Malaka dan Malaga adalah dua nama yang sangat identik, bahkan bisa dikatakan sama saja. Hal ini diperlihatkan bentuk etimologi ‘Malaga’ pada situs Wiktionary: Dari bahasa Spanyol ‘Málaga‘; bahasa Arab مَالَقَة (mālaqa); bahasa Latin Malaca; dan dari bahasa Phoenicia 𐤌𐤋𐤊 (mlk).
Mengenai etimologi ‘Malaka’ dikatakan bahwa: Menurut legenda, nama Malaka tercetus dari Parameswara ketika tiba di sana dan beristirahat di bawah pohon Malaka. Ia lalu menamai tempat itu sesuai dengan nama pohon tempat ia beristirahat. Tentu saja, model etimologi seperti ini sudah ketinggalan zaman.
Saat ini, kita ada di zaman di mana sumber informasi sangat terbuka lebar dan karenanya rahasia dari masa kuno menjadi semakin langka. Dengan mudah, kita dapat melakukan penelusuran kesejarahan dan komparasi linguistik melibatkan beberapa bahasa di dunia.
Terkait nama Malaka, dari catatan I Tsing yang berkunjung ke Nusantara sekitar abad ke 7, dapat kita temukan nama wilayah ‘Moloyu’ yang merujuk pada bentuk: Malayu, Melayu atau Malaya (tergantung aksen atau logat penyebutannya. Intinya, semua bentuk nama ini sama saja).
Dengan adanya catatan I Tsing yang menyebutkan nama Moloyu (yang identik dengan nama Malaka dan Malaga) maka, narasi etimologi Malaka yang mengatakan bahwa itu berasal dari Raja Parameswara, Raja Singapura yang hidup antara tahun 1344–1414, tentu tidak relevan lagi.
Dalam artian, jauh sebelum masa hidup Raja Parameswara, sebutan Malaka atau Malaya atau Melayu telah digunakan di wilayah itu.
Jadi, jika kita telah menemukan bahwa secara tinjauan morfologi fonetis, nama Malaka dan Malaga (dan bahkan Malagasi juga terkait) adalah identik, atau kita katakan sama saja, lalu, bagaimana dengan tinjauan kesejarahan keduanya, apakah juga ada keterkaitan?
Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa ketika Raja Portugis mengutus Diogo Lopes de Sequeira (1465–1530) untuk menjalin potensi perdagangan rempah-rempah di timur, Raja Portugis dengan sangat jelas merujuk dua wilayah yang harus didatangi oleh Diogo Lopes de Sequeira, yaitu: Malagasi dan Malaka. [International Colloquium of Art and Design Education Research (i-CADER 2014) – History of Portuguese Cartography, hlm. 616]
Disebutkan juga bahwa, Raja Portugis mendengar laporan tentang kekayaan rempah-rempah yang sangat besar di Malaka dari pedagang-pedagang Asia.
Ini mengindikasikan bahwa jejak perdagangan maritim yang ia ingin telusuri pada dasarnya telah terbentuk, sangat mungkin terbentuk sejak ratusan tahun atau bahkan ribuan tahun sebelumnya.
Pada jalur perdagangan maritim kuno itu, Malagasi dan Malaka adalah pos perdagangan terpenting, karena itu Raja Portugis secara spesifik mengarahkan utusannya mengunjungi dua tempat tersebut.
Di sisi lain, penelitian terbaru menunjukkan keidentikan genetik antara orang-orang di Malagasi dengan orang Melayu di Nusantara. Para Ilmuwan menduga kuat bahwa pada masa kuno orang-orang bangsa pelaut dari Nusantara yang membuat koloni di sana (Malagasi).
Jaringan pelayaran dari Nusantara ke Malagasi tidak saja dapat ditelusuri ke masa kerajaan Sriwijaya, tapi jauh sebelum itu.
Hal ini misalnya disampaikan oleh Dr. Cyril A. Hromnik kepada Prof. Dr. Andi Zainal Abidin Farid di sekitar tahun 1987.
Prof. Dr. Andi Zainal Abidin Farid dalam bukunya yang berjudul “Capita Selecta: Sejarah Sulawesi Selatan” mengatakan bahwa Dr. Cyril A. Hromnik yang meneliti di Afrika Selatan dan Malagasi (Madagaskar) khusus datang mengunjunginya di Makassar pada tahun 1987, dan menyampaikan hasil penelitiannya bahwa dari abad ke 1 sampai abad ke 10 Masehi, banyak sekali pekerja yang dikirim dari kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yaitu kerajaan Bugis, ke Afrika Selatan untuk dipekerjakan di pertambangan emas orang-orang India.
Jadi, bagaimana posisi Malaga dalam penggalian sejarah kuno ini?
Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa kota Malaga dibangun oleh orang Phoenicia. Mereka menjadikan Malaga sebagai pusat perdagangan di sekitar abad 7 SM. Mereka menyebutnya: Malaca. Nama ini persis sama dengan penyebutan orang-orang Eropa pada Malaka yaitu ‘Malaca’ atau ‘Malacca’.
Setelah penaklukan bangsa Moor (714-716) kota Malaca berada di bawah yurisdiksi Kekhalifahan Córdoba. Di bawah kendali Dinasti Nasrid, kota Malaga menjadi kota pelabuhan utama. Dinasti Islam pada saat itu menyebutnya ‘Mālaqah’.
Pertanyaan yang penting dikedepankan dari informasi ini adalah: mengapa bangsa Phoenicia menyebut wilayah itu Malaka?
Ini bagian yang penting.
Bangsa Phoencia memiliki dan memuju dewa pelindung mereka yang bernama MELQART, yang dalam abjad bahasa Fenisia ditulis MLK KRT, yang berarti “RAJA KOTA”. Dengan pengertian demikian, dapat diduga jika KRT kemungkinan berbunyi “KARTA” yang memang berarti “KOTA”.
Adapun MLK, jika menimbang bahwa Fenesia adalah bangsa laut, yang mana ciri utama bahasa bangsa maritim adalah tidak ada kata yang berakhir konsonan tetapi semua berakhir vokal, maka, MLK kemungkinan bisa berbunyi ‘MALAKA’ sinonim dengan kata MOLOKH ( juga ditulis sebagai Moloch, Molech, Molekh, Molok, Molek, Molock, atau Moloc) yang juga memang berarti ‘RAJA’. (uraian ini sejalan dengan apa yang dijelaskan di sini).
Demikianlah, bangsa Phoenicia yang menguasai kemampuan navigasi pelayaran laut antara benua, pada masa kuno, sukses mengeksplorasi tempat-tempat baru yang kemudian mereka bangun menjadi kota. Dan biasanya mereka akan menamainya ‘MALAKA’.
Nama MALAKA ini terutama diberikan untuk kota-kota pelabuhan yang strategis dan menjadi kota utama dalam jaringan perdagangan laut mereka.
MALUKU sebagai sumber rempah-rempah; MALAKA sebagai titik interkoneksi ke Cina dan India; MALAGASI sebagai pulau strategis untuk menyuplai logistik pelayaran; MAROKO dan MALAGA strategis sebagai titik transit sekaligus pintu gerbang memasuki laut Mediterania dan daratan Eropa.
Demikianlah, ketika kita bicara tentang Malaka, sebenarnya kita berbicara tentang jejak bangsa Phoenicia, bangsa laut terbesar di masa kuno yang, pada dasarnya, berasal dari Nusantara ini.
Baca juga pembahasana tentang Malaka dan bangsa Phoenicia dalam artikel ini: