa Melqart – para pelaut ulung yang menavigasi pelayaran perdagangan antar benua di masa kuno, yang  kemudian membuat koloni di selatan jazirah Arab. Dalam buku The Hadrami Awakening, Natalie Mobini-Kesheh mengatakan orang Hadrami dikenal sebagai orang Phoenicia, yang senang berpetualang.

Dengan demikian, saya lebih cenderung melihat orang-orang Hadramaut atau Yaman yang datang ke Nusantara, pada dasarnya,  adalah keturunan pelaut kuno dari nusantara yang pulang ke kampung halaman leluhur atau nenek-moyangnya.

Tay, Suku Kuno di Asia Tenggara dan Jazirah Arab (Yaman): Pionir Pertanian Padi

Menarik untuk mencermati kesamaan nama etnik Tai/Thai atau Tay/Thay yang bermukim di Asia Tenggara dengan etnik Tay/Tayyi atau kadang juga ditulis Tae’ yang bermukim di jazirah Arab. Karena pada dasarnya, kedua etnik tersebut sama-sama merupakan etnik kuno yang telah mendiami kawasan itu selama ribuan tahun.

Nama alternatifnya pun juga menunjukkan kemiripan. Orang tay di asia tenggara kadang juga disebut ‘orang shan’, sementara orang tay di jazirah Arab kadang juga disebut ‘orang shammar’.

Orang Tay atau Tae’, juga dikenal sebagai Tayyi, adalah suku Arab terbesar, paling berpengaruh dan juga paling kuno. Asal mula orang Tayy dapat dilacak berasal dari bangsa Qahtan yang tanah air aslinya adalah di Yaman. 



Hippolytus (170-235 AD), mencatat ada tiga kelompok masyarakat di jazirah Arab, yakni: Taeni (Tai / tayy / tayyi), Saraceni (saracen) dan Arab. Namun, umumnya sumber-sumber non-Arab paling awal menyebut orang Arab sebagai Taits (tayy). 

Jika ‘Saracen’ akrab digunakan orang Eropa saja maka, Tayy, selain dikenal di Eropa (misal, Pliny menulisnya ‘Taueni’, Bardesanes & Eusebius menulisnya ‘Taini’), juga akrab digunakan orang di Asia Tengah, India, Melayu, hingga China. 

Teks-teks Pahlawi menggunakan istilah ‘tadgik’ atau ‘tachik’ atau ‘tashik’ untuk menyebut Arab, sebagaimana Persia juga menggunakan ‘tazi’ untuk menyebut maksud yang sama. Armenia menggunakan istilah ‘tachik’ untuk menyebut Arab dan umat Islam, sedangkan orang China menggunakan istilah ‘tashi’. 

Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa kata tadgik, tachik, atau tazik berasal dari kata ‘thay’. 

Di Indonesia, Sebutan ‘Tasik’ dapat kita temukan pada nama Tasik-malaya, tasik= Arab, malaya= melayu. Jadi, nama ‘tasikmalaya’ besar kemungkinan dulunya dimaknai sebagai pemukiman orang-orang Arab dan Melayu.  

Demikianlah, dari uraian di atas dapat kita cermati bahwa, yang pada hari ini kita kenal sebagai bangsa Arab, pada masa lalu, lebih dikenal sebagai bangsa Tay, Tazik atau Ta-zhi.

Sama-sama Pionir Pertanian Padi

Jika orang Tai atau Tay di wilayah Asia Tenggara daratan dikenal sebagai pionir pertanian padi, maka orang Tay di jazirah Arab pun sebenarnya juga merupakan pionir pertanian padi di wilayah jazirah Arab. Hal ini dapat kita cermati pada fakta bahwa, asal usul orang Tay kuno berasal dari Yaman yang merupakan titik awal dimulainya pertanian padi di jazirab Arab. 

Sesungguhnya ada banyak kesamaan yang bisa kita temukan pada etnik Tay yang bermukim di Asia Tenggara dan Tay di Jazirah Arab.

Jika orang Tay di Arab dikatakan berasal dari Saba di Yaman, maka kita pun dapat melihat jika orang Tay di Vietnam juga memiliki distrik Sapa, yang pada hari ini, terutama di desa Ta Van dipromosikan oleh pemerintah Vietnam sebagai tempat dimana para wisatawan dapat menikmati keaslian budaya hidup orang Tay.

***

Demikianlah, Dari seluruh uraian saya dalam artikel ini, terbentang wawasan bahwa; sangat mungkin, penghuni Jazirah Arab pada masa yang sangat awal adalah orang-orang pendatang dari  Nusantara (meliputi Indonesia hingga Indo-Cina pada hari ini). Mereka adalah bangsa Pelaut dari nusantara yang menjadi pelaku utama migrasi ke barat pada masa kuno.

baca artikel terkait:

Fakta Jejak Kuno di Balik Nama “Sunda”

Jejak 3 Putra dan 16 Cucu Nabi Nuh (Bagian 4: Sam bin Nuh)


LihatTutupKomentar