Dalam tulisan sebelumnya (Petunjuk Menemukan Tanah Suci Shambala) telah saya ulas beberapa hal yang mengindikasikan bahwa ada kemungkinan pegunungan Latimojong memiliki keterkaitan kuat dengan “tanah suci Shambala”, tanah mitos yang telah dicari selama ribuan tahun.
Semua literatur yang membahas tentang tanah suci Shambala selalu menyebut letaknya berada di dalam tanah. Dan oleh karena ini, Shambala terkadang dikait-kaitkan pula dengan Agartha atau Agarthi, Sebuah kerajaan legendaris yang dikatakan terletak di inti bumi. Ini terkait dengan kepercayaan yang cukup berkembang dan populer di kalangan esoterisme bahwa bumi berlubang di bagian dalam inti.
Dunia Rahasia “Agartha”
Konsep Agartha dipopulerkan pertama kali oleh Okultis Prancis abad kesembilan belas Alexandre Saint-Yves d’Alveydre. Menurutnya, dunia rahasia “Agartha” dan semua kebijaksanaan dan kekayaan yang ada padanya, akan dapat diakses oleh seluruh umat manusia, ketika agama Kristen memenuhi perintah yang pernah dirancang oleh Musa dan Tuhan, yang berarti “Ketika Anarki yang ada di dunia kita digantikan oleh Sinarki .”
Saint-Yves memberikan deskripsi yang hidup tentang “Agartha” dalam tulisannya, seolah-olah itu adalah tempat yang benar-benar ada, terletak di Himalaya di Tibet. Ia menulis tentang “lokasi rahasia” ini dalam bukunya “Mission de l’Inde en Europe” yang diterbitkan pada tahun 1886, setelah pada tahun 1885, ia konon dikunjungi oleh sekelompok Inisiat dari Timur, salah satunya bernama pangeran Hardjij Scharipf.
Lalu, karena khawatir bahwa dia telah mengungkapkan terlalu banyak dan tampaknya di bawah pengaruh kontak orientalnya, dia menghancurkan semua kecuali dua salinan buku. Salah satunya dimiliki oleh Gerard Encausse alias Papus, yang kemudian mengedit dan menerbitkannya pada tahun 1910.
Nubuat Dalam Kalacakra
Kalacakra adalah teks di mana narasi tanah suci Shambala pertama kali dibahas secara luas. Kalacakra merujuk pada pengajaran dan praktik esoterik yang rumit dan maju dalam Buddhisme Tibet.
Narasi tanah suci Shambala ditemukan dalam tantra Kalacakra, yang diperkenalkan ke Tibet sekitar abad ke-11. Ini se-zaman dengan waktu kedatangan Atisa Dipankara Srijnana di Tibet. Ia adalah seorang tokoh utama dalam penyebaran Buddhisme Mahayana dan Vajrayana abad ke-11 di Asia, yang dianggap sosok yang paling menginspirasi pemikiran Buddha di Tibet.
Yang menarik, Atisa diketahui pernah datang ke Sriwijaya dan tinggal di sana selama 12 tahun untuk belajar. Di sana ia berguru pada Dharmakirtisri juga dikenal dengan sebutan Kulanta dan Suvarnadvipi Dharmakirti, yang dianggap sebagai guru paling penting atau guru kunci Atisa. Namanya mengacu pada wilayah yang ia tinggali, yaitu Suvarnadvipa atau Sumatera hari ini.
Kalacakra menubuatkan bahwa ketika kehidupan dunia memburuk akibat jatuh dalam perang dan keserakahan, dan semuanya hilang, raja Kalki ke-25 Maitreya akan muncul dari Shambala, dengan pasukan besar untuk menaklukkan “Pasukan Kegelapan” dan mengantarkan Zaman Emas di seluruh dunia.
Identifikasi Pegunungan Latimojong sebagai letak tersembunyi Shambala
Teks Zhang Zhung kuno mengidentifikasi Shambala dengan Lembah Sutlej di Punjab atau Himachal Pradesh, India. Sementara itu, Orang Mongolia mengidentifikasi Shambala dengan lembah-lembah tertentu di Siberia selatan.
Dalam cerita rakyat Altai, Gunung Belukha diyakini sebagai pintu gerbang ke Shambala. Para sarjana Buddhis modern tampaknya menyimpulkan bahwa Shambala terletak di daerah yang lebih tinggi di Himalaya dalam apa yang sekarang disebut Pegunungan Dhauladhar di sekitar Mcleod Ganj.
Beberapa legenda mengatakan bahwa pintu masuk ke Shambala tersembunyi di dalam biara terpencil yang ditinggalkan di Tibet, dan dijaga oleh makhluk yang dikenal sebagai Wali Shambala.
Demikianlah, semua informasi tentang Shambala pada umumnya dapat dikatakan menggambarkan bahwa letak Shambala berada di dalam tanah, dan dengan sendirinya ini berbicara tentang keberadaan gua sebagai pintu masuk.
Yang menarik karena sebenarnya, pegunungan Latimojong bukan saja memiliki keterkaitan dengan Shambala dalam hal tinjauan filologi ataupun makna filosofis. Beberapa toponim di pegunungan Latimojong juga secara unik menunjukkan makna “gua.”
Berikut ini penjelasan toponim tersebut…
Bubun Dirangkang dan Lokko’ Susu
“Bubun Dirangkang” adalah sebutan tradisional masyarakat lokal untuk Puncak Nenemori, yaitu puncak kedua tertinggi di pegunungan Latimojong. Makna harafiah “Bubun Dirangkang” adalah: “sumur dikurung” atau “sumur ditutup” (bubun = sumur; dirangkang = dikurung / ditutup).
Menurut seorang sesepuh yang telah berusia 92 tahun yang tinggal di kaki gunung Latimojong, yang kediamannya menjadi tempat nginap saya sewaktu survei jalur pendakian “Jalur Timur Latimojong” 2019 lalu: “memang ada sumur di atas sana yang menurut cerita orang dulu, ditutup oleh seorang Wali.”
Beliau menjelaskan ini ketika saya tanya, apa mungkin makna nama “bubun dirangkang” artinya “sumur yang ditutup?”
Apa yang disebut sebagai ‘bubun‘ atau sumur oleh masyarakat lokal, dalam pandangan saya dapat dimaknai sebagai sebuah gua vertikal, yakni gua yang cara memasukinya menggunakan teknik “rappelling” atau merambat turun secara vertikal.
Jika mendaki melalui jalur timur Latimjong (dari arah Kabupaten Luwu), untuk mencapai puncak Nenemori atau Bubun Dirangkang, kita mesti melewati buntu (gunung) ‘Katapu’.
Buntu Katapu ini kami gelari “jembatan langit” oleh karena bentuknya berupa punggungan sempit dengan lebar antara 1-2 meter, memanjang sekitar 2-3 Kilometer.
Di kiri kanannya adalah lembah dengan jurang yang menganga. Ketika kami melewatinya pertama kali, saat itu lembah di kiri kanan buntu Katapu terisi kabut tebal sehingga buntu Katapu terlihat seperti bentangan jembatan panjang yang membelah awan. Inilah alasan kami menyebutnya “Jembatan Langit”.
Nama ‘Katapu’ dapat diperkirakan berasal dari kata dasar “tapu” atau “tabu“, yang artinya: terlarang, Sakral, suci. Dalam bahasa orang Maori (suku asli di Selandia Baru) kata ‘tapu‘ bermakna sakral atau suci.
Saya pikir, pada awalnya kita pun di Nusantara memaknai kata ‘tabu’ sebagai sakral ataupun suci, hanya saja dalam perkembangannya yang tersisa… kata ‘tabu‘ lebih umum dimaknai “terlarang”.
Sementara itu, Suku kata “ka-” di depan ka-tapu, sinonim dengan bentuk “ke” dalam bahasa Indonesia. Jadi, ‘Katapu‘ dapat dimaknai: “menuju tempat terlarang, sakral atau suci.” Fakta ini pada gilirannya sejalan dengan julukan Shambala sebagai “tanah terlarang”.
Selain keberadaan Toponim atau nama wilayah “Bubun Dirangkang” yang makna etimologinya mengisyaratkan adanya sebuah gua di wilayah Latimojong, terdapat pula toponim “Lokko Susu” yang secara harfiah berarti “Gua Susu”. Nama ini pun secara jelas mengisyaratkan eksistensi sebuah gua di wilayah pegunungan Latimojong.
Yang menarik karena makna “Gua Susu” ini sejalan pula dengan julukan Shambala lainnya yaitu ‘Tanah Air Putih’. Tentunya sebutan “Air putih” tersebut dapat pula diartikan sebagai “air susu”.
Yang terakhir, Nama RANTE KOMBALA (puncak ketiga tertinggi di Pegunungan Latimojong) secara tinjauan fonetis kenyataannya sangat identik dengan bentuk “Shambala”, di mana fonetis ‘k’ kita ketahui biasanya mengalami perubahan morfologi dengan fonetis c yang mana bunyi penyebutannya sangat dekat ‘s’ atau pun ‘sh’.
Jadi, dengan makna kata ‘Rante’ yang dalam bahasa lokal berarti ‘tanah’, apakah mungkin ‘Rante Kombala” arti sebenarnya adalah: Tanah Shambala?
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.